Selasa, 10 Juli 2018

Activated Carbon Untuk Industri Emas dan Perak

Pada awalnya arang kayu dengan luas permukaan 200 m2/gram digunakan untuk mengekstrak emas dan perak dari larutannya. Seiring perkembangan arang aktif yang memiliki luas permukaan 1000 m2/gram digunakan untuk hal tersebut tentunya juga dengan semakin meningkatnya efisiensi ekstraksi tersebut. Hal tersebut mendorong produksi arang aktif (activated carbon) di seluruh dunia. Tempurung kelapa (coconut shell) adalah bahan favorit untuk produksi arang aktif saat ini, dan cangkang sawit (palm kernel shell) sepertinya akan menjadi prioritas berikutnya.
Arang aktif (activated carbon) memiliki luas permukaan besar karena banyaknya pori-pori dari permukaannya. Pori-pori tersebut sengaja dibuat untuk meningkatkan efisiensi penjerapan (adsorption). Semakin banyak pori-pori terbentuk semakin luas permukaan activated carbon tersebut. Berdasarkan ukurannya pori-pori tersebut dibedakan menjadi macropore, mesopore dan micropore. Macropore adalah ukuran pori terbesarnya yang berada pada sisi luar atau permukaan activated carbon tersebut dan sebagai pintu masuk material yang akan dijerap (adsorb) selanjutnya melalui mesopore yang berukuran medium hingga terakhir ke micropore. Micropore inilah terminal terakhir material yang dijerap. Ukuran pori micropore berkisar 10 angstrom, mesopore 100-1000 angstrom dan macropore lebih besar 1000 angstrom (1 angstrom = 1e-10 meter). Bahan baku atau material activated carbon, pilihan proses aktivasi yang digunakan dan kondisi operasinya yang akan menentukan luas permukaan activated carbon tersebut yang terdiri dari macropore, mesopore dan micropore tersebut. Kekerasan dan kepadatan bahan juga sering menjadi pertimbangan penting mengingat penggunaan activated carbon itu sendiri, misalnya sejumlah ekstraksi dilakukan dengan pengadukan dan ada juga dengan operasi kolom. 
Penggunaan spesifik arang aktif untuk penjerapan material atau industri tertentu biasanya juga membutuhkan spesifikasi tertentu. Activated carbon yang digunakan pada fluida cairan akan optimal bila dirancang khusus pada kondisi tersebut, demikian juga yang akan digunakan pada fluida gas. Ukuran material target serta cara ekstraksinya akan menentukan spesifikasi teknis arang aktif tersebut. Demikian juga pada emas dan perak, yang ekstraksinya dengan pengadukan dan operasi kolom. Sehingga bahan baku dari tempurung kelapa umumnya masih menjadi pilihan utama karena memiliki tingkat kekerasan dan kepadatan yang tinggi sehingga tahan abrasi. Dan demikian juga cangkang sawit juga bisa digunakan mengingat level kekerasan yang juga tinggi. Sehingga activated carbon yang digunakan harus memenuhi kriteria berupa cukup keras, cukup aktif dan ukuran partikel yang sesuai. Pada ekstraksi emas activated carbon yang diproduksi dengan aktivasi fisika (steam activation) yang digunakan. Rotary kiln adalah alat aktivasi dengan bahan baku seperti tempurung kelapa, sedangkan alat fluidized bed dan multi hearth kiln umum digunakan untuk activated carbon dari batubara.

