Rabu, 20 Agustus 2025

Produksi Kompos dengan Biochar untuk Peningkatkan Kualitas Produk Kompos dan Keuntungan Usaha

Walaupun produksi kompos dan biochar sama-sama memanfaatkan dan mendaur ulang (recycle) limbah organik tetapi ada beberapa perbedaan yakni produksi kompos dengan fermentasi aerob yang merupakan rute biologi sedangkan produksi biochar dengan pirolisis yang merupakan rute thermal. Selain itu terkait bahan baku, untuk produksi kompos bahan yang ideal memiliki kadar air 60 – 70%, memiliki kandungan hara tinggi dan kandungan lignin yang rendah seperti sisa makanan dan kotoran hewan. Sebaliknya untuk produksi biochar bahan baku yang ideal memiliki kadar air 10-20% dan kandungan lignin yang tinggi seperti biomasa kayu-kayuan. 

Sejumlah riset terkini menyatakan bahwa penambahan biochar pada proses pengomposan akan membuat proses pengomposan lebih cepat, mengurangi emisi GRK seperti metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O), mengurangi kehilangan amonia (NH3), menambah aerasi dan mengurangi kepadatan kompos, serta mengurangi terjadinya bau. Sedangkan untuk biochar itu sendiri tidak rusak atau terdekomposisi / terurai pada proses pengomposan tersebut tetapi memperkaya biochar dengan berbagai unsur hara.

Untuk bisa mendapatkan proses dan hasil terbaik, dosis biochar juga harus sesuai dengan jumlah bahan organik bahan baku kompos tersebut. Penggunaan biochar terlalu banyak malah akan mengganggu proses biodegradasi pengomposan ataupun jika biochar yang digunakan terlau sedikit maka efek - efek positif seperti yang disebutkan di atas tidak terasa atau tidak terjadi. Dengan dosis biochar yang sesuai biochar dapat mempercepat proses pengomposan. Hal ini terjadi karena homogenitas dan struktur campuran meningkat serta menstimulasi aktivitas mikroba pada proses pengomposan tersebut. 

Peningkatan aktivitas mikroba tersebut akan membuat suhu meningkat dan membuat waktu pengomposan lebih cepat. Berdasarkan sejumlah penelitian dosis 5% sampai 10% volume biochar pada saat awal pengomposan akan mempercepat proses pengomposan 20%. Dengan rata-rata produksi kompos memakan waktu 2 bulan (9 pekan) , dengan penambahan biochar dengan dosis tersebut di atas, maka pengomposan bisa lebih cepat 20% atau hanya menjadi sekitar 1,6 bulan (7 pekan). Dengan waktu produksi lebih pendek dan kualitas kompos lebih baik dengan tambahan biochar, maka harga jual kompos bisa lebih tinggi atau mungkin setara kompos premium. Hal tersebut sehingga bisa menutupi biaya penambahan biochar pada produksi kompos tersebut. 

Pori-pori biochar akan mengurangi bulk density dari kompos dan membantu aerasi saat pengomposan. Untuk bahan baku kompos yang kaya nitrogen (N) seperti kotoran ternak, penambahan biochar bisa mengurangi kehilangan N sewaktu pengomposan, khususnya NH3. Munculnya bau tidak enak tersebut karena lepasnya NH3 selama pengomposan sehingga karena alasan inilah banyak pembangunan fasilitas pengomposan ditolak warga masyarakat. Pada penelitian penambahan 20% biochar (mass basis) pada kotoran ayam mengurangi konsentrasi NH3 pada emisi gas hingga 64% dan kehilangan N hingga 52% tanpa mengakibatkan pengaruh negatif pada proses pengomposan. 

Pada penggunaannya kompos akan terdekomposisi dengan nutrisi / unsur hara terserap di tanaman, sedangkan biochar akan bertahan lama di tanah bahkan hingga ratusan tahun. Hal ini membuat biochar menjadi solusi jangka panjang untuk perbaikan kualitas tanah. Penggunaan biochar pada kompos akan memberi manfaat ganda, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Manfaat jangka pendek sebagai pupuk organik, sedangkan manfaat jangka panjang perbaikan atau stabilisasi kualitas tanah serta sebagai carbon sequestration. CO2 yang diserap melalui photosintesa akan menjadi biomasa atau bahan organik sebagai bahan baku biochar dan karbon dalam biochar tidak akan terurai hingga ratusan tahun atau tidak lepas ke atmosfer selama masa tersebut. 

