Sabtu, 20 Juli 2024

Kebun Energi : Tidak Hanya Produksi Wood Pellet Tetapi Juga Harus Mendukung Industri Peternakan

Konsep kebun energi atau kebun biomasa dengan memanfaatkan seluruh bagian pohon (whole tree utilization) sepertinya memang masih belum populer saat ini. Tetapi cepat atau lambat hal tersebut insyaAllah akan terjadi karena perusahaan-perusahaan wood pellet yang berorientasi profit tentu akan memaksimalkan aspek atau profit tersebut, tentunya sepanjang tidak merusak lingkungan dan CSR akan diupayakan dengan cara lain. Orientasi utama saat ini yang berfokus pada produk kayu untuk bahan baku wood pellet tentu adalah hal yang baik tetapi akan jauh lebih baik apabila seluruh bagian pohon bisa dimaksimalkan manfaatnya. Apabila hal tersebut bisa dilakukan kemanfaatannya tidak hanya pada sektor energi tetapi juga pangan dan pakan, sektor-sektor penting yang esensial dalam kehidupan manusia.

Komposisi utama dari daun kebun energi seperti kaliandra dan gliricidia adalah protein dan unsur protein ini adalah komponen penting dan termahal dibandingkan dari unsur-unsur lain dari pakan ternak. Dengan volume daun dari kebun energi yang cukup banyak maka hal tersebut seharusnya mendukung industri peternakan dan tidak hanya dibuang begitu saja karena hanya sekedar produk samping atau limbah yang kurang bermanfaat. Padahal dari sisi industri peternakan hal tersebut adalah sebaliknya. Pemanfaatan daun tersebut bisa langsung digunakan pada peternakan ataupun diolah menjadi pakan ternak dalam suatu industri pengolahan tergantung dari situasi dan kondisi setempat.   

Peternakan besar bisa dibuat dari pemanfaatan daun kebun energi demikian juga pabrik pakan tenak dari daun tersebut. Produksi pellet daun (leaf pellet) bisa dibuat dilakukan yang proses produksinya mirip dengan produksi wood pellet sehingga pabrik wood pellet yang berdampingan dengan pabrik leaf pellet juga sangat mungkin dilakukan. Seperti produk wood pellet yang berorientasi export maka untuk leaf pellet juga bisa juga demikian. Sedangkan apabila peternakan besar yang akan dilakukan maka limbah dari peternakan atau kotoran hewan tersebut bisa sebagai bahan baku / substrat dari produksi biogas. Biogas tersebut selanjutnya bisa digunakan untuk pengeringan pada produksi wood pellet atau leaf pellet maupun digunakan untuk produksi listrik. Residu dari biogas akan menjadi pupuk organik baik pupuk organik padat maupun pupuk organik cair. Diagram sederhana seperti dibawah ini.

Ribuan sapi bakalan atau sapi bibit diimport Indonesia dari Australia dan New Zealand dan penggemukan sapi adalah usaha yang menjanjikan di Indonesia karena kebutuhan daging sapi yang masih belum terpenuhi hingga saat ini. Kekurangan daging sapi tersebut dipenuhi dari import daging kerbau dari India dan daging sapi dari Brazil. Dukungan ketersediaan pakan yang melimpah dan berkualitas adalah salah satu aspek penting swasembada daging tersebut. Selain sapi kebutuhan kambing dan domba juga sangat besar. Yogyakarta, kota yang juga terkenal dengan kuliner sate kambing membutuhkan lebih dari 1500 ekor per hari domba. Selain itu kebutuhan untuk aqiqah serta Idul Adha juga sangat besar. Pasar export domba juga sangat menjanjikan yang sampai saat ini masih belum bisa terpenuhi karena berbagai hal salah satunya adalah faktor pakan. Pakan dalam usaha peternakan memegang peranan sangat penting atau bahkan sekitar 70% biaya peternakan adalah biaya pakan tersebut. Dan peternakan adalah mata rantai kebututuhan pangan bagi manusia sehingga tidak terpisahkan. 

Sabtu, 06 Juli 2024

Menjual Mesin Pengolah Kayu Sekaligus Mesin Pengolah Limbah Kayunya

Berbagai produk olahan kayu semakin beragam dan berkembang saat ini. Pemanfaatan kayu dioptimalkan fungsinya terutama yang berasal dari hutan produksi. Untuk meningkatkan kualitas dan kegunaan kayu tersebut maka perlu diolah secara khusus yang dilakukan di pabrik-pabrik pengolahan kayu. Hal tersebut juga termasuk pemilihan spesies tanaman kayu yang cocok untuk tujuan pemanfaatannya atau produk yang akan dibuat. Sejumlah produk pengolahan kayu adalah kayu lapis/plywood, blockboard, LVL, barecore, FJLB (Finger Joint Laminated Board), MDF (Medium Density Fibreboard), dan pulp & paper.

Pengolahan kayu dalam industri tersebut selalu membutuhkan sejumlah peralatan mulai dari paling sederhana yakni penggergajian kayu hingga yang prosesnya kompleks seperti pabrik pulp and paper. Selain pengerjaan atau proses produksi secara fisika atau mekanik juga proses kimia tergantung pada produk yang akan diproduksi. Penjual atau penyedia peralatan pengolahan atau mesin produksi tersebut pada umumnya satu set lengkap (complete line) sehingga bisa langsung digunakan dan menghasilkan ketika bahan bakunya telah siap. Semakin efisien dan berkualitas peralatan tersebut akan sebanding dengan harganya yang merupakan investasi tetap (fixed investment) pada industri pengolahan kayu tersebut. Faktor cost and benefit ratio sangat diperhatikan dalam pemilihan mesin atau peralatan tersebut terutama yang berorientasi export dengan volume produksi yang besar.  

Konsep zero waste pada industri-industri pengolahan kayu tersebut belum sepenuhnya dilakukan. Masih banyak industri pengolahan kayu yang limbahnya mencemari lingkungan dan bisa berdampak sosial. Hal ini termasuk pada para penjual atau penyedia mesin tersebut yang sebagian besar masih fokus pada penyediaan mesin atau peralatan produksi untuk produk utama tetapi belum pada aspek penanganan dan pengolahan limbahnya. Padahal dengan potensi limbah yang dihasilkan cukup besar maka pengolahan limbah tersebut menjadi penting dilakukan. Produksi pellet dan briket adalah salah satu solusi untuk mengatasi hal tersebut. Limbah-limbah kayu berupa potongan kayu, serbuk gergaji, dan kulit kayu bisa diolah menjadi briket dan pellet tersebut. Penjual atau penyedia mesin atau peralatan produksi yang inovatif dan berwawasan lingkungan berkelanjutan akan mengimplementasikan konsep tersebut.

Produksi briket dan pellet selain akan mengatasi masalah limbah juga akan memberikan keuntungan ekonomi. Dengan bahan baku briket dan pellet berasal dari limbah sendiri berarti biaya bahan baku bisa dikatakan nol rupiah sehingga pada akhirnya akan memberikan keuntungan besar. Produksi limbah hingga 1000 ton/bulan sangat cocok untuk produksi briket tersebut, sedangkan jika limbah sangat banyak misalnya 5000 ton/bulan maka produksi pellet lebih disarankan. Briket juga bisa diarangkan untuk menjadi produk briket arang yang banyak permintaan dari Turki, Arab Saudi dan Timur Tengah. Sedangkan pellet kayu (wood pellet) banyak digunakan untuk pembangkit listrik di luar negeri yang kebutuhannya diperkirakan terus meningkat seiring trend dekarbonisasi. Jika penjual mesin produksi atau pengolahan kayu juga menawarkan alat pengolah limbahnya seperti mesin pellet dan mesin bsin briket maka akan memudahkan bagi produsen produk kayu tersebut mengelola industrinya yang berwawasan lingkungan yakni zero waste dan memaksimalkan profit karena semua bagian kayu bisa dimanfaatkan secara optimal. 

Rabu, 03 Juli 2024

PAO dan UCO Menjadi Bio-Jet Fuel

Dekarbonisasi telah masuk ke semua lini termasuk sektor transportasi udara. Bahan bakar pesawat terbang juga harus secara bertahap beralih dari bahan bakar fossil ke bahan bakar  terbarukan yang berkelanjutan. Tetapi dekarbonisasi di sektor ini masih lambat yakni saat ini hanya sekitar 0,01% penggunaan bahan bakar terbarukan berkelanjutan atau SAF (Sustainable Aviation Fuel) secara global untuk pesawat terbang tersebut. Penghalang-penghalang tersebut antara lain technological maturity atau kesiapan teknologi, sertifikasi untuk rute-rute proses konversi atau produksi SAF, scale up dan komersialisasi, gap perbedaan harga dengan bahan bakar fossil, dan kompetisi dengan biofuel sektor transportasi darat. Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA) telah mencanangkan pengurangan emisi GRK untuk penerbangan global. Dengan menggunakan baseline pada 2019, diperkirakan sekitar 2,5 milyar ton emisi CO2 perlu di offset / dikurangi dalam rentang tahun 2021-2035 untuk mencapai pertumbuhan carbon neutral. CORSIA juga merencanakan implementasinya dalam tiga phase yakni pilot phase pada 2021 – 2023, phase pertama pada 2024 – 2026 dan phase kedua pada 2027 – 2035. Partisipasi negara-negara anggota bersifat sukarela (voluntary) pada dua phase pertama (2021-2026) dan wajib (mandatory) pada phase 2027 dan seterusnya, kecuali negara-negara yang paling kurang berkembang, negara-negara berkembang kecil dan negara-negara terkurung daratan.

