Calophyllum inophyllum atau pohon nyamplung memiliki kayu bernilai komersial tinggi. Hutan di Indonesia memiliki sekitar 4000 spesies pohon atau kayu, dengan 267 diantaranya diperdagangkan. Kayu dari pohon-pohon family dipterocarpaceae adalah kelompok paling penting seperti meranti, keruing, kapur dan mersawa. Selain itu adalah sejumlah species pohon yang juga cukup penting yakni koompasia, palaquium, dyera, callophyllum inophyllum (nyamplung), octomeles sumatrana dan gonystylus bancanus (ramin). Kayu nyamplung agak ringan hingga sedang dan lembut, tetapi padat, berurat kusut, hingga tidak dapat dibelah. Kayu nyamplung mempunyai dua warna, yakni kelabu atau semu kuning dan merah bata dengan urat lebih halus dan seratnya lebih lurus. Kayu nyamplung termasuk kelas awet II dan sangat awet bila di dalam air laut. Kayu nyamplung termasuk kayu komersial sering digunakan sebagai papan, balok, tiang, flooring, perahu, kano, peti dan meja, pembuatan kapal, bantalan kereta api, perabot rumah tangga dan sebagainya. Masyarakat nelayan di pesisir pantai biasa menggunakan kayunya untuk pembuatan perahu.
Sampai saat ini potensi nyamplung di Indonesia masih belum diketahui secara pasti, tetapi dari penafsiran citra satelit Landsat7 ETM pada tahun 2003 di seluruh pantai di Indonesia diperkirakan tegakkan alami nyamplung mencapai total luasan 480.000 hektar dan sebagian besar (sekitar 60%) berada di dalam kawasan hutan. Tegakan nyamplung pada umumnya tumbuh pada tipe hutan campuran, di hutan alam dengan jenis ketapang, malapari, waru laut, keben, pandan laut dan lain-lain. Sedangkan di hutan yang ditanam, nyamplung tumbuh dengan akasia, mahoni, kayu putih, melinjo, nangka, duku, durian dan lain-lain. Nyamplung tumbuh paling dekat pada posisi 50-1000 meter dari bibir pantai dengan kerapatan pohon sangat bervariasi. Tinggi pohon nyamplung dapat mencapai 25 meter dan diameter batang 1,5 meter.
Produksi minyak nyamplung khususnya untuk produksi biofuel bisa dilakukan sambil menanti produksi kayu. Produksi biofuel ini bahkan menjadi aktivitas utama budidaya nyamplung ini karena bisa dilakukan puluhan tahun hingga akhirnya produktivitas tanaman menurun, pohon ditebang dan digantikan tanaman baru. Rendemen minyak nyamplung yang hampir sama dengan bahkan menyaingi minyak mentah sawit atau CPO yakni 6 ton/hektar serta tidak berkompetisi dengan minyak pangan (edible oil) menjadikan minyak nyamplung sangat potensial dikembangkan. Biodiesel dari minyak nyamplung juga sekaligus memberi jawaban terhadap kegagalan program biodiesel jarak pagar beberapa waktu lalu, untuk lebih detail baca disini. Dengan garis pantai Indonesia mencapai 99.093 km maka produksi biofuel dari nyamplung akan sangat besar begitu pula kayu dan produk-produk olahannya. Apabila kita bandingkan dengan kebun sawit, ketika masa produktifnya sudah habis, penebangan dan pemanfaatan batang sawit banyak menimbulkan masalah, bahkan banyak yang hanya ditinggalkan di kebun begitu saja. Meninggalkan batang sawit di kebun hingga lapuk ternyata juga menimbulkan masalah tersendiri yakni sebagai tempat tumbuh larva yang merusak pohon kelapa, lebih detail baca disini. Hal tersebut tentu saja sangat berbeda dengan pohon nyamplung, yang ketika pohonnya sudah tua kualitas kayu semakin bagus, demikian juga harga jualnya.
Selain itu juga berbagai praktek agroforestry bisa dilakukan pada perkebunan nyamplung karena bisa kebun campur (mixed-culture) dan fungsi lainnya sebagai pemecah angin (wind breaker) sehingga tanaman lain juga akan terlindungi. Praktek kebun campur atau mixed culture hampir tidak bisa dilakukan pada perkebunan sawit sehingga outputnya hanya satu macam saja yakni tandan buah segar (TBS). Sedangkan dengan kebun campur outputnya juga bisa beragam dari tanaman pangan seperti buah-buahan, umbi-umbian dan sebagainya. Dengan biaya perawatan khususnya pemupukan juga sangat besar pada perkebunan sawit dan ini merupakan komponen biaya tertinggi pada operasional perkebunan sawit. Untuk terus mempertahankan level performanya tentu saja kebutuhan pupuk untuk perkebunan sawit sangat banyak, sedangkan pada kebun nyamplung lebih kecil. Kebutuhan air untuk kebun sawit juga sangat besar sedangkan pada kebun nyamplung bahkan bisa tetap produktif pada tanah-tanah kering.
Tentu semua upaya tergantung pada tujuan yang hendak dicapai. Begitu pula dengan budidaya nyamplung ini. Selain memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan kebun sawit seperti uraian di atas, pohon nyamplung juga memiliki sejumlah kelebihan dibandingkan dengan pohon penghasil kayu lainnya. Pada pohon penghasil kayu misalnya kayu jati dibutuhkan waktu minimal 15 tahun dan selama waktu itu hampir tidak ada pendapatan sehingga berat secara ekonomi. Sedangkan pada nyamplung biji dihasilkan sepanjang tahun sebagai bahan baku biofuel tersebut. Kebun sawit saat ini diperkirakan telah mencapai sekitar 15 juta hektar dengan peruntukan minyaknya salah satunya untuk biofuel atau khususnya biodiesel, sehingga apabila perkebunan nyamplung dikembangkan maka bisa saja seluruh biodiesel dari minyak nyamplung sehingga kebun sawit tidak perlu diperluas lagi. Kebun nyamplung yang sudah ada dikembangkan dan diintensifkan sehingga mencukupi untuk produksi biodiesel yang dibutuhkan. Selain itu kebutuhan kayu untuk berbagai keperluan juga bisa dipenuhi dari perkebunan nyamplung tersebut.