Rabu, 21 Oktober 2020

Modifikasi Proses Untuk Inovasi Produk Baru

 

Sejarah pembuatan kertas dimulai sejak beribu-ribu tahun yang lalu. Hal tersebut karena manusia punya kebutuhan untuk berkomunikasi dan mencatat pikiran-pikiran atau gagasan-gagasannya, sehingga mendorong menciptakan media untuk maksud tersebut. Diawali dari media sangat sederhana seperti batu, tulang, daun tanaman, kulit binatang, hingga lembaran kertas seperti yang kita temui saat ini. Bahkan kata kertas yang dalam bahasa Inggris paper berasal dari kata papyrus yakni sejenis tanaman alang-alang yang tumbuh di pinggir alliran sungai. Nenek moyang bangsa Mesir menemukan material seperti kertas dari papyrus tersebut, bahkan selama sekitar 4000 tahun Mesir memonopoli produksi papyrus tersebut. Hal tersebut terutama karena papyrus hanya tumbuh subur di pinggriran sungai Nil di Mesir. Bahan baku, teknik produksi dan kualitas kertas yang dihasilkan senantiasa berubah-ubah mengikuti kemajuan teknologi dan bahan baku yang tersedia. Penemuan kertas pertama tercatat di China sekitar tahun 100 masehi dan selanjutnya menyebar ke jazirah Arab. Sementara muslim Arab pada abad kedelapan masehi membawa kertas dan teknik pembuatannya di kawasan Mediterania dan pada akhir abad kedelapan tersebut kertas telah diproduksi di Baghdad, ibukota kekhalifahan Abbasiyah di pusat Iraq. Hal tersebut membuat teknik pembuatan kertas tersebut menyebar ke seluruh wilayah kekuasaannya. Hal tersebut khususnya juga menyebar ke kawasan Mediterania dan menggantikan papyrus dan perkamen (dari kulit domba atau kambing) yang sebelumnya mendominasi beribu-ribu tahun. Sedangkan Eropa Kristen baru mulai belajar membuat kertas pada abad kedua belas. 

Ketidaktersediannya bahan baku seperti di China membuat produksi kertas di Arab menggunakan pakaian-pakaian bekas yang tidak terpakai, begitu juga terjadi pengembangan teknik produksinya. Pembuatan kertas pada saat itu sangat tergantung suplai air bersih. Hal tersebut karena hanya dengan air tersebut untuk memucatkan (bleaching) serat tersebut sebelum penemuan klorin pada abad kedelapan belas, yang selanjutnya dikeringkan dengan sinar matahari untuk mendapatkan kertas putih. Kondisi tersebut terus berlanjut hingga ke daratan Eropa sehingga teknik produksi dan kualitas kertas semakin baik. Bahkan penemuan mesin cetak oleh Johann Gutenberg pada 1436 membuat buku lebih mudah diproduksi lebih cepat dan murah. Era ini juga menandai akselerasi peradaban baru tersebut karena budaya membaca buku menjadi meningkat pesat sehingga kebutuhan kertas juga dengan sendirinya meningkat.  Penggunaan bahan kimia untuk produksi kertas dimulai sekitar tahun 1800 yakni kayu yang telah dihancurkan selanjutnya “dicerna” dengan bahan kimia termasuk penggunaan sulfate. Kertas mampu memberi dorongan dari budaya lisan (oral) menjadi budaya tulis dan pengembangan sejumlah sistem notasi seperti bahasa, matematika, transaksi komersial, architectural drafting, rumus-rumus kimia, yang merupakan dari produk sejumlah penemuan dan persebaran buku-buku cetak.  Singkat kata kertas telah menadai “era peradaban baru” seperti yang kita alami saat ini. 

Produksi bubur kertas (pulp) pada dasarnya adalah melepaskan serat selulose dan hemiselulose dari lignin dengan bahan kimia tertentu. Pada saat proses ektraksi selulose tersebut, bahan ekstraktif juga ikut dipisahkan.  Serat selulose dan hemiselulose tersebut juga dijaga untuk tetap utuh, sehingga meningkatkan yield dari serat yang bisa digunakan. Serat yang dihasilkan tersebut secara alamiah juga berwarna sesuai jenis bahan bakunya dan harus dipucatkan (bleaching) sebelum bisa digunakan untuk kertas. Dalam proses pemucatan (bleaching) itupun harus diupayakan sedemikian rupa sehingga serat selulose tersebut tidak sampai tambah rusak, termasuk penggunaan bahan kimia selektif untuk bleaching agent tersebut. Selulose adalah bahan organik utama pada tanaman kayu-kayuan, ketika diolah menjadi kertas maka bisa menjadi produk kertas yang beraneka ragam. Setelah serat selulose tersebut dipisahkan atau dilepaskan dari pengikatnya yakni lignin sehingga menjadi pulp, dari pulp tersebut selanjutnya direkatkan kembali sehingga membentuk kertas dengan perekat tertentu. Kayu lunak adalah bahan baku yang lebih banyak digunakan untuk produksi bubur kertas tersebut karena serat selulose-nya lebih panjang (sekitar 3–4 mm panjangnya dengan diameter 25–30 mikro). Kandungan lignin yang rendah pada kayu keras digunakan untuk produksi kertas khusus dimana kehalusan dan kelembutan diinginkan.

Kraft Pulping Proces
Ada sejumlah proses dan variasi dari proses dasar yang bisa digunkan untuk produksi pulp dari kayu. Proses utama yang digunakan oleh industri kertas saat ini proses kraft (biasa dikenal proses sulfate), proses termokimia, proses semi-kimia dan proses sulfit. Proses kraft masih paling popular dan paling banyak digunakan saat ini atau arus utama pada proses produksi kertas. Hal tersebut seperti penggunaan limestone scrubber pada treatment gas buang pembangkit listrik khususnya pembangkit listrik batubara, lebih detail bisa dibaca disini. Keunggulan proses kraft dibandingkan proses lainnya adalah yield selulose tinggi dan recovery liquor, sehingga proses menjadi efisien atau cost produksi murah. Proses produksi kertas dimulai dengan penggunaan kayu berdiameter 8 cm up, selanjutnya kayu tersebut dikupas kulitnya (debarking). Proses debarking bisa dilakukan secara mekanik maupun dengan air bertekanan tinggi pada 1400 psi tegak lurus dengan batang kayu tersebut. 

Blu Karb Carbonisation
Pabrik kertas selalu ditopang oleh perkebunan kayu yang luas sebagai sumber bahan bakunya, seperti perkebunan atau hutan akasia. Kayu-kayu berdiameter kurang dari 8 cm atau kisaran 5-8 cm bisa digunakan untuk produksi arang. Dengan teknologi karbonisasi yang teruji dan proses semi-kontinyu kapasitas 3000 ton/tahun dengan kualitas arang melebihi standar Eropa (fixed caron >82%) bisa dicapai, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Sedangkan kayu-kayu berupa ranting-ranting yang lebih kecil juga bisa dimanfaatkan untuk produksi briket atau pellet. Briket lebih mudah secara teknis dan lebih murah biaya produksinya, lebih detail bisa dibaca disini. Dengan cara seperti itu maka limbah-limbah kayu tersebut bisa dimanfaatkan secara optimal atau bahkan zero waste. 
 

Setelah kayu-kayu besar tersebut dikupas dan dikupas kulitnya selanjutnya dikecilkan ukurannya menjadi chip. Wood chip tersebut lalu dimasukkan ke dalam digester (pressure vessel) yang berkapasitas 1500-3600 cubic feet dan recovered cooking liquor ditambahkan.  Setelah proses digestion dalam digester (pressure vessel) tersebut selesai selanjutnya tekanan diturunkan menjadi 80 PSI dan isinya dituang ke dalam tangki. Selanjutnya pulp tersebut difilter dan diolah lanjut seperti diagram diatas sehingga menjadi produk akhir berupa kertas.

Lalu bagaimana jika proses kraft tersebut dibalik prosesnya? Pada proses kraft yang terjadi adalah serat selulose dipisahkan dari lignin dan dijaga dalam kondisi utuh atau selulose menjadi produk utama. Ketika proses dibalik berarti lignin dipisahkan dari selulose dan dijaga utuh atau lignin menjadi produk utama. Hal tersebut berarti lignin yang dihasilkan dari proses kraft berbeda dengan lignin dari proses kebalikannya secara kualitas, demikian juga selulose yang dihasilkan dari proses kraft juga akan berbeda kualitas dari proses kebalikannya tersebut. Mengapa perlu membalikkan proses kraft tersebut? Apa tujuannya dan apakah memberi keuntungan? Tentu saja alasan utamanya adalah untuk menciptakan bisnis baru yang lebih menguntungkan. Diversifikasi produk tersebut diproyeksikan memiliki peluang pasar dan keekonomian lebih baik pada masa mendatang daripada produk kertas. Produk yang dihasilkan dari proses tersebut adalah gula selulose dan lignin dari kayu-kayu pohon tersebut. 

Gula selulosa berasal dari biomassa non-makanan (misalnya kayu dan limbah-limbah pertanian). Biomassa terutama terdiri dari polimer karbohidrat selulosa , hemiselulosa , dan polimer aromatik (lignin). Hemiselulosa adalah polimer yang sebagian besar terdiri dari gula lima karbon C 5 H 10 O 5 ( xilosa ) dan selulosa adalah polimer dari gula enam karbon C 6 H 12 O 6 ( glukosa ).  Selulosa adalah senyawa organik yang paling umum di Bumi. Sekitar 33% dari semua materi tanaman adalah selulosa (isi selulose dari kapas adalah 90% dan dari kayu adalah 40-50%). Selulosa tidak dapat dicerna oleh manusia, hanya dapat dicerna oleh hewan yang memiliki enzim selulose. Serat selulosa dianggap sebagai blok bangunan struktural tanaman dan terikat erat dengan lignin, tetapi biomassa dapat didekonstruksi menggunakan hidrolisis asam , hidrolisis enzimatik , disolusi organosolv, autohidrolisis atau hidrolisis superkritis. 

 

Teknik Fraksinasi Organosolv

Teknik Hidrolisis Enzimatik


Ketika akan produksi gula C5 dan C6 tersebut dengan menggunakan hidrolisis enzimatik, maka enzim harus bisa mengunyah selulose tersebut dengan mudah dan mengkonversinya menjadi gula C5 dan C6 dan selanjutnya memisahkan gula-gula tersebut dari lignin. Sehingga output yang keluar dari unit proses tersebut ada dua arus utama yakni gula dan lignin. Struktur molekul dari lignin yang dihasilkan juga mendekati seperti yang ada pada pohon daripada lignin yang dihasilkan dari proses kraft. Lignin yang dihasilkan juga bisa digunakan pada produksi resin, bahkan ada potensi besar penggunaan lignin dan gula tersebut untuk menciptakan feed additives pada ternak. 


Produksi gula selulose dengan berbiaya murah dan kapasitas besar juga sudah dilakukan oleh perusahaan berbasis di Amerika Serikat, dan ini bisa jadi merupakan satu-satunya pemain komersial yang memanfaatkan teknologi hidrolisis superkritis sebagai jalur produksi gula selulosa, yakni dengan produksi 100.000 ton/tahun. Gula ini dapat diproduksi dari berbagai macam bahan baku dan dapat diubah menjadi berbagai produk biokimia , biofuel , dan polimer baik melalui jalur biologis maupun kimiawi. Salah satu aplikasi penggunaan gula selulosa tersebut adalah bahan baku bioplastic. Plastik sendiri adalah salah satu produk polimer. Tingginya pencemaran lingkungan akibat plastik dari petrokimia mendorong penggunaan dari bahan terbarukan. Bahkan perusahaan tersebut telah membuat kerjasama dengan industri kertas di Eropa untuk produksi gula selulose tersebut. Menurut perusahaan Rentmatix, 1 juta ton gula selulose dikatakan mencukupi untuk membuat biodiapers untuk 24 juta bayi selama 3 tahun atau menerbangkan 100 pesawat Boeing 747 selama 8 hari berturut-turut atau membuat 120 milyar compostable plastic cup atau menjalankan 1 juta mobil sejauh 2000 mil dengan bioethanol atau membuat cat untuk 14 juta rumah baru. Bahan-bahan kimia terbarukan juga bisa diproduksi dengan bahan baku gula selulose tersebut. Saat ini juga banyak bermunculan pabrik-pabrik yang produksi bioetanol untuk bahan bakar cair dengan rute proses tersebut, yakni gula C5 dan C6 yang dihasilkan lalu difermentasi untuk menghasilkan ethanol, sehingga biasa disebut proses biomasa ke ethanol. 

 


Gula selulosa digunakan sebagai sumber daya terbarukan untuk industri biokimia dan biofuel dan dapat digunakan untuk memproduksi zat antara melalui proses fermentasi. Ketersediaan gula industri dari sumber daya terbarukan, dalam jumlah yang cukup dan dengan biaya yang menguntungkan memungkinkan produk tersebut bersaing biaya dibandingkan produk berbasis bahan bakar fosil. Sebuah studi tahun 2012 oleh Nexant memperkirakan bahwa di masa depan, akan memungkinkan dan berpotensi secara ekonomi untuk menghasilkan semua jenis produk kimia berbasis gula dari biomassa karena perkembangan dalam pemrosesan selulosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...