Activated carbon pada dasarnya bisa dibuat dari berbagai bahan yang mengandung karbon (carbonaceous material) seperti batubara, tempurung kelapa, cangkang sawit, kayu, bambu, heavy oil bahkan tulang. Setiap bahan, jenis aktivasi dan kondisi operasi prosesnya menentukan kualitas atau karakteristik activated carbon tersebut. Activated carbon dari tempurung kelapa memiliki banyak micropore, sedangkan activated carbon dari kayu didominasi mesopore dan macropore (micropore hanya memiliki porsi kecil) karena struktur kayu juga lebih terbuka. Untuk activated carbon dari batubara distribusi micropore, mesopore dan macropore hampir merata. Berdasarkan karakteristik diatas maka activated carbon tempurung kelapa banyak digunakan untuk menjerap molekul-molekul kecil dari gas dan cairan. Penggunaannya seperti masker gas, solvent recovery dan gold recovery. Sedangkan activated carbon dari kayu untuk penjerapan molekul-molekul besar seperti menjerap pewarna organik di industri. Sedangkan activated carbon batubara untuk penjerapan molekul-molekul organik dengan ukuran bervariasi dan penggunaannya umumnya untuk pengolahan air minum dan pengolahan air limbah. 
Setelah emas atau perak terjerap ke pori-pori activated carbon, tahap selanjutnya adalah memungut atau melepaskannya (delution) dari activated carbon. Ada 2 teknologi yang biasa digunakan untuk tahap ini yakni AARL elution process dan Zadra elution process. Perbedaannya electrowinning merupakan bagian integral Zadra circuit tetapi menjadi bagian terpisah pada AARL circuit. Zadra mendominasi di kawasan Amerika Utara sedangkan AARL mendominasi di Southern Hemisphere, tempat dimana teknologi tersebut awalnya dikembangkan. Manakah yang terbaik? Faktor operator dan kinerja alat yang lebih menentukan. 10 Nnegara produsen emas terbesar saat ini antara lain China, Australia, Amerika Serikat, Rusia, Afrika Selatan, Peru, Kanada, Ghana, Indonesia dan Uzbekistan.  

Senin, 09 Juli 2018

Heat Gasifier dan Stirling Engine Untuk Solusi Listrik Desa Terpencil

Desa-desa terpencil yang jauh dari jaringan listrik PLN akan sulit mendapatkan pasokan listrik, apalagi yang berada di pulau-pulau kecil dengan penduduk terbatas. Desa-desa terpencil tersebut juga pada umumnya merupakan desa-desa tertinggal sehingga masih perlu perhatian khusus. Saat ini desa-desa seperti itu masih sangat banyak ditemukan di Indonesia, yakni 60% atau sekitar 50.000 desa, sebagai gambaran lebih riil di Jawa dengan rasio rata-rata 3 dari 10  sedangkan di Sumatra rasionya rata-rata 7 dari 10 dan Irian 9 dari 10 desa masuk desa tertinggal. Salah satu upaya memberi perhatian dan mengembangkan desa-desa tersebut adalah dengan tersedianya aliran listrik untuk berbagai keperluan mereka termasuk akses informasi dengan dunia luar. Ketersediaan energi khususnya listrik juga mendorong mereka untuk bisa mandiri dengan berabagai macam produksi. 
Berdasarkan kondisi di atas sehingga dibutuhkan pembangkit-pembangkit kecil yang bisa dioperasikan di desa-desa terpencil tersebut. Konsep desentralisasi akan mampu menjangkau daerah-daerah tersebut. Untuk menjalankan pembangkit-pembangkit tersebut dengan mudah juga dibutuhkan sumber energi yang banyak terdapat di desa-desa tersebut dan biomasa khususnya kayu-kayuan pada umumnya banyak dan berlimpah di daerah-daerah pedesaan tersebut. Bahkan untuk mendapatkan pasokan sumber energi kayu-kayuan tersebut bisa juga dilakukan secara khusus misalnya dengan pembuatan kebun energi. Kebun energi dengan tanaman leguminoceae seperti kaliandra akan sangat efektif dan efisien untuk terus menjaga pasokan kayu pada pembangkit-pembangkit tersebut. Selain itu kebun energi juga sangat dimungkinkan untuk diintegrasikan dengan peternakan seperti domba dan sebagainya.

Gasifikasi adalah teknologi yang banyak digunakan untuk pembangkit listrik dari biomasa atau masuk kelompok power gasifier. Masalah operasional pada gasifikasi biasanya pada pembersihan gas. Tar adalah pengotor utama unit gasifikasi sehingga perlu sering perawatan untuk menjaga gasnya tetap bersih. Semakin baik unit pembersihan gas (syngas cleaning system) maka periode perawatan semakin jarang dan begitu juga sebaliknya. Semakin baik unit tersebut biasanya juga akan semakin rumit dan semakin mahal. Mesin motor bakar (internal combustion engine) selalu membutuhkan pasokan bahan bakar bersih untuk bisa beroperasi secara stabil. Bahan bakar kotor akan mengganggu operasional pembangkit tersebut, seperti kerak dan penyumbatan pada ruang bakar dan sebagainya. 

Alternatif lain pembangkit listrik biomasa tersebut adalah dengan stirling engine. Stirling engine memiliki kesamaan dengan internal combustion engine yakni alat atau konverter yang menghasilkan energi mekanik yang selanjutnya diubah menjadi listrik dengan generator. Perbedaannya stirling engine adalah heat engine yang mengubah panas menjadi energi mekanik. Sedangkan produksi panas dilakukan diluar alat tersebut, sehingga stirling engine bisa juga sebagai external combustion engine apabila sumber panas berasal dari pembakaran diluar unit tersebut. Dalam hal inilah sehingga gasifikasi juga bisa digunakan, tetapi diposisikan sebagai heat producer atau penghasil panas yang digunakan untuk oleh stirling engine. Gasifier yang menggunakan biomasa untuk menghasilkan panas masuk kelompok heat gasifier. Konfigurasi heat gasifier lebih sederhana dibandingkan dengan power gasifier, hal ini dikarenakan pada heat gasifier tidak dibutuhkan perangkat pembersihan dan pengkondisian gas yang rumit seperti pada power gasifier. Apalagi yang digunakan adalah jenis downdraft gasifier yang jumlah pengotor tarnya sudah minimal.
Skema dari power gasifier
Skema dari heat gasifier
Stirling engine sama seperti gasifikasi juga bukan hal baru. Kedua teknologi ini banyak digunakan ketika terjadi krisis energi beberapa dekade lalu. Saat itu kedua teknologi tersebut banyak digunakan untuk menggerakan berbagai sarana transportasi dan juga pembangkit listrik. Ketika kondisi saat ini kesadaran penggunaan bahan bakar fossil semakin harus dikurangi atau bahkan tidak boleh menggunakan bahan bakar fossil atau karena tekanan aspek lingkungan maka energi terbarukan menjadi pilihan dan teknologi seperti gasifikasi dan stirling engine muncul kembali. Faktor spesifik untuk kondisi Indonesia juga turut menjadi daya dorong adalah daerah yang luas dan masih banyak berada di daerah terpencil sedangkan pasokan khususnya bahan bakar minyak sulit didapat sementara biomasa kayu-kayuan melimpah dan sangat mudah didapat. Solusi pembangkit listrik biomasa skala kecil yang praktis, mudah operasional, efisien dan minim perawatan akan menjadi solusi kelistrikan Indonesia dan juga solusi lingkungan. 

Jumat, 06 Juli 2018

Produksi Pellet dan Briket Dari Limbah Pabrik Kayu Sengon

Pohon sengon adalah pohon yang banyak ditanam masyarakat diberbagai daerah dalam kawasan hutan rakyat. Saat ini diperkirakan luas perkebunan sengon tersebut mencapai lebih dari 1 juta hektar. Kayu adalah produk utama dari perkebunan sengon tersebut. Kayu tersebut diolah menjadi berbagai produk dari kayu gelondongan, kayu papan, kayu lapis, barecore, hingga pallet. Kayu sengon termasuk kayu lunak dan dihasilkan dari panen kayu dari perkenunan tersebut diusia pohon kurang lebih 5 tahun. Sentra-sentra perkebunan sengon di Indonesia terpusat pulau Jawa dan Kalimantan.

