Trend sustainibility pada perkebunan sawit semakin penting dan urgen, yang itu tentu saja bagian dari solusi global masalah lingkungan dan iklim. Luasnya perkebunan sawit dan besarnya produksi minyak sawit menjadi sorotan pada industri tersebut. Pengelolaan limbah dan pencemaran lingkungan menjadi concern penting. Besarnya volume limbah biomasa berpotensi menjadi sumber pencemaran lingkungan dan demikian juga penggunaan pupuk kimia yang berlebihan pada perkebunan sawit yang akan menyebabkan pencemaran lingkungan juga. Peruntukan lahan yang tidak semestinya misalnya deforestasi alih fungsi lahan juga menjadi concern lainnya.
Dua isu penting pada industri sawit adalah peningkatan produktivitas TBS (yield improvement) dan ketahanan perubahan iklim (climate change resilience). Dan alhamdulillah, kedua hal tersebut bisa sekaligus ditangani yakni dengan aplikasi biochar. Limbah biomasa pabrik sawit (khususnya tankos sawit) akan dikonversi menjadi biochar lalu diaplikasikan untuk tanah perkebunan (sustainable soil amendment) dengan pupuk sehingga menjadi slow release fertilizer yang akan meningkatkan NUE (nutrient use efficiency) dan meminimalisir pencemaran lingkungan. Dengan naiknya NUE maka akan terjadi yield improvement atau peningkatan produduktivitas TBS tersebut. Dan aplikasi biochar tersebut yang akan bertahan di tanah atau tidak terdekomposisi selama ribuan tahun akan menjadi carbon sequestration / carbon sink yang sejalan dengan ketahanan perubahan iklim. Sebuah solusi jitu dengan sekali aksi, tentu ini semestinya sangat menarik dan dinanti-nantikan oleh perusahaan-perusahaan sawit tersebut.
Untuk memastikan bahwa biochar tersebut bisa bekerja semestinya dibutuhkan suatu instrument untuk mengukur perfoma dan memantaunya. Untuk itulah IoT (Internet of things) pada sektor ini dibutuhkan. Seberapa lambat nutrisi pupuk lepas (how slow can you go) bisa diukur dan dipantau secara akurat, cepat dan tepat. Dengan cara ini pula produktivitas sawit bisa diprediksi. Luasan lahan pada perkebunan sawit yang mencapai ribuan atau puluhan ribu hektar juga bukan menjadi halangan. Luas lahan perkebunan sawit Indonesia yang saat ini diperkirakan mencapai 17 juta hektar dan di Malaysia yang mencapai 5 juta hektar, tentu perusahan-perusahaan sawit tersebut juga berupaya mencapai level sustainibility terbaiknya sesuai tuntutan zamannya. Hal ini sehingga aplikasi biochar pada perkebunan sawit ini akan menjadi trend bahkkan standar operasionalnya. Entry point dengan memastikan performance biochar dengan IoT menjadi pertimbangan penting.
Aplikasi biochar ini juga mengikuti aturan 4Rs yakni right source (bahan baku biochar yang sesuai), right place (area aplikasi yan tepat), right rate (takaran atau dosis yang tepat) dan right timing (waktu yang tepat). Sifat-sifat fisika dan kimia biochar berbeda tergantung pada bahan baku dan proses produksinya. Dengan mengikuti aturan 4R tersebut maka performa biochar bisa dimaksimalkan. Di sisi lain modernisasi pada industri sawit juga terus ditingkatkan. Persepsi masyarakat pekerjaan di perkebunan sawit yang disingkat 3D (dangerous, difficult, dirty) akan bertahap diubah dengan mekanisasi, otomatisasi dan digitalisasi. Rasio pekerja terhadap lahan kebun saat ini yang berkisar 1 : 8 ha akan ditingkatkan menjadi dua kali lipat lebih menjadi 1 : 17,5 ha dengan modernisasi di atas sehingga upah pekerja juga bisa ditingkatkan. Modernisasi tersebut diharapkan akan bisa membantu mengatasi kedua isu penting di atas dengan aplikasi biochar tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar