Matahari adalah sumber energi bagi makhluk hidup di bumi. Matahari adalah sumber energi yang sangat melimpah, gratis dan tidak akan habis kecuali pada saat kiamat tiba. Kata matahari disebut sebanyak 25 kali di Al Qur’an dan menjadi salah satu nama surat yang Allah diabadikan dalam Al Qur’an. Ini menunjukkan bahwa Allah ingin memberikan isyarat bahwa ada yang perlu digali oleh manusia melalui asy-syams atau matahari. Pemanfaatan matahari untuk produksi listrik menjadi perhatian dan fokus para ilmuwan di seluruh dunia. Dan terkhusus ilmuwan muslim dengan adanya motivasi ilahiah dari Al Qur’an tersebut semestinya menjadi motivasi sebagai daya dorong untuk meneliti dan mengimplementasikannya, apalagi di era dekarbonisasi atau subtitusi energi fossil ke energi terbarukan untuk mengatasi masalah perubahan iklim dan pemanasan global maka daya dorong tersebut terasa semakin kuat.
Ibrahim Abdul Matin (2012), seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, dalam bukunya Green Deen : What Islam Teaches about Protecting the Planet menyebut energi baru terbarukan sebagai energy from heaven (energi dari surga). Energi dari surga menurutnya adalah energi berasal dari atas, yakni energi tersebut tidak diekstrak (dikeruk) dari dalam bumi, dan dapat diperbaharui (renewable). “Ekstraksi menyebabkan ketidakseimbangan (penyebab perubahan iklim), sedangkan energi dari atas itu laksana dari surga.”
Dalam tataran praktis atau implementasi telah banyak pemanfaatan energi matahari menjadi listrik. Manusia ditantang untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaik sehingga bisa memanen atau memanfaatkan sumber energi matahari tersebut secara maksimal. Bahkan peran teknologi dan infrastruktur pendukung telah banyak dijadikan sebagai senjata andalan untuk mengatasi permasalahan perubahan iklim dan pemanasan global tersebut. Dan dalam prakteknya tidak semua implementasi teknologi tersebut sukses dan mendapat keuntungan financial yang besar. Ivanpah project di California, USA salah satunya, proyek produksi listrik dengan pemanfaatan panas sinar matahari dengan teknologi CSP (Concentrated Solar Plant) tersebut gagal meraih tujuan bisnisnya dan kalah bersaing dengan teknologi pemanfaatan energi matahari dengan Solar PV (photovoltaic) yang lebih mudah dan murah.
Teknologi CSP atau solar thermal technology tersebut menggunakan cermin-cermin untuk mengkonsentrasikan sinar matahari sehingga menghasilkan panas untuk memproduksi steam untuk menggerakkan turbine sehingga menghasilkan listrik. Sedangkan pada solar PV, maka panel-panel surya tersebut akan sinar matahari secara langsung menggunakan bahan semikonduktor. Ivanpah project yang menelan biaya 2,2 milyar USD (lebih dari 35 trilyun rupiah) menjadi pil pahit pengembangan teknologi pemanfaatan energi matahari tersebut. Perusahaan Pacific Gas & Electric (PG&E) sebagai pembeli utama bahkan memutuskan kontrak jangka panjang (PPA / Power Purchase Agreement) pembelian listrik dari kesepakatan sebelumnya selama 14 tahun dari Ivanpah project tersebut sehingga 2 dari 3 unitnya terpaksa dihentikan operasi. Hal ini karena Ivanpah project dengan teknologi CSP tidak mampu menghasilkan performa atau kinerja yang memadai bahkan untuk operasionalnya masih dengan tambahan gas alam.
Untuk pembangkit listrik dengan solar PV, China saat ini pemimpin atau produsen terbesar di dunia listrik tenaga surya. Ambisi China adalah membuat “solar great wall” (tembok raksasa panel surya) yang dirancang mampu memenuhi kebutuhan energi Beijing. Proyek multi years itu diperkirakan selesai tahun 2030 dan akan memiliki panjang 400 kilometer (250 mil), lebar 5 kilometer (3 mil), dan mencapai kapasitas pembangkit maksimum 100 gigawatt. Sedangkan saat ini proyek tersebut dikabarkan telah mencapai kapasitas 5,4 gigawatt. Sejak 2024, China memimpin dunia dalam produksi listrik dari panel surya. Per Juni 2024, China memimpin dunia dalam mengoperasikan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dengan 386.875 megawatt, mewakili sekitar 51 persen dari total global, menurut Global Solar Power Tracker dari Global Energy Monitor. Amerika Serikat berada di peringkat kedua dengan 79.364 megawatt (11 persen), diikuti oleh India dengan 53.114 megawatt (7 persen).
Pada beberapa dekade mendatang diprediksi penggunaan baterai berkapasitas besar hingga beberapa MW pada pembangkit listrik solar PV umum digunakan. Dengan adanya baterai tersebut sehingga pembangkit listrik solar PV bisa tetap menyalurkan energi listriknya ketika malam hari ataupun ketika mendung. Riset pengembangan baterai tersebut terus berlangsung, sehingga akan lebih baik apabila sejumlah komponen baterai tersebut juga berasal dari sumber terbarukan seperti elektrode yang digunakan dari bio-graphite (yang berbahan baku biochar), bukan graphite sintetis yang berasal dari sumber fossil yang saat ini juga didominasi oleh China.
Faktor iklim dan cuaca sangat berpengaruh pada operasional pembangkit listrik solar PV. Ketika terjadi masalah cuaca seperti terjadi mendung berhari-hari sehingga matahari tidak bersinar maka produksi listrik terkendala atau kondisi intermittent. Dan apalagi penggunaan baterai kapasitas besar tersebut juga belum terjadi dan butuh waktu cukup lama. Hal ini sehingga sumber energi terbarukan yang siap kapan saja dan tidak terpengaruh cuaca sangat dibutuhkan. Sumber energi biomasa seperti wood pellet adalah tipe sumber energi tersebut. Sumber energi terbarukan berasal dari tanaman (bio-energi) tersebut juga sejalan dengan QS. Yaasin (36) : 80. Untuk menghasilkan sumber energi tersebut baik seperti batang kayu, buah, biji ataupun bagian lain dari tumbuhan tersebut, tumbuhan melakukan photosintesa. Selain dibutuhkan air dan karbondioksida (CO2), proses photosintesa ini membutuhkan sinar matahari. Matahari sangat penting sebagai sumber energi bagi makhluk hidup khususnya bagi tumbuhan tersebut. Sumber energi terbarukan dari biomasa (bio-energi) tersebut ibarat “green battery” yang sangat potensial sebagai sarana juga menangkap energi matahari, dan untuk lebih detail silahkan baca disini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar