Jumat, 28 Mei 2021

Biochar Sebagai Solusi Deforestasi Pada Perkebunan Sawit Indonesia

Pohon kelapa sawit bukan asli tanaman Indonesia tetapi berasal dari Afrika Barat dan dibawa kolonialis Belanda pada pertengahan abad 19. Pada awalnya mereka membawa 4 butir dan ditanam di kebun raya Bogor yang saat ini menjadi monumen atau tugu sawit. Perkebunan sawit pertama kali dibuat di Indonesia pada tahun sekitar awal 1900 di Sumatera Utara. Perkembangan industri sawit dan perkebunannya selanjutnya sangat pesat terutama 10 tahun dan saat ini diperkirakan luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 15 juta hektar. Sebagai tanaman penghasil minyak nabati terbesar di dunia dan luas perkebunan sawitnya juga terbesar di dunia, tentu saja kelapa sawit memiliki nilai strategis dalam perekonomian Indonesia. Rata-rata kecepatan luas perkebunan sawit Indonesia adalah 6,5% per tahun atau ekuivalen sekitar 1 juta hektar per tahun untuk 5 tahun terakhir, sedangkan peningkatan produksi buah kelapa sawit atau TBS (tandan buah segar) rata-rata hanya 11%.  Bahkan peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2017 yakni bertambah seluas 2,8 juta hektar. Dari tahun 2015 hingga tahun 2019, total luas areal kelapa sawit bertambah seluas 3,7 juta hektar. Ekstensifikasi atau perluasan kebun sawit tersebut ternyata banyak "dituduh" dan menjadi sorotan dunia sebagai dari alih fungsi lahan hutan, sehingga banyak terjadi penggundulan hutan (deforestasi) untuk selanjutnya diubah menjadi perkebunan sawit. 

Tugu Sawit di Kebun Raya Bogor

 
Perkembangan Industri Sawit 1848 -2011
 

Tekanan dari Uni Eropa khususnya, akibat kondisi tersebut memperburuk citra minyak sawit Indonesia yang selanjutnya berpengaruh kepada harga jual minyak sawit baik CPO dan produk turunannya tersebut. Memperbaiki citra tersebut memang juga tidak mudah. Salah satu upaya yang efektif adalah menghentikan upaya ekstensifikasi tersebut sehingga lahan hutan tetap menjadi lahan hutan dan tidak berubah menjadi kebun sawit. Biochar bisa menjadi solusi efektif untuk masalah tersebut. Dengan peningkatan produktivitas tandan buah segar dari penggunaan biochar, maka perkebunan sawit baru tidak perlu dibuka lagi. Dengan asumsi terjadi kenaikkan produktivitas rata-rata 20% maka produksi CPO juga meningkat 20% atau setara 2 juta ton. Peningkatan tersebut akan setara untuk pembukaan lahan baru seluas lebih dari 2 juta hektar. Tentu bukan luas tanah yang kecil. Dengan peningkatan produksi 20% tersebut besar kemungkinan besar kebutuhan nasional untuk kebutuhan khususnya CPO telah terpenuhi dan begitu juga untuk pasar export.


Dengan ekstensifikasi lahan sawit lebih dari 1 juta per hektar setiap tahunnya tetapi kenaikan produksi buah sawit hanya 11% tentu kurang menarik dan harus dihindari apalagi ditambah sorotan dunia tentang deforestasi yang semakin kencang tersebut. Hal ini juga semakin mengindikasikan tentang rendahnya produktivitas perkebunan sawit tersebut. Padahal dengan memperbaiki kualitas tanah produktivitas buah sawit bisa dinaikkan secara signifikan dan pembukaan lahan baru untuk pembuatan kebun sawit bisa dihindari. Limbah-limbah biomasa di perkebunan sawit maupun di pabrik sawit bisa digunakan untuk produksi biochar tersebut. 

Pada pabrik sawit limbah-limbah biomasa tersebut lebih mudah diolah dengan jumlah sangat banyak khususnya tandan kosong sawit atau EFB (empty fruit bunch). Satu pabrik sawit rata-rata bisa menghasilkan 200 ton per hari limbah tandan kosong tersebut. Sedangkan di perkebunan sawit limbah biomasa seperti pelepah, daun dan batang sawit, adalah bahan baku untuk produksi biochar tersebut. Batang sawit bahkan banyak memberi dampak negatif ketika tidak diolah dengan memadai atau hanya dibiarkan membusuk di kebun tersebut sehingga memunculkan hama kumbang tanduk, untuk lebih detail baca disini. Optimalisasi pemanfaatan limbah biomasa tersebut memiliki multimanfaat, tidak hanya mencegah terjadinya polusi lingkungan oleh limbah tersebut, dan bisa digambarkan seperti skema dibawah ini.  

Ditinjau dari sisi teknologi, teknologi produksi biochar juga sangat bervariasi, dari teknologi sederhana (low tech, low cost) yang murah hingga teknologi tinggi canggih yang efisien, kontrol proses yang presisi tetapi dengan harga lebih mahal. Pada pabrik sawit akan efektif menggunakan teknologi tinggi sehingga bisa diintegrasikan dengan operasional pabrik sawit tersebut. Excess energy dari proses pyrolysis juga akan menggantikan bahan bakar boiler yang selama ini menggunakan fiber dan cangkang sawit. Banyak memang keuntungan pabrik sawit apabila melakukan produksi biochar tersebut untuk lebih detail bisa dibaca disini. Produksi biochar dengan tandan kosong atau EFB biochar juga lebih menguntungkan daripada EFB pellet, penjelasan lebih detail bisa dibaca disini. Sedangkan bagi masyarakat yang memiliki kebun sawit sebagai bagian dari plasma sawit atau perkebunan mandiri, bisa menggunakan teknologi sederhana (low tech, low cost) untuk produksi biochar tersebut. Produksi biochar dengan cara sederhana juga bisa memanfaatkan excess energy untuk berbagai aktivitas usaha kecil seperti yang dilakukan di Tanzania, Afrika. Dengan cara tersebut masyarakat selain menghasilkan biochar juga mendapat sumber energi termasuk mengurangi pemakaian kayu bakar yang bisa saja didapat dari menebang pohon di hutan yang dilindungi atau mengurangi tekanan deforestasi. 

Pupuk adalah komponen biaya tertinggi pada operasional perkebunan sawit. Biochar selain mampu meningkatkan produktivitas buah sawit atau TBS juga bisa mengurangi kebutuhan pemakaian pupuk tersebut. Terjadinya kenaikan pH tanah menjadikan unsur hara mudah terserap oleh pohon sawit dan juga meningkatkan aktivitas mikroba tanah yang meningkatkan kesuburannya adalah salah satu manfaat penggunaan biochar tersebut. Dan ketika performa level produktivitas kebun sawit telah mampu dicapai dan dipertahankan maka sejumlah improvement lainnya juga bisa dilakukan. Dari sudut pandang industri, bahan baku merupakan faktor vital yakni dalam hal ketersediaan, kontinuitas suplai dan kualitas, termasuk juga pabrik sawit. Apalagi pada produksi CPO aspek kebun memegang porsi 80% sedangkan aspek pabrik hanya 20%. Hal tersebut menegaskan kalau aspek kebun memegang peranan vital di suplai bahan baku tersebut sehingga upaya memaksimalkan produktivitas termasuk menjaga performa level produktivitas sangat penting dan menjadi prioritas utama. Sedangkan perubahan kebun sawit dari monokultur menjadi polikultur (kebun campur) adalah salah satu improvement lanjut yang bisa dilakukan. Perkebunan monokultur yang luas memang berpotensi rentan terhadap penyakit sehingga perlu dihindari. Secara teknis berapa luas monokultur masih efektif khususnya untuk tanaman sawit memang belum ada temuan yang meyakinkan. 

Minggu, 09 Mei 2021

Biochar untuk Perkebunan Kelapa

Produktivitas kelapa Indonesia semakin mengalami penurunan sehingga walaupun luas kebun kelapanya terbesar di dunia. Hal tersebut tentu membuat tanah-tanah kurang produktif dan hasil bumi dari perkebunan kelapa juga rendah. Sebagai perbandingan produktivitas kelapa India mencapai 300 butir per pohon atau 7,5 kali lipat dari Indonesia yang rata-rata hanya 40 butir per pohon per tahun. Selain itu juga jumlah kebun kelapa yang harus diremajakan (replanting) sangat luas dan tidak sebanding dengan kecepatan penanaman kembali atau replanting tersebut. Akibat minimnya perawatan juga banyak ditemukan area kebun-kebun kelapa yang rusak yang kalau ditotal mencapai ratusan ribu hektar. 

Kondisi kritis kelapa telah dialami Indonesia dan kini banyak negara penghasil kelapa di kawasan Asia Pasifik mengalami kondisi serupa. Sebagian besar pohon kelapa yang ada adalah pohon yang ditanam satu dekade pasca perang dunia pertama atau kisaran tahun 1930an padahal usia kelapa berkisar 80 tahun. Artinya pohon tersebut sudah berumur lebih dari 80 tahun atau sudah melewati masa produktifnya. FAO bahkan telah memberi peringatan ini sejak 2013. Konsekuensinya industri-industri mengalami kurangnya pasokan bahan baku parah ditengah meningkatnya lonjakan permintaan produk-produk berbasis kelapa tersebut, seperti yang dialami Sambu Group. Sambu group adalah industri kelapa terbesar di Indonesia yang berlokasi di Riau yang harus mendatangkan bahan baku kelapa bulat dalam dua tahun terakhir. Padahal Riau sendiri adalah penghasil kelapa terbesar di Indonesia khususnya kabupaten Indragiri Hilir. 

Mengatasi krisis tersebut tentu dibutuhkan waktu yang tidak cepat dan tidak mudah.  Sejumlah upaya yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM) perlu dilakukan secara konsisten untuk mendapatkan hasil optimal dan sesuai tujuan. Sebagai produk yang utamanya untuk pangan dan ditambah seluruh bagiannya yang bisa dimanfaatkan, maka mengatasi krisis perkebunan kelapa atau sektor hulu dari industri perkelapaan adalah hal penting. Selain itu perluasan area perkebunan kelapa juga perlu ditambah hingga sekitar 6 juta hektar sehingga pasokan untuk industri tercukupi, sebagai perbandingan perkebunan kelapa sawit Indonesia telah mencapai sekitar 14 juta hektar. Tentu saja itu langkah selanjutnya setelah replanting dan perbaikan perkebunan kelapa yang rusak bisa diatasi.  

Untuk meningkatkan produktivitas kelapa tersebut selain dengan penggunaan bibit  juga berbagai teknik budidaya pertanian yang memadai. Perbaikan kualitas tanah sehingga tanaman bisa mengoptimalkan pengambilan hara merupakan hal sangat penting dilakukan. Sebagus apapun bibit yang digunakan jika kualitas tanahnya rendah dan teknik bertani atau budidaya ala kadarnya maka hasilnya juga tidak akan optimal. Sebagai contoh pada tanah masam yang membuat penyerapan hara rendah dan juga aktivitas mikroba tanah maka apapun tanamannya juga tidak akan optimal pertumbuhannya. Biochar sebagai pembenah tanah (soil amendment) efektif dan efisien untuk memperbaiki kualitas tanah perkebunan kelapa tersebut. Walaupun kelapa termasuk tanaman yang tahan terhadap salinitas tetapi penurunan salinitas juga akan berdampak baik bagi pohon kelapa tersebut, dan hal ini juga bisa dilakukan dengan aplikasi biochar tersebut.

Seperti halnya kelapa sawit, industrialisasi kelapa semestinya juga sangat mungkin dilakukan. Dengan industrialisasi tersebut maka proses produksi menjadi efisien dan semua panen buah kelapa hasil kebun bisa terolah semuanya. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan diperkirakan penduduk dunia akan mencapai sekitar 10 milyar pada tahun 2050 tentu membutuhkan pangan yang mencukupi dan berbagai hal pendukung lainnya seperti minyak makan dan produk-produk turunan kelapa lainnya. Teknologi pyrolysis sangat bagus digunakan pada industri pengolahan kelapa tersebut. Hal ini selain biochar sebagai produk utama pyrolysis tersebut dengan penggunaan utamanya di perkebunan kelapa, excess energy pyrolysis bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan industri pengolahan kelapa tersebut, baik berupa energi panas maupun listrik. Produk-produk pengolahan kelapa jauh lebih banyak dan variatif dibandingkan sawit. Suatu industri juga akan membutuhkan pasokan bahan baku yang kontinyu dengan jumlah tertentu dan ini berarti level performa perkebunan kelapanya harus bisa dijaga sedemikian rupa sesuai kebutuhan industri tersebut dan aplikasi biochar menjadi solusi jitu. 

Jumat, 07 Mei 2021

Integrasi Pirolisis dengan Industri Cocopeat dan Cocofiber

Tingginya permintaan cocofiber dan cocopeat dunia yang mencapai ribuan kontainer per tahun seharusnya merupakan suatu peluang emas dan daya dorong bagi industri perkelapaan Indonesia. Ada sejumlah keunggulan potensi Indonesia yang semestinya bisa terdepan untuk menangkap dan menggarap peluang tersebut. Keunggulan-keunggulan tersebut antara lain dari 196 negara di dunia, hanya 8 negara yang menguasai 90% kebutuhan kelapa dunia, Indonesia sebagai pemilik perkebunan kelapa terluas di dunia yakni sekitar 3,8 juta hektar dengan produksi lebih dari 15 milyar butir kelapa setiap tahunnya, dan posisi geografis yang strategis. Hal ini juga menjadi alasan mengapa ICC (International Coconut Community) atau lembaga internasional yang beranggotakan negara-negara produsen kelapa berkantor pusat di Jakarta, Indonesia. Pulau Sumatera adalah sentra perkebunan kelapa terluas di Indonesia khususnya kabupaten Indragiri Hilir di provinsi Riau, selanjutnya pulau Sulawesi, Jawa, Maluku dan Papua, Nusa Tenggara dan Bali serta Kalimantan. Kondisi saat ini walaupun dengan sejumlah keunggulan diatas dan kualitas sabut kelapa Indonesia berkualitas tinggi serta harga sabut tersebut murah, tetapi ternyata masih kurang dari 5% kebutuhan cocofiber dan cocopeat dunia disupplai oleh Indonesia. 

Untuk menangkap peluang tersebut tentu tidak bisa hanya mengandalkan potensi saja, tetapi juga teknologi produksi yang efektif dan efisien. Salah satu kendala utama peningkatan kapasitas produksi cocofiber dan cocopeat adalah aspek pengeringan. Produksi cocofiber dan cocopeat bisa digenjot sedemikian rupa jika aspek pengeringan yang efisien bisa dilakukan. Dan untuk pengeringan tersebut energi panas mutlak dibutuhkan. Energi panas tersebut bisa didapatkan dengan murah dari excess energy proses pyrolysis. Selain menghasilkan produk utama berupa biochar, excess energy dari proses pyrolysis bisa diandalkan untuk sumber energi atau sumber panas industri pengolahan sabut Kelapa tersebut. Tipe pengering tertentu sesuai karakteristik material yang dikeringkan tersebut juga harus digunakan. Dengan alat pengering modern seperti belt dryer, tray dryer dan drum dryer maka selain kapasitas pengeringan akan tinggi juga kualitas produknya akan standard dan stabil. 

Sedangkan untuk proses pyrolysis dibutuhkan bahan baku berupa limbah-limbah biomasa yang banyak tersedia di lokasi tersebut, bahkan limbah biomasa tersebut bisa bervariasi sesuai dengan ketersediaannya yang kadang tergantung musim. Dalam kasus tertentu pyrolysis juga sangat mungkin diintegrasikan dengan industri kelapa terpadu, sehingga tempurung kelapa menjadi bahan bakunya. Sedangkan apabila lokasi perkebunan kelapa tidak berjauhan dengan perkebunan kelapa sawit maka limbah-limbah biomasa dari perkebunan atau pabrik sawit bisa digunakan untuk pyrolysis tersebut. Bahkan seperti batang sawitnya jika tidak dimanfaatkan dan hanya ditinggalkan membusuk di kebun malah mengundang serangga yang mengganggu kebun kelapa, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Integrasi industri pyrolysis dan pengolahan sabut kelapa tersebut selain mengurangi polusi lingkungan akibat limbah biomasa juga menjadi solusi untuk industri sabut kelapa. Hubungan kedua industri harus saling menguntungkan yakni industri pyrolysis bisa menjual excess energy-nya dengan harga kompetitif dan industri sabut kelapa bisa meningkatkan produksinya. 

Senin, 03 Mei 2021

Biochar dan IoT di Perkebunan Sawit

Monitoring hingga tindakan perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil optimal sesuai target yang diharapkan. Memastikan suplai hara dan air selalu mencukupi untuk kebutuhan tanaman adalah hal penting dilakukan. Variabel-variabel lain yang mempengaruhi proses penyerapan hara dan pertumbuhan tanaman perlu dimonitor dengan baik. Biochar sebagai tanah (soil amendment) untuk memperbaiki sifat-sifat tanah seperti struktur tanah, aerasi tanah, ketersediaan air dan hara, menekan perkembangan penyakit tanaman tertentu, menciptakan habitat yang baik untuk mikroorganisme simbiotik serta menurunkan kemasaman tanah. Biochar juga menjerap (adsorbsi) gas rumah kaca berupa karbon dioksida dari atmosfer sehingga mengurangi gas tersebut di atmosfer. Sensor-sensor menjadi penting digunakan untuk membaca variabel-variabel di atas. Seberapa banyak sensor dipasang dan jenisnya juga sangat tergantung pada tujuan yang dicapai. Penggunaan aneka macam sensor dengan jumlah yang banyak juga merupakan biaya tersendiri, sedangkan suatu produksi selalu mencari cara paling efisien sehingga memaksimalkan keuntungan. Penggunaan sensor yang efektif dan efisien menjadi kunci sukses memonitor kondisi aplikasi biochar di lapangan dengan periodisasi waktu yang ditentukan bahkan real time sepanjang waktu. 

IoT (Internet of Things) diprediksi akan menjadi trend dalam waktu tidak lama lagi dan  tidak bisa dihindari. Sejumlah area perkebunan yang lokasinya jauh di pelosok pedesaan seperti di perkebunan kelapa sawit, pada umumnya masih terkendala jaringan internet, kondisi ini membuat IoT belum dapat diaplikasikan ataupun masih belum optimal. Perkebunan sawit adalah salah satu lokasi ideal untuk aplikasi biochar untuk kapasitas besar demikian juga dengan IoT, untuk lebih detail baca disini. Sambil menunggu adanya jaringan internet di daerah tersebut yang disediakan oleh perusahaan telekomunikasi, sinyal satellite bisa digunakan walaupun dengan penggunaan data yang kecil sehingga informasi yang ditampilkan juga lebih sedikit dan sederhana. Hal tersebut membuat hanya informasi yang benar-benar penting yang perlu dimonitor apalagi pada lokasi perkebunan sulit dijangkau. Pada tahap seperti itu monitoring secara manual masih banyak dibutuhkan, sehingga informasi online dari satellite hanya membantu untuk verifikasi. Perangkat seperti drone juga bisa digunakan untuk memantau pertumbuhan atau kondisi kebun secara umum. 

Pada dasarnya IoT berikut perangkat pendukungnya seperti kecerdasan buatan dan big data adalah alat untuk membantu membuat keputusan khususnya bagi pengelola perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit tersebut. Mengetahui kondisi perkebunan sehingga bisa mempertahankan level performa produktivitas perkebunan merupakan hal penting sebagai bagian menjaga performa perusahaan itu sendiri. Walaupun dengan perangkat IoT membantu sedemikian rupa tetapi hal penting yang tetap dibutuhkan adalah ilmu dasar hingga karakteristik pengelolaan perkebunan itu sendiri. Ilmu-ilmu tersebut akan sangat berguna untuk menganalisis data yang disajikan perangkat IoT lebih tajam dan akurat atau tepat sasaran. Pemilihan sensor, jumlah sensor hingga lokasi pemasangan sensor harus dilakukan secara efektif dan hal itu hanya bisa dilakukan dengan basic keilmuan yang memadai. Sejumlah analisa secara kimia juga pada umumnya juga belum bisa dilakukan secara sensoris tetapi menggunakan reagen dan sebagainya. Selain itu IoT juga merupakan hal baru sehingga sejumlah aktivitas atau praktek tertentu dalam pertanian atau perkebunan tertentu dan lebih khusus pada aplikasi biochar belum teridentikasi bagi pengembang IoT. Hal tersebut itulah sehingga perlu kerjasama antara peneliti, praktisi dan pengembang IoT sehingga produk perangkat IoT nantinya juga semakin efektif dan efisien.

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...