Tampilkan postingan dengan label baterai hijau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label baterai hijau. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 September 2024

Belajar dari Kesuksesan Industri Wood Pellet di Asia (Vietnam) dan Eropa (Latvia)

Trend penggunaan wood pellet secara global belum lama yakni baru dimulai sekitar awal 2010an dan sejumlah negara meresponnya dengan cepat sehingga industri wood pelletnya berkembang cepat sebagai bagi bagian mesin ekonomi mereka yang sejalan dengan trend global untuk dekarbonisasi dan ekonomi hijau atau bioekonomi. Kesiapan sejumlah negara untuk merespon peluang tersebut juga bukan cuma tanpa alasan tetapi memang wawasan dan pengetahuan mereka telah mendukung untuk melakukannya. Indonesia sebagai negara tropis dan lahan luas serta SDM yang berlimpah seharusnya bisa menggenjot juga peluang industri wood pellet ini sehingga menjadi salah satu pemain utama dunia. 

Vietnam dan Latvia adalah dua negara di dunia yang saat ini memimpin industri wood pellet ini bahkan ada pabrik wood pellet terbesar di dunia ada di sana, untuk lebih detail baca disini. Pada awalnya kedua negara tersebut juga memulai industri ini dari kapasitas kecil. Untuk Vietnam, produksi wood pellet Vietnam dimulai pada tahun 2012 dengan kapasitas sangat kecil yakni sekitar 175 ton/tahun dan saat ini tahun 2021 atau sekitar 9 tahun kemudian produksinya telah mencapai sekitar 4,5 juta ton/tahun sehingga menempatkan Vietnam diurutan kedua sebagai produsen wood pellet dunia, setelah Amerika Serikat. Produksi total 4,5 juta ton/tahun tersebut disuplai dari 74 pabrik wood pellet di Vietnam. Pada tahun 2020 mengeksport wood pellet sebanyak 3,2 juta ton ke Jepang dan Korea untuk pembangkit listrik dengan nilai export mendekati USD 351 juta. Selain ke Korea dan Jepang, wood pellet produksi Vietnam juga di export ke Eropa.

Pada awalnya produksi wood pellet Vietnam menggunakan limbah dari industri mebel. Limbah mebel berupa serbuk kayu dari industri tersebut sudah kering dan ukuran partikelnya sudah sesuai untuk produksi wood pellet, sehingga alat berupa hammer mill dan pengering (dryer) tidak dibutuhkan. Banyak pabrik wood pellet Vietnam waktu itu tidak memiliki alat hammer mill ataupun dryer tersebut. Dengan bahan baku yang siap untuk dipellet tersebut maka biaya produksi wood pellet sangat murah ditambah lagi biaya tenaga kerja yang juga murah. Tetapi seiring permintaan limbah industri mebel untuk produksi wood pellet semakin tinggi maka ketersediaan bahan baku tersebut semakin langka, sehingga pabrik-pabrik wood pellet baru tidak bisa lagi menggunakan limbah-limbah tersebut. Limbah industri pengolahan kayu lainnya seperti penggergajian kayu dan pabrik veneer juga menjadi bahan baku. Selanjutnya dengan peningkatan produksi wood pellet semakin besar, limbah-limbah kayu hutan dan kayu bulat lainnya menjadi sumber bahan baku berikutnya. Hal tersebut juga membuat biaya produksi semakin meningkat karena perlu alat seperti hammer mill dan dryer sehingga bahan baku tersebut siap untuk dipellet. 

Sedangkan Latvia, sebagai sebuah negara kecil di Eropa bagian utara melihat peluang untuk memimpin di industri yang sedang tumbuh ini. Dengan wilayahnya yang hampir setengahnya berupa hutan, Latvia memiliki sumber daya alam untuk memproduksi wood pellet. Pada awal tahun 2000an dengan dukungan pemerintahnya untuk pengelolaan hutan yang bertanggungjawab sehingga produksi kayunya bisa berkelanjutan termasuk sejumlah dukungan bagi pengusaha yang akan memulai produksi wood pellet.  Tidak lama berselang, dunia mengetahuinya. Negara-negara seluruh Eropa termasuk Inggris, Denmark dan Italia, mulai mengandalkan produksi wood pellet dari Latvia untuk pemanas ruangan maupun pembangkit-pembangkit listrik mereka. 