Limbah dari pengolahan kayu sengon tersebut yakni serbuk gergaji (sawdust), potongan-potongan kayu, kulit kayu dan kayu serutan (planner shaving). Masih banyak limbah-limbah tersebut yang belum dimanfaatkan bahkan mencemari lingkungan. Produksi wood pellet dan wood briquette dengan bahan baku tersebut akan mengatasi masalah lingkungan, menggerakkan sektor ekonomi dari pengolahan limbah atau khususnya bioeconomy yang diprediksi akan menjadi trend dalam waktu tidak lama lagi. Industri pengolahan kayu sengon paling sederhana yakni penggergajian kayu (saw mill) yang jumlahnya paling banyak dibandingkan industri pengolahan lebih hilir. Setiap penggergajian kayu rata-rata menghasilkan limbah serbuk gergaji 3 m3/hari (600 kg/hari) sehingga untuk 10 saw mill saja dihasilkan 6 ton/hari serbuk gergaji dengan kadar air rata-rata 30%.

Produksi briket dan pellet dari limbah kayu tersebut banyak kesamaannya, karena pada dasarnya teknologinya sama yakni pemadatan biomasa (biomass densification). Perbedaan dari produksi briket dan pellet hanya pada bagian akhir saja yakni mesin pemadatan atau mesin press (compactor)-nya. Pada produksi pellet di industri bentuknya sama yakni berupa silinder, hanya diameternya saja yang berbeda dan tidak ada perbedaan teknologi pemelletan tersebut. Ring die pellet press adalah pelletiser yang umum digunakan untuk pemelletan biomasa di industri khususnya berbahan baku biomasa kayu (woody biomass). Sedangkan pada briket, selain ukuran yang berbeda-beda, bentuk dari briket juga berbeda-beda. Briket umumnya juga memiliki tingkat kepadatan (densitas) lebih tinggi daripada pellet, bahkan bisa lebih dari dua kali lipatnya. Pellet memiliki kepadatan sekitar 650 kg/m3 sedangkan briket bisa mencapai 1400 kg/m3. 
Cara paling mudah membedakan briket dengan pellet yakni dari ukuran fisiknya. Briket memiliki ukuran lebih besar daripada pellet. Pembriketan pada umumnya juga lebih mudah dibandingkan pemelletan. Berbeda dengan pellet yang hanya menggunakan roller press, produksi briket menggunakan beberapa macam teknologi yakni, screw press, hydraulic dan piston press. Ulasan singkat teknologi tersebut bisa dibaca disini. Teknologi screw press memiliki banyak kelebihan dibandingkan hydraulic dan piston press, antara lain pada teknologi screw press briket yang dihasilkan juga memiliki lubang ditengah sehingga memudahkan pembakaran, dan juga mudah untuk diarangkan (karbonisasi). Teknologi screw press juga menghasilkan briket secara kontinyu, tidak seperti hydraulic yang beroperasi secara batch.
Faktor lain yang juga sangat mempengaruhi pengolahan limbah kayu sengon ini, tentu saja investasi atau harga peralatan atau unit produksi tersebut. Unit produksi pellet secara umum lebih mahal daripada briket, bahkan unit produksi briket hanya sekitar separuh unit produksi pellet. Hal tersebut membuat entry barrier produksi briket lebih mudah atau lebih kecil dibandingkan produksi pellet. Bahkan teknologi screw press briket telah dikuasai dengan baik di Indonesia termasuk sampai proses karbonisasinya dan telah beroperasi lebih dari 25 tahun. Fabrikasi dan suku cadang screw press briquette juga telah sepenuhnya dikuasai, sehingga pengolahan limbah kayu sengon lebih mudah diimplementasikan segera. 

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...