Rabu, 28 Agustus 2024

Biochar Solusi Deforestasi Pada Perkebunan Sawit dan EUDR

Perkembangan industri sawit dan perkebunannya di Indonesia sangat pesat terutama 10 tahun terakhir dan saat ini diperkirakan luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 17 juta hektar. Sebagai tanaman penghasil minyak nabati terbesar di dunia dan luas perkebunan sawitnya juga terbesar di dunia, tentu saja kelapa sawit memiliki nilai strategis dalam perekonomian Indonesia. Rata-rata kecepatan luas perkebunan sawit Indonesia adalah 6,5% per tahun atau ekuivalen sekitar 1 juta hektar per tahun untuk 5 tahun terakhir, sedangkan peningkatan produksi buah kelapa sawit atau TBS (tandan buah segar) rata-rata hanya 11%.

Bahkan perluasan lahan terbesar terjadi pada tahun 2017 yakni bertambah seluas 2,8 juta hektar. Dari tahun 2015 hingga tahun 2019, total luas areal kelapa sawit bertambah seluas 3,7 juta hektar. Ekstensifikasi atau perluasan kebun sawit tersebut ternyata banyak "dituduh" dan menjadi sorotan dunia sebagai dari alih fungsi lahan hutan, sehingga banyak terjadi penggundulan hutan (deforestasi) untuk selanjutnya diubah menjadi perkebunan sawit. 

Tekanan dari Uni Eropa khususnya, akibat kondisi tersebut memperburuk citra minyak sawit Indonesia yang selanjutnya berpengaruh kepada harga jual minyak sawit baik CPO dan produk turunannya tersebut. Memperbaiki citra tersebut memang juga tidak mudah. Salah satu upaya yang efektif adalah menghentikan upaya ekstensifikasi tersebut sehingga lahan hutan tetap menjadi lahan hutan dan tidak berubah menjadi kebun sawit. European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) yang mulai berlaku 30 Desember 2024 sebagai upaya mencegah deforestasi turut menjadi pertimbangan penting. Peraturan tersebut mewajibkan konsumen dan produsen yang berada di sepanjang rantai pasokan komoditas tertentu untuk melakukan uji tuntas dan penilaian risio untuk memastikan bahwa produk mereka tidak berkontribusi terhadap deforestasi. EUDR ini juga menerapkan sistem inspeksi dan penalti berjenjang berdasarkan tingkat risiko yang dirasakan di negara asal. 

Dengan ekstensifikasi lahan sawit lebih dari 1 juta per hektar setiap tahunnya tetapi kenaikan produksi buah sawit hanya 11% tentu kurang menarik dan harus dihindari apalagi ditambah sorotan dunia tentang deforestasi yang semakin kencang tersebut. Hal ini juga semakin mengindikasikan tentang rendahnya produktivitas perkebunan sawit tersebut. Padahal dengan memperbaiki kualitas tanah produktivitas buah sawit bisa dinaikkan secara signifikan dan pembukaan lahan baru untuk pembuatan kebun sawit bisa dihindari. Limbah-limbah biomasa di perkebunan sawit maupun di pabrik sawit bisa digunakan untuk produksi biochar sebagai solusi masalah tersebut.

Dengan peningkatan produktivitas tandan buah segar (TBS) dengan penggunaan biochar tersebut, maka perkebunan sawit baru tidak perlu dibuka lagi. Dengan asumsi terjadi kenaikkan produktivitas rata-rata 20% maka produksi CPO juga meningkat 20% atau setara 2 juta ton. Peningkatan tersebut akan setara untuk pembukaan lahan baru seluas lebih dari 2 juta hektar. Tentu bukan luas tanah yang kecil. Dengan peningkatan produksi 20% tersebut besar kemungkinan besar kebutuhan nasional untuk kebutuhan khususnya CPO telah terpenuhi dan begitu juga untuk pasar export. Keuntungan lain dari penggunaan biochar ini adalah sebagai solusi iklim sebagai carbon sequestration/carbon sink. Jadi dua permasalah utama pada industri sawit berupa peningkatan produktivitas dan ketahanan perubahan iklim bisa diatasi sekaligus dengan aplikasi biochar tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...