Hingga saat ini, teknologi HVO / HEFA - SPK (Hydro-processed Esters and Fatty Acids-Synthesized paraffinic kerosene) berbahan baku minyak nabati termasuk minyak limbah adalah satu-satunya teknologi paling siap untuk konversi atau produksi SAF tersebut. Saat ini kesiapan teknologi (technology readiness level / TRL) dan kesiapan bahan baku (feedstock readiness level / FRL) pada level 9, artinya paling siap diantara rute teknologi konversi lainnya. Salah satu kelebihan dari teknologi HVO adalalah fleksibilitas penggunaan berbagai feedstock / bahan baku sehingga minyak limbah seperti PAO atau miko dari kolam pabrik sawit dan juga minyak jelantah atau minyak goreng bekas atau UCO (Used Cooking Oil) juga sangat potensial untuk dikonversi menjadi SAF dengan teknologi HVO tersebut. Tetapi faktanya walaupun dengan teknologi HVO bisa langsung dihasilkan SAF tetapi sebagian besar teknologi HVO tersebut digunakan untuk produksi bahan bakar mesin diesel untuk transportasi darat atau biasa disebut green diesel atau renewable diesel. Green diesel atau renewable diesel tersebut berbeda dengan biodiesel atau biodiesel FAME-based yang diproduksi dengan proses transesterifikasi. Dan green diesel atau renewable diesel dari HVO tersebut juga memiliki sejumlah keunggulan dibanding biodiesel FAME tersebut. 

Produksi dengan HVO juga sebenarnya bukan teknologi baru. Secara global ada sejumlah pabrik berteknologi HVO komersial yang berkapasitas besar yang menggunakan bahan baku dari minyak nabati. Pabrik-pabrik terbesarnya yakni Neste di Rotterdam dan Singapore dengan kapasitas 1,28 milyar liter per tahun dan Diamond Green Diesel di Lousiana yang berkapasitas 1,04 milyar liter per tahun. Produksi HVO lebih dekat dengan teknologi pemurnian minyak bumi daripada produksi diesel konvensional. Hal ini sehingga perusahaan minyak dan gas bumi bisa jadi lebih tertarik mengembangkannya daripada perusahaan sawit maupun perusahaan biodisel konvensional. Pabrik-pabrik sawit memiliki bahan baku / feedstock, sedangkan perusahaan minyak dan gas bumi mungkin akan lebih relevan pada pengembangan hilir tersebut karena kesiapan adaptasi teknologi dan  pengembangan produk akhir.

HVO diproduksi dengan hidrogenasi dan hidrocracking minyak nabati maupun lemak binatang menggunakan hidrogen dan katalis pada suhu dan tekanan tinggi. Pada hydroteating process ini, oksigen dilepaskan dari feedstock yang terdiri dari trigliserida dan / atau asam lemak ini. Hal ini akan menghasilkan hidrokarbon rantai lurus (paraffin) dengan berbagai properti dan ukuran molekul tergantung dari karakteristik bahan baku dan kondisi operasi proses yang dilakukan. Konversi ini biasanya melalui dua tahap yakni hydrotreatment lalu diikuti dengan hydrocracking/isomerisasi. Proses hydrotreatment ini biasanya dilakukan pada suhu 300 -390 C dan untuk treatment trigliserida, biasanya akan dihasilkan propana sebagai produk samping. Produk akhir hidrokarbon rantai lurus tersebut bisa disesuaikan sesuai tipe bahan bakar tertentu misalnya bio jet fuel atau SAF ini.  Saat ini HVO adalah biofuel paling umum ketiga di dunia setelah etanol dan biodiesel FAME. 

PAO dihasilkan sebagai limbah atau produk samping pabrik sawit. PAO akan selalu dihasilkan karena pabrik sawit tidakmungkin mempunyai tingkat efisiensi 100% dan semakin tidak efisien pabrik sawit maka semakin besar minyak yang menjadi limbah atau produk samping berupa PAO tersebut. Diperkirakan saat ini ada 1 juta liter PAO di Indonesia dan 0,5 juta liter di Malaysia atau total mencapai 1,5 juta liter. Sedangkan untuk UCO atau minyak jelantah / minyak goreng bekas dengan penggunaan minyak goreng mencapai 1,55 juta ton/tahun dengan asumsi 10% bisa te-recovery sebagai minyak jelantah atau UCO maka dihasilkan 155 ribu ton/tahun. Selain bagian upaya untuk mengatasi limbah baik di pabrik sawit maupun rumah tangga yang mencemari lingkungan tersebut, produksi SAF atau bio-jet fuel tersebut juga telah berkontribusi pada dekarbonisasi sektor transportasi udara. Dengan teknologi HVO / HEFA yang mampu mengolah minyak limbah seperti PAO dan UCO maka semakin banyak PAO dan UCO bisa diolah akan semakin baik. 

Belajar dari Kesuksesan Industri Wood Pellet di Asia (Vietnam) dan Eropa (Latvia)

Trend penggunaan wood pellet secara global belum lama yakni baru dimulai sekitar awal 2010an dan sejumlah negara meresponnya dengan cepat se...