Sabtu, 16 Desember 2017

Uang Yang Membawa Kemudharatan Kolektif


Potensi energi biomasa Indonesia sangat besar yakni menurut ESDM bila dikonversi ke energi listrik hampir 50.000 MW dan saat ini yang sudah dimanfaatkan sekitar 1600 MW atau 3%, sehingga dengan potensi tersebut seharusnya tidak terjadi krisis energi di negeri ini. Biomasa tersebut siap diolah untuk menjadi berbagai bentuk energi baik sumber panas maupun listrik. Dengan diolah menjadi wood pellet atau biomass pellet, maka penggunaan, penyimpanan hingga distribusinya menjadi mudah, aman dan murah. Belum lagi potensi berupa tanah-tanah yang bisa ditanami kebun energi yakni dari hutan tanaman energi yang jumlahnya mencapai puluhan juta hektar. Tetapi mengapa hal tersebut bukan menjadi berkah yang membawa kesejahteraan dan kemudahan hidup manusia? Bisa jadi masyarakat kita tidak menyadari dan mengetahui potensi tersebut, sehingga cenderung hanya membiarkannya, dan tidak mengolahnya, jelas ini berakibat menyia-nyiakan potensi yang berujung pada kemubadziran.

Banyak kabar berita telah beredar baik media cetak dan elektronik termasuk internet dan juga bahkan dialami sendiri oleh para pembaca sekalian bahwa terjadi kelangkaan gas LPG 3 kg di sejumlah daerah. Tentu saja bisa jadi karena sejumlah oknum bermain sehingga terjadi kelangkaan gas LPG tersebut. Ketika masyarakat di berbagai daerah memiliki alternatif energi yang bisa bersaing dengan LPG tersebut maka masalah kelangkaan energi atau bahan bakar tidak akan terjadise. Pertanyaannya bagaimana produksi energi yakni wood pellet atau biomass pellet atau wood briquette ataupun seperti rice husk briquette tersebut tersebar merata di seluruh pelosok negeri? Dari sinilah minat untuk menjadi produsen harus ditumbuhkan bagi para pengusaha khususnya yang bergerak di sektor energi. Pada prakteknya hal tersebut tidak mudah terutama sebagian besar bisnis berupa produksi tersebut beresiko tinggi.

Tingginya suku bunga deposito yakni dikisaran 6% per tahun telah membuat iklim berusaha atau bisnis menjadi lesu, dan banyak orang menjadi pemalas menunggu hasil dari bunga yang diharamkan agama tersebut. Bisnis baru tentang energi misalnya yang memberikan keuntungan 20-30% yang dibuat secara kongsi atau berserikat antara 2-3 orang dengan keuntungan 6-15% dianggap tidak menarik karena ada resiko rugi. Hal inilah yang mengakibatkan banyak sekali bidang-bidang bisnis yang memberi manfaat dan kemudahan hidup manusia menjadi tidak tersentuh dan otomatis tidak tergarap. Walaupun belum sepenuhnya terbebas dari bunga atau riba, sejumlah negara yang menerapkan suku bunga rendah bahkan hampir 0 % sebagai contoh Amerika Serikat hanya 1,35% dan Belanda 0,05%, telah terbukti memacu dan mendorong iklim bisnis lebih bergairah dan dinamis. Orang-orang menjadi berpikir dan berusaha untuk tidak hanya menyimpan uangnya di bank, tetapi bagaimana menjadi aktivitas yang produktif. Faktanya juga riil bahwa negara yang masih menggunakan sistem riba, tetapi dengan tingkat suku bunga lebih rendah saja sudah dapat dengan mudah mengalahkan negara yang tingkat suku bunganya lebih tinggi, apalagi negara yang tanpa riba, pasti dia bisa mengalahkan kekuatan ekonomi negara-negara lainnya yang masih berbasis riba.

Bahkan dosa riba tersebut levelnya lebih tinggi daripada mengkonsumsi makanan haram lainnya, misalnya makan babi, anjing, darah dan bangkai. Pemakan riba mendapat ancaman sebagai musuh Allah dan Rasul-Nya, sedangkan mengkonsumsi makanan haram tidak sampai diancam demikian. Untuk lebih detail bisa menyimak kajian berikut  di link ini
Uang-uang yang disimpan dan memberi penghasilan bunga tersebut telah membawa kemudharatan atau kerusakan kolektif. Tetapi faktanya mayoritas penduduk negeri ini bahkan dengan mayoritasnya muslim memilih cara itu, karena selain dijamin pemerintah dan rakyatnya juga tanpa resiko. Bukan saja begitu banyak bidang bisnis menjadi lesu dan terbengkalai, tetapi juga sikap mental menjadi pemalas tersebut. Sektor-sektor penting seperti masalah pangan, energi dan air menjadi semakin lemah penguasaannya. Tanah-tanah banyak ditinggalkan karena sektor pertanian dan peternakan dianggap tidak memberi keuntungan menarik dan beresiko tinggi, akibatnya import bahan pangan semakin merajalela, sedangkan daya beli semakin menurun. Karena kurangnya supply cabe, harga cabe sering melonjak tajam, demikian juga harga daging.  Tidak ketinggalan juga yakni sektor energi, bahkan untuk minyak bumi saat ini Indonesia telah menjadi nett importer dan tidak lagi menjadi anggota OPEC karena kebutuhan minyak dalam negeri telah melebihi pasokan produksi yang dihasilkan. Inovasi-inovasi di bidang energi juga lesu dan loyo. Dan yang paling mutahir dan mudah disaksikan yakni kelangkaan gas LPG 3 kg di sejumlah daerah. Riba telah mengambil makanan kita! Riba telah mengambil bahan bakar kita! Itulah yang terjadi. 
Sehingga solusinya adalah hanya kembali meningkatkan iman dan takwa dengan meninggalkan bunga atau riba tersebut dan menyuburkan aktivitas ekonomi non-riba (ekonomi syariah) dan sedekah sehingga tercipta kehidupan yang berkah dan memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Peringatan Allah SWT dalam QS Al Baqarah 275-279 bahwa peran riba begitu nyata dalam menghancurkan ekonomi dan ancaman siksa yang keras di dunia dan akhirat sehingga hal tersebut harus menjadi motivasi untuk penerapan sistem ekonomi syariah tersebut. Hanya dengan itu ekonomi kembali bergairah dan keberkahan muncul. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...