Minggu, 24 September 2017

Mencari Harta Terbaik Dari Implementasi Kebun Energi Bagian 2

Penggembalaan ternak ternyata terbukti aktivitas dan pekerjaan penting yang akan terus ada sampai hari kiamat. Sebagian besar manusia menganggapnya sebagai pekerjaan rendahan dan kuno sehingga banyak ditinggalkan. Padahal tentu saja pada era saat ini perangkat teknologi bisa digunakan untuk memudahkan penggembalaan tersebut,satu diantaranya yakni dengan IoT (Internet of Things)   yang juga banyak diterapkan disejumlah bidang kehidupan. Dengan penggembalaan ternak ternyata salah satu hal penting bagi manusia yakni siklus pangannya bisa berjalan dan terus berlanjut. Kesuburan tanah akan terjaga, lalu berbagai rerumputan bisa terus tumbuh dan juga berbagai pepohonan lainnya. Adalah Allan Savory, seorang biologist dari Zimbabwe yang merumuskan konsep fenomenal tentang penyelamatan kehidupan di bumi melalui Holistic Planned Grazing, yakni konsep sederhana menghidupkan penggembalaan yang terencana. Konsepnya tersebut bahkan telah diterapkan diberbagai belahan dunia, mulai dari Afrika, Australia, Amerika Latin bahkan Amerika Utara dengan total area lebih dari 16 juta hektar (sekitar 40 juta acres). Bagaimana sistem penggembalaan tersebut sehingga bisa melestarikan kehidupan di bumi, simak video dari Allan Savory tersebut di link ini. Prinsipnya adalah merencanakan perputaran hewan gembalaan secara periodik sehingga terjadi pemerataan penyebaran kotoran ternak ke areal yang luas dan rumput-rumput di daerah gembalaan tersebut belum sempat habis sudah ditinggalkan oleh gerombolan ternak gembalaan, untuk kemudian setiap area didatangi lagi ketika rumput-rumput sudah pulih kembali.
MasyaAllah. Hal tersebut membuktikan dan meyakinkan kita bahwa apa yang dilakukan  seluruh Nabi dan Utusan Allah, layak kita tiru sampai akhir zaman. Tetapi ada perbedaan hewan ternak yang digunakan Allan Savory dengan Nabi-Nabi Allah, Allan Savory menggunakan sapi sedangkan seluruh Nabi menggembala domba atau kambing. Mengapa seluruh Nabi tersebut menggembalakan domba dan bukan sapi? Allah SWT yang mengutus para Nabi tersebut tentu memiliki maksud dengan hal itu dan tentu mengandung banyak hikmah didalamnya. Beberapa hikmah tersebut diantaranya pertama, secara matematis perkembangbiakkan  domba jauh lebih cepat daripada sapi . Satu ekor domba atau kambing betina bisa melahirkan enam ekor anak dalam enam anak domba dalam dua tahun, sedangkan sapi hanya melahirkan satu atau maksimal dua ekor dalam waktu yang sama. Kedua, domba atau kambing dengan ukuran lebih kecil juga lebih mobile dalam menyebarkan kotoran sehingga efek pemupukan terhadap tanah juga lebih merata. Ketiga, kualitas kotoran domba sebagai pupuk juga lebih baik daripada kotoran sapi terutama pada kandungan makro yakni nitrogen (N), phospur (P), dan kalium (K). Karena buah karya manusia biasa, pendekatan Savory ini tentu masih banyak mengandung kelemahan, tetapi itupun sudah bisa melestarikan areal puluhan juta hektar di seluruh dunia tersebut diatas. Bagaimana jika contoh para Nabi dengan penggembalaan domba tersebut diterapkan di seluruh dunia? Tentu hasilnya jauh akan lebih baik dalam semua aspeknya. 

Rotasi pemanenan pada kebun energi juga bisa disesuaikan dengan rotasi gerombolan domba pada area rerumputan tersebut. Lokasi pepohonan pada kebun energi yang sudah siap panen dengan rerumputan dibawahnya bisa digunakan untuk penggembalaan domba tersebut. Pohon yang sudah tinggi sehingga daun-daunnya tidak terjangkau domba tersebut, sehingga tidak merusak pepohonan tersebut. Setelah kayunya dipanen dan daunnya dipisahkan, selanjutnya daunnya-daun tersebut juga menjadi pakan domba-domba tersebut. Rerumputan dan kebun-kebun tersebut akan menyenangkan bagi pemilik domba dan domba-domba tersebut.

Rendahnya produksi daging kita, rendahnya konsumsi daging perkapita dan tingginya import daging adalah masalah kita hari ini. Produksi daging Indonesia saat ini berkisar 2,5 juta ton dan itu untuk bisa tetap menjaga pemenuhan 10 kg/tahun per kapita bagi 250 juta penduduk. Konsumsi daging orang Indonesia termasuk rendah hanya sekitar  1/4   rata-rata konsumsi penduduk dunia, yang berkisar 40 kg/tahun per kapita. Padahan protein ini sangat penting bagai pertumbuhan sel dan kecerdasan. FAO beberapa waktu lalu merilis statistiknya bahwa Indonesia hanya mengkonsumsi daging 10 kg/tahun per kapita, sementara negara tetangga kita seperti Timor Leste 36,51 kg, Malaysia 48,93 kg, Brunei 63,87 kg dan Australia 111,72 kg.

Mengapa hal tersebut terjadi? Apakah tanah-tanah yang luas dan subur kita tidak cukup untuk mencapai kondisi menyamai rata-rata dunia? Setidaknya ada tiga penyebabnya yaitu kita meninggalkan sunnah para Nabi untuk menggembala, salah memilih hewan gembalaan dan salah mindset dalam lokasi penggembalaan. Domba atau kambing-lah seharusnya binatang gembalaan terbaik tersebut. Untuk kesalahan yang ketiga adalah mindset tentang lokasi penggembalaan. Dia-lah,  Yang  telah  menurunkan  air hujan  dari  langit  untuk  kamu,  sebagiannya  menjadi  minuman  dan sebagiannya  (menyuburkan)  tumbuh-tumbuhan,  yang  pada (tempat tumbuhnya) itu kamu menggembalakan ternakmu.” (QS 16 : 10). Kembali kita mendapat petunjuk dari Al Qur'an bahwa lokasi penggembalaan yang terbaik adalah bukan di padang rumput yang luas seperti di Australia dan New Zealand, tetapi diantara kerindangan tanaman lain yang membentuk kebun-kebun lebat seperti salah satunya kebun energi. Negeri manakah yang paling cocok untuk itu? Negeri tropis seperti Indonesia-lah yang cocok dan terbaik untuk penggembalaan tersebut. Selain itu Allah juga memerintahkan kita untuk memperhatikan makanan kita (QS  80  : 24-32), baik zatnya (kualitas dan kuantitas) juga cara mendapatkan hingga mengolahnya. Dengan memakan makanan yang halalan thayyiban maka doa-doa kita juga mudah dikabulkan Allah SWT. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...