Trend dekarbonisasi terus berjalan pada semua sektor khususnya pada industri-industri strategis seperti industri energi, industri besi dan baja serta industri alat-alat transportasi. Kontribusi sejumlah industri tersebut dalam menghasilkan emisi CO2 yang menambah konsentrasi di atmosfer (carbon positive) sangat signifikan yakni industri energi khususnya pembangkit listrik menyumbang 27,45%, industri baja menyumbang 8%, dan dari industri sektor transportasi 24%. Dengan estimasi total emisi CO2 dari bahan bakar fossil pada tahun 2024 sebesar 36,3 giga ton (36,3 milyar metrik ton), maka kontribusi industri besi dan baja sekitar 2,9 giga ton (2,9 milyar metrik ton).
Pada industri baja kondisi carbon neutral production akan dicapai ketika produksi besi dan baja pada industri tersebut 100% menggunakan energi terbarukan. Penggunaan tungku listrik (EAF/Electric Arc Furnace) bisa dilakukan sepanjang listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan. Tetapi penggunaan EAF yang masih menggunakan listrik dari bahan bakar fosil bisa sebagai media transisi sebelum 100% carbon neutral production karena emisi CO2 yang lebih kecil dibanding blast furnace dari kokas yang berasal dari batubara. Emisi CO2 dari blast furnace tersebut sekitar 2,33 ton untuk setiap crude iron / pig iron sedangkan dengan EAF tersebut hanya sekitar 0,66 ton untuk setiap ton crude steel. Bahan baku yang diolah dengan EAF adalah steel scrap dan sekitar 80% steel scrap saat ini didaur ulang dengan EAF. Secara global produksi baja dengan EAF mencapai sekitar 22%.
Dan faktanya memang saat ini untuk mencapai tujuan tersebut masih jauh karena pembangunan blast furnace – basic oxygen furnace (BF -BOF) masih banyak dilakukan, yang seharusnya adalah EAF (Electric Arc Furnace) atau saat ini hanya sekitar 30% secara global industri besi dan baja menggunakan EAF ini. Pembangunan blast furnace-blast furnace baru tersebut memang cenderung meningkat yang faktanya yakni pada pertengahan 2024 sekitar 207 juta ton per tahun produksi baru telah diumumkan dan sekitar 100 juta ton per tahun dalam tahap pembangunan.
Hampir semua emisi CO2 pada sektor produksi baja berasal dari blast furnace (BF) untuk pemunrnian bijih besi (iron ore) menjadi crude iron atau pig iron. Tantangannya sangat besar yakni ada sekitar 1.850 pabrik baja didunia dengan sekitar 1.000 pabrik tersebut menggunakan blast furnace, dengan produksi pig iron mencapai sekitar 1,5 milyar ton per tahun. Bahkan organisasi Asosiasi Energi Internasional (IEA / International Energy Association) menyoroti tentang masalah kritis ini untuk mencapai target Paris Agreement’s net-zero pada tahun 2050. Dengan rata-rata umur pakai blast furnace 20 tahun maka upaya industri besi dan baja untuk mencapai target harus dirumuskan dan diprogramkan dengan baik. Bahkan apabila upaya penggantian blast furnace tidak mengikuti target waktu tersebut maka akan menjadikan pencapaian net zero emission 2050 dalam bahaya.
Hal ini sehingga penggunaan arang atau charcoal untuk menggantikan kokas dari batubara di blast furnace menjadi penting. Arang yang berasal dari biomasa adalah material terbarukan yang berkelanjutan sebagai reduktor atau bahan bakar di blast furnace sehingga dari reaksi kimia akan memisahkan atom oksigen dari atom besi dan ini akan mengemisikan CO2. Hal ini akan mengubah bijih besi (iron ore) (Fe2O3) menjadi crude (pig) iron. Tetapi bedanya karena sumber karbon sebagai reduktor atau bahan bakar blast furnace berasal dari sumber terbarukan dan berkelanjutan maka hal tersebut menjadi proses yang carbon neutral. Sedangkan apabila menggunakan kokas dari batubara karena berasal dari sumber fossil maka hal tersebut menjadi proses carbon positive. Demikian juga apabila menggunakan gas alam sebagai sumber karbon untuk reduktor atau bahan bakar di blast furnace tersebut.
Tetapi jika menggunakan hidrogen dari sumber energi terbarukan (green hydrogen) sebagai reductor di blast furnace maka tidak dihasilkan emisi karbon tetapi berupa uap air (H2O), sehingga juga merupakan proses carbon neutral, tetapi hal ini masih butuh lama, diprediksi hingga beberapa puluh tahun ke depan untuk implementasinya. Dan untuk menghasilkan proses yang carbon negative maka pabrik besi dan baja yang sudah beroperasi secara carbon neutral tersebut harus dipasang perangkan CCS (Carbon Capture and Storage), tentu akan menjadi tahap lanjutan selanjutnya. Selain itu penggunaan energi terbarukan sebagai sumber energi EAF juga menjadi semakin penting dan harus dipercepat, yang ini seharusnya juga sejalan dengan penggunaan bio-graphite pada EAF tersebut.
