Rabu, 22 Februari 2017

Wood Pellet, PKS dan Pasar Pembangkit Listrik Biomasa di Jepang

PKS (Palm Kernel Shell) atau cangkang sawit menjadi komoditas energi atau bahan bakar “hot” saat ini di Jepang. Hal ini karena PKS adalah bahan bakar biomasa termurah dan saat ini masih tersedia dalam jumlah besar. PKS adalah limbah pabrik kelapa sawit dari produksi CPO. Sehingga secara otomatis PKS ini banyak tersedia di daerah-daerah pabrik kelapa sawit atau produsen CPO, yakni di Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Pemilihan PKS sebagai bahan bakar juga karaketeristiknya yakni bisa dituang (pourable), nilai kalor tinggi dan kepadatan (densitas) juga tinggi.

Bagaimana dengan wood pellet ? Produsen utama wood pellet dunia saat ini, jelas bukan Indonesia atau negara-negara Asia Tenggara lainnya, tetapi negara-negara Amerika Utara dan Skandinavia. Bahkan untuk Indonesia sendiri wood pellet tergolong hal yang baru, sehingga kapasitas produksinya juga belum besar. Harga wood pellet lebih mahal dari PKS. Sebagian besar wood pellet yang diproduksi di Indonesia dari limbah-limbah kayu seperti serbuk gergaji, limbah planner, limbah plywood dan sebagainya. Potensi pengembangan untuk perbesaran kuantitas juga sangat memungkinkan dengan kebun energi. Secara teknis sifat-sifat (properties) wood pellet tidak jauh berbeda dengan PKS.

Peta status biomass power plant Jepang, merah berarti sudah beroperasi, kuning berarti dalam tahap pembangunan, biru berarti dalam perencanaan. 
Biomasa menjadi salah satu alternative untuk bahan bakar pembangkit listrik di Jepang, setelah kecelakaan atau rusaknya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima tahun 2011. PKS menjadi pilihan favorit bahan bakar pembangkit listrik biomasa disana. Sebagian besar pembangkit listrik biomasa tersebut menggunakan PKS sebagai sumber energinya, dan hanya sebagian kecil yang beroperasi dengan wood pellet. Banyaknya pembangkit listrik biomasa yang dibangun, otomatis juga membutuhkan pasokan bahan bakar yang banyak pula. Sebagian besar pembangkit listrik biomasa tersebut dibangun tahun 2015 dan tahun 2017 sebagian telah beroperasi serta tahun 2019 diperkirakan semua telah beroperasi, sehingga dapat dibayangkan besarnya kebutuhan dan persaingan untuk mendapatkan pasokan PKS tersebut.

Jepang adalah negara yang hampir semua mengandalkan import untuk memenuhi kebutuhan dalam negernya, hal ini karena potensi SDA yang minim di sana, termasuk diantaranya sektor energi. Dengan penduduk penduduk kurang lebih setengah dari Indonesia, konsumsi energi mereka hampir 5 kali Indonesia, sehingga praktis kebutuhan energi termasuk bahan bakar juga besar. Pembangkit listrik biomasa yang menggunakan wood pellet tersebut memprediksi dalam 1 – 2  tahun ke depan terjadi kelangkaan pasokan PKS, sehingga sejak dini telah melakukan antisipasi dengan wood pellet, walaupun pada saat ini keuntungan dari menjual listrik lebih kecil, karena harga bahan bakarnya (wood pellet) yang lebih mahal.Dengan pengalaman tersebut mereka berharap akan mampu mengatasi berbagai masalah operasional ketika bahan bakar wood pellet telah banyak digunakan.



