Tampilkan postingan dengan label TBS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TBS. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

Mengoptimalkan Pirolisis dan Biochar pada Industri Sawit

Produksi CPO Indonesia saat ini mencapai sekitar 50 juta ton per tahun dengan luas lahan mencapai sekitar 17,3 juta hektar. Ini berarti rata-rata produksi CPO per hektar adalah 2,9 ton saja atau per satu juta hektar menghasilkan 2,9 juta ton. Apabila biochar digunakan dan terjadi kenaikan 20% berarti terjadi kenaikan 10 juta ton CPO per tahun dan ini setara menghemat lahan sekitar 3,5 juta hektar, atau penggunaan biochar akan memperlambat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit. 

Rata-rata kecepatan luas perkebunan sawit Indonesia adalah 6,5% per tahun atau ekuivalen sekitar 1 juta hektar per tahun untuk 5 tahun terakhir, sedangkan peningkatan produksi buah kelapa sawit atau TBS (tandan buah segar) rata-rata hanya 11%.  Bahkan perluasan lahan sawit terbesar terjadi pada tahun 2017 yakni bertambah seluas 2,8 juta hektar.  Dengan membuka hutan 1 juta hektar produksi CPO nasional hanya naik 11% sedangkan tanpa perlu membuka hutan yakni dengan aplikasi biochar bisa terjadi kenaikan produktivitas 20%. Dan kenaikan 20% yield tbs (tandan buah segar) penggunaan biochar adalah estimasi rendah.

Target ideal

Dengan jumlah pabrik sawit di Indonesia yang mencapai lebih dari 1000 unit dan puluhan juta ton limbah biomasa khususnya tandan kosong (tankos) sawit tentu volume produksi biochar yang dihasilkan juga sangat besar. Selain itu teknologi pirolisis bisa menggantikan teknologi pembakaran yang umumnya digunakan di pabrik-pabrik sawit untuk menghasilkan kukus / steam untuk produksi listrik dan sterilisasi tandan buah segar pada produksi CPO. Dengan bahan baku pirolisis menggunakan tankos sawit dan bisa menggantikan cangkang sawit, maka 100% cangkang sawit bisa dijual atau di eksport. Penjualan cangkang sawit atau PKS (palm kernel shell) tersebut tentu akan memberi tambahan keuntungan yang menarik bagi perusahaan sawit tersebut. Cangkang sawit atau PKS adalah kompetitor utama wood pellet di pasar biomasa global. 

Selain itu penggunaan biochar juga menghemat pemakaian pupuk dan biaya operasional tertinggi pada perkebunan sawit adalah pupuk sehingga ini sangat relevan. Puluhan milyar biaya yang dikeluarkan untuk pupuk bisa dikurangi dengan penggunaan biochar, apalagi biocharnya berasal dari limbah sendiri sehingga otomatis juga akan menjadi solusi pengelolaan limbah biomasa. Termasuk juga biopestisida dan pupuk organik cair juga bisa dihasilkan dari proses pirolisis tersebut. Carbon credit adalah potensi bisnis berikutnya. Hal ini karena aplikasi biochar ke tanah untuk pertanian atau perkebunan tersebut sebagai upaya carbon sequestration / carbon sink. 

Keuntungan yang bisa didapat dari carbon credit biochar ini juga besar bahkan secara global biochar carbon credit menempati peringkat pertama atau lebih dari 90% dalam Carbon Dioxide Removal (CDR) yang terdata di cdr.fyi. Tetapi memang banyak produsen besar biochar yang tidak menjual carbon creditnya karena adanya persyaratan metodologi oleh perusahaan-perusahaan carbon standar seperti Puro Earth dan Verra, dan produsen-produsen biochar itu telah nyaman dengan bisnis penjualan biocharnya, apalagi produsen-produsen tersebut telah ada (established) sejak sebelum carbon credit tersedia untuk biochar.  

Rabu, 28 Agustus 2024

Biochar Solusi Deforestasi Pada Perkebunan Sawit dan EUDR

Perkembangan industri sawit dan perkebunannya di Indonesia sangat pesat terutama 10 tahun terakhir dan saat ini diperkirakan luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 17 juta hektar. Sebagai tanaman penghasil minyak nabati terbesar di dunia dan luas perkebunan sawitnya juga terbesar di dunia, tentu saja kelapa sawit memiliki nilai strategis dalam perekonomian Indonesia. Rata-rata kecepatan luas perkebunan sawit Indonesia adalah 6,5% per tahun atau ekuivalen sekitar 1 juta hektar per tahun untuk 5 tahun terakhir, sedangkan peningkatan produksi buah kelapa sawit atau TBS (tandan buah segar) rata-rata hanya 11%.

Bahkan perluasan lahan terbesar terjadi pada tahun 2017 yakni bertambah seluas 2,8 juta hektar. Dari tahun 2015 hingga tahun 2019, total luas areal kelapa sawit bertambah seluas 3,7 juta hektar. Ekstensifikasi atau perluasan kebun sawit tersebut ternyata banyak "dituduh" dan menjadi sorotan dunia sebagai dari alih fungsi lahan hutan, sehingga banyak terjadi penggundulan hutan (deforestasi) untuk selanjutnya diubah menjadi perkebunan sawit. 

Tekanan dari Uni Eropa khususnya, akibat kondisi tersebut memperburuk citra minyak sawit Indonesia yang selanjutnya berpengaruh kepada harga jual minyak sawit baik CPO dan produk turunannya tersebut. Memperbaiki citra tersebut memang juga tidak mudah. Salah satu upaya yang efektif adalah menghentikan upaya ekstensifikasi tersebut sehingga lahan hutan tetap menjadi lahan hutan dan tidak berubah menjadi kebun sawit. European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) yang mulai berlaku 30 Desember 2024 sebagai upaya mencegah deforestasi turut menjadi pertimbangan penting. Peraturan tersebut mewajibkan konsumen dan produsen yang berada di sepanjang rantai pasokan komoditas tertentu untuk melakukan uji tuntas dan penilaian risio untuk memastikan bahwa produk mereka tidak berkontribusi terhadap deforestasi. EUDR ini juga menerapkan sistem inspeksi dan penalti berjenjang berdasarkan tingkat risiko yang dirasakan di negara asal. 

Dengan ekstensifikasi lahan sawit lebih dari 1 juta per hektar setiap tahunnya tetapi kenaikan produksi buah sawit hanya 11% tentu kurang menarik dan harus dihindari apalagi ditambah sorotan dunia tentang deforestasi yang semakin kencang tersebut. Hal ini juga semakin mengindikasikan tentang rendahnya produktivitas perkebunan sawit tersebut. Padahal dengan memperbaiki kualitas tanah produktivitas buah sawit bisa dinaikkan secara signifikan dan pembukaan lahan baru untuk pembuatan kebun sawit bisa dihindari. Limbah-limbah biomasa di perkebunan sawit maupun di pabrik sawit bisa digunakan untuk produksi biochar sebagai solusi masalah tersebut.

Dengan peningkatan produktivitas tandan buah segar (TBS) dengan penggunaan biochar tersebut, maka perkebunan sawit baru tidak perlu dibuka lagi. Dengan asumsi terjadi kenaikkan produktivitas rata-rata 20% maka produksi CPO juga meningkat 20% atau setara 2 juta ton. Peningkatan tersebut akan setara untuk pembukaan lahan baru seluas lebih dari 2 juta hektar. Tentu bukan luas tanah yang kecil. Dengan peningkatan produksi 20% tersebut besar kemungkinan besar kebutuhan nasional untuk kebutuhan khususnya CPO telah terpenuhi dan begitu juga untuk pasar export. Keuntungan lain dari penggunaan biochar ini adalah sebagai solusi iklim sebagai carbon sequestration/carbon sink. Jadi dua permasalah utama pada industri sawit berupa peningkatan produktivitas dan ketahanan perubahan iklim bisa diatasi sekaligus dengan aplikasi biochar tersebut.

Minggu, 25 Agustus 2024

Urgensi IOT dan Aplikasi Biochar Pada Perkebunan Sawit

Trend sustainibility pada perkebunan sawit semakin penting dan urgen, yang itu tentu saja bagian dari solusi global masalah lingkungan dan iklim. Luasnya perkebunan sawit dan besarnya produksi minyak sawit menjadi sorotan pada industri tersebut. Pengelolaan limbah dan pencemaran lingkungan menjadi concern penting. Besarnya volume limbah biomasa berpotensi menjadi sumber pencemaran lingkungan dan demikian juga penggunaan pupuk kimia yang berlebihan pada perkebunan sawit yang akan menyebabkan pencemaran lingkungan juga. Peruntukan lahan yang tidak semestinya misalnya deforestasi alih fungsi lahan juga menjadi concern lainnya. 

Dua isu penting pada industri sawit adalah peningkatan produktivitas TBS (yield improvement) dan ketahanan perubahan iklim (climate change resilience). Dan alhamdulillah, kedua hal tersebut bisa sekaligus ditangani yakni dengan aplikasi biochar. Limbah biomasa pabrik sawit (khususnya tankos sawit) akan dikonversi menjadi biochar lalu diaplikasikan untuk tanah perkebunan (sustainable soil amendment) dengan pupuk sehingga menjadi slow release fertilizer yang akan meningkatkan NUE (nutrient use efficiency) dan meminimalisir pencemaran lingkungan. Dengan naiknya NUE maka akan terjadi yield improvement atau peningkatan produduktivitas TBS tersebut. Dan aplikasi biochar tersebut yang akan bertahan di tanah atau tidak terdekomposisi selama ribuan tahun akan menjadi carbon sequestration / carbon sink yang sejalan dengan ketahanan perubahan iklim. Sebuah solusi jitu dengan sekali aksi, tentu ini semestinya sangat menarik dan dinanti-nantikan oleh perusahaan-perusahaan sawit tersebut.

Untuk memastikan bahwa biochar tersebut bisa bekerja semestinya dibutuhkan suatu instrument untuk mengukur perfoma dan memantaunya. Untuk itulah IoT (Internet of things) pada sektor ini dibutuhkan. Seberapa lambat nutrisi pupuk lepas  (how slow can you go) bisa diukur dan dipantau secara akurat, cepat dan tepat. Dengan cara ini pula produktivitas sawit bisa diprediksi. Luasan lahan pada perkebunan sawit yang mencapai ribuan atau puluhan ribu hektar juga bukan menjadi halangan. Luas lahan perkebunan sawit Indonesia yang saat ini diperkirakan mencapai 17 juta hektar dan di Malaysia yang mencapai 5 juta hektar, tentu perusahan-perusahaan sawit tersebut juga berupaya mencapai level sustainibility terbaiknya sesuai tuntutan zamannya. Hal ini sehingga aplikasi biochar pada perkebunan sawit ini akan menjadi trend bahkkan standar operasionalnya. Entry point dengan memastikan performance biochar dengan IoT menjadi pertimbangan penting.

Aplikasi biochar ini juga mengikuti aturan 4Rs yakni right source (bahan baku biochar yang sesuai), right place (area aplikasi yan tepat), right rate (takaran atau dosis yang tepat) dan right timing (waktu yang tepat). Sifat-sifat fisika dan kimia biochar berbeda tergantung pada bahan baku dan proses produksinya. Dengan mengikuti aturan 4R tersebut maka performa biochar bisa dimaksimalkan. Di sisi lain modernisasi pada industri sawit juga terus ditingkatkan. Persepsi masyarakat pekerjaan di perkebunan sawit yang disingkat 3D (dangerous, difficult, dirty) akan bertahap diubah dengan mekanisasi, otomatisasi dan digitalisasi. Rasio pekerja terhadap lahan kebun saat ini yang berkisar 1 : 8 ha akan ditingkatkan menjadi dua kali lipat lebih menjadi 1 : 17,5 ha dengan modernisasi di atas sehingga upah pekerja juga bisa ditingkatkan. Modernisasi tersebut diharapkan akan bisa membantu mengatasi kedua isu penting di atas dengan aplikasi biochar tersebut.  

Rabu, 24 Mei 2023

Masih Perlukah Ekstensifikasi Lahan Sawit ?


Luas perkebunan sawit Indonesia saat ini sekitar 15 juta hektar, dengan produksi CPO atau minyak sawit mentah mencapai 46,73 juta ton pada tahun 2022. Produsen kelapa sawit Indonesia berada di 26 provinsi dengan provinsi yang paling banyak memproduksi kelapa sawit yakni Riau, disusul Kalimantan Tengah menyusul di urutan kedua, lalu Sumatera Utara. Sedangkan provinsi yang paling sedikit memproduksi kelapa sawit yakni Kepulauan Riau dan di atasnya ada Maluku Utara dan Maluku. Produk CPO tersebut diolah menjadi produk turunan atau hilir dan sebagian dieksport. Secara umum penggolongan produk turunan CPO (produk hilir) dikelompokkan menjadi, seperti: oleokimia, oleopangan, dan bioenergi. 


Tingginya permintaan minyak nabati khususnya minyak sawit atau CPO, mendorong upaya perluasan kebun sawit atau ekstensifikasi di Indonesia. Tetapi apakah ekstensifikasi tersebut memang dibutuhkan dan sebagai satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi CPO ? Sementara ijin yang telah dikeluarkan untuk perkebunan sawit sudah mencapai lebih dari 25 juta hektar seperti tabel dibawah ini.


Biochar seharusnya didorong penggunaannya dari pada ekstensifikasi lahan tersebut. Penggunaan biochar akan memperbaiki kesuburan tanah dan juga membuat pemupukan lebih efisien sehingga NUE (Nutrient Use Efficiency) meningkat, untuk lebih detail baca disini. Peningkatan produksi TBS 30% atau lebih dimungkinkan dengan biochar. Estimasi produksi CPO bisa meningkat 30% menjadi sekitar 60 juta ton setiap tahunnya. Hal tersebut juga ekuivalen penghematan lahan mencapai 5 juta hektar. Masalah sengketa lahan yang mencapai ratusan kasus di seluruh Indonesia, alih fungsi lahan, deforestasi dan sebagainya bisa diatasi dengan penggunaan biochar ini. Tentu ini seharusnya menjadi pertimbangan serius untuk intensifikasi kebun sawit dibandingkan ekstersifikasi lahan tersebut. Selain itu solusi iklim berupa carbon sequestration / carbon sink juga sekaligus bisa dilakukan dengan aplikasi biochar tersebut. Setiap 1 ton biochar akan menyimpan atau mengurangi CO2 (karbondioksida) di atmosfer sebanyak kurang lebih 3 ton. Dan harga carbon credit dari carbon removal tersebut juga semakin meningkat. 

AI untuk Pabrik Sawit atau Pengembangan Produk Baru dengan Desain Proses Baru ?

Aplikasi AI telah merambah ke berbagai sektor termasuk juga pada pabrik kelapa sawit atau pabrik CPO. Aplikasi AI untuk pabrik kelapa sawit ...