Selasa, 15 Desember 2015

Produksi BBM Seramah Mungkin Dengan Lingkungan

Bagaimana mungkin menghasilkan BBM yang ramah lingkungan? Bukankah BBM itu sendiri adalah bahan bakar yang tidak ramah lingkungan karena emisi terutama CO2 yang merupakan Carbon Positive membuat bumi semakin panas? Tetapi juga bukankah saat ini sebagian besar bahan bakar yang kita gunakan juga sebagian besar masih berupa fossil fuel? Dan kita sedang bersiap-siap untuk kembali menggunakan energi terbarukan sebesar mungkin porsinya bahkan kalau mungkin 100%, tetapi untuk mencapai ke sana tentu perlu waktu dan perlu proses. Semakin hari, semakin tahun, semakin banyak pula porsi energi terbarukan dicanangkan dalam penggunaan sehari-hari, tetapi proyeksi antara 10 sampai 20 tahun ke depan, memang energi fossil masih mendominasi yakni sekitar 80%.

Jadi untuk bisa produksi BBM seramah mungkin dengan lingkungan berarti proses produksi BBM ramah lingkungan dan produk BBM itu sendiri juga ramah lingkungan. Dalam pemberlakuan standard Euro di Eropa yakni standard emisi kendaran yang diperbolehkan, ada tiga aspek  yang ditinjau yakni : kualitas bahan bakar, kualitas mesin (kendaraan) dan perilaku manusia sebagai pengguna kendaraan tersebut. Pola Standard Euro kini telah diadopsi oleh banyak negara sebagai sarana untuk menurunkan tingkat emisi seramah mungkin dengan lingkungan.  Hampir semua negara ASEAN paling tidak telah menerapkan Standard Euro 2. Srilanka menerapkan Euro 2 tahun 2004 dan Euro 3 tahun 2007, India menerapkan Euro 2 tahun 2001 dan Euro 3 tahun 2005. Standard Euro tertinggi saat ini adalah Standard Euro 6. Saat ini, standar Euro telah menjadi acuan umum diikuti, bukan semata-mata isu lingkungan, tetapi juga semata-mata kepentingan persaingan bisnis otomotif. Jika suatu negara tidak menerapkan standar Euro, maka produksi industri otomotifnya bakal kalah bersaing di pasar internasional.

Suatu pabrik BBM (kilang minyak) yang mampu atau bisa diupgrade hingga menghasilkan kualitas BBM (bahan bakar diesel dan bensin) hingga standard Euro 4 atau 5, akan menjadi kebutuhan dalam beberapa waktu ke depan.  Salah satu konfigurasi pabrik BBM yang bisa digunakan yakni integrasi Full Conversion Hydrocracker (FCHC) dan Diesel Hydrotreater (DHT). FCHC akan memaksimalkan produksi minyak diesel yang memenuhi kualitas seperti sulphur rendah, tinggi angka cetane dan sebagainya. DHT untuk menurunkan kadar sulphur kandungan minyak diesel yang tinggi kandungan sulphur yang berasal dari Crude and Vacuum Distillation Unit ( CDU/VDU) dan Delayed Cooker Unit (DCU). DHT juga meningkatkan angka cetane (cetane number) yang mampu mencapai target Euro 3 dan 4.
DCU dengan proses thermal cracking akan memproduksi distillate product diantaranya naphta dan petcoke. Petcoke dapat digunakan sebagai bahan bakar padat pada pembangkit listrik dalam kilang (refinery) tersebut. Circulated Fluidised Bed Combustion (CFBC) boiler selanjutnya digunakan untuk pembangkit listrik melalui Steam Turbine Generators (STG) dengan menggunakan bahan bakar padat. Di sinilah bahan bakar terbarukan seperti wood pellet juga dapat digunakan sebagai sumber energi. Pada teknologi CFBC mendasarkan pada kumpulan padat (zat padat) yang diubah sifatnya seakan-akan seperti zat cair (fluida). Ketika udara dihembuskan secara tegak lurus ke dalam wadah dari arah bawah, kumpulan partikel bahan bakar akan terangkat ke atas. Karena hembusan udara tadi, maka secara fisik kumpulan partikel itu mengalami perubahan volume yang dapat dilihat dengan bertambah tingginya permukaan lapisan partikel. Semakin tinggi kecepatan udara yang dihembuskan, campuran bahan bakar bergerak secara acak dengan kecepatan tinggi, sehingga proses pembakaran terjadi secara merata dan berlangsung secara cepat. Dalam hal ini cofiring biomasa dari wood pellet dengan petcoke sangat dimungkinkan. Saat ini pada umumnya pembangkit listrik untuk kilang minyak menggunakan bahan bakar naptha atau gas, sehingga konfigurasi petcoke dengan CFBC boiler untuk pembangkit listrik akan menjadi pilihan pada masa mendatang.

Proses Naptha Hydrotreating Unit (NHT) termasuk menggunakan catalytic treatment pada naptha untuk memisahkan sulphur dan sejumlah pengotor (kontaminan) dan akan mampu menghasilkan produk naptha fraksi ringan hingga berat untuk umpan Naptha Splitter Unit (NSU). Pada blok produksi bensin, hal kritis lainnya adalah pada Continous Catalyst Regeneration & Reforming Unit (CCR) yang memproduksi angka oktan tinggi dari fraksi berat naptha hingga akhirnya menjadi bensin tanpa timbal. Kompromi antara faktor lingkungan, teknologi dan keekonomian akan menjadi  pertimbangan utama untuk menghasilkan produk BBM seramah mungkin dengan lingkungan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...