Minggu, 17 September 2017

InsyaAllah Tidak Lama Lagi, Pembangkit Listrik Kita Hanya Seukuran Kulkas



 Sekitar pertengahan tahun 1980an, listrik baru masuk ke tempat tinggal saya di Bantul, Yogyakarta. Sedangkan di tempat nenek saya di Kulon Progo, Yogyakarta malah lebih lama lagi, yakni akhir 1980an atau awal 1990an. Sudah hampir 30 tahun listrik telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan kita. Berbagai aktivitas manusia menjadi lebih mudah dengan adanya listrik tersebut. Bahkan sejumlah aktivitas dan profesi sangat tergantung dengan penggunaan listrik tersebut, sebagai contoh di industri manufaktur modern. Beberapa dari kita mungkin ada yang bertanya secara umum seperti,  bagaimana listrik tersebut dihasilkan, dimana pembangkit listrik tersebut, mengapa belum semua daerah di Indonesia mendapat aliran listrik, dengan apa listrik bisa dibangkitkan, mengapa tarif atau biaya listrik terus naik setiap waktu, dan sebagainya. Lebih sedikit lagi mungkin ada yang menanyakan seperti apakah mungkin membangkitkan dan mencukupi kebutuhan sendiri listriknya, apakah ada kaitannya produksi listrik yang selama ini kita gunakan dengan peningkatan karbon (CO2) di atmosfer, dan bisakah menjadi bagian dari solusi terhadap penurunan CO2 di atmosfer dengan membangkitkan sendiri listrik tersebut. Tentu saja sederet pertanyaan diatas membutuhkan jawaban yang panjang lebar sehingga menjelaskan salah satu masalah penting tentang di sektor energi, khususnya listrik.

Sekitar 20 tahun lalu, apabila memiliki minat besar pada go green atau energi terbarukan, efisiensi energi dan lingkungan berkelanjutan (sustainable environment) maka itu adalah sesuatu hal aneh dan membuat peminatnya "terisolir". Tetapi setelah 20 tahun berlalu ternyata minat tersebut sekarang malah menjadi bagian cara berpikir dan hidup dalam keseharian, dan bukan mustahil tidak lama lagi akan menjadi mainstream. Indikasinya pasar untuk energi dan teknologi ramah lingkungan semakin berkembang. Listrik juga merupakan bentuk energi yang sangat fleksibel dalam penggunaannya sehingga bisa bisa menjadi dikonversi ke bentuk lain, seperti mekanik, panas, cahaya dan sebagainya.

Sebagai muslim ketika kita membaca dan mengimplementasikan Al Qur'an maka biomasa khususnya kayu-kayuan adalah jawaban sumber energi tersebut. Petunjuk Al Qur'an tersebut dalam QS Yaasiin : 80, QS Al Waqi'ah : 71-72, dan QS An Nuur : 35 dan untuk penjelasan lebih rinci bisa dibaca disini. Faktor lainnya yakni kesadaran masyarakat global untuk menurunkan suhu bumi dengan tidak menambah CO2 di atmosfer, sehingga biomasa sebagai solusi jitu. Wood pellet sebagai produk biomasa kayu-kayuan untuk sektor energi sangat populer dan menjadi perhatian dunia saat ini. Termasuk juga untuk pembangkit listrik, bahkan penggunaan untuk pembangkit listrik ini sangat mendapat perhatian serius. Dengan menjadi produk wood pellet tersebut maka sisi transportasi, pengemasan hingga penggunaannya menjadi lebih mudah. Harga wood pellet pun sangat bersaing dan menjadi produk energi paling murah ditinjau dari kandungan kalorinya atau nilai panasnya.

Biomasa kayu-kayuan berasal dari pepohonan atau tanaman yang bisa tumbuh hampir di semua tempat di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut seharusnya pembangkit listrik juga bisa disebarkan di seluruh lokasi yang berdekatan dengan sumber biomasa tersebut, bahkan pembangkit listrik kecil untuk rumah tangga juga bisa dibuat. Sebuah pembangkit listrik hanya seukuran kulkas seperti gambar dibawah ini telah digunakan di sejumlah negara di Eropa dengan bahan bakar wood pellet. Sedikit modifikasi bisa dilakukan di Indonesia, karena iklimnya tropis yang tidak pernah mengalami musim dingin hingga dibawah 0 C, sehingga selain untuk pembangkit listrik juga bisa untuk memasak, sedangkan di Eropa selain listrik juga menyediakan panas untuk pemanas ruangan atau biasa dengan sebutan CHP (Combine Heat and Power). Stirling engine banyak digunakan dalam CHP engine tersebut karena ukurannya kecil dan efektif hingga kapasitas 100 KW. Gasifikasi dan ORC (Organic Rankine Cycle) juga banyak digunakan untuk kapasitas menengah. Baik Stirling engine, maupun ORC mendapatkan panas dari pembakaran biomasa, sedangkan pada gasifikasi ada pembatasan udara/oksigen dimasukkan dan bertujuan untuk memaksimalkan produk gasnya. Selain pembakaran (combustion) dan gasifikasi, ada lagi route thermal biomasa yang juga banyak diaplikasikan yakni pirolisis. Bedanya pirolisis lebih banyak digunakan untuk produksi bahan bakar, baik bahan bakar padat berupa arang terutama dengan karbonisasi atau slow pyrolysis, maupun bahan bakar cair atau biooil terutama dengan fast pyrolysis. Ada lagi satu varian proses pirolisis yang terutama untuk menghasilkan bahan bakar biomasa yang memiliki karakter hidropobik seperti batubara, yakni torefaksi (torrefaction) atau mild pyrolysis. Bahkan juga sebelumnya pembangkit listrik dengan kapasitas yang lebih kecil hanya bisa untuk elektronik daya kecil seperti gadget telah dibuat dan dipasang pada kompor-kompor masak.


Lalu bagaimana untuk bisa terus memproduksi wood pellet secara berkesinambungan atau berkelanjutan (sustainable)? Jawabnya yakni dengan kebun energi. Kebun energi juga sudah menjadi solusi di Eropa ketika krisis minyak tahun 1970an, karena Eropa tidak memiliki sumber energi fossil yang memadai sehingga energi biomasa menjadi pilihan utama. Termasuk teknologi pemadatan biomasa (biomass densification) seperti pembriketan dan pemelletan juga berkembang pesat sewaktu krisis tersebut. Dan hingga saat inipun sejumlah negara Eropa dengan ribuan hektar kebun energi untuk menyuplai bahan bakar pembangkit listriknya. Beberapa negara di Eropa yang memiliki kebun energi yang luas yakni Swedia, Inggris, Jerman dan Spanyol. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Konsep kebun energi terdengar masih asing di tellinga kita, walaupun potensinya juga luar biasa besar di Indonesia. Setelah sekian lama menjadi produsen minyak bumi sehingga menjadi anggota OPEC waktu itu, saat ini kondisinya berbeda yakni menjadi pengimport minyak bumi. Kondisi aktual terkini itu seharusnya mendorong energi biomasa khususnya dalam bentuk wood pellet dengan bahan baku dari kebun energi.

Jangan sampai kondisinya terlambat ketika krisis energi telah terjadi lalu secara panik mengambil apa saja yang bisa dijadikan energi dan berdampak buruk bagi lingkungan. Tetapi bukankah Indonesia masih memiliki sumber energi yang melimpah seperti gas dan batubara? Menurut estimasi gas baru habis dalam kurun waktu 30 tahun lagi dan batubara 80 tahun lagi. Ya tetapi bahan bakar diatas adalah carbon positif dan tidak sustainable. Padahal saat ini secara bertahap sedang diusahakan untuk dikurangi oleh banyak negara untuk menurunkan suhu bumi. Tentu akan lebih baik berpartisipasi sebagai bagian dari solusi untuk menurunkan suhu bumi dengan energi dari biomasa tersebut. Motivasi besar lainnya kita dapat dari hadist Nabi Muhammad SAW :

"Tidak akan terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan telah tertumpuk dan melimpah  ruah,  hingga  seorang  laki-laki  pergi  ke  mana-mana  sambil membawa  harta  zakatnya  tetapi  dia  tidak  mendapatkan  seorangpun  yang bersedia  menerima  zakatnya  itu.  Dan  sehingga  tanah Arab  menjadi  subur makmur  kembali  dengan  padang-padang  rumput  dan  sungai-sungai "  (HR.Muslim).

Bumi sekali lagi akan menjadi makmur sebelum kiamat. Secara umum kebun-kebun dan hutan-hutan seperti itu juga menjadi penyebab munculnya mata-mata air (QS 36 : 34) yang pada waktunya akan mengalir ke sungai-sungai  (QS 19 : 24-25) dan juga menjadi kesenanganmu dan binatang ternakmu (QS 79 : 31). Solusi kebun energi dan peternakan domba/Kambing juga ibarat sekali dayung, 2-3 pulau terlampaui, yakni energi dan pangan. Indonesia saat ini baru menggenjot salah satu unsur pangan, yakni karbohidrat terutama beras karena juga sebagai makanan pokok dan disektor itupun saat ini belum swasembada dengan import beras mencapai jutaan ton. Padahal selain karbohidrat komposisi makananan kita meliputi protein, lemak, vitamin dan mineral. Logikanya ketika di sektor yang pokok saja masih kedodoran, apalagi unsur-unsur penunjang yang lain. Peternakan domba/kambing sebagai penyedia unsur penunjang tetapi sangat penting peranannya yakni protein. Pada kesempatan lain insyaAllah bisa kita bahas keterkaitan energi dan pangan lewat kebun energi dan peternakan domba/kambing ini secara lebih rinci.

Kapan pembangkit listrik kita hanya seukuran kulkas? Tidak lama lagi, ketika bumi kembali hijau, kebun energi dan produksi wood pellet bertebaran dimana-mana. InsyaAllah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...