Bagaimana mungkin menghasilkan BBM yang ramah lingkungan?
Bukankah BBM itu sendiri adalah bahan bakar yang tidak ramah lingkungan karena
emisi terutama CO2 yang merupakan Carbon Positive membuat bumi semakin panas? Tetapi
juga bukankah saat ini sebagian besar bahan bakar yang kita gunakan juga
sebagian besar masih berupa fossil fuel? Dan kita sedang bersiap-siap untuk
kembali menggunakan energi terbarukan sebesar mungkin porsinya bahkan kalau
mungkin 100%, tetapi untuk mencapai ke sana tentu perlu waktu dan perlu proses.
Semakin hari, semakin tahun, semakin banyak pula porsi energi terbarukan
dicanangkan dalam penggunaan sehari-hari, tetapi proyeksi antara 10 sampai 20
tahun ke depan, memang energi fossil masih mendominasi yakni sekitar 80%.
Jadi untuk bisa produksi BBM seramah mungkin dengan
lingkungan berarti proses produksi BBM ramah lingkungan dan produk BBM itu
sendiri juga ramah lingkungan. Dalam pemberlakuan standard Euro di Eropa yakni
standard emisi kendaran yang diperbolehkan, ada tiga aspek yang ditinjau yakni : kualitas bahan bakar,
kualitas mesin (kendaraan) dan perilaku manusia sebagai pengguna kendaraan
tersebut. Pola Standard Euro kini telah diadopsi oleh banyak negara sebagai
sarana untuk menurunkan tingkat emisi seramah mungkin dengan lingkungan. Hampir semua negara ASEAN paling tidak telah
menerapkan Standard Euro 2. Srilanka menerapkan Euro 2 tahun 2004 dan Euro 3
tahun 2007, India menerapkan Euro 2 tahun 2001 dan Euro 3 tahun 2005. Standard
Euro tertinggi saat ini adalah Standard Euro 6. Saat ini, standar Euro telah
menjadi acuan umum diikuti, bukan semata-mata isu lingkungan, tetapi juga
semata-mata kepentingan persaingan bisnis otomotif. Jika suatu negara tidak
menerapkan standar Euro, maka produksi industri otomotifnya bakal kalah
bersaing di pasar internasional.
Suatu pabrik BBM (kilang minyak) yang mampu atau bisa
diupgrade hingga menghasilkan kualitas BBM (bahan bakar diesel dan bensin) hingga
standard Euro 4 atau 5, akan menjadi kebutuhan dalam beberapa waktu ke depan. Salah satu konfigurasi pabrik BBM yang bisa
digunakan yakni integrasi Full Conversion Hydrocracker (FCHC) dan Diesel
Hydrotreater (DHT). FCHC akan memaksimalkan produksi minyak diesel yang
memenuhi kualitas seperti sulphur rendah, tinggi angka cetane dan sebagainya. DHT
untuk menurunkan kadar sulphur kandungan minyak diesel yang tinggi kandungan
sulphur yang berasal dari Crude and Vacuum Distillation Unit ( CDU/VDU) dan
Delayed Cooker Unit (DCU). DHT juga meningkatkan angka cetane (cetane number)
yang mampu mencapai target Euro 3 dan 4.
DCU dengan proses thermal cracking akan memproduksi
distillate product diantaranya naphta dan petcoke. Petcoke dapat digunakan
sebagai bahan bakar padat pada pembangkit listrik dalam kilang (refinery)
tersebut. Circulated Fluidised Bed Combustion (CFBC) boiler selanjutnya
digunakan untuk pembangkit listrik melalui Steam Turbine Generators (STG)
dengan menggunakan bahan bakar padat. Di sinilah bahan bakar terbarukan seperti
wood pellet juga dapat digunakan sebagai sumber energi. Pada teknologi CFBC
mendasarkan pada kumpulan padat (zat padat) yang diubah sifatnya seakan-akan
seperti zat cair (fluida). Ketika udara dihembuskan secara tegak lurus ke dalam
wadah dari arah bawah, kumpulan partikel bahan bakar akan terangkat ke atas. Karena
hembusan udara tadi, maka secara fisik kumpulan partikel itu mengalami
perubahan volume yang dapat dilihat dengan bertambah tingginya permukaan
lapisan partikel. Semakin tinggi kecepatan udara yang dihembuskan, campuran
bahan bakar bergerak secara acak dengan kecepatan tinggi, sehingga proses
pembakaran terjadi secara merata dan berlangsung secara cepat. Dalam hal ini cofiring biomasa dari wood pellet dengan petcoke sangat dimungkinkan. Saat ini pada
umumnya pembangkit listrik untuk kilang minyak menggunakan bahan bakar naptha
atau gas, sehingga konfigurasi petcoke dengan CFBC boiler untuk pembangkit
listrik akan menjadi pilihan pada masa mendatang.
Proses Naptha Hydrotreating Unit (NHT) termasuk menggunakan catalytic
treatment pada naptha untuk memisahkan sulphur dan sejumlah pengotor
(kontaminan) dan akan mampu menghasilkan produk naptha fraksi ringan hingga
berat untuk umpan Naptha Splitter Unit (NSU). Pada blok produksi bensin, hal
kritis lainnya adalah pada Continous Catalyst Regeneration & Reforming Unit
(CCR) yang memproduksi angka oktan tinggi dari fraksi berat naptha hingga
akhirnya menjadi bensin tanpa timbal. Kompromi antara faktor lingkungan,
teknologi dan keekonomian akan menjadi pertimbangan
utama untuk menghasilkan produk BBM seramah mungkin dengan lingkungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar