Rabu, 12 April 2017

Melihat Tumpukan PKS Lebih Dekat

Sebagian besar PKS (palm kernel shell) atau cangkang sawit saat ini hanya ditumpuk di halaman terbuka (stockpile) untuk penyimpanannya. Kondisi tersebut membuatnya sangat terpengaruh dengan kondisi cuaca. Ketika cuaca panas pada bagian luar tumpukan PKS tersebut kering, tetapi bagian dalamnya masih tetap basah. Tumpukan PKS biasanya bisa mencapai ketinggian lebih dari 5 meter. Semakin tinggi tumpukan akan semakin sulit menjangkau kondisi di dalamnya. Ketika kondisi hujan pada bagian luar tumpukan menjadi basah, tetapi pada bagian masih lebih kering. Selanjutnya apa yang terjadi pada tumpukan PKS pada kondisi cuaca hujan maupun panas?

Sebagai bahan organik maka biomasa juga bisa mengalami dekomposisi baik dengan proses fisika , biologi maupun kimia. Semua biomasa tidak terkecuali PKS akan terdekomposisi seiring waktu mengeluarkan sejumlah gas beracun dan mengurangi konsentrasi oksigen, seperti karbon monoksida (CO), karbondioksida (CO2), dan metana (CH4). Sebagai produk atau komoditas yang akan dijual maka penurunan kualitas maupun kuantitas akibat proses dekomposisi tersebut sebisa mungkin untuk dihindari. Penanganan yang baik mulai dari pengumpulan, pembersihan, dan penyimpanan PKS akan meminimalisir terjadinya dekomposisi tersebut.

Dekomposisi biologi yang terutama terjadi pada tumpukan PKS tersebut. Sejumlah bahan organik pengotor PKS seperti serabut, minyak dan sebagainya akan mudah terdekomposisi secara biologi. Aktifitas mikroba dalam tumpukan PKS tersebut mendorong terjadinya fermentasi pada bahan organik. Semakin lunak dan tinggi kandungan airnya maka bahan organik tersebut akan semakin cepat terdekomposisi secara biologi, yakni fermentasi tersebut. PKS sendiri adalah material yang keras dengan kandungan lignin yang tinggi sehingga tidak mudah terfermentasi dalam waktunya singkat. Lantas bagaimana untuk tumpukan PKS yang dibiarkan selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun? Aktivitas mikroba seperti apa yang terjadi? Dan seberapa besar terjadi penurunan kualitas maupun kuantitas?

Pada produksi kompos, produksi CH4 atau metana biasanya terkait dekomposisi anaerob biomasa, sedangkan CO2 lebih pada dekomposisi aerob. Semakin tinggi temperature maka rasio CO/CO2 juga semakin besar. Semakin meningkat suhunya, baik CO2 dan CH4 juga semakin meningkat, dan CH4 menjadi semakin besar dibanding CO2 pada suhu lebih tinggi.

Komparasi dengan wood pellet
Sebagai perbandingan yakni pada penyimpanan wood pellet. Persamaan PKS dengan wood pellet adalah sama-sama bahan bakar biomasa yang memiliki nilai kalori yang hampir sama dan bisa dituang (pourable) sehingga dimungkinkan untuk pengumpanan otomatis (automatic feeding) dengan kalibrasi yang sangat akurat. Wood pellet dibuat atau diproduksi dengan memadatkan (densifikasi) serbuk kayu pada umumnya seukuran serbuk gergaji dengan kadar air berkisar 10%, menjadi berukuran panjang 10-20 mm dan diameter 3-12 mm. Wood pellet harus disimpan dalam ruang yang kering dan terlindung dari air/hujan. Penyimpanan wood pellet dalam jumlah besar yakni pada level kapasitas 30.000 ton ke atas, bisa menimbulkan masalah tersendiri. 

Penyimpanan wood pellet curah (bulk) kapasitas besar diatas terbukti menimbulkan emisi gas berbahaya dan panas (self-heating). Resin dalam bentuk gula dan senyawa organik dalam kayu melalui proses produksi wood pellet, mulai pecah selama penyimpanan pengapalan. Produsen-produsen wood pellet harus menyiapkan produk terbaik sehingga bisa diterima pembeli di seberang lautan dengan memuaskan. Penyiapan bahan baku berupa pengeringan kayu secara alami setelah ditebang sedang di ujicoba untuk meminimalkan emisi gas dan panas selama penyimpanan. Alasan dibalik metode tersebut adalah karena kayu cenderung memiliki kadar air bervariasi setiap tahunnya, sehingga pengeringan kayu secara alamiah akan mengurangi pecahnya senyawa kimia pada wood chip dan sawdust. Panas spontan dari tumpukan wood chip dan sawdust akibat dari oksidasi asam lemak tidak jenuh (unsaturated fatty acid) dan ekstraktif yang lain.