Penggunaan EAF di pabrik besi dan baja diperkirakan mencapai 550 unit di seluruh dunia dengan produksi baja mencapai sekitar 548 juta ton atau sekitar 30% dari produksi baja dunia yang mencapai sekitar 1,8 milyar ton pada tahun 2024. Penggunaan EAF membutuhkan elektrode graphite dan setiap ton baja yang diproduksi membutuhkan rata-rata 3 kg graphite. Sumber graphite saat ini hampir semua berasal dari sumber fossil sehingga menjadi sumber emisi karbon (carbon positive) dan juga saat ini sekitar 80% suplai graphite dunia berasa dari China. Dengan produksi baja dari EAF sebesar 548 juta ton maka kebutuhan graphite per tahun mencapai lebih 1,6 juta ton. Setiap ton produksi graphite dari bahan fossil mengeluarkan emisi CO2 sebesar 17 – 40 ton.
Hal ini sehingga penggunaan biographite menjadi penting karena emisi CO2 bersifat carbon neutral. Produksi biographite berasal dari biochar atau arang yang melalui proses pemurnian khusus , biochar atau arang tersebut diubah menjadi graphite dengan kemurnian tinggi yang cocok untuk elektroda EAF tersebut. Penggunaan biographite dilakukan karena selain faktor emisi CO2 di atas juga karena faktor teknis berupa kekuatan, kepadatan dan konduktivitas. Graphite yang ditambang secara alami tidak mampu mencapai spesifikasi teknis tersebut, sedangkan graphite sintetik dari bahan fossil tidak ramah lingkungan dan tergantung dari import. Hal inilah daya dorong untuk produksi biographite tersebut.
Kebutuhan akan biochar atau arang untuk reduktor di BF akan sangat besar, sedangkan untuk biographite sebagai elektrode EAF tidak sebesar pada BF. Hal ini sehingga penting untuk mendapatkan sumber bahan baku biomasa sebagai sumber biochar atau arang tersebut dalam volume yang mencukupi, kualitas yang baik dan berkelanjutan. Hal yang sama juga dari sisi produksi biochar atau arang yang terutama menggunakan teknologi pirolisis / karbonisasi, juga harus mampu menghasilkan produk dengan kualitas dan kuantitas yang memadai, berkelanjutan dan proses produksi yang memiliki produktivitas tinggi, efisien dan ramah lingkungan. Biochar atau arang dengan spesifikasi dengan minimal 85% fixed carbon dan konversimonimal 30% sebagai acuan untuk memilih teknologi pirolisis tersebut.
Selain dari kelompok limbah biomasa seperti limbah kehutanan dan limbah perkebunan, kebun - kebun energi secara khusus juga bisa dibuat untuk maksud tersebut, lebih detail baca disini. Kebun – kebun energi tersebut juga mesti dibuat sesuai peruntukkan lahan dan luasan kebun monokultur kebun energi yang sesuai dengan perencanaan dan prosedur yang benar, dan juga teknologi pirolisis /karbonisasi yang efisien, dan ramah lingkungan. Hal ini supaya tidak terjadi seperti di Brazil yakni di negara bagian Minas Gerais. Akibat luasnya kebun monokultur eucalyptus yang produk kayunya sebagian besar untuk produksi arang untuk pabrik besi dan baja telah menimbulkan berbagai dampak buruk bagi lingkungan.Brasil adalah produsen arang terbesar di dunia dan menghasilkan 5,2 juta ton pada tahun 2017, 90% di antaranya digunakan oleh industri besi dan baja, dengan 80% arang diproduksi dari kayu perkebunan.
Sekitar 70% produksi besi dan baja Brasil terjadi di negara bagian Minas Gerais, dan sektor ini unik karena 34% produksi besi menggunakan arang, bukan kokas mineral/batu bara, dan arang juga banyak digunakan dalam produksi baja. Secara historis, hal ini terjadi karena kurangnya kokas mineral di Brasil, tetapi hutan yang melimpah untuk menghasilkan arang. Di Minas Gerais saat ini terdapat sembilan pabrik baja dan 41 pabrik besi yang menghasilkan 3,1 juta ton crude iron pada tahun 2018, yang sekitar 50% di antaranya diekspor. Pada tahun 2018, Brasil memiliki 5,7 juta hektar kebun eucalyptus, dan Minas Gerais terus memiliki area perkebunan terbesar di negara tersebut, mencakup 24% (1,4 juta hektar) dari eucaliptus Brasil. Bahkan perusahaan-perusahaan besi dan baja tersebut juga memiliki perkebunan eucalyptus sebagai upaya untuk mengamankan pasokan arang untuk pabrik besi dan bajanya. Sedangkan di Indonesia juga ada potensi lahan sangat luas bahkan hingga ratusan juta hektar untuk kebun energi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar