Tampilkan postingan dengan label karbon netral. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label karbon netral. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 September 2021

Kegagalan Biodiesel Jarak Pagar dan Peluang Nyamplung

Pengalaman adalah guru yang terbaik begitu pepatah mengatakan. Dan hal tersebut juga berlaku untuk biofuel. Kegagalan di masa lalu jangan sampai terulang lagi, karena hanya orang bodoh yang terperosok ke lubang yang sama hingga dua kali. Produksi biodiesel dari jarak pagar (jatropha curcas) telah ramai dikampanyekan hingga menjadi trending topic nasional waktu itu, tetapi faktanya biodiesel dari jarak pagar ini tidak ekonomis atau masih terlalu mahal sehingga programnya berhenti dengan sendirinya. Salah satu faktor tersebut adalah rendahnya rendemen minyak yang dihasilkan dari biji jarak pagar yang hanya sekitar 25%, sedangkan nyamplung (calophyllum inophyllum L) mencapai rata-rata 50%. Apalagi produktivitas rata-rata perhektar jarak pagar rata-rata kurang dari 10 ton/hektar sedangkan nyamplung rata-rata mencapai lebih 10 ton/hektar. Dengan rendemen 50% tersebut dengan produktivitas perhektar mencapai misalnya 12 ton/hektar lebih maka minyak nyamplung yang dihasilkan atau 6 ton minyak per hektar maka kurang lebih sama seperti minyak mentah sawit atau CPO (crude palm oil), sehingga lebih ekonomis untuk diproduksi. Dengan rendemen sekitar 25% dengan produktivitas rata-rata 24 ton/hektar tandan buah segar maka akan dihasilkan 6 ton CPO sama seperti nyamplung. Padahal kelapa sawit juga tanaman penghasil minyak nabati terbesar sehingga minyak nyamplung juga tidak jauh dari kondisi tersebut bahkan melampauinya.  

 

Biofuel dan khususnya biofuel dari minyak nabati ini tergolong bahan bakar karbon netral, karena berasal dari tumbuhan sebagai produk photosintesis yang membutuhkan CO2, sehingga ketika dibakar juga akan mengembalikan jumlah CO2 yang sama ke atmosfer. Penggunaan bahan bakar karbon netral sangat bermanfaat bagi atmosfer bumi sehingga meningkatkan gas rumah kaca yang meningkatkan suhu bumi. Ditinjau dari komposisi minyak antara minyak jarak pagar, minyak nyamplung dan minyak sawit juga hampir sama seperti tabel diatas. Memang kedua sumber biodiesel baik dari jarak pagar maupun nyamplung keduanya akan menjadi bahan bakar karbon netral atau lebih tepatnya bahan bakar cair karbon netral, tetapi faktor keekonomianlah akhirnya yang akan menentukan pada produksi komersialnya. Sedangkan dari kelompok bahan bakar padat karbon netral bisa kita dapati misalnya pada wood chip, wood pellet, dan cangkang sawit (palm kernel shell/PKS)

Keunggulan nyamplung secara spesifik sebagai bahan baku biodiesel adalah yang pertama, minyak nyamplung tidak berkompetisi dengan minyak pangan, yang kedua, tanaman nyamplung ini tumbuh dan tersebar merata secara alami di Indonesia, regenerasi mudah, berbuah sepanjang tahun dan menunjukkan daya survival yang tinggi terhadap lingkungan termasuk dengan tanah dengan salinitas tinggi di sepanjang pantai. Ketiga, tanaman relatif mudah di budidayakan baik tanaman sejenis (monoculture) atau tanaman campuran (mixed-culture), hal ini membuat sejumlah praktik agroforestry bisa dilakukan. Pada perkebunan sawit hal ini sangat sulit dilakukan, sehingga kita jumpai saat ini hampir semua perkebunan sawit adalah monokulture atau perkebunan tanaman sejenis. Keempat,hampir seluruh bagian tanaman dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomi, dan kelima, tegakan tanaman nyamplung dapat bermanfaat sebagai pemecah angin (wind breaker) dan konservasi sepanjang pantai. Dengan kondisi tersebut peluang pengembangan nyamplung untuk biofuel semakin besar.

Jumat, 02 Juli 2021

Kebun Energi di Reklamasi Tambang Batubara, Pabrik Wood Pellet dan Cofiring PLTU di Indonesia

Luasnya lahan bekas tambang batubara yang mencapai sekitar 8 juta hektar adalah masalah lingkungan tersendiri sehingga perlu di atasi. Kebun energi adalah solusi efektif untuk reklamasi lahan bekas tambang batubara tersebut untuk lebih detail bisa dibaca disini. Mereklamasi lahan bekas tambang batubara adalah bentuk tanggungjawab dari pengusaha tambang batubara tersebut. Reklamasi seharusnya dilakukan sebaik-baiknya bukan hanya simbolis dan seremonial, sehingga efek kerusakan lingkungan bisa diminimalisir. Upaya mereklamasi lahan bekas tambang batubara merupakan hal yang tidak mudah sekaligus membutuhkan waktu dan biaya yang besar, sehingga tidak heran banyak yang menghindari tanggungjawab tersebut. Solusi terbaik adalah mengatasi masalah tersebut sekaligus menghasilkan keuntungan baik keuntungan ekonomi maupun lingkungan. Produksi wood pellet dengan bahan baku kayu dari kebun energi tersebut adalah solusi jitu mengatasi kerusakan lingkungan tersebut sekaligus keuntungan ekonomi.

Belum lama ini pemerintah mencanangkan program cofiring untuk sejumlah PLTU di Indonesia. Pada tahun 2020 program cofiring tersebut sudah diinisiasi dengan target 37 PLTU dan pada akhir 2020 dilaporkan telah terlaksana untuk 20 PLTU. Sedangkan secara keseluruhan terdapat 114 unit PLTU milik PLN yang berpotensi dapat dilakukan cofiring tersebut yang tersebar di 52 lokasi dengan kapasitas total 18.154 megawatt (MW) dengan target selesai 2024. Terdiri dari 13 lokasi PLTU di Sumatera, 16 Lokasi PLTU di Jawa, Kalimantan (10 lokasi), Bali dan Nusa Tenggara (4 unit PLTU), Sulawesi (6 lokasi) serta Maluku dan Papua (3 lokasi PLTU). Sedangkan rasio cofiring tersebut berkisar 1-5% biomasa dengan estimasi kebutuhan biomasa 9-12 juta ton per tahun. Cofiring tersebut adalah upaya paling mudah dan murah bagi PLTU untuk secara bertahap menggunakan energi terbarukan khususnya biomasa. Saat ini juga sudah ada standar nasional wood pellet (SNI wood pellet) untuk keperluan cofiring tersebut dan untuk lebih detail bisa dibaca disini. Penggunaan bahan bakar biomasa khususnya wood pellet adalah skenario karbon netral yang perlu terus ditingkatkan. Bahan bakar biomasa tersebut akan menyelamatkan lingkungan dan tidak menambah panas suhu bumi, untuk lebih detail baca disini.  

Kebijakan untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil khususnya batubara juga terus dilakukan secara global. Untuk Asia sebagai contoh Jepang dan Korea dengan Feed in Tarrif dan Renewable Portofolio Standardnya (RPS) terdepan dalam penggunaan energi terbarukan khususnya wood pellet. Sedangkan di Eropa dengan Renewable Energy Directive II (RED II) energi terbarukan ditargetkan mencapai 32% pada tahun 2030, bahan bakar biomasa diprediksikan mencapai sekitar 75% dari porsi energi terbarukan tersebut dan targetnya batubara total tidak digunakan pada 2050. Jerman mengumumkan untuk tidak menggunakan batubara pada 2038, UK bahkan mentargetkan tidak lagi mengunakan batubara untuk produksi listriknya mulai Oktober tahun 2024. Amerika Utara yakni Amerika Serikat dan Kanada sebagai anggota G7 juga berkomitmen mengurangi konsumsi batubara, bahkan Kanada pada 2018 mengumumkan peraturan untuk tidak lagi menggunakan batubara untuk pembangkit listrik pada 2030. Di sisi lain proyek pembangunan pembangkit listrik batu bara yang dibiayai China di berbagai negara berguguran.Ditambah lagi negara G7 (Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat) gencar memblokir penggunaan batu bara. Negara-negara yang masih mendukung penggunaan batu bara, seperti China dan Indonesia, semakin terisolasi dan bisa menghadapi lebih banyak tekanan untuk menghentikan kegiatan tersebut.

