Sabtu, 10 Oktober 2020

Omnibus Law dan Industri Halal Indonesia

Dalam UU omnibus law Indonesia yang baru saja disahkan DPR terlihat nyata bagaimana keberpihakan pemerintah terhadap pemodal asing khususnya China hingga mengorbankan dan menindas hak rakyatnya. Selain masalah ketenagakerjaan yang menjadi sorotan utama, UU setebal 900an halaman tersebut berisi sejumlah hal penting dan strategis lainnya seperti pendidikan, lingkungan, pangan dan sebagainya. Sejumlah pihak padahal telah mengingat pemerintah baik dari dalam negeri maupun luar negeri, tetapi pemerintah tetap tidak mau mendengarkan dan mempertimbangkannya kecuali aspirasi para cukong yang kapitalistik tersebut. Hal tersebut tentu saja membuat keberlangsungan negara terancam. Ditambah dengan beratnya beban hidup rakyat akibat wabah korona, bukannya pemerintah memprioritaskan penanganan wabah tersebut, tetapi malah semakin menyengsarakan rakyat. Dan khusus sektor pangan sebagai bagian dari industri halal juga terancam dengan UU tersebut. Sebagai negara dengan mayoritas Islam sudah semestinya industri halal menjadi prioritas bukan malah diberangus dan dihancurkan. Dalam UU tersebut Pasal 49 angka 3 UU Ciptaker dalam omnibus law merevisi Pasal 7 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.  Hal tersebut berpotensi melemahkan Majelis Ulama Indonesia dan Kementerian Agama dalam konteks perannya pada Sistem Jaminan Halal yang secara struktur dan kelembagaan telah mempunyai organ sampai di tingkat kecamatan di seluruh Indonesia.

Selain itu, pemerintah melonggarkan syarat penyelia halal, atau orang yang bertanggung jawab terhadap Proses Produk Halal (PPH). Dalam aturan itu, pemerintah menghapuskan syarat penyelia halal yang tercantum pada pasal 28 UU 33/2014 yakni beragama Islam dan memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan. Sebelumnya UU nomor 33 tahun 2014 ada beberapa syarat untuk auditor halal yaitu wajib beragama Islam, WNI, berwawasan luas terkait kehalalan produk dan syariat agama. Selain harus beragama Islam,  auditor juga wajib berpendidikan minimal S1 bidang bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi. Dengan dihapusnya syarat ini maka peluang untuk menjadi auditor halal terbuka lebih lebar sehingga sangat rawan pelanggaran. Hal yang sangat tidak tepat di dalam Ketentuan Omnibus Law Jaminan Produk Halal adalah ketentuan self declare, ini adalah sesuatu yang diharamkan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dengan begitu, kementerian atau lembaga yang mengurusi sertifikasi halal dapat dikesampingkan dengan mudah. Karena halal itu mata rantainya dari ladang sampai ke meja makan, yang harus dijamin kehalalannya. Lalu bagaimana bila halal hanya dinyatakan sendiri pelaku usaha UKM ? Padahal banyak UKM yang produknya menggunakan bahan utama dari daging, margarin, room butter, bahan penolong serta bahan artifisial yang memiliki titik kritis tinggi (berpotensi terkontaminasi materi tidak halal) yang masih harus ditelusuri kehalalannya.

“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”(QS. Al- Maidah ayat 88)

"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah ayat 168)

“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (QS. Abasa [80]: 24)

Dengan lemahnya pengaturan dan pengawasan produk-produk halal, maka produk-produk haram akan sangat leluasa dan merajalela. Produksi barang haram seperti daging babi yang dihasilkan dari peternakan babi juga akan membanjiri pasaran. Hal tersebut tentu saja juga akan mendorong mata rantai usaha tersebut seperti produksi pakan ternak, industri pengolahan dan sebagainya. Bagi muslim masalah pangan adalah masalah penting tidak hanya citarasa dan mengenyangkan perut untuk mempertahankan hidup. Tetapi lebih dari itu makanan yang halal dan thayib menjadi bagian ibadah yang diatur syari'at.  Ayat-ayat di atas sangat jelas dan tegas betapa pentingnya makanan bagi muslim. Tinggi kandungan protein atau zat gizi lainnya tetapi jika syari’at Islam melarangnya maka makanan tersebut tidak bisa dikonsumsi bagi muslim.  Makanan haram juga menjadi penyebab tidak terkabulnya do’a, padahal do’a adalah senjata orang beriman . Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberi contoh : “Seorang laki-laki datang dari tempat yang jauh dengan pakaian kusut dan berdebu, menengadahkan tangan ke langit dan berdo’a “Ya Rabb, Ya Rabb!” sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, didirinya dipenuhi denga hal-hal yang haram, bagaimana do’a-nya dapat terkabulkan ?” (HR. Muslim).

Komposisi dan kuantitas produksi pakan ternak juga mencerminkan konsumsi daging negara tersebut. Sebagai contoh Belanda dengan sekitar 75 pabrik pakan produksi pakan ternak mencapai 12,2 juta ton per tahun, distribusinya 5 juta ton pakan babi, 3,7 juta ton sapi potong dan sapi perah, 3,1 juta ton unggas dan 0,4 juta ton ternak lainnya. Produksi pakan babi di Belanda memegang porsi terbesar dibanding pakan ternak lainnya. Hal tersebut juga menjadi tidak mengherankan bahwa ketika jaman penjajahan Belanda atas Indonesia, Belanda juga mengkampanyekan dan menggalakkan untuk mengkonsumsi daging babi sebagai tradisi mereka untuk etnis tertentu untuk melawan perjuangan umat Islam. Sedangkan Turki tercatat produksi pakan ternak mencapai 10,5 juta ton dengan komposisi 4,2 juta ton pakan sapi perah dan sapi potong, 4,6 juta ton unggas, dan ternak lainnya 1,5 juta ton. Sedangkan secara global komposisinya sebagai berikut produksi pakan unggas diperingkat pertama dengan porsi 45% disusul urutan kedua pakan babi 11%, ketiga ruminansia 10% dan sisanya lain-lain seperti pakan ikan, binatang peliharaan dan kuda. Indonesia dengan penduduk mayoritas Islam harus memprioritaskan untuk mengembangkan industri pakan ternak  berbasis industri halal sehingga sehingga sejalan dengan syariat Islam.

Dengan kondisi saat ini pun ketika adanya sejumlah lembaga resmi yang mengatur dan mengawasi industri halal secara ketat saja sudah banyak ditemui kasus daging haram yang beredar di pasaran. Kasus tersebut semakin besar ketika terjadi lonjakan kebutuhan daging seperti pada saat Ramadhan dan Idhul Fitri. Daging babi, babi hutan, anjing atau bangkai banyak diperjualbelikan saat itu, padahal jelas-jelas itu adalah daging haram. Logikanya pada kondisi seperti ini saja daging haram masih begitu marak beredar di pasaran. Lantas bagaimana jika UU tersebut diberlakukan ? Tentu kondisinya akan menjadi sangat buruk, sehingga tidak ada pilihan lain bahwa UU tersebut harus dicabut dan dibatalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...