PKS harus memenuhi spesifikasi sebelum di eksport ke negara tujuan. Beberapa spesifikasi kunci untuk PKS yakni : kadar air, nilai kalori dan bahan pengotor atau kontaminan (Foreign Material).  Ketiga variabel harus memenuhi level tertentu untuk mencapai kualitas eksport. Pasar atau konsumen Jepang pada umumnya mensyaratkan kontaminan 0,5 – 2%, sedangkan Eropa 2% - 3%. Sebuah proses sederhana bisa dilakukan untuk mendapatkan kualitas cangkang seperti diatas. Jepang biasanya membeli dengan volume 10.000 ton setiap pengiriman atau import mereka, sehingga bagi penyedia PKS harus menyiapkan lokasi  (stockpile) yang memadai  untuk tumpukan PKS tersebut. Lokasi (stockpile) tumpukan PKS yang dekat dengan pelabuhan adalah kondisi ideal sehingga memudahkan pengangkutan ke pengapalan.


Proses produksi wood pellet lebih kompleks dibandingkan PKS, sehingga wood pellet dikategorikan produk jadi. PKS bisa dikatakan produk mentah karena aktivitas industrinya sangat minim dan sederhana, seperti diatas. Pada wood pellet proses produksi meliputi pemilihan bahan baku termasuk antara kebersihan, kekeringan, ukuran, dan kekerasan. Berdasarkan karakteristik bahan baku tersebut maka proses selanjutnya bervariasi sehingga menjadi produk wood pellet tersebut. Proses produksi wood pellet sangat banyak kemiripan dengan wood briquette. Kualitas wood pellet pada umumnya ditinjau dari kepadatannya, nilai kalor dan kadar abu. Eksport wood pellet Indonesia belum sebesar PKS, hal ini juga karena masih sedikitnya produsen wood pellet itu sendiri. Jepang membeli wood pellet dari Indonesia sebagian besar untuk ujicoba pada pembangkit listrik biomasa mereka. Pengiriman atau export dengan kontainer masih umum dilakukan pada komoditas wood pellet karena volumenya masih kecil.   


Untuk orientasi jangka pendek mengeksport PKS adalah bisnis yang menguntungkan. PKS ini beberapa waktu lalu hanya limbah yang mencemari yang tidak berharga sehingga banyak hanya digunakan pengerasan jalan dan sebagainya, tetapi saat ini menjadi komoditas “hot”. Wood pellet dari bahan baku kebun energi dengan menanam jenis legume seperti kaliandra adalah solusi jangka menengah untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar di Jepang. Torrefaksi (torrefaction) diikuti densifikasi bisa menjadi orientasi jangka panjang, sehingga produk torrified  pellet yang lebih unggul dari wood pellet bisa menghemat transportasi dan memudahkan penanganannya (handling), hidrophobik dan nilai kalor lebih tinggi.

Torrified pellet
Peraturan pemerintah  berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 67/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan bea keluar (BK)  bermaksud untuk mendorong hilirisasi atau produksi berbagai produk turunan dari kelapa sawit termasuk PKS. Tetapi faktanya di lapangan tidak banyak yang terjadi dengan PKS. Faktanya malah banyak penyedia PKS yang mengalami kemunduran usaha bahkan menutupnya. Hal ini karena BK ini telah membuat harga PKS lebih tinggi, dan mengakibatkan permintaannya menurun. Semakin tinggi BK untuk produk mentah dan semakin rendah BK untuk produk jadi maka hilirisasi akan semakin cepat, tetapi harus dilakukan melalui proses secara bertahap, terencana dan komprehensif. Idealnya BK untuk produk turunan adalah nol persen. Apakah pemerintah meminta pengusaha PKS untuk menunggu 2 tahun seiring kenaikan permintaan PKS dari Jepang misalnya karena pembangkit listrik biomasa-nya sudah beroperasi atau alasan lainnya? Kami tidak tahu. Sedangkan skenario terbaik adalah menurunkan atau menghilangkan BK untuk PKS sehingga usaha tersebut bisa tumbuh kembali dan mereka secara bertahap bisa mengembangkan menjadi industri yang menghasilkan bahan jadi. Torrefaksi PKS menjadi torrified PKS menjadi solusi jitu untuk itu, karena peningkatan (upgrading) kualitas PKS akan memberi nilai tambah ekonomi lebih besar. Karbonisasi atau pirolisis PKS menjadi arang PKS (PKSC = palm kernel shell charcoal) lalu diikuti densifikasi menjadi pellet arang PKS juga alternatif yang menarik.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...