Meskipun hanya negara kecil, Latvia menjadi pemain utama dalam industri wood pellet, bersaing dengan negara-negara lebin besar seperti Jerman dan Swedia. Saat ini Latvia menjadi salah satu eksportir terbesar wood pellet di dunia. Kisah sukses Latvia memberi pelajaran bahwa walaupun negara kecil tetapi dengan kemauan kuat, berfokus pada kualitas, inovasi dan keberlanjutan (sustainibility), sumber daya alam (SDA) akan membawa pada kisah kesuksesan global. Kesuksesan Latvia menunjukkan ketika adanya dukungan pemerintah, investasi teknologi, dan orang-orang yang berdedikasi maka walaupun negara kecil dapat memimpin pada pasar global yang kompetitif. Dan ketika semakin hari, dunia semakin mencari solusi untuk energi bersih dan berkelanjutan, kesuksean industri wood pellet Latvia menginspirasi tentang contoh yang bisa diraih dengan visi, kerja keras dan komitmen pada keberlanjutan.

Negeri tropis seperti Indonesia adalah “surga” untuk energi biomasa, energi biomasa ini ibarat baterai hijau yang harus dikembangkan, untuk lebih detail baca disini. Ketika negara-negara kecil seperti Vietnam dan Latvia bisa menggenjot industri wood pellet nya maka sudah semestinya Indonesia tidak mau ketinggalan. Ketika potensi besar tetapi disia-siakan maka selain itu adalah sikap tidak bersyukur sehingga akan berdampak pada kemiskinan dan rusaknya alam juga merupakan suatu kebodohan. Banyaknya lahan tersedia bahkan jutaan hektar menjadi lahan kritis dan multimanfaat dari kebun energi seharusnya memotivasi industri wood pellet. Ketika Vietnam dan Latvia bisa melakukannya Indonesia juga semestinya demikian juga.    

Minggu, 04 Agustus 2024

Kebun Energi Sumber Energi Sepanjang Zaman

 “Yaitu (Allah) yang menjadikan api untukmu dari kayu yang hijau, maka seketika itu kamu nyalakan (api) dari kayu itu.” (QS. Yaasin (36) : 80)

 

Matahari diciptakan Allah SWT sebagai sumber energi utama bagi manusia dan makhluk hidup di bumi. Butuh sekitar 8 menit sinar matahari sampai ke bumi dan oleh tumbuhan dikonversi menjadi sumber makanan sehingga bisa dikonsumsi hewan dan manusia. Manusia juga memperoleh makanan dari sumber hewani. Semakin banyak sinar matahari maka semakin banyak pula yang bisa dikonversi oleh tumbuhan melalui proses photosintesisnya. Tanpa matahari, maka tumbuhan mati, hewan mati, manusia mati sehingga tidak akan ada kehidupan di muka bumi. Bahan bakar fossil pada hakekatnya adalah sumber energi dari tumbuhan dan hewan masa lalu. Penambangan serta penggunaan bahan bakar fossil akan melepaskan sejumlah gas rumah kaca (GRK) yang membuat suhu bumi meningkat yang pada level tertentu membahayakan penduduk bumi itu sendiri. Upaya mengatasi hal tersebut yakni dengan penggunaan energi non-fossil dan energi terbarukan sehingga tidak berkontribusi pada peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer yang meningkatkan suhu bumi tersebut. 

Dari tumbuhan atau pepohonan bisa langsung digunakan sebagai sumber energi atau bahan bakar yakni kayu bakar. Turunan atau produk-produk energi dari tumbuhan juga sangat beragam dan bisa memenuhi semua kebutuhan manusia baik energi dalam bentuk bahan bakar padat, bahan bakar cair dan bahan bakar gas. Produksi kayu bakar, wood chip, wood briquette, sawdust, torrified biomass hingga charcoal adalah sejumlah produk bahan bakar padat. Sedangkan produksi biooil, bioethanol, biodiesel, renewable diesel / green diesel, dan bioavtur / bio jet fuel adalah sejumlah sejumlah bahan bakar cair. Dan biogas serta bio-syngas adalah bahan bakar gas yang bisa dihasilkan dari bahan asal berupa tumbuhan tersebut. 

Sejumlah teknik konversi yang berbasis fisika, kimia dan biologi dibutuhkan untuk konversi tersebut. Penggunaan spesies tanaman yang sesuai juga dibutuhkan untuk memudahkan konversi tersebut, misalnya untuk produksi bahan bakar padat dibutuhkan sumber biomasa seperti kayu-kayuan, sedangkan jika targetnya bahan bakar cair maka jenis tumbuhan penghasil minyaklah yang perlu diupayakan. Konversi dari bahan bakar padat sehingga menjadi bahan bakar cair maupun gas juga bisa dilakukan tetapi pada umumunya semakin panjang dan rumit proses maka biaya produksinya akan menjadi mahal. Tetapi tetap saja kebun energi adalah basis untuk hal itu semua.

Pengolahan biomasa yang populer dan cukup mudah yakni menjadi wood chip dengan pengecilan ukuran / size reduction lalu wood pellet dan wood briquette melalui pemadatan biomasa / biomass densification. Selanjutnya untuk mengubah biomasa bergula menjadi ethanol dengan fermentasi dan distilasi azeotrop, mengubah biomasa lignin (lignocellulosic biomass) menjadi ethanol dengan reaksi hidrolisis enzimatis diikuti dengan fermentasi dan distilasi azeotrop. Mengubah biomasa kayu-kayuan menjadi bahan bakar dengan proses termal bisa dibakar langsung atau apabila ingin dibuat menjadi arang yakni mengkonsentrasikan fixed carbonnnya yakni dengan pirolisis atau karbonisasi, dan apabila ingin memaksimalkan produk cair / bio-oil / pyro-oil yakni dengan pirolisis cepat serta apabila ingin memaksimalkan produk gasnya yakni dengan gasifikasi. Dan supaya karakteristik biomasa tersebut seperti batubara yang hidrophobik maka dengan proses torrefaksi atau mild-pyrolysis bisa dilakukan. Torrefaksi dan densifikasi biasanya dilakukan bersamaan untuk mengoptimalkan produk bahan bakar biomasa tersebut. 

Dengan gas to liquid (GTL) yakni proses gasifikasi dan diikuti proses Fisher – Tropsch akan bisa dihasilkan bio-ethanol, biodiesel maupun bioavtur / bio jet fuel. Sedangkan dari kelompok tanaman-tanaman yang menghasilkan minyaknya seperti sawit akan bisa dibuat biodiesel terutama dengan proses transesterifikasi ataupun estran (esterifikasi plus transesterifikasi). Bahkan minyak bekas (waste oil) atau minyak goreng bekas / minyak jelantah dan miko / minyak kotor atau PAO (palm acid oil) juga bisa digunakan untuk biodiesel / green diesel tersebut ataupun diolah lebih lanjut menjadi bio-jet fuel / bio-avtur dengan proses HVO / HEFA - SPK (Hydro-processed Esters and Fatty Acids-Synthesized Paraffinic Kerosene) . 

Jadi dari biomasa berasal dari pepohonan pada dasarnya bisa diolah aneka bentuk energi ataupun bahan bahan bakar yang dibutuhkan manusia. Selain digunakan langsung sebagai sumber panas, energi tersebut juga bisa diubah menjadi energi mekanik maupun energi listrik, misalnya kendaraan berbahan bakar biofuel hingga pembangkit listrik biomasa. Jadi sumber energi sepanjang zaman yang tersimpan dalam tumbuh-tumbuhan adalah biomasa ini seperti yang firman Allah SWT dalam ayatnya di atas dan tidak ada keraguan sedikitpun atas hal tersebut. Indonesia sebagai negara tropis adalah “surga” bagi produksi biomasa tersebut karena pancaran sinar matahri sepanjang tahun dan curah hujan memadai serta tanah yang luas. Penyimpanan energi dalam tumbuh-tumbuhan dari sinar matahari tersebut juga diibaratkan seperti baterai yang bisa digunakan kapan saja dan dimana saja untuk lebih detail baca disini.  

