Minggu, 25 Februari 2024

Dekarbonisasi Pada industri Baja

Produksi baja dunia mencapai 1,9 miliar ton pada tahun 2020, dengan komposisi China sekitar setengahnya dan diikuti negara-negara Uni-Eropa. Jerman dengan produksi tahunan dikisaran 42 juta ton adalah sebagai produsen baja terbesar di Eropa atau sekitar seperempat produksi baja Eropa, sedangakn seperempat lainnya adalah Italia dan Perancis, kemudian diikuti Belgia, Polandia, Spanyol. Industri baja ini berkontribusi menyumbang CO2 sebanyak 8% secara global, setiap ton produksi baja menghasilkan emisi CO2 rata-rata sebanyak 1,85 ton dan dibanding pertambangan bijih besinya, produksi besi dan baja berkontribusi jauh lebih besar pada emisi CO2. Upaya dekarbonisasi industri baja dimulai dengan pengunaan energi terbarukan untuk peleburan / smelter-nya. Bahan bakar berbasis biomasa berupa arang yang memiliki nilai karbon tinggi bisa menggantikan penggunaan kokas yang berasal dari batubara. Dan penggunaan hidrogen dari sumber energi terbarukan menjadi target puncak dekarbonisasi pada industri baja tersebut. 


Saat ini industri baja sebagian besar menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya dengan menggunakan blast furnace. Untuk mengurangi intensitas karbon maka digunakan bahan bakar gas atau gas alam sebagai bahan bakarnya. Penggunaan bahan bakar gas (BBG) berupa gas alam tersebut juga sebagai media transisi dan pada dasarnya karena berasal dari bahan bakar fossil maka juga merupakan bahan bakar karbon positif. Selain itu penggunaan BBG berupa gas alam juga sebagai bahan bakar transisi sebelum ke hidrogen dari energi terbarukan. Penggunaan bahan bakar karbon berbasis biomasa berupa arang memiliki efek lebih baik bagi iklim karena merupakan bahan bakar karbon netral. Selain itu secara teknis karena merupakan bahan bakar padat sama seperti batubara maka praktis tidak banyak bahkan tidak perlu perubahan atau modifikasi pada tungku peleburannya. Faktor ketersediaan arang berkualitas tinggi, volume besar dan suplai yang kontinyu masih menjadi kendala utamanya.

Penggunaan arang untuk metalurgi atau pembuatan baja sebenarnya sudah pernah menjadi hal biasa pada beberapa waktu lalu. Pada era awal tahun 1900an produksi arang dunia mengalami masa kejayaannya dengan produksi lebih dari 500 ribu ton. Pada tahun 1940an produksi arang mengalami penurunan menjadi hampir ½ dari era awal 1900an yang diakibatkan material karbon lainnya yakni batubara yang menggantikan arang pada pembuatan logam-logam.  

Dengan kondisi saat ini berupa penggunaan batubara sebagai bahan bakar utama pada tungku peleburan atau di blast furnace, maka akan dihasilkan slag. Slag atau GGBFS (Grounded Granulated Blast Furnace Slag) dari pabrik baja tersebut digunakan untuk pabrik semen sebagai bahan aditif semen atau  SCM (supplementary cementious material) sehingga mengurangi porsi clinker pada produks semen. Pada pabrik semen sendiri semakin banyak penggunaan slag atau SCM maka semakin mengurangi penggunaan clinker sehingga juga mengurangi emisi CO2. Pada produksi semen bagian produksi clinker-nya berkontribusi paling besar pada emisi CO2 yang dihasilkan sehingga penggunaan slag atau SCM tersebut merupakan bagian dekarbonisasi pada pabrik semen. Diperkirakan sekitar 70% produksi baja dunia menggunakan blast furnace atau proses BF-BOF yang menghasilkan jumlah GGBFS cukup banyak, bahkan di China lebih dari 90% produksi baja menggunakan proses BF-BOF tersebut. Perlu dicatat bahwa dekarbonisasi sektor baja mengakibatkan peralihan dari blast furnace, yang akan berdampak pada ketersediaan GGBFS di seluruh dunia pada dekade mendatang. Namun, perubahan ini akan terjadi secara perlahan dan bertahap dan, sementara itu, terdapat sejumlah GGBFS yang akan tersedia untuk digunakan sebagai SCM guna mengurangi jejak karbon pada semen dan beton.

Untuk bisa produksi arang dalam jumlah besar tentu juga dibutuhkan bahan baku dalam jumlah besar. Bahan baku berupa biomasa khususnya kayu bisa diproduksi dari kebun energi. Kebun energi dari tanaman rotasi cepat trubusan akan cocok untuk memenuhi kebutuhan bahan baku tersebut karena selain masa panennya cepat juga memiliki produktivitas yang tinggi. Selain itu juga tidak perlu menanam ulang atau replanting untuk setiap kali panen dan mudah tumbuh serta mudah dalam pemeliharaannya. Untuk produksi baja per ton dibutuhkan energi rata-rata 6.000 MJ (setara 50 kg hidrogen) atau setara 200 kg arang dan memerlukan bahan baku biomasa kayu sekitar 600-800 kg. Selain bahan baku dari kayu kebun energi, bahan baku dari limbah-limbah pertanian maupun perkebunan juga bisa digunakan. 

Industri sawit masa depan bisa saja sebagai penghasil hidrogen dari biogasnya. Setiap ton baja akan membutuhkan 50 kg hidrogen, sedangkan setiap pabrik sawit dengan kapasitas 30 tbs/jam bisa menghasilkan listrik 1 MWh, sedangkan untuk produksi 1 kg hidrogen dibutuhkan 50 KWh, sehingga dengan kapasitas pabrik sawit tersebut bisa menghasilkan 20 kg hidrogen. Daerah dengan konsentrasi pabrik sawit yang tinggi seperti provinsi Riau bisa saja membuat jaringan pipa hidrogen tersebut untuk pabrik baja yang ramah lingkungan. 

Dengan harga lebih mahal untuk baja yang dihasilkan dengan energi terbarukan (green steel), membuat pangsa pasar juga terbatas. Saat ini hanya penggunaan tertentu seperti otomotif yang membeli baja premium atau green steel tersebut. Upaya dekarbonisasi pada pabrik baja juga bisa dilakukan bertahap, seiring perkembangan energi terbarukan. Dengan semakin banyaknya suplai energi terbarukan maka harganya akan semakin turun sehingga baja ramah lingkungan (green steel) juga semakin kompetitif harganya. Pabrik-pabrik baja baru bisa mendekati sumber-sumber energi terbarukan yang murah tersebut sehingga bisa produksi green steel menjadi kompetitif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...