Daun sebagai produk samping dari kebun energi tersebut sangat potensial dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Daun jenis legum tersebut memiliki kandungan protein cukup tinggi. Kuantitas daun yang dihasilkan juga besar, sebanding dengan luasan kebun energi tersebut. Idealnya pengembangan kebun energi akan mendukung industri peternakan, sehingga tidak hanya kebutuhan energi yang dicukupi tetapi juga kebutuhan pangan. Sebagai perbandingan yakni asosiasi produsen pakan ternak Eropa, FEFAC, memprioritaskan sumber protein untuk pakan ternak dari kebun energi rapeseed dari sejumlah upaya mendapatkan sumber protein untuk pakan ternak, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Produk utama kebun energi rapeseed adalah minyak yang digunakan untuk produksi biodiesel, dan bungkil sebagai produk samping produksi minyak tersebut yang digunakan sebagai sumber protein pakan ternak. Kebutuhan sumber protein untuk pakan ternak memiliki peran penting sebagai nutrisi pada hewan ternak khususnya ruminansia. Eropa masih sangat kekurangan sumber protein tersebut sehingga import tidak bisa dihindari.  Diperkirakan sekitar 48 juta ton sumber protein pakan dibutuhkan Eropa, sehingga daun dari kebun energi ada peluang bisa diexport ke Eropa untuk hal tersebut. Ketika industri pakan dalam negeri belum mampu menyerapnya maka export adalah pilihan terbaik. 

Sabtu, 19 September 2020

Consumer Briquette dan Industrial Briquette

Penggunaan briket biomasa baik dari limbah-limbah kayu maupun limbah-limbah pertanian belum populer di Indonesia, penggunaanya masih sangat terbatas. Dan briket yang digunakan itupun sebenarnya produk antara pada industri sawdust charcoal briquette. Sawdust briquette atau wood briquette tersebut adalah produk briquette yang keluar dari screw extruder dan sebenarnya bisa diolah lanjut menjadi sawdust charcoal briquette melalui proses karbonisasi. Produk sawdust charcoal briquette sendiri terutama digunakan untuk barbeque atau memanggang daging terutama di negara-negara Timur Tengah, Turki dan Arab Saudi. Penggunaan sawdust charcoal briquette di dalam negeri juga masih sangat terbatas. Ditinjau dari jenis briket tersebut sebenarnya produk yang dihasilkan adalah jenis consumer briquette atau briquette yang dijual retail untuk penggunaan rumah tangga. 

Produksi industrial briquette hampir belum ditemukan di Indonesia saat ini. Industrial briquette adalah briket yang digunakan untuk bahan bakar di industri seperti bahan bakar boiler atau bahkan pembangkit listrik. Padahal ditinjau dari proses produksinya pembriketan lebih mudah dan murah dibandingkan pemelletan seperti produksi wood pellet. Selain itu investasi peralatan untuk pembriketan juga lebih murah dibandingkan pemelletan. Sejumlah material biomasa yang umumnya sulit dipelletkan biasanya mudah dengan pembriketan. Penyiapan bahan baku untuk pembriketan juga lebih mudah daripada pellet karena toleransi untuk ukuran partikel dan tingkat kekeringan (kadar air) yang lebih longgar. 

Berbeda dengan pemelletan selain hanya ada satu jenis teknologi untuk pemadatannya yakni dengan roller press, pembriketan memiliki 3 jenis teknologi yakni mechanical press, piston press dan screw press. Selain itu bentuk, ukuran dan kepadatan briquette yang dihasilkan juga lebih variatif Industrial briquette dibuat dengan teknologi mechanical press, sedangkan consumer briquette dibuat bisa dengan mechanical press, piston press atau screw press. Bentuk kepingan (puck) adalah contoh bentuk terbaik untuk industrial briquette. Tandan kosong kelapa sawit atau EFB (empty fruit bunch) dan juga sabut (mesocarp fiber)-nya sangat potensial untuk produksi industrial briquette tersebut, untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Puck shape industrial briquette

 

Consumer Briquette
Selain itu limbah serbuk kayu dari industri MDF (Medium Density Fibreboard) juga bisa digunakan untuk produksi industrial briquette tersebut. Sedangkan consumer briquette yang dibuat dengan mechanical press bentuknya silinder panjang, atau kalau dengan screw press bentuknya oktagonal atau hexagonal, sedangkan dengan piston press biasanya berbentuk balok. Consumer briquette terutama digunakan untuk pemanas ruangan pada musim dingin. Di negara-negara subtropis ketika musim dingin tiba hal yang bisa dilakukan terutama adalah pengkondisian ruangan sehingga manusia di daerah tersebut tetap beraktivitas yakni dengan menghangatkan ruangan tempat tinggalnya.

Sabtu, 16 Mei 2020

Wood Briquette untuk UKM


Sejumlah UKM telah menggunakan wood pellet sebagai bahan bakarnya seperti pada video di atas. Alasan utama penggunaan wood pellet tersebut adalah penghematan atau faktor ekonomi yakni penghematan sekitar 30% dibandingkan gas LPG bersubsidi 12 kg. Dengan menggunakan burner khusus, api dari pembakaran wood pellet tersebut seperti nyala api dari burner gas. Penggunaan wood pellet UKM-UKM tersebut berkisar dari beberap ton/bulan hingga puluhan ton/bulannya. Selain mudah digunakan, wood pellet juga mudah dan aman disimpan. Keseragaman ukuran dan tingkat kekeringan membuat kualitas wood pellet lebih terjaga dibanding bahan bakar biomasa lainnya. Salah satu nilai lebih dari penggunaan bahan bakar padat khususnya wood pellet adalah anti meledak. Penggunaan bahan bakar gas seperti LPG cenderung lebih berhati-hati pada bahaya ledakan tersebut.

LPG 12 kg non-subsidi
Produk bahan bakar biomasa yang mirip wood pellet dan bisa digunakan seperti wood pellet di atas adalah wood briquette atau sawdust briquette. Kedua produk tersebut dibuat dengan cara pemadatan biomasa (biomass densification), hanya ukuran briquette lebih besar dibandingkan pellet. Penggunaan wood briquette bahkan lebih mudah dibandingkan wood pellet, karena tidak membutuhkan burner khusus. Wood briquette cukup dimasukkan ke lubang tungku sama seperti penggunaan kayu bakar. Kualitas wood briquette juga lebih baik dibandingkan kayu bakar dan wood pellet sekalipun, yakni karena tingkat kepadatan (density) lebih tinggi dibandingkan kedua bahan bakar tersebut. Kayu bakar memiliki kepadatan sekitar 500 kg/m3, sedangkan wood pellet 700 kg/m3 dan wood briquette 1100 kg/m3. Proses produksi wood briquette juga sangat mirip dengan wood pellet, sehingga wood briquette juga memiliki ukuran yang seragam dan tingkat kekeringan tinggi, bedanya dimensi wood briquette lebih besar dibandingkan wood pellet. Sedangkan dari segi penghematan dibandingkan gas LPG 12 kg, penghematan wood briquette hampir sama dengan wood briquette yakni dikisaran 30%. Tetapi dengan tanpa adanya burner khusus, penggunaan wood briquette menjadi lebih mudah dan murah dibandingkan wood pellet.

Tentu wood briquette memiliki spesifikasi yang berbeda dengan briquette batubara. Hal tersebut terutama dari sumber bahan baku yang digunakan. Batubara mengandung sulfur sehingga akan merusak citarasa makanan apabila digunakan untuk memasak karena menimbulkan bau yang kurang sedap. Sedangkan wood briquette sama seperti wood pellet dibuat dari biomasa kayu yang dipadatkan. Selain itu abu batubara termasuk limbah B3 karena mengandung logam berat, sedangkan wood briquette seperti halnya wood pellet abunya adalah seperti abu pembakaran kayu saja.
Ditinjau dari aspek lingkungan penggunaan bahan bakar biomasa merupakan bahan bakar ramah lingkungan karena berasal dari tumbuh-tumbuhan dan saat ini umumnya dibuat dari limbah industri perkayuan. Supaya bahan bakar biomasa tersebut terus berkelanjutan (sustainable) maka tumbuh-tumbuhan atau pepohonan sebagai sumbernya harus dikelola dengan baik dan benar. Dan karena kayu tersebut merupakan produk photosintesis dari tumbuhan dan ketika dibakar lagi tidak menambah konsentrasi gas CO2 di atmosfer atau bahan bakar carbon neutral. Untuk memproduksi untuk kebutuhan energi tersebut, maka untuk skala besar dan berkelanjutan skenario kebun energi adalah opsi terbaik. Dengan kebun energi, selain kayunya bisa untuk produksi wood briquette dan wood pellet juga bisa diintegrasikan dengan usaha peternakan, untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Minggu, 29 Maret 2020

Mandiri Energi Dengan Pirolisis

Suatu masyarakat bahkan yang berada di daerah terpencil pun bisa mandiri energi asalkan ada sumber energi di daerah tersebut. Sumber energi biomasa dari tumbuh-tumbuhan adalah sumber energi yang hampir bisa didapatkan dimana saja. Tanaman tersebut bisa ditanam untuk sebagai sumber bahan baku untuk produksi energi yang dibutuhkan tersebut. Energi panas dan listrik adalah energi yang sangat dibutuhkan, selain energi atau bahan bakar untuk kendaraan sebagai alat transportasi. Energi panas terutama dibutuhkan untuk memasak sedangkan energi listrik untuk berbagai keperluan dalam kehidupan. Pirolisis adalah teknologi yang bisa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan energi seperti di atas. Diagram dibawah ini menjelaskan penerapan pirolisis memenuhi kebutuhan energi tersebut :

Arang adalah bahan bakar padat produk dari pirolisis. Walaupun bahan bakar padat seperti arang, tidak sepraktis dan semudah bahan bakar gas tetapi penggunaan arang untuk bahan bakar memasak memiliki banyak keunggulan antara lain aman karena tidak akan meledak, tidak berasap, tidak berbau, memiliki nilai kalori tinggi dan merupakan bahan bakar ramah lingkungan. Sedangkan kayu bakar selain banyak menimbulkan asap, berbau, nilai kalori rendah juga mengganggu kesehatan. Saat ini juga banyak negara-negara di Afrika yang menggunakan arang untuk bahan bakar memasak. Untuk lebih memudahkan dalam penggunaan dan penyimpanan, arang tersebut bisa dibuat briket. Sedangkan bahan bakar untuk kendaraan seperti minyak solar dan bensin bisa dihasilkan dari biooil. Kendaraan-kendaraan untuk transportasi bisa beroperasi dengan adanya bahan bakar tersebut. Ketersediaan minyak bumi di Indonesia yang diperkirakan tinggal 10 tahun lagi, perlu antisipasi dan persiapan sejak saat ini. Murahnya harga minyak bumi saat ini membuat export minyak bumi menjadi kurang menarik, apalagi untuk Indonesia yang saat ini merupakan nett importer minyak bumi.
Kompor arang yang banyak digunakan di Afrika
Pada era ke depan ketika kendaraan listrik banyak digunakan maka produksi listrik khususnya untuk charging baterai lebih diprioritaskan. Sumber energi untuk mobil listrik sebagai kendaraan yang ramah lingkungan seharusnya juga dari sumber energi terbarukan, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Biomasa adalah sumber energi carbon neutral sehingga tidak menambah konsentrasi CO2 atau gas rumah kaca di atmosfer. Biomasa kayu-kayuan (woody biomass) dari kebun energi adalah bahan baku ideal untuk umpan pirolisis tersebut. Kebun energi multipurpose adalah kebun energi terbaik untuk hal tersebut, sehingga selain produksi bisa terus berkelanjutan (sustainable), juga memberikan manfaat lain, untuk lebih detail tentang kebun energi multipurpose bisa dibaca disini. Daerah-daerah terpencil khususnya yang memiliki tanah luas akan sangat potensial untuk mengembangkan kebun energi tersebut, sehingga suatu komunitas atau kawasan yang mandiri energi benar-benar bisa terbentuk dan berkelanjutan. Daerah-daerah di area perkebunan sawit juga bisa memanfaatkan limbah biomasa dari pabrik sawit dan perkebunannya seperti tandan kosong sawit, pelepah, dan sebagainya untuk umpan pirolisis tersebut. Indonesia adalah pemilik perkebunan sawit terluas di dunia dengan luas sekitar 13 juta hektar dan 1000 pabrik kelapa sawit.

Senin, 01 Februari 2016

Wood Pellet Ditengah Murahnya Harga Energi Dunia

Energi adalah salah satu kebutuhan vital bagi manusia, tanpa energi manusia akan menderita dan binasa.  Bentuk energi yang bermacam-macam itulah yang menopang dan memudahkan kehidupan manusia. Energi panas misalnya dibutuhkan untuk menjaga suhu sesuai kebutuhan, energi mekanik dibutuhkan untuk membawa suatu benda, energi listrik untuk penerangan, panas, juga penggerak berbagai motor listrik dan sebagainya. Matahari adalah makhluk ciptaan Allah SWT sebagai sumber energi utama bagi manusia  di bumi dan manusia bisa mendapatkannya secara gratis, sedangkan energi fossil yakni migas dan batubara menempati peringkat kedua yang manusia saat ini perlu membayar untuk bisa mendapatkan dan memanfaatkannya. Energi fossil inilah yang berabad-abad setelah revolusi industri pada pertengahan abad 19 menjadi primadona dan memiliki peran strategis dalam percaturan politik-ekonomi dunia (geopolitik-geoekonomi). Sampai hari ini dan diproyeksi hingga beberapa dekade ke depan energi fossil khususnya migas (BBM) akan mendominasi kebutuhan energi manusia di dunia.

Ketersediaan energi yang murah dan berlimpah adalah harapan dan cita-cita bagi semua manusia. Apabila manusia bisa mendapatkan energi dengan harga murah apalagi dengan kualitas baik tentu manusia akan memilih hal tersebut. Gas adalah jenis bahan bakar terbaik karena mampu terbakar lebih sempurna (secara teoritis/stoikhiometris dan praktis) diikuti dengan bahan bakar cair, selanjutnya bahan bakar padat.  Perkembangan teknologi terbaru telah membuat negara adidaya saat ini yakni Amerika Serikat mampu untuk memproduksi (mengekstraksi) migas dalam jumlah besar dari dalam perut buminya. Teknologi pengolahan minyak serpih (shale gas) yang sudah ekonomis membuat diprediksi oleh IEA (International Energy Agency) bahwa dalam tahun 2017 Amerika Serikat akan mampu menandingi produksi minyak mentah dari Arab Saudi. Sesuatu hal yang tidak pernah diduga sebelumnya, sehingga Amerika Serikat selain telah menjadi produsen migas juga dalam waktu dekat akan menjadi 'raja' eksportir migas (raja minyak baru) tersebut, yakni dengan produksi minyak mentah 11,1 juta barrel perhari (1 barrel = 158,9 liter) atau 500.000 barrel perhari diatas kapasitas Arab Saudi hari ini dan diperkirakan meningkat menjadi 13,1 juta barrel per hari pada 2019 dan mampu stabil selama 10 tahun. Bahkan analisa terakhir mengatakan bahwa pada tahun 2020 shale gas bisa menyediakan hingga setengah pasokan gas Amerika Serikat. Hukum pasar berlaku yakni ketika supply meningkat dan demand relatif tetap, maka harga akan turun, sehingga harga minyak mentah pada 2013 dikisaran 90 USD/barrel saat ini hanya berada dikisaran 30 USD/barrel-nya. Konsekuensi lainnya adalah jatuhnya harga batubara dari USD 192 per metrik ton pada Juni 2008 menjadi USD 96 per metrik ton pada September 2012, hal ini dikarenakan banyak industri yang beralih menggunakan migas karena harganya murah yang sebelumnya menggunakan batubara. Batubara dianggap bahan bakar kotor karena masalah abu dan tingginya emisi karbon. Shale gas menghasilkan emisi karbon yang secara signifikan lebih sedikit dibandingkan dengan batubara (shale gas mengeluarkan sekitar setengah dari emisi karbon batubara).

Revolusi shale gas akan mampu mendongkrak ekonomi Amerika keluar dari krisis ekonominya karena bisa menciptakan jutaan lapangan kerja baru. Potensi shale gas yang sangat berlimpah memang potensi luar biasa tetapi masih terlalu dini bahwa shale gas menjadi salah satu faktor penentu di pasar energi global. Setelah Amerika Utara bisa diperkirakan potensi sekitar 1.000 triliun kaki kubik shale gas yang cukup memasok kebutuhan gas alam Amerika Serikat selama 50 tahun atau lebih, tidak mau kalah China juga mengklaim potensi cadangan shale gas yang katanya lebih besar dari AS dan berambisi untuk memproduksi 100 miliar kubik gas sebelum 2020. Sedangkan Indonesia diperkirakan memiliki potensi 1000-2000 triliun kaki kubik shale gas sehingga ada potensi Indonesia menjadi negara dengan potensi shale gas terbesar di dunia.  Tentu hal tersebut akan berdampak positif apabila pengelolaannya sesuai amanat UUD 1945 dan ancaman terjadinya krisis energi akibat ketergantungan dari bahan bakar impor juga teratasi. Pergeseran peta geoenergi nantinya juga akan berdampak terhadap kebijakan energi di berbagai negara yang berimbas juga terhadap harga komoditas baik gas maupun minyak bumi.

Dalam sejarahnya Amerika Serikat juga tidak serta merta bisa mengekstraksi minyak serpih tersebut secara tiba-tiba. Perjalanan panjang dengan berbagai ujicoba telah mereka lalui sebelum kesuksesannya hari ini. Shale gas ini pertama kali diekstraksi di Fredonia, New York tahun 1821. Namun produksi shale gas untuk industri baru dimulai pada tahun 1970-an akibat perang Yom Kippur. Perang Yom Kippur pada awal 1973 ini menyebabkan krisis energi ketika anggota OAPEC (Organization of Arab Petroleum Exporting Countries) –Mesir dan Syria juga anggota OAPEC menyatakan embargo minyak. Pada akhir 1974 harga minyak dari 3 USD per barrel menjadi sekitar 12 USD per barrel. Krisis minyak tersebut menyebabkan tekanan politik dan ekonomi global yang sifatnya jangka pendek dan juga jangka panjang. Selanjutnya pada tahun 1979 terjadi krisis minyak kedua di Amerika Serikat sehingga minyak menjadi 39,50 USD per barrel. Pada rentang tahun 1970an tersebut Amerika Serikat juga memulai produksi shale gas pada skala industri karena tuntutan pemenuhan energi terutama dalam negerinya termasuk riset dan pengembangan energi baru seperti biomasa. Tetapi dari serangkaian ujicoba, pengeboran shale gas hingga era 1980 masih belum ekonomis. Baru pada tahun 1988, Mitchell Energy menemukan teknologi slick-water fracturing yang ekonomis. Shale gas yang sebagian besar juga terdiri atas metana merupakan gas alam non konvensional. Jika pada lam konvensional yang biasanya ditemukan di cekungan lapisan bumi pada kedalaman kurang lebih 800 m atau lebih, maka shale gas terdapat di lapisan bebatuan (shale formation) di kedalaman lebih dari 1500 m. Lapisan bebatuan (shale formation) tersebut kaya akan material organik sehingga dapat menjadi sumber energi.
Energi terbarukan diantaranya dari biomasa seperti wood pellet dan wood briquette juga merasakan dampak juga terkait murahnya harga minyak mentah dunia tersebut. Energi terbarukan seperti wood pellet dan wood briquette yang juga telah lama sulit bersaing dengan batubara, dan dengan tersedianya shale gas yang murah, ini bisa memperburuk di sektor energi terbarukan tersebut. Bahkan sebagian dari energi terbarukan sebagian juga masih dalam penelitian dan pengembangan sehingga masih membutuhkan banyak insentif sebelum mencapai pada level komersialnya. Ketika sebagian besar sumberdaya digenjot untuk produksi energi migas, hal ini juga semakin berakibat berkurangnya perhatian atau perlambatan pada sektor energi terbarukan. Berbagai rencana strategis seperti bauran energi nasional (national energy mix policy) suatu negara bahkan level global ternyata juga bisa berubah akibat temuan teknologi untuk mengekstraksi (memproduksi) minyak serpih (shale gas) tersebut.

Tinjauan aspek lingkungan-lah yang akhirnya tetap mendukung pengembangan dan penggunaan energi terbarukan. Minyak serpih (shale gas) adalah bahan bakar karbon positif (walupun pembakaran gas menghasilkan emisi karbon lebih sedikit) sedangkan penggunaan energi terbarukan adalah sumber energi atau bahan bakar karbon netral. Tidak dipungkiri juga bahwa dalam pengeboran shale gas diperlukan air dalam jumlah besar dan menghasilkan limbah air (dan kimia) yang juga membutuhkan penanganan lebih lanjut. Selain itu potensi terjadinya kebocoran gas metana dari sumur shlae gas yang bisa menurunkan efek pengurangan karbon dioksida dan manfaat iklim dengan beralih dari batubara ke shale gas.

Walaupun kebijakan lingkungan dari berbagai konferensi tingkat dunia terkesan pasang surut dalam implementasi energi terbarukan sebagai solusi mitigasi bencana perubahan iklim dan pemanasan global, tampaknya sebagian besar negara-negara tersebut masih berkomitmen untuk melanjutkan berbagai kebijakan lingkungan yang dibuatnya. Pilihan sulit antara bahan bakar murah tetapi merusak lingkungan atau lebih mahal tetapi memperbaiki bumi dan berkesinambungan akan menjadi polemik yang terjadi erus menerus. Perusakan hutan tropis di berbagai wilayah Indonesia ternyata terus berlangsung tanpa dapat dikendalikan. Diduga setiap detiknya terjadi penebangan hutan tropis seluas lapangan bola, sehingga setiap tahunnya terjadi pembukaan hutan tropis sekitar 150.000 kilometer persegi (15 juta ha). Keserakahan manusia untuk ekspoitasi  sumber daya alamnya untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi akan dihadapkan berbagai bencana lingkungan apabila tidak terkendali.

Senin, 05 Oktober 2015

Wood Briquette Tertinggal 25 Tahun dari Wood Pellet

Kawasan-kawasan atau daerah-daerah yang biasa dengan membakar kayu (wood burning application) maka akan cocok menggunakan wood briquette dan kurang cocok apabila menggunakan wood pellet. Berbagai kawasan di berbagai belahan dunia menggunakan kayu untuk pemanas ruangan (wood burning stove atau boiler) ataupun untuk memasak.  Apabila rasio pengguna kayu sebagai bahan bakar lebih banyak maka usaha atau produksi wood briquette akan lebih menarik daripada wood pellet. Secara global wood briquette memang kalah populer dibandingkan wood pellet, sehingga produksi wood briquette juga jauh dibawah wood pellet. Wood briquette juga punya karakteristik tersendiri dibandingkan wood pellet.






Secara umum produksi wood briquette juga lebih mudah dibandingkan wood pellet. Ukuran partikel, bahan baku, kadar air dan operasional sedikit lebih longgar dibandingkan persyaratan untuk produksi wood pellet. Semua wood pellet memiliki bentuk silindris yang hanya dibedakan diameter silinder tersebut, dan yang umum digunakan yakni diameter 6 mm dan 8 mm, sedangkan pada wood briquette selain bentuknya bisa bermacam-macam dari segi ukuran juga bermacam-macam, misalnya dari yang diameter 50 mm (5 cm) hingga 90 mm (9 cm). Wood pellet hampir semua menggunakan mechanical compression pada produksinya sedangkan pada wood briquette ada beberapa pilihan compression, yakni mechanical, hydraulic dan extrusion (screw). Teknologi kompresi pada pembriketan yang berbeda juga akan menghasilkan karakteristik produk yang berbeda, misalnya perbedaan pada mechanical compresssion (ram/piston briquette) dengan extrusion (screw briquette).  Bahan baku yang bisa dibuat pellet hampir bisa dipastikan bisa dibuat briquette, tetapi semua bahan baku yang bisa dibuat briquette belum tentu sukses untuk dibuat pellet. Density atau kepadatan wood briquette juga lebih tinggi dibandingkan wood pellet, yakni berkisar 1.000 - 1.400 kg/m3 (62,4 - 87,4 pound/ft3) sedangkan pada wood pellet berkisar 700 - 800 kg/m3  (43,7 - 50 pound/ft3).
Screw (extrusion) Wood Briquette

Sedangkan apabila dibandingkan dengan kayu (round wood/log) yang biasanya mampu menyala (burning time) sekitar 30 menit maka dengan kepadatan (density) yang tinggi pada wood briquette membuatnya memiliki waktu nyala sekitar 6 – 7 kalinya. Faktor lain yang menyebabkan tingginya waktu nyala tersebut adalah kadar air yang rendah dibandingkan kayu. Dalam banyak hal proses produksi wood briquette memiliki banyak kesamaan dengan wood pellet atau dalam kelompok teknologi pemadatan biomasa (biomass densification). Walaupun sama-sama karbon netral karena sama-sama bahan bakar biomasa, tetapi pada proses pembakaran wood briquette menghasilkan emisi 60% lebih sedikit daripada menggunakan kayu bakar. Untuk daerah-daerah dingin yang banyak membakar kayu untuk perapian (penghangat ruangan), maka pilihan wood briquette adalah tepat.

AI untuk Pabrik Sawit atau Pengembangan Produk Baru dengan Desain Proses Baru ?

Aplikasi AI telah merambah ke berbagai sektor termasuk juga pada pabrik kelapa sawit atau pabrik CPO. Aplikasi AI untuk pabrik kelapa sawit ...