Belum ada data yang menunjukkan jumlah kalkulasi produksi kompos di Indonesia per tahun Namun, potensi produksi kompos dari sampah organik domestik sangat besar, mencapai sekitar 60% dari total timbuan sampah nasional yang mencapai lebih dari 60 juta ton per tahun atau lebih dari 36 juta ton sampah organik sebagai bahan baku kompos. Ada sejumlah pihak yang melakukan produksi kompos di berbagai daerah di Indonesia baik pemerintah maupun swasta yang berkontribusi dalam produksi kompos, dengan kapasitas produksi bervariasi. Dengan bahan baku bahan organik yang sangat melimpah (lebih dari 36 juta ton/tahun) tersebut produksi kompos yang diperkaya biochar bisa dilakukan sehingga memaksimalkan kualitas kompos dan manfaat-manfaat lainnya. 

Hal ini bisa dilakukan dengan membuat unit produksi biochar atau pemasangan unit pirolisis di lokasi sumber sampah organik tersebut. Bahan baku limbah organik yang kurang cocok untuk kompos bisa digunakan untuk produksi biochar. Sejumlah perusahaan sudah berencana melakukan hal tersebut. Artikel terkait baca disini

Rabu, 13 Agustus 2025

Gerakan Replanting Kebun Sawit dan Pemanfaatan Limbah Biomasanya

Pohon sawit mulai kehilangan produktivitas setelah 20 tahun dan perlu diganti setelah 25 tahun, sementara pohon baru membutuhkan waktu sekitar 4 tahun untuk mulai berbuah. Hal itu pada umumnya menjadikan lahan tidak produktif selama rentang waktu 4 tahun tersebut dan ini yang membuat petani enggan melakukan peremajaan sawitnya (replanting). Tetapi dengan tumpang sari masa tersebut bisa tetap memberi keuntungan bagi petani. Menanam tanaman berumur pendek seperti padi gogo dan jagung, di samping kelapa sawit dapat membantu petani memperoleh penghasilan tambahan sambil menunggu pohon kelapa sawit berbuah dan tumbuh dewasa. 

Pada tahun 2024 Malaysia sebagai produsen kelapa sawit terbesar kedua di dunia dan mulai menerapkan intensifikasi lahan karena luas lahan yang terbatas, hanya melakukan penanaman kembali (replanting) 2% atau sekitar 114.000 hektar saja. Padahal negara tersebut mentargetkan 5% lahan bisa dilakukan replanting kebun sawit tersebut. Kondisi di Indonesia juga tidak jauh berbeda, bahkan diprediksi replanting yang dilakukan kurang dari 2%. Dan misalkan jika hanya 1,5%  atau sekitar 246.000 hektar melakukan replanting maka sangat tidak proporsional dengan luas lahan sawitnya yang hampir 3 kali luas lahan sawit Malaysia. Selain itu replanting semestinya dilakukan secara periodik setiap tahun untuk menghasilkan performa produksi sawit yang optimal. 

 

Dampak keengganan atau lambatnya replanting tersebut berdampak pada penurunan produksi minyak mentah sawit atau CPO secara nasional. Bahkan produksi minyak sawit Malaysia stagnan lebih dari dekade lalu akibat keterbatasan lahan untuk perkebunan baru dan dan lambatnya penanaman kembali (replanting) tersebut. Sementara di Indonesia kekhawatiran terhadap deforestasi juga berpengaruh terhadap perluasan lahan untuk perkebunan sawit baru. Dan produksi minyak mentah sawit atau CPO akan semakin menurun lagi apabila ditambah faktor kekuragan tenaga kerja dan penyebaran jamur ganoderma yang mengurangi hasil panen.

Dengan kondisi di atas maka gerakan replanting kebun sawit harus digalakkan sehingga produksi minyak sawit bisa dipertahankan atau bahkan ditingkatkan. Masalah limbah biomasa dari pohon sawit yang mencapai ribuan hektar juga menjadi tantangan tersendiri. Dengan volume pohon sawit tua yang sangat besar maka pemanfaatan menjadi produk yang bernilai tambah penting dilakukan.   Dengan rata-rata setiap hektar kebun sawit terdiri 125 pohon dan setiap pohonnya memiliki rata-rata berat kering 2 ton, maka per hektar di dapat 250 ton berat kering biomasa. Untuk luasan 10 ribu hektar menjadi 2,5 juta ton berat kering dan untuk luasan 100 ribu hektar berarti mencapai 25 juta ton berat kering. Atau jika perkiraan optimis Indonesia bisa melakukan 5% replanting atau 820 ribu hektar berarti ada 205 juta ton berat kering biomasa dan juga Malaysia dengan 5% replanting atau 285 ribu hektar akan dihasilkan 71,25 juta ton berat kering.  

Faktor kesiapan bisnis ditinjau dari teknologi dan pasar atau pengguna produk tersebut perlu dikaji secara seksama. Dengan volume yang sangat besar tersebut maka pabrik atau industri pengolahan biomasa bisa didirikan dan beroperasi secara maksimal, tanpa khawatir kekurangan bahan baku. Produk-produk seperti pellet, briquette dan biochar dari limbah biomasa batang sawit tua tersebut. Batang sawit tua yang mati dan biasa ditinggal begitu saja di lahan semestinya dimanfaatkan untuk menjadi produk-produk yang bermanfaat dan bernilai tambah tersebut.    

Senin, 11 Agustus 2025

Firelog, Igniter Briquette Produk Unik dan Spesifik untuk Pengguna Wood Briquette

Penggunaan bahan bakar biomasa untuk pemanas ruangan sudah sangat lama, dari perapian sederhana (open fireplace) sampai kompor otomatis yang dilengkapi IoT (Internet of Things). Dari kayu bakar yang dikumpulkan dari hutan hingga penggunaan wood pellet maupun (dalam skala lebih kecil) yakni wood briquette. Daya dorong terkait dekarbonisasi, perubahan iklim dan lingkungan turut berperan kuat pada penggunaan bahan bakar biomasa khususnya wood pellets. Wood pellets grade premium adalah pilihan untuk penggunaan pemanas ruangan tersebut dengan kadar abu sangat rendah, yakni kurang dari 1% atau dikenal dengan A1 / A2 pellets dan untuk lebih detail baca disini, demikian juga untuk wood briquette (consumer briquette). Perbedaan utama antara wood pellets dan wood briquette adalah ukuran, dan kadang-kadang bentuknya serta teknologi produksinya juga lebih beragam daripada wood pellets, untuk lebih detail baca disini

Untuk wood briquette (consumer briquette) ini, ada bermacam-macam kompor yang bisa menggunakannya tetapi secara umum kompor atau oven yang menggunakan kayu bakar bisa menggunakan wood briquette tersebut. Dan karena tidak mudah lagi untuk mendapatkan kayu bakar di Eropa sehingga banyak orang membeli wood briquette tersebut dari pedagang yang biasanya juga menjual kompor atau ovennya. Di Eropa wood briquette tersebut dijual secara langsung kepada pembeli di atas pallet atau lewat supermarket. 

Dengan ukuran briquette yang cukup tidak mudah menyalakannya langsung dengan korek api. Pada umumnya untuk menyalakannya dilakukan ditempat terpisah (firestarter), dengan ranting-ranting kayu kecil atau memecah briquette tersebut sehingga bisa menyala lebih mudah. Tetapi hal ini dirasa sulit dan tidak praktis. Hal inilah sehingga muncul inovasi berupa briquetteyang diperkaya dengan paraffin sehingga mudah dinyalakan untuk starter kompor briquette tersebut. Briquette (igniter briquette) ini bisa dengan mudah dinyalakan dengan korek api dan lebih praktis. Paraffin yang digunakan saat ini pada umumnya berasal dari minyak bumi (petroleum) sehingga merupakan bahan bakar fossil. Supaya lebih sejalan dengan daya dorong dekarbonisasi dan perubahan iklim diatas maka sumber paraffin juga mestinya dari yang terbarukan seperti dari tumbuh-tumbuhan. HRBDPS atau hydrogenated RBD palm stearin yang berasal atau produk turunan dari minyak sawit bisa sebagai subtitusi paraffin dari sumber fossil tersebut.   

Biochar untuk Produktivitas Kelapa Sawit Berkelanjutan

Pemerintah Indonesia menekankan pentingnya produktivitas kelapa sawit berkelanjutan untuk ketahanan pangan dan energi, yang disampaikan oleh Wakil Menteri Pertanian Sudaryono, pada pembukaan ICOPE (International Conference on Palm Oil and Environment) di Sanur, Bali, pertengahan Februari 2025. Konferensi yang dihadiri oleh delegasi berbagai negara yakni Indonesia, Malaysia, India, Belanda, Prancis, Finlandia, Kolombia dan Spanyol bertujuan sebagai untuk merumuskan transformasi berkelanjutan bagi industri sawit. Produktivitas kelapa sawit berkelanjutan tersebut bisa ditingkatkan dengan intensifikasi lahan dan penggunaan bibit unggul. Bahkan jika perluasan lahan harus dilakukan, maka hal tersebut harus dilakukan tanpa menyebabkan deforestasi. Sedangkan untuk replanting di lahan kering, juga bisa digabungkan dengan padi gogo atau jagung dengan metode tumpang sari.

Biochar solusi jitu 
Produktivitas kelapa sawit dapat ditingkatkan dengan peningkatan efisiensi penggunaan pupuk atau NUE (Nutrients Use Efficiency) dan ini bagian dari intensifikasi lahan. Dengan pemakaian dosis pupuk yang sama dengan ditambah biochar maka produktivitas sawit akan meningkat sekitar 20% atau lebih, atau dengan penghematan pupuk sekitar 30% dengan ditambah biochar maka produktivitas sawit relatif stabil atau sama dengan produktivitas sebelumnya. Terkait dengan upaya peningkatan produktivitas kelapa sawit dan ditambah dengan upaya tanpa terjadinya deforestasi maka opsi pertama lebih sesuai, yakni dosis pupuk tidak ditambah atau sama seperti biasanya, tetapi ada tambahan biochar untuk meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk tersebut. 

Produksi CPO Indonesia saat ini mencapai sekitar 50 juta ton/tahun dengan luas lahan 16,4 juta hektar dengan rata-rata produksi CPO per hektar 3,55 ton/ha atau per satu juta hektar menghasilkan 3,55 juta ton. Apabila biochar digunakan dan terjadi kenaikan produktivitas 20% berarti terjadi kenaikan kenaikan 10 juta ton CPO / tahun (total menjadi 60 juta ton CPO/tahun) dan ini menghemat lahan sekitar 2,8 juta hektar, atau penggunaan biochar akan memperlambat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit.

Selain dari pemakaian biochar untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawitnya, keuntungan lain yang bisa diperoleh dari produksi biochar adalah dari potensi pendapatan carbon credit (BCR = biochar carbon removal) dan pemanfaatan produk samping dari pirolisis untuk perkebunan sawit maupun operasional pabrik sawit pada produksi CPO. Dengan cara tersebut maka ada sejumlah keuntungan bagi perusahaan sawit seperti penghematan pupuk organik cair, pestisida dan 100% canngkang sawit bisa dijual atau dieksport. Selain perusahaan sawit tersebut produksi sendiri biocharnya dengan pirolisis, dimungkinkan juga ada perusahaan tersendiri yang terpisah atau perusahaan yang bekerjasama dengan perusahaan sawit untuk produksi biochar dengan kesepakatan tertentu. 

Tekanan dan sorotan global bagi industri sawit untuk melakukan praktik berkelanjutan yang semakin besar. Dan ditengah melonjaknya permintaan minyak sawit untuk pasar global dan pasar domestik, peningkatan produktivitas sawit adalah sebuah keniscayaan. Dengan pemanfaatan limbah biomasa pabrik dan perkebunan sawit seperti tandan kosong dan batang sawit untuk produksi biochar dan pemakaian biochar untuk peningkatan produktivitas kelapa sawit itu sendiri maka hal ini menjadi solusi jitu dalam merespon tantangan tersebut. Bahkan untuk replanting di lahan kering, dengan padi gogo atau jagung dengan metode tumpang sari, penggunaan biochar juga akan berdampak positif dan signifikan pada tanaman tumpang sari tersebut.  

Sabtu, 02 Agustus 2025

Kadar Abu dan Kualitas Wood Pellet grade Premium

 

Dibandingkan wood pellets untuk industri (industrial pellets) yang memiliki spesifikasi lebih longgar khususnya pada kadar abu yang bisa mencapai 6% sedangkan wood pellet grade pemium yang penggunaannya untuk pemanas ruangan memiliki spesifikasi lebih ketat terutama kadar abu maksimal 1%. Wood pellet grade premium umumnya juga memiliki ukuran diameter 6 mm sedangkan industrial pellets umumnya berukuran 8 mm. Warna atau tampilan wood pellet grade premium juga berpengaruh, dimana warna cerah umumnya lebih disukai. Hal inilah yang membuat wood pellet grade premium wajar memiliki harga yang lebih mahal. Kebutuhan wood pellet grade premium akan meningkat penggunaannya pada musim dingin karena terkait kebutuhan pemanas ruangan pada musim dingin tersebut.  

Terkait kadar abu (ash content) bahkan sejumlah standard menetapkan kadar abu yang lebih rendah dari 1%, seperti DIN Plus maksimal 0,5% lalu ENPlus-A1 maksimal 0,7% dan  Ö NORM M7135  yang mempersyaratkan maksimal 0,5%. Hal ini sehingga kontrol pemilihan bahan baku dan treatment ketat diterapkan dalam produksi wood pelletnya sehingga memenuhi spesifikasi tersebut. Walaupun mungkin secara kimia abu (ash chemistry) untuk  wood pellet grade premium tidak seketat pada industrial pellet karena operasional aplikasinya pada suhu lebih rendah, tetapi produksi wood pellet dengan ash content sangat rendah tersebut membutuhkan kualitas bahan baku yang tinggi. 

Pada wood pellet grade premium tersebut perbedaan kadar abu sedikit saja ternyata berdampak pada perbedaan harga jual yang cukup signifikan, sebagai contoh pada wood pellets dengan ash content maksimal 0,55% dengan wood pellet dengan ash content maksimal 0,35% bisa terpaut harga sekitar USD 30/ton-nya. Dan karena penggunaannya untuk pemanas ruangan maka pada umumnya wood pellet grade premium menggunakan kemasan plastik kecil seperti kemasan 15 kg, sedangkan pada tipe industrial pellet biasa dalam kemasan jumbo bag atau bahkan curah karena alasan volumenya kebutuhan jauh lebih besar.  

Biochar untuk Pembibitan Kelapa Sawit bagian 2

Pada tahun 2024 Malaysia melaporkan luas replanting perkebunan sawit mereka mencapai 114.000 hektar atau 2% dari luasan kebun sawit Malaysia, dari target yang dicanangkan yakni 4% hingga 5%. Sedangkan di Indonesia diperkirakan prosentasenya lebih kecil dari Malaysia tetapi karena luasan kebun sawit Indonesia jauh lebih luas atau sekitar 3 kali Malaysia, sehingga luasannya menjadi lebih besar. Kondisi tersebut membuat produksi minyak sawit menurun karena produktivitas pohon sawit mulai menurun setelah 20 tahun dan perlu diganti atau replanting setelah 25 tahun, untuk menjaga performa produktivitas sawit tersebut. Replanting semestinya dilakukan secara periodik dengan luasan berkisar 5% dari luas kebun sawit.   

Untuk peremajaan kebun sawit (replanting) tersebut dibutuhkan bibit sawit. Jika diperkirakan saat ini replanting kebun sawit di Indonesia 300.000 hektar per tahun (atau 1,8% dari luasan kebun sawit Indonesia) maka dengan populasi kebun sawit rata-rata 125 pohon per hektar maka kebutuhan bibit sawit mencapai 37. 500.000 bibit. Dan dengan 114.000 hektar di Malaysia kebutuhan bibit sawit akan mencapai 14.250.000 bibit. Untuk menghasilkan pohon sawit berkualitas selain pemilihan varietas unggul juga termasuk pembuatan bibit di unit pembibitan sawitnya. Biochar dapat digunakan secara efektif untuk pembibitan sawit tersebut, karena membantu meningkatkan pertumbuhan dan kesehatan bibit. 

Biochar yang merupakan arang hayati dari biomassa, berfungsi sebagai pembenah tanah yang meningkatkan struktur tanah, retensi air, dan ketersediaan unsur hara, serta memberikan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme tanah. Biochar dapat dicampurkan langsung ke media tanam saat pembibitan dengan dosis biochar yang digunakan perlu disesuaikan dengan jenis media tanam dan kebutuhan tanaman. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa aplikasi biochar pada pembibitan kelapa sawit dapat meningkatkan pertumbuhan bibit, seperti tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, dan berat kering akar. Dengan memanfaatkan biochar, pembibitan kelapa sawit dapat menjadi lebih efisien, produktif, dan ramah lingkungan. 

Dan bahkan karena media tanam bibit sawit pada umumnya menggunakan kompos, maka apabila kompos tersebut diperkaya biochar atau proses pengomposan juga menggunakan biochar maka kualitas kompos tersebut semakin baik. Keunggulan proses pengomposan menggunakan biochar antara lain meningkatkan kualitas kompos, mempercepat proses   pengomposan, mengurangi emisi gas rumah kaca berupa metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O), mengurangi kehilangan amonia (NH3), menambah aerasi (bulking agent) pengomposan, dan mengurangi bau. Sedangkan untuk material biochar itu sendiri, akan memperkaya biochar dengan berbagai unsur hara dan biochar tidak rusak atau terdekomposisi selama proses pengomoposan tersebut.  Jadi dengan memanfaatkan biochar dalam pengomposan, kita dapat mengolah limbah organik secara lebih efektif, menghasilkan pupuk organik berkualitas tinggi, dan berkontribusi pada praktik pertanian yang lebih berkelanjutan. 

Produksi Kompos dengan Biochar untuk Peningkatkan Kualitas Produk Kompos dan Keuntungan Usaha

Walaupun produksi kompos dan biochar sama-sama memanfaatkan dan mendaur ulang (recycle) limbah organik tetapi ada beberapa perbedaan yakni p...