Rabu, 03 Juli 2024

PAO dan UCO Menjadi Bio-Jet Fuel

Dekarbonisasi telah masuk ke semua lini termasuk sektor transportasi udara. Bahan bakar pesawat terbang juga harus secara bertahap beralih dari bahan bakar fossil ke bahan bakar  terbarukan yang berkelanjutan. Tetapi dekarbonisasi di sektor ini masih lambat yakni saat ini hanya sekitar 0,01% penggunaan bahan bakar terbarukan berkelanjutan atau SAF (Sustainable Aviation Fuel) secara global untuk pesawat terbang tersebut. Penghalang-penghalang tersebut antara lain technological maturity atau kesiapan teknologi, sertifikasi untuk rute-rute proses konversi atau produksi SAF, scale up dan komersialisasi, gap perbedaan harga dengan bahan bakar fossil, dan kompetisi dengan biofuel sektor transportasi darat. Carbon Offsetting and Reduction Scheme for International Aviation (CORSIA) telah mencanangkan pengurangan emisi GRK untuk penerbangan global. Dengan menggunakan baseline pada 2019, diperkirakan sekitar 2,5 milyar ton emisi CO2 perlu di offset / dikurangi dalam rentang tahun 2021-2035 untuk mencapai pertumbuhan carbon neutral. CORSIA juga merencanakan implementasinya dalam tiga phase yakni pilot phase pada 2021 – 2023, phase pertama pada 2024 – 2026 dan phase kedua pada 2027 – 2035. Partisipasi negara-negara anggota bersifat sukarela (voluntary) pada dua phase pertama (2021-2026) dan wajib (mandatory) pada phase 2027 dan seterusnya, kecuali negara-negara yang paling kurang berkembang, negara-negara berkembang kecil dan negara-negara terkurung daratan.

Hingga saat ini, teknologi HVO / HEFA - SPK (Hydro-processed Esters and Fatty Acids-Synthesized paraffinic kerosene) berbahan baku minyak nabati termasuk minyak limbah adalah satu-satunya teknologi paling siap untuk konversi atau produksi SAF tersebut. Saat ini kesiapan teknologi (technology readiness level / TRL) dan kesiapan bahan baku (feedstock readiness level / FRL) pada level 9, artinya paling siap diantara rute teknologi konversi lainnya. Salah satu kelebihan dari teknologi HVO adalalah fleksibilitas penggunaan berbagai feedstock / bahan baku sehingga minyak limbah seperti PAO atau miko dari kolam pabrik sawit dan juga minyak jelantah atau minyak goreng bekas atau UCO (Used Cooking Oil) juga sangat potensial untuk dikonversi menjadi SAF dengan teknologi HVO tersebut. Tetapi faktanya walaupun dengan teknologi HVO bisa langsung dihasilkan SAF tetapi sebagian besar teknologi HVO tersebut digunakan untuk produksi bahan bakar mesin diesel untuk transportasi darat atau biasa disebut green diesel atau renewable diesel. Green diesel atau renewable diesel tersebut berbeda dengan biodiesel atau biodiesel FAME-based yang diproduksi dengan proses transesterifikasi. Dan green diesel atau renewable diesel dari HVO tersebut juga memiliki sejumlah keunggulan dibanding biodiesel FAME tersebut. 

Produksi dengan HVO juga sebenarnya bukan teknologi baru. Secara global ada sejumlah pabrik berteknologi HVO komersial yang berkapasitas besar yang menggunakan bahan baku dari minyak nabati. Pabrik-pabrik terbesarnya yakni Neste di Rotterdam dan Singapore dengan kapasitas 1,28 milyar liter per tahun dan Diamond Green Diesel di Lousiana yang berkapasitas 1,04 milyar liter per tahun. Produksi HVO lebih dekat dengan teknologi pemurnian minyak bumi daripada produksi diesel konvensional. Hal ini sehingga perusahaan minyak dan gas bumi bisa jadi lebih tertarik mengembangkannya daripada perusahaan sawit maupun perusahaan biodisel konvensional. Pabrik-pabrik sawit memiliki bahan baku / feedstock, sedangkan perusahaan minyak dan gas bumi mungkin akan lebih relevan pada pengembangan hilir tersebut karena kesiapan adaptasi teknologi dan  pengembangan produk akhir.

HVO diproduksi dengan hidrogenasi dan hidrocracking minyak nabati maupun lemak binatang menggunakan hidrogen dan katalis pada suhu dan tekanan tinggi. Pada hydroteating process ini, oksigen dilepaskan dari feedstock yang terdiri dari trigliserida dan / atau asam lemak ini. Hal ini akan menghasilkan hidrokarbon rantai lurus (paraffin) dengan berbagai properti dan ukuran molekul tergantung dari karakteristik bahan baku dan kondisi operasi proses yang dilakukan. Konversi ini biasanya melalui dua tahap yakni hydrotreatment lalu diikuti dengan hydrocracking/isomerisasi. Proses hydrotreatment ini biasanya dilakukan pada suhu 300 -390 C dan untuk treatment trigliserida, biasanya akan dihasilkan propana sebagai produk samping. Produk akhir hidrokarbon rantai lurus tersebut bisa disesuaikan sesuai tipe bahan bakar tertentu misalnya bio jet fuel atau SAF ini.  Saat ini HVO adalah biofuel paling umum ketiga di dunia setelah etanol dan biodiesel FAME. 

PAO dihasilkan sebagai limbah atau produk samping pabrik sawit. PAO akan selalu dihasilkan karena pabrik sawit tidakmungkin mempunyai tingkat efisiensi 100% dan semakin tidak efisien pabrik sawit maka semakin besar minyak yang menjadi limbah atau produk samping berupa PAO tersebut. Diperkirakan saat ini ada 1 juta liter PAO di Indonesia dan 0,5 juta liter di Malaysia atau total mencapai 1,5 juta liter. Sedangkan untuk UCO atau minyak jelantah / minyak goreng bekas dengan penggunaan minyak goreng mencapai 1,55 juta ton/tahun dengan asumsi 10% bisa te-recovery sebagai minyak jelantah atau UCO maka dihasilkan 155 ribu ton/tahun. Selain bagian upaya untuk mengatasi limbah baik di pabrik sawit maupun rumah tangga yang mencemari lingkungan tersebut, produksi SAF atau bio-jet fuel tersebut juga telah berkontribusi pada dekarbonisasi sektor transportasi udara. Dengan teknologi HVO / HEFA yang mampu mengolah minyak limbah seperti PAO dan UCO maka semakin banyak PAO dan UCO bisa diolah akan semakin baik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...