Senin, 08 November 2021

Urgensi Reklamasi Ex-Tambang Batubara Dengan Biochar 

 

Banyaknya lahan bekas tambang batubara yang tidak direklamasi menimbulkan berbagai masalah lingkungan bahkan juga ksselamatan jiwa. Sudah banyak korban jiwa dari lubang  bekas tambang batubara tersebut. Logika sederhana seharusnya setelah deposit batubara diambil atau diekstrak pada aktivitas penambangan tersebut, tanah dikembalikan lagi dan diperbaiki sehingga kualitasnya lebih baik dari sebelum aktivitas pertambangan atau minimal sama, tetapi jangan malah lebih buruk sehingga berbagai masalah lingkungan bermunculan. Era dekarbonisasi semakin kencang melaju karena daya dorong perubahan iklim dan pemanasan global. Bahan bakar fossil khususnya batubara mulai ditinggalkan tentu saja termasuk aktivitas penambangan batubara itu sendiri. Sedangkan area bekas tambang batubara yang mencapai jutaan hektar banyak menjadi permasalahan lingkungan hari ini. 

Ketika kualitas tanah diperbaiki sehingga memiliki kesuburan tinggi maka ini menjadi potensi yang sangat luar biasa sehingga sejumlah aktivitas penting bisa dilakukan, seperti pertanian, peternakan dan kehutanan. Dengan kondisi demikian maka upaya kemandirian atau kedaulatan pangan bukan hal mustahil. Teknisnya bisa dianalisis diantara sektor pertanian, peternakan dan kehutanan tersebut mana yang bisa lebih cepat mencapai tujuan yakni kemandirian atau kedaulatan pangan tersebut. Tetapi sebelum jauh melangkah dan melakukan usaha di atas tanah bekas tambang tersebut, hingga lebih spesifik produk apa yang akan dibuat, pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana memperbaiki kondisi tanah yang rusak dan skalanya juga masif tersebut ? 

Aplikasi biochar ke tanah tersebut merupakan solusi jitu dalam upaya memperbaiki tanah-tanah yang rusak. Tergantung seberapa parah tingkat kerusakan, karakteristik jenis tanah dan level kualitas akhir yang menjadi target akan menentukan aplikasi atau dosis biochar tersebut. Selain memperbaiki tanah aplikasi biochar tersebut juga menyerap CO2 dari atmosfer sehingga menurunkan konsentrasi CO2 dari atmosfer atau merupakan skenario carbon negative. Biochar yang tertanam di dalam tanah tersebut menjadi carbon sink, mirip dengan membuat hutan konservasi untuk menyerap CO2 dari atmosfer. Seberapa banyak biochar yang tertanam sehingga bisa dihitung CO2 terserap menjadi carbon sink tersebut bisa dijual di pasar karbon dan mendapatkan carbon credit. Biochar sendiri mampu bertahan di dalam tanah hingga ratusan tahun dan tidak terdekompsisi selama waktu yang panjang tersebut. Bahkan ketika tanah tersebut telah diperbaiki dengan biochar lalu dibuat hutan konservasi di atasnya maka carbon credit yang didapat double, yakni dari aplikasi biochar sendiri dan dari hutan konservasi tersebut. Tetapi sekali lagi tentu faktor ekonomi menjadi pertimbangan penting lainnya, sehingga seperti di atas setelah tanah diperbaiki kesuburannya dengan biochar ada sejumlah opsi untuk pemanfaatan tanah tersebut. Tentu mana yang memberikan keuntungan ekonomi terbaik akan menjadi pilihan. 

Jutaan hektar tanah bisa dipulihkan (direcovery) sehingga kemanfaatannya akan maksimal. Katakan misalnya satu juta hektar saja tanah tersebut bisa dipulihkan lalu digunakan untuk aktivitas yang mendukung ketahanan atau kemandirian pangan tersebut seperti pertanian dan peternakan, maka bisa dihitung berapa banyak outputnya. Lebih bagus lagi apabila bisa terjadi surplus produksi pangan tersebut sehingga bisa melakukan export. Atau bahkan nantinya untuk jangka yang lebih panjang lagi tanah tersebut dihutankan lagi menjadi hutan konservasi maka berapa banyak CO2 yang bisa diserap oleh hutan tersebut ditambah dari aplikasi biocharnya. Tentu sangat banyak. Lalu mengapa harus membuat food estate tetapi harus membabat lahan hutan, sementara ada cara lain yang lebih baik ? Yakni tidak hanya memulihkan tetapi memperbaiki kondisi lahan tersebut bahkan lebih baik sebelum aktivitas penambangan batubara tersebut dilakukan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...