Sebuah kapal cargo yang memuat wood pellet dalam ruangan tertutup dilaporkan terdeteksi konsentrasi gas karbon monoksida (CO) sekitar 1% (10.000 ppm) pada hari ke 18 setelah dimuat (loaded). Konsentrasi oksigen pada saat itu juga menjadi kurang dari 1% dan emisi karbondioksida dari tumpukan  wood pellet tersebut 100-885 mg/ton/hari. Dan sudah umum diketahui bahwa konsentrasi yang tinggi dari karbon monoksida (CO) sangat berbahaya dan perlu dihindari. Sebuah analisa mengatakan bahwa gas tersebut terbentuk dari auto-oksidasi dari lemak dan asam lemak (fatty acid) di dalam kayu, tetapi faktor-faktor mendorong produksi gas tersebut belum sepenuhnya diketahui.

Sebuah kecelakaan fatal terjadi di pelabuhan Rotterdam tahun 2002 dan pelabuhan Helsingborg tahun 2006 memuat masalah keselamatan (safety) mendapat perhatian serius. Ditambah kecelakaan fatal terjadi lagi di Finlandia dan Jerman, masalah safety menjadi semakin mengemuka. Keracunan karbon monoksida (CO) tersebut telah menewaskan 5 orang dan cedera otak parah bagi sejumlah orang. Pada tahun 2005 IMO (International Maritime Organization) juga memasukkan wood pellet sebagai bahan berbahaya karena terbentuknya gas karbon monoksida (CO) yang menyebabkan defisiensi oksigen. Alat deteksi atau instrumentasi seperti oxygen-meter atau CO-meter dibutuhkan bagi awak kapal atau personel yang berurusan dengan wood pellet tersebut.

Aerasi yakni memasukkan udara (ambient air) yang mencukupi pada tumpukan wood pellet menjadi solusi untuk penyimpanan wood pellet. Tujuan dari aerasi wood pellet adalah untuk mendinginkan pellets, mengatur suhu pada tumpukan pellets, mencegah pemanasan biologis pada pellets basah, sirkulasi emisi gas, dan menghilangkan bau yang ditimbulkan dari emisi gas. Kecepatan reaksi kimia kemerosotan atau penurunan kualitas menjadi sangat lambat dan kadang-kadang tidak signifikan pada suhu rendah. Kenaikan reaksi kimia terlihat signifikan setiap kenaikan suhu 10 C, sehingga menjaga tetap pada suhu rendah adalah essensial pada wood pellet.



PKS
Tumpukan PKS di ruang terbuka tidak menimbulkan masalah berarti pada emisi gas berbahaya. Hal ini karena emisi gas berbahaya tersebut segera terurai di atmosfer karena berada pada ruang terbuka. Sedangkan panas akan menimbulkan masalah keselamatan (safety) pada pekerja yang mengelola tumpukan PKS tersebut. Semakin tinggi tumpukan dan semakin banyak kandungan bahan organik pengotornya maka tingkat oksidasi dan fermentasi semakin tinggi. Suhu dalam tumpukan tersebut menjadi semakin tinggi, yakni mencapai 70 - 80 C sehingga cukup panas terkena kulit atau kaki. Pihak pengelola PKS sering memasukkan air untuk mendinginkan suhu dalam tumpukan tersebut. Kualitas PKS akan rusak secara biologis apabila proses fermentasi tersebut berjalan dalam jangka waktu lama, yakni 6 bulan atau lebih. Memasukkan air tersebut akan mendinginkan suhu tumpukan yang juga berarti menurunkan kecepatan reaksi fermentasi tersebut. Menjaga kondisi tumpukan PKS tetap juga merupakan hal penting untuk menjaga kualitas dan kuantitas PKS tersebut. Kandungan unsur nitrogen (N) dalam PKS bisa juga dijadikan tolok ukur seberapa besar derajat fermentasi pada PKS tersebut khususnya dan bahan bakar biomasa pada umumnya. Ultimate analysis di laboratorium bisa untuk mengetahui unsur-unsur kimia dalam biomasa tersebut. Standar nitrogen (N) perlu dicantumkan untuk bahan bakar biomasa yang menurut European Standard (CEN) dikelompokkan dari kurang dari 0,3% sampai kelompok yang diatas 3%. 

Selain itu pengelola PKS juga sering melakukan aerasi dengan membolak-balik tumpukan tersebut. Alat mekanik berat seperti backhoe. Aerasi juga akan menurunkan suhu tumpukan akibat fermentasi selain itu dengan membolak-balik tersebut dengan adanya panas matahari akan mengeringkan atau menurunkan kadar air PKS tersebut. Pada dasarnya kedua metode diatas digunakan untuk tetap menjaga kualitas dan kuantitas PKS serta yang tidak kalah pentingnya adalah masalah keselamatan (safety).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...