Hal lain yang penting diperhatikan untuk pembuatan kebun energi atau kebun biomasa tersebut adalah tentang status lahan yang digunakan. Lahan tersebut harus bukan dari deforestatsi ataupun pengalihan fungsi lahan yang merusak lingkungan. Hutan tanaman industri (HTI) yang memang sesuai peruntukannya bisa dijadikan kebun energi tersebut. Selain itu biomassa untuk memproduksi energi juga dapat dibudidayakan di lahan kritis, atau disebut sebagai lahan yang 'tidak produktif'. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperkirakan bahwa lahan kritis di Indonesia pada tahun 2016 seluas 24,3 juta hektar (Times Indonesia, 2017). Ini adalah wilayah yang sangat luas, dan secara keseluruhan wilayah Indonesia cukup luas untuk menyediakan biomassa bagi produksi energi terbarukan tersebut.  

Minggu, 04 Februari 2024

Menghidupkan “Baterai Hijau” Indonesia

Dengan posisi di khatulistiwa sehingga beriklim tropis maka pancaran sinar matahari akan diterima sepanjang tahun. Energi dari sinar matahari tersebut seharusnya bisa dimanfaatan secara optimal pada era dekarbonisasi saat ini. Supaya energi matahari tersebut bisa dimanfaatkan kapan saja, maka energi tersebut harus disimpan. Hal tersebut seperti mekanisme baterai dalam menyimpan energi, sehingga energi tersebut tidak lewat dan hilang begitu saja. Menyimpan dan mengubah energi matahari tersebut telah dilakukan secara alami sejak kehidupan ini ada yakni dalam biomasa tumbuhan. Dengan photosintesis pada tanaman, energi matahari dengan air dan CO2 diubah menjadi biomasa dalam bentuk kayu, buah, daun dan berbagai bagaian tumbuhan tersebut serta O2 untuk kita bernafas. Energi matahari tidak lewat dan hilang begitu saja tetapi tersimpan dalam tumbuhan tersebut sebagai sumber energi atau “baterai” yang bisa dimanfaatkan kapan saja.

Dengan paradigma tersebut tentu upaya memaksimalkan penyimpanan energi dalam “baterai hijau” tersebut harus dimaksimalkan sebagai upaya menuju bahan bakar rendah atau netral karbon. Dengan luas daratan juga terbesar di Asia Tenggara tentu upaya memaksimalkan “baterai hijau” menjadi lebih penting dan strategis. Pemanfaatan tipe fast growing species dan short rotation coppice akan sangat cocok dalam mengubah dan menyimpan energi matahari tersebut. Apalagi pada daerah beriklim tropis panen kayu tersebut juga lebih cepat dibandingkan pada negara sub-tropis atau daerah dingin, dikarenakan melimpahnya energi pancaran matahari tersebut. 

Luas tanah potensial untuk membuat “baterai hijau” tersebut sangat besar yakni mencapai puluhan juta hektar. Ditambah lagi lahan reklamasi yang mencapai jutaan hektar juga, lebih detail bisa dibaca disini. “Baterai hijau” tersebut berupa kebun energi yang kayunya dimanfaatkan untuk produksi wood pellet. Dalam bentuk produk wood pellet tersebut maka energi biomasa menjadi lebih mudah disimpan, dan digunakan kapan saja. Tidak seperti pembangkit listrik tenaga matahari atau angin ataupun air yang intermittent, bahan bakar biomasa berupa wood pellet tidak seperti itu. Penggunaannya bisa sesuai permintaan dan target yang dikehendaki, sehingga lebih praktis dan bisa diandalkan. Alasan mengapa “baterai hijau” berupa kebun energi tersebut belum berkembang bisa dibaca disini

Selain “baterai hijau” dari kebun energi, “baterai hijau” juga bisa berasal dari hutan produksi pada umumnya. Pada hutan produksi tersebut, produk utamanya kayu yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti kayu bangunan, mebel, plywood, flooring dan sebagainya. Limbah industri kayu tersebut yang selanjutnya digunakan untuk produksi wood pellet tersebut. Produksi wood pellet pada dasarya harus menggunakan limbah-limbah kayu maupun kayu-kayu seharga kayu limbah seperti kayu dari kebun energi, sehigga industri wood pellet ekonomis dan menguntungkan. Diperkirakan ada limbah-limbah kayu sebanyak 25 juta ton/tahun yang bisa dimanfaatkan untuk produksi wood pellet tersebut. Dan khusus dari industri plywood saja limbah kayu diperkirakan mencapai 5 juta ton setiap tahunnya.  

Estimasi industri kayu Indonesia sebenarnya bisa dioptimalkan hingga kapasitas produksi mencapai 91 juta meter kubik per tahun, tetapi realisasi pada 2022 industri hasil hutan ini hanya mampu memproduksi 42,19 juta meter kubik per tahun atau sekitar 48,7% dari kapasitas optimumnya. Faktor-faktor yang menjadi penyebab rendahnya realisasi industri perkayuan tersebut ada 3 faktor yakni, efisiensi industri perkayuan, masalah terkait dengan bahan baku dan ketersediaan pasar.

Riset tentang baterai terus berlanjut seiring trend dekarbonisasi global dan transisi energi menjadi keniscayaan untuk mencapai target dekarbonisasi tersebut. Baterai berkapasitas besar sehingga energi listrik yang dihasilkan dari pembangkit energi terbarukan seperti angin dan matahari bisa disimpan menjadi target riset tersebut. Riset tersebut memakan biaya besar sekaligus waktu yang lama, diperkirakan 20 atau 30 tahun ke depan, baterai kapasitas besar tersebut baru akan tersedia. Sedangkan saat ini sebagian besar pembangkit listrik menggunakan bahan bakar fossil khususnya batubara. Upaya transisi energi pada pembangkit listrik tersebut bisa dilakukan dengan subtitusi batubara ke wood pellet tersebut. Apalagi sebagai daerah tropis maka energi biomasa seperti bisa tetap sebagai energi utama pada era nir-karbon masa depan. 


“Baterai hijau” Indonesia harus diaktifkan dan dikembangkan, karena selain fungsinya sebagai sumber energi, “baterai hijau” tersebut juga sebagai penyimpan CO2 atau carbon sink. Selama jumlah kayu yang dipanen lebih kecil atau maksimal sama dengan pertumbuhan kebun energi atau “baterai hijau” tersebut maka banyaknya CO2 yang terserap tanaman tidak berkurang atau CO2 yang lepas ke atmosfer tidak bertambah, demikian juga dengan hutan produksi pada umumnya. Ketika pada umur tertentu pertumbuhannya akan jenuh dan mulai menurun dalam penyerapan CO2, artinya hutan tersebut tidak bisa secara permanen menyimpan CO2 dalam volume tetap, sehingga perlu regenerasi / replanting. Sedangkan pada kebun energi karena karakteristik spesies tanamannya maka regenerasi / replanting tidak perlu setiap kali panen, tetapi bisa puluhan tahun kemudian. Dan lebih lanjut penggunaan teknologi carbon capture and storage (CCS) pada pembangkit listrik yang telah menggunakan 100% bahan bakarnya dari wood pellet tersebut maka berarti CO2 yang dihasilkan tidak lepas ke atmosfer atau merupakan carbon negative, yang mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer. 

AI untuk Pabrik Sawit atau Pengembangan Produk Baru dengan Desain Proses Baru ?

Aplikasi AI telah merambah ke berbagai sektor termasuk juga pada pabrik kelapa sawit atau pabrik CPO. Aplikasi AI untuk pabrik kelapa sawit ...