Dengan posisi di khatulistiwa sehingga beriklim tropis maka pancaran sinar matahari akan diterima sepanjang tahun. Energi dari sinar matahari tersebut seharusnya bisa dimanfaatan secara optimal pada era dekarbonisasi saat ini. Supaya energi matahari tersebut bisa dimanfaatkan kapan saja, maka energi tersebut harus disimpan. Hal tersebut seperti mekanisme baterai dalam menyimpan energi, sehingga energi tersebut tidak lewat dan hilang begitu saja. Menyimpan dan mengubah energi matahari tersebut telah dilakukan secara alami sejak kehidupan ini ada yakni dalam biomasa tumbuhan. Dengan photosintesis pada tanaman, energi matahari dengan air dan CO2 diubah menjadi biomasa dalam bentuk kayu, buah, daun dan berbagai bagaian tumbuhan tersebut serta O2 untuk kita bernafas. Energi matahari tidak lewat dan hilang begitu saja tetapi tersimpan dalam tumbuhan tersebut sebagai sumber energi atau “baterai” yang bisa dimanfaatkan kapan saja.
Dengan paradigma tersebut tentu upaya memaksimalkan penyimpanan energi dalam “baterai hijau” tersebut harus dimaksimalkan sebagai upaya menuju bahan bakar rendah atau netral karbon. Dengan luas daratan juga terbesar di Asia Tenggara tentu upaya memaksimalkan “baterai hijau” menjadi lebih penting dan strategis. Pemanfaatan tipe fast growing species dan short rotation coppice akan sangat cocok dalam mengubah dan menyimpan energi matahari tersebut. Apalagi pada daerah beriklim tropis panen kayu tersebut juga lebih cepat dibandingkan pada negara sub-tropis atau daerah dingin, dikarenakan melimpahnya energi pancaran matahari tersebut.
Luas tanah potensial untuk membuat “baterai hijau” tersebut sangat besar yakni mencapai puluhan juta hektar. Ditambah lagi lahan reklamasi yang mencapai jutaan hektar juga, lebih detail bisa dibaca disini. “Baterai hijau” tersebut berupa kebun energi yang kayunya dimanfaatkan untuk produksi wood pellet. Dalam bentuk produk wood pellet tersebut maka energi biomasa menjadi lebih mudah disimpan, dan digunakan kapan saja. Tidak seperti pembangkit listrik tenaga matahari atau angin ataupun air yang intermittent, bahan bakar biomasa berupa wood pellet tidak seperti itu. Penggunaannya bisa sesuai permintaan dan target yang dikehendaki, sehingga lebih praktis dan bisa diandalkan. Alasan mengapa “baterai hijau” berupa kebun energi tersebut belum berkembang bisa dibaca disini.
Selain “baterai hijau” dari kebun energi, “baterai hijau” juga bisa berasal dari hutan produksi pada umumnya. Pada hutan produksi tersebut, produk utamanya kayu yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti kayu bangunan, mebel, plywood, flooring dan sebagainya. Limbah industri kayu tersebut yang selanjutnya digunakan untuk produksi wood pellet tersebut. Produksi wood pellet pada dasarya harus menggunakan limbah-limbah kayu maupun kayu-kayu seharga kayu limbah seperti kayu dari kebun energi, sehigga industri wood pellet ekonomis dan menguntungkan. Diperkirakan ada limbah-limbah kayu sebanyak 25 juta ton/tahun yang bisa dimanfaatkan untuk produksi wood pellet tersebut. Dan khusus dari industri plywood saja limbah kayu diperkirakan mencapai 5 juta ton setiap tahunnya.
Estimasi industri kayu Indonesia sebenarnya bisa dioptimalkan hingga kapasitas produksi mencapai 91 juta meter kubik per tahun, tetapi realisasi pada 2022 industri hasil hutan ini hanya mampu memproduksi 42,19 juta meter kubik per tahun atau sekitar 48,7% dari kapasitas optimumnya. Faktor-faktor yang menjadi penyebab rendahnya realisasi industri perkayuan tersebut ada 3 faktor yakni, efisiensi industri perkayuan, masalah terkait dengan bahan baku dan ketersediaan pasar.
Riset tentang baterai terus berlanjut seiring trend dekarbonisasi global dan transisi energi menjadi keniscayaan untuk mencapai target dekarbonisasi tersebut. Baterai berkapasitas besar sehingga energi listrik yang dihasilkan dari pembangkit energi terbarukan seperti angin dan matahari bisa disimpan menjadi target riset tersebut. Riset tersebut memakan biaya besar sekaligus waktu yang lama, diperkirakan 20 atau 30 tahun ke depan, baterai kapasitas besar tersebut baru akan tersedia. Sedangkan saat ini sebagian besar pembangkit listrik menggunakan bahan bakar fossil khususnya batubara. Upaya transisi energi pada pembangkit listrik tersebut bisa dilakukan dengan subtitusi batubara ke wood pellet tersebut. Apalagi sebagai daerah tropis maka energi biomasa seperti bisa tetap sebagai energi utama pada era nir-karbon masa depan.
“Baterai hijau” Indonesia harus diaktifkan dan dikembangkan, karena selain fungsinya sebagai sumber energi, “baterai hijau” tersebut juga sebagai penyimpan CO2 atau carbon sink. Selama jumlah kayu yang dipanen lebih kecil atau maksimal sama dengan pertumbuhan kebun energi atau “baterai hijau” tersebut maka banyaknya CO2 yang terserap tanaman tidak berkurang atau CO2 yang lepas ke atmosfer tidak bertambah, demikian juga dengan hutan produksi pada umumnya. Ketika pada umur tertentu pertumbuhannya akan jenuh dan mulai menurun dalam penyerapan CO2, artinya hutan tersebut tidak bisa secara permanen menyimpan CO2 dalam volume tetap, sehingga perlu regenerasi / replanting. Sedangkan pada kebun energi karena karakteristik spesies tanamannya maka regenerasi / replanting tidak perlu setiap kali panen, tetapi bisa puluhan tahun kemudian. Dan lebih lanjut penggunaan teknologi carbon capture and storage (CCS) pada pembangkit listrik yang telah menggunakan 100% bahan bakarnya dari wood pellet tersebut maka berarti CO2 yang dihasilkan tidak lepas ke atmosfer atau merupakan carbon negative, yang mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar