Tampilkan postingan dengan label industri wood pellet. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label industri wood pellet. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 September 2024

Belajar dari Kesuksesan Industri Wood Pellet di Asia (Vietnam) dan Eropa (Latvia)

Trend penggunaan wood pellet secara global belum lama yakni baru dimulai sekitar awal 2010an dan sejumlah negara meresponnya dengan cepat sehingga industri wood pelletnya berkembang cepat sebagai bagi bagian mesin ekonomi mereka yang sejalan dengan trend global untuk dekarbonisasi dan ekonomi hijau atau bioekonomi. Kesiapan sejumlah negara untuk merespon peluang tersebut juga bukan cuma tanpa alasan tetapi memang wawasan dan pengetahuan mereka telah mendukung untuk melakukannya. Indonesia sebagai negara tropis dan lahan luas serta SDM yang berlimpah seharusnya bisa menggenjot juga peluang industri wood pellet ini sehingga menjadi salah satu pemain utama dunia. 

Vietnam dan Latvia adalah dua negara di dunia yang saat ini memimpin industri wood pellet ini bahkan ada pabrik wood pellet terbesar di dunia ada di sana, untuk lebih detail baca disini. Pada awalnya kedua negara tersebut juga memulai industri ini dari kapasitas kecil. Untuk Vietnam, produksi wood pellet Vietnam dimulai pada tahun 2012 dengan kapasitas sangat kecil yakni sekitar 175 ton/tahun dan saat ini tahun 2021 atau sekitar 9 tahun kemudian produksinya telah mencapai sekitar 4,5 juta ton/tahun sehingga menempatkan Vietnam diurutan kedua sebagai produsen wood pellet dunia, setelah Amerika Serikat. Produksi total 4,5 juta ton/tahun tersebut disuplai dari 74 pabrik wood pellet di Vietnam. Pada tahun 2020 mengeksport wood pellet sebanyak 3,2 juta ton ke Jepang dan Korea untuk pembangkit listrik dengan nilai export mendekati USD 351 juta. Selain ke Korea dan Jepang, wood pellet produksi Vietnam juga di export ke Eropa.

Pada awalnya produksi wood pellet Vietnam menggunakan limbah dari industri mebel. Limbah mebel berupa serbuk kayu dari industri tersebut sudah kering dan ukuran partikelnya sudah sesuai untuk produksi wood pellet, sehingga alat berupa hammer mill dan pengering (dryer) tidak dibutuhkan. Banyak pabrik wood pellet Vietnam waktu itu tidak memiliki alat hammer mill ataupun dryer tersebut. Dengan bahan baku yang siap untuk dipellet tersebut maka biaya produksi wood pellet sangat murah ditambah lagi biaya tenaga kerja yang juga murah. Tetapi seiring permintaan limbah industri mebel untuk produksi wood pellet semakin tinggi maka ketersediaan bahan baku tersebut semakin langka, sehingga pabrik-pabrik wood pellet baru tidak bisa lagi menggunakan limbah-limbah tersebut. Limbah industri pengolahan kayu lainnya seperti penggergajian kayu dan pabrik veneer juga menjadi bahan baku. Selanjutnya dengan peningkatan produksi wood pellet semakin besar, limbah-limbah kayu hutan dan kayu bulat lainnya menjadi sumber bahan baku berikutnya. Hal tersebut juga membuat biaya produksi semakin meningkat karena perlu alat seperti hammer mill dan dryer sehingga bahan baku tersebut siap untuk dipellet. 

Sedangkan Latvia, sebagai sebuah negara kecil di Eropa bagian utara melihat peluang untuk memimpin di industri yang sedang tumbuh ini. Dengan wilayahnya yang hampir setengahnya berupa hutan, Latvia memiliki sumber daya alam untuk memproduksi wood pellet. Pada awal tahun 2000an dengan dukungan pemerintahnya untuk pengelolaan hutan yang bertanggungjawab sehingga produksi kayunya bisa berkelanjutan termasuk sejumlah dukungan bagi pengusaha yang akan memulai produksi wood pellet.  Tidak lama berselang, dunia mengetahuinya. Negara-negara seluruh Eropa termasuk Inggris, Denmark dan Italia, mulai mengandalkan produksi wood pellet dari Latvia untuk pemanas ruangan maupun pembangkit-pembangkit listrik mereka. 

Meskipun hanya negara kecil, Latvia menjadi pemain utama dalam industri wood pellet, bersaing dengan negara-negara lebin besar seperti Jerman dan Swedia. Saat ini Latvia menjadi salah satu eksportir terbesar wood pellet di dunia. Kisah sukses Latvia memberi pelajaran bahwa walaupun negara kecil tetapi dengan kemauan kuat, berfokus pada kualitas, inovasi dan keberlanjutan (sustainibility), sumber daya alam (SDA) akan membawa pada kisah kesuksesan global. Kesuksesan Latvia menunjukkan ketika adanya dukungan pemerintah, investasi teknologi, dan orang-orang yang berdedikasi maka walaupun negara kecil dapat memimpin pada pasar global yang kompetitif. Dan ketika semakin hari, dunia semakin mencari solusi untuk energi bersih dan berkelanjutan, kesuksean industri wood pellet Latvia menginspirasi tentang contoh yang bisa diraih dengan visi, kerja keras dan komitmen pada keberlanjutan.

Negeri tropis seperti Indonesia adalah “surga” untuk energi biomasa, energi biomasa ini ibarat baterai hijau yang harus dikembangkan, untuk lebih detail baca disini. Ketika negara-negara kecil seperti Vietnam dan Latvia bisa menggenjot industri wood pellet nya maka sudah semestinya Indonesia tidak mau ketinggalan. Ketika potensi besar tetapi disia-siakan maka selain itu adalah sikap tidak bersyukur sehingga akan berdampak pada kemiskinan dan rusaknya alam juga merupakan suatu kebodohan. Banyaknya lahan tersedia bahkan jutaan hektar menjadi lahan kritis dan multimanfaat dari kebun energi seharusnya memotivasi industri wood pellet. Ketika Vietnam dan Latvia bisa melakukannya Indonesia juga semestinya demikian juga.    

Minggu, 10 Februari 2019

Sebentar Lagi Sri Lanka Akan Produksi Wood Pellet Besar-Besaran Dari Kebun Energinya, Indonesia?

Sebuah perusahaan Sri Lanka, Trinco Pellets akan memproduksi wood pellet dari tanaman rotasi cepat, yakni gliricidae dan direncanakan akan berproduksi pada tahun 2020-2021. Kapasitas produksinya mencapai 150.000 ton/tahun dengan pasar utama ke Jepang. Perusahaan tersebut mentargetkan menanam 1 milyar pohon gliricidae dengan target menghasilkan 15 juta ton kayu gliricidae. Selain untuk produksi wood pellets, kayu tersebut juga digunakan untuk pembangkit listrik. Tentu hal tersebut suatu terobosan  dan akselerasi bagi perkembangan industri wood pellet. Indonesia jelas memiliki potensi jauh lebih besar, dan hal tersebut juga bisa sebagai referensi bahkan model untuk memacu semangat untuk berperan lebih besar di sektor wood pellet dunia khususnya dan bioeconomy pada umumnya.

Gliricidae atau gamal dengan kaliandra adalah satu kelompok tanaman leguminoceae yang akarnya bisa mengikat nitrogen sehingga menyuburkan tanah. Keduanya juga bisa trubusan (coppice) sehingga bisa dipanen setiap tahun dan replanting dilakukan setelah kurang lebih 20 tahun. Untuk tambahan referensi tentang kaliandra dan gamal bisa dibaca disini. Optimalisasi kebun energi baik kaliandra atau gamal adalah dengan peternakan baik peternakan domba maupun peternakan domba dengan sapi. Hal tersebut karena daun kaliandra maupun gamal sangat baik untuk pakan ternak tersebut karena tingginya kandungan protein serta jumlah yang dihasilkan dari kebun energi tersebut sangat banyak. Sebagai contoh apabila setiap hektar menghasilkan 20 ton daun, maka untuk kebun seluas 1.000 hektar akan menghasilkan 20.000 ton limbah daun. Untuk lebih detail bisa dibaca disini. Dengan pola tersebut kita tidak hanya produksi wood pellet, tetapi juga produksi daging, yang saat ini Indonesia masih defisit. Integrasi perkebunan besar dengan peternakan besar akan memberi hasil yang optimal, seperti bisa dibaca disini. InsyaAllah

Senin, 21 Mei 2018

Solar PV atau Biomass To Energy?

Indonesia adalah negara tropis dengan curah hujan tinggi, sehingga walaupun sinar matahari bersinar sepanjang tahun, tetapi banyak mendung dan juga hujan. Hal tersebut menjadi pertimbangan penting untuk prioritas dan pilihan energi terbarukan yang akan dikembangkan. Berdasarkan kondisi tersebut maka pilihan pengembangan biomass to energy atau bioenergy lebih cocok untuk kondisi Indonesia, daripada solar PV. Ketersediaan sinar matahari dan curah hujan tinggi membuat berbagai tanaman bisa tumbuh dengan baik dan optimal. Sedangkan apabila dengan solar PV maka ketika terjadi mendung dan hujan maka intensitasnya juga turun secara drastis. Sebuah analisis mengatakan apabila terjadi mendung maka intensitas solar PV turun menjadi 20% sehingga untuk menjaga stabilitas pasokan listriknya dibutuhkan 5 unit solar PV. Tentu saja menjadi sangat mahal apalagi investasi untuk solar PV khususnya pada batterai juga masih mahal untuk kondisi hari ini. Solar PV cocok untuk kondisi dengan pancaran sinar matahari terik dengan intensitas relatif stabil dan curah hujan minimum, sehingga sesuai untuk daerah kering bergurun pasir seperti jazirah Arab atau wilayah-wilayah Afrika. 

Praktisnya pengembangan kebun energi dengan hasil kayunya untuk produksi wood pellet adalah salah satu upaya konkrit biomass to energy tersebut. Dengan kebun energi tersebut sinar matahari ditangkap oleh tumbuhan untuk photosintesis sehingga memproduksi biomasa khususnya kayu untuk energi. Puluhan juta hektar lahan tersedia di Indonesia yang bisa digunakan untuk kebun energi tersebut. Selain sebagai sumber energi, kebun-kebun energi tersebut juga memperbaiki ekosistem. Integrasi dengan peternakan domba juga akan mengoptimalkan kebun energi tersebut karena daun-daun yang kaya protein dari jenis pohon leguminoceae kebun energi akan terkonversi menjadi daging dengan peternakan tersebut. Kotoran ternak tersebut juga bisa sebagai pupuk pada kebun energi tersebut. Apalagi keuntungan kebun energi tersebut juga tidak kalah dari perkebunan sawit, untuk lebih detail bisa dibaca disini atau bisa juga pemilik perkebunan sawit mulai diversifikasi perkebunannya dengan kebun energi, untuk lebih detail bisa dibaca disini

Minggu, 25 Februari 2018

Migrasi Dari Fossil Based Economy ke Bioeconomy Bagian 2

Bioeconomy berkelanjutan dimulai dari pasokan biomasa yang berkelanjutan dan harga murah/terjangkau. Tentu saja ini bukan hal sulit sebenarnya di Indonesia, karena tanah luas tersedia, subur dan beriklim tropis. Mindset untuk produksi biomasa berkelanjutan inilah yang digunakan. Ketika negara lain masih perlu mengembangkan teknologi untuk menangkap sinar matahari untuk mengoptimalkan produksi biomasa mereka, maka hal itu tidak perlu dilakukan disini. Alhamdulillah matahari bersinar sepanjang tahun. Bidang energi, bahan kimia, pangan, pakan dan material terutama menjadi fokus bioeconomy. Sebenarnya bioeconomy ini juga sebagian besar akan menggantikan fossil economy, yang saat ini seiring waktu mulai dikurangi dan ditinggalkan, karena dinilai tidak berkelanjutan (unsustainable). Migrasi dari fossil ekonomi ke bioeconomy inilah peluang emas bagi kita, yang tidak boleh kita lewatkan.

Indonesia memang sangat kaya berbagai potensi untuk bisa berjaya di era bioeconomy tersebut. Tetapi jika semua potensi tidak dikelola dengan benar, bukan kejayaan yang didapat tetapi malah kesengsaraan yang didapat. Mengapa bisa begitu? Ya karena semua potensi kekayaan alam malah mengundang negara-negara asing yang kuat untuk menguasainya. Bukankah sejarah telah menunjukkan karena kekayaan alam terutama rempah-rempahnya telah mengundang penjajah ke negeri ini lalu menjajah dan bercokol ratusan tahun? Itu penjajahan secara fisik dan militer yang dialami negeri ini. Setelah era itu berakhir, maka penjajahan ekonomi dengan sistem kapitalis merajalela, maka kembali negeri yang kaya raya ini hanya dikuasai beberapa gelintir orang saja. Tentu kita tidak mau kedua hal tersebut berulang, sehingga tetap saja mayoritas rakyat negeri ini masih dalam kondisi memprihatinkan. 
Photo diambil dari sini
Tanah-tanah yang luas yang banyak terdapat di Indonesia harus kita optimalkan jika memang mau berperan penting dalam era bioeconomy tersebut. Kita ambil contoh Belanda, negeri yang pernah menjajah negeri kita.  Belanda bisa kita ambil sebagai referensi dari sisi ini karena produksi biomasa perhektarnya tertinggi di Eropa, negara yang kuantitas produksi biomasanya juga tinggi, bioeconomy sudah cukup maju dan juga turut terlibat dalam program bioeconomy 2020 di Eropa (Renewable Energy Objective) dengan target 14% dan naik menjadi 16% pada 2023. Dengan bioeconomy Eropa menargetkan bisa menggerakan ekonomi sebesar 2 trilyun Euro (sekitar 34.000 trilyun rupiah) dan menciptakan 20 juta lapangan kerja. Belanda bahkan mampu mengeksport sejumlah produk pangannya ke berbagai negara dari hasil olahan pertanian mereka. Belanda hanya memiliki 2 juta hektar tanah pertanian, yang terbagi 0,5 juta hektar untuk tanaman pangan (gandum), produksi susu dan ternak 1,2 juta hektar dan sisanya kebun hortikultura. Kelebihan di Belanda adalah sistem irigasi yang baik sehingga bisa mengairi berbagai pertanian dan peternakan tersebut. Biomasa untuk produksi sektor energi berasal dari kehutanan, limbah pertanian, limbah rumah tangga dan industri. Biomasa untuk energi juga telah digunakan pada skala besar disana. Agroforestry dan peternakan sudah diterapkan untuk optimalisasi produksi biomasa tersebut. Bioeconomy di Belanda diestimasi memberikan nilai tambah ekonomi sebesar 2.6-3 milyar Euro (sekitar 50 trilyun rupiah). Walaupun sudah sedemikian intensif, tetapi Belanda masih mengimport sejumlah biomasa untuk memenuhi kebutuhannya. Bagaimana jika produksi biomasa Indonesia dioptimalkan? InsyaAllah Indonesia akan menjadi pemimpin dalam bidang tersebut. 

Mengapa bioeconomy di Belanda bisa sedemikian maju? Salah satu faktor pentingnya adalah karena suku bunga di Belanda sangat rendah atau hampir 0%, yakni hanya 0,05% sehingga orang-orang bergairah untuk berbisnis. (Bandingkan dengan di Indonesia dengan suku bunga sekitar 6%).Dengan gairah tinggi untuk berbisnis tersebut membuat mereka mampu menguasai sejumlah teknologi terkait bidang tersebut, misalnya bio-based polymer, bio-based building block, resin, bio-based chemical,  dan bioethanol. Padahal mayoritas penduduk Indonesia muslim dan riba adalah haram, yang derajatnya diatas bangkai, babi, anjing, bangkai dan darah, tetapi bukannya dihilangkan malah prosentasenya tinggi, bisa disimak kajiannya disini. Tingginya suku bunga telah membuat manusianya malas mengembangkan bisnis atau gairah berbisnis menjadi rendah, misalnya usaha peternakan atau industri yang memberikan keuntungan 20-30% pertahun, dengan kongsi maka keuntungan dibagi dua menjadi 10-15%, tetapi karena usaha sektor riil tersebut ada kemungkinan rugi, maka umumnya orang ogah melakukannya dan memilih menyimpan uangnya di bank yang dijamin pemerintah dan tidak perlu kuatir kehilangan uangnya. Sementara di Belanda, keuntungan 5% bahkan 10% menjadi sangat menarik dibandingkan uangnya disimpan di bank. Indonesia semakin kalah pertumbuhan ekonominya, akibat tingginya suku bunga yang diterapkan. Betapa keras ancaman Allah SWT terhadap pelaku riba dan ekonomi berbasis riba telah terbukti menghancurkan perekonomian kita, tetapi herannya belum ada satupun calon bupati/walikota, gubernur hingga presiden yang berjanji untuk menghancurkan riba tersebut. 


Produksi wood pellet dari kebun energi, peternakan domba dengan penggembalaan, dan peternakan lebah madu yang diintegrasikan adalah model bioeconomy kita. Wood pellet adalah bentuk energi yang fleksibel, sebagai bahan bakar rumah tangga (memasak), industri dan pembangkit listrik yang ramah lingkungan, sedangkan domba adalah harta terbaik muslim yang bisa dibaca disini, sini, sini dan sini. Domba adalah sumber daging terbaik, karena semua Nabi dan Rasul juga penggembala domba. Hal tersebut juga menunjukkan Allah SWT memberikan makanan terbaik bagi Nabi dan Rasul-Nya berupa daging domba tersebut. Daging domba tersebut merupakan sumber protein terbaik pangan kita. Bukan seperti protein yang diekstrak dari limbah organik tertetu seperti yang dilakukan di Belanda atau sumber protein dari jangkrik seperti yang dilakukan professor di Jepang. Hal ini menegaskan kita juga harus selektif terhadap suatu teknologi dari sejumlah opsi teknologi yang ada, apalagi terkait soal pangan kita.

Selanjutnya peternakan lebah madu juga akan semakin mengoptimalkan kebun energi tersebut. Lebah juga berperan besar untuk berbagai penyerbukan buah-buahan. Nah bagaimana supaya integrasi tersebut bisa maksimal? Lokasi kita beriklim tropis adalah keunggulan tersendiri yang patut kita syukuri, tetapi seperti halnya di Belanda pengairan menjadi faktor penting untuk mengoptimalkan pertanian dan peternakan tersebut. Para pengusaha dan investor muslim yang hendak berbisnis bebas riba, sehingga berkah maka bisa bersyirkah untuk mengupayakan bisnis ini. Dan bukan berbasis riba yang membawa petaka, lebih rinci bisa dibaca disini.  Kalau sekarang orientasi hasil investasi adalah yang memberikan imbal hasil materi yang tinggi, suatu waktu akan berubah menjadi bagaimana investasi itu akan mencerdaskan dan menjadi jalan untuk pengamalan ilmu yang bermanfaat – karena orang tahu bahwa ilmu yang bermanfaat inilah yang akan dibawa mati, bukan hasil investasi yang tinggi. 

Jumat, 12 Januari 2018

Permintaan Wood Pellet Merangkak Naik?

Terpuruknya pasar wood pellet beberapa waktu lalu juga sangat dipengaruhi harga minyak bumi. Rendahnya harga minyak bumi yang menyentuh harga $30/barrel pada awal 2016 silam juga menurunkan harga jual serta permintaan wood pellet. Kondisi ini bahkan sampai menggeser posisi wood pellet sebagai bahan bakar termurah untuk sektor pemanas. Pada saat tersebut harga energi per kalori dari minyak yang merupakan bahan bakar cair yang kualitasnya lebih baik dan banyak diminati murah, sehingga bahan bakar padat yang kualitasnya lebih rendah dan kurang diminati juga menjadi semakin murah. Bahkan ada banyak industri beralih menggunakan bahan bakar minyak dari sebelumnya menggunakan bahan bakar padat seperti batubara. Wood pellet sebagai salah satu bahan bakar padat (walaupun dari sumber terbarukan) juga terimbas oleh harga minyak dunia tersebut, karena basis perhitungan harga perkalori atau panas bahan bakar tersebut.

Setelah hampir 3 tahun harga minyak turun secara bertahap, saat ini harga minyak telah naik secara drastis di harga $70/barrel. Sejumlah analisis menyatakan jika harga minyak mentah lebih dari $63/barrel maka permintaan wood pellet akan kembali meningkat dengan harga yang juga lebih menarik. Harga minyak menjadi satu dari tiga penyebab turunnya pasar wood pellet di pasar dunia pada 3-4 tahun terakhir. Dua penyebab lainnya adalah pertama, karena sejumlah kebijakan untuk pemakaian wood pellet belum efektif dilaksanakan karena pembangkit-pembangkit listriknya belum selesai dibuat atau dalam tahap pembangunan, dan sejumlah pembangkit listrik juga masih dalam tahap ujicoba co-firing dengan wood pellet, Dan yang kedua, akibat perubahan iklim maka musim-musim dingin di Eropa tidak dalam beberapa tahun terakhir lebih hangat atau tidak sedingin waktu-waktu sebelumnya. Logikanya ketika kondisi diatas bisa berubah menjadi sebaliknya tentu pasar wood pellet akan membaik. Dan yang kita saksikan hari ini adalah terjadinya kenaikan harga minyak bumi yang signifikan, karena telah melebihi $63/barrel.
Ketika industri wood pellet mulai menggeliat dan bergairah, seharusnya juga memacu produksi wood pellet di Indonesia. Pasar export atau pasar wood pellet dunia yang lebih siap dan harga yang menarik perlu segera diisi, hingga kalau perlu didominasi. Lahan-lahan kosong yang tidak dimanfaatkan bahkan yang tandus sekalipun bisa dihijaukan dengan kebun energi. Tahapan merancang kebun energi untuk produksi wood pellet bisa dibaca disini. Selanjutnya pasar dalam negeri juga segera dibuat dan dikembangkan, karena dalam jangka tidak terlalu lama lagi minyak bumi kita juga akan habis, dengan kondisi saat ini telah menjadi nett importir minyak bumi tersebut. Bagaimana kalau kita hanya diam saja seperti penonton? Tentu akan memperburuk kondisi energi kita. Seharusnya kita ikut berpartisipasi mendorong kedaulatan energi negeri kita khususnya dengan energi terbarukan seperti wood pellet karena memberi banyak manfaat. 

Sabtu, 02 September 2017

Proyeksi Pasar Wood Pellet Sampai 2025 Dan Peluang Indonesia

Pembuatan proyeksi pasar akan sangat dibutuhkan bagi semua pihak yang terlibat dalam bisnis wood pellet khususnya para produsen wood pellet itu sendiri. Peningkatan atau pengurangan produksi bahkan menghentikan produksi bisa saja dilakukan apabila situasi dan kondisi menunjang hal tersebut. Sebuah proyeksi yang mampu menyajikan data akurat akan memudahkan pengambilan keputusan tersebut. Tingkat akurasi data yang presisi dan tajamnya analisis serta disajikan secara informatif dan atraktif membuat sebuah proyeksi begitu bernilai dan dijadikan referensi utama bagi semua pihak yang berkecimpung dan menekuni bisnis ini. Dibawah ini kami mencoba menyajikan proyeksi pasar wood pellet sampai 2025 yang dihimpun dari berbagai sumber dan pengalaman pribadi. Semoga menjadi proyeksi yang bermanfaat bagi pembaca.


Pasar wood pellet secara umum dikelompokkan menjadi dua, yakni industri dan pemanas. Sektor industri yakni pembangkit listrik, sedangkan sektor pemanas yakni pemanas ruangan dan boiler. Kualitas wood pellet sektor industri (industrial wood pellet) lebih rendah dibandingkan sektor pemanas (premium wood pellet). Kebutuhan wood pellet untuk industri biasanya sangat besar bahkan pengirimannya atau transportasinya menggunakan kapal dengan kondisi curah (bulk shipment) sedangkan untuk kebutuhan pemanas jumlahnya lebih kecil yang biasa dikemas dalam jumbo bag lalu disusun dalam kontainer. Perbedaan lainnya adalah untuk wood pellet sektor industri pemasarannya sangat terpengaruh pada kebijakan negara yang bersangkutan (policy driven) sedangkan wood pellet untuk pemanas sangat dipengaruhi oleh harga bahan bakar lainnya, seperti minyak bumi dan gas. Hal-hal diatas yang mendasari karakteristik pasar wood pellet.

Beberapa tahun terakhir pasar wood pellet secara global (baik sektor industri atau pemanas) terlihat tidak terlalu menggembirakan bahkan terjadi kelebihan di sejumlah tempat. Mengapa hal ini terjadi?  Pertama, karena sejumlah kebijakan untuk pemakaian wood pellet belum efektif dilaksanakan karena pembangkit-pembangkit listriknya belum selesai dibuat atau dalam tahap pembangunan, dan sejumlah pembangkit listrik juga masih dalam tahap ujicoba co-firing dengan wood pellet. Kedua, harga bahan bakar kompetitor yang murah, terutama minyak bumi yang bahkan mencapai harga 30 dollar per barrel-nya yakni pada awal 2016. Kondisi ini bahkan sampai menggeser posisi wood pellet sebagai bahan bakar termurah untuk sektor pemanas. Ketika harga minyak bumi lebih dari 63 dollar per barrel-nya diprediksi pasar wood pellet akan membaik. Dan yang ketiga, akibat perubahan iklim maka musim-musim dingin di Eropa tidak dalam beberapa tahun terakhir lebih hangat atau tidak sedingin waktu-waktu sebelumnya. Tentu kondisi ini juga mengurangi konsumsi wood pellet. Logikanya ketika kondisi diatas bisa berubah menjadi sebaliknya tentu pasar wood pellet akan membaik.
Berbagai kawasan dan negara memiliki karakteristik pasar tersendiri. Eropa pada umumnya menggunakan wood pellet baik untuk industri maupun pemanas, bahkan khususnya Italia menggunakan wood pelletnya sebagian besar untuk pemanas ruangan. Kompor-kompor wood pellet  (pellet stove) disana bahkan telah bisa dioperasikan dengan aplikasi pada smartphone atau gadget. Sedangkan pasar di Asia penggunaan wood pellet banyak untuk pemanas khususnya untuk boiler, pengeringan dan memasak tetapi sangat jarang untuk penggunaan pemanas ruangan. Dalam beberapa waktu ke depan penggunaan wood pellet di Asia akan didominasi untuk sektor industri yakni pembangkit listrik ketika pembangkit-pembangkit listrik di Jepang dan Korea bahkan China menggunakan wood pellet sebagai bahan bakarnya. Sedangkan untuk pasar Amerika terutama Amerika Serikat dan Kanada penggunaan wood pellet sebagian besar untuk sektor industri bahkan dalam beberapa tahun ke depan ada kecenderungan untuk ditingkatkan. Bagaimana dengan kondisi di Australia dan Afrika? Sejauh ini belum ada kebijakan yang jelas terkait biomass fuel khususnya wood pellet di kedua benua tersebut. Penggunaannya baru sebatas untuk pemanas serta porsinya masih kecil dan lebih kecil lagi untuk sektor industri pada pembangkit listrik.


Tahun 2020 adalah tahun penting untuk pasar wood pellet karena tahun tersebut sebagian besar pembangkit listrik yang dibangun sudah beroperasi termasuk sejumlah kebijakan bisa efektif karena ditunjang fasilitas-fasilitas pembangkit tersebut.  Tahun 2020 juga berarti saat dimulainya pasar wood pellet secara massif, karena kebutuhan wood pellet meningkat secara signifikan. Estimasi FutureMetrics   kebutuhan wood pellet pada tahun 2025 akan sebesar 30 juta ton, sedangkan RISI menuliskan estimasinya 50 juta ton pada tahun 2024 dan Viridis Energy menyatakan nilai bisnis ini akan mencapai 9 milyar dollar Amerika pada tahun 2020. Futuremetrics lebih detail juga memberikan analisa pasar di Kanada dan Jepang. Beberapa indikasi lain yang menambah akurasi analisis tersebut yakni Korea menginvestasikan 11,6 milyar dollar tahun 2016 untuk energi alternatifnya dan menurut Korea Forest Biomass Association hal tersebut akan meningkatkan import wood pellet-nya dari 1,5 juta ton pada 2015 menjadi 8,5 juta ton pada 2022. Untuk bisa menangkap peluang tersebut tentu perlu persiapan dari saat ini, terutama bagi para produsen wood pellet.

Dimanakah dan siapakah pengguna wood pellet terbesar saat ini? Inggris adalah pengguna wood pellet terbesar saat ini dengan tiga pembangkit listriknya, yakni Lynemouth, MGT dan Drax. Kebijakan setiap negara lebih unik dan spesifik dengan kondisi negara yang bersangkutan walaupun biasanya tetap mengacu pada kebijakan yang lebih makro, seperti terjadi di negara-negara kelompok Uni-Eropa. Dalam kebijakan bioeconomy Eropa mereka memiliki target untuk 21% listrik dan 20% pemanas berasal dari energi terbarukan, lalu setiap negara memiliki kebijakan sendiri yang mengacu pada kesepakatan bersama tersebut. Belanda dengan akan program co-firingnya, juga akan meningkatkan permintaan wood pellet, walapun masih belum jelas,  tetapi bila terlaksana hal tersebut akan meningkatkan permintaan wood pellet sebesar 3,5 juta ton/tahun. Begitu juga co-firing pada Langerlo di Belgia juga akan meningkatkan permintaan wood pellet juga.  Jepang dan Korea Selatan yang mencanangkan penurunan emisi CO2 telah memiliki peraturan terkait pemakaian biomass fuel khususnya wood pellet.

Produksi pellet Eropa pada tahun 2015 yakni 14,1 juta ton, sedangkan  konsumsinya mencapai 20,3 juta ton artinya kurang sejumlah 6,2 juta  ton. Pemakaian untuk sektor pemanas mencapai 10,3 juta ton, atau berarti  51% dari total konsumsi atau mengalahkan penggunaan pellet untuk industri  yakni pembangkit listrik seperti Drax. Apabila dianggap setiap rumah di  Eropa mengkonsumsi 2,5 ton pellet per tahun, berarti ada sekitar 4 juta  konsumen. Sedangkan 6 produsen pellet terbesar di Eropa yakni, Jerman ( 2  juta ton), Swedia (1,7 juta ton), Latvia (1,6 juta ton), Estonia (1,3  juta ton), Austria (1 juta ton) dan Prancis (1 juta ton). Dan untuk lebih  rinci negara-negara konsumen utama  pellet untuk sektor pemanas di Eropa  yakni Italia (3,1 juta ton), Jerman (2,3 juta ton), Denmark (1,8 juta  ton), Swedia (1,6 juta ton), Prancis (1 juta ton), dan Austria (0,9 juta  ton). Kompor pemanas (pellet stove) juga mengalahkan boiler. Italia  dengan 95% konsumsi pellet untuk stove, dan boiler hanya 5%, sedangkan  Jerman 60% wood pellet dengan kompor (stove) dan boiler mencapai 40%.
China sejauh ini belum jelas tentang kebijakan terkait biomass fuel-nya, baik potensi produksi maupun penggunaan wood pellet. Tetapi data bahwa kawasan hutan di China sangat terbatas sehingga akan kesulitan untuk produksi wood pellet dalam jumlah besar, tetapi limbah pertaniannya sangat berlimpah. Pellet dari limbah pertanian ini memiliki keterbatasan pada kualitasnya, yakni klorin yang tinggi yang korosif terhadap logam-logam pipa boiler dan silica bersifat abrasif. Agro-waste pellet atau pellet fuel dari limbah-limbah pertanian tersebut menjadi tidak bisa digunakan pada sistem pulverized, karena terutama masalah klorin, atau kalau pun bisa digunakan maka porsinya sangat kecil sehingga masalah-masalahnya bisa diminimalisir. Masalah lainnya suhu leleh abu yang rendah ( low melting ash) akan menimbulkan slag atau clinker yang dapat merusak peralatan pembakaran pada pembangkit tersebut. Sehingga agro-waste pellet tersebut bisa digunakan pada sistem non-pulverized seperti pembakaran dengan moving grate (chain grate) maupun gasifikasi. Walaupun selalu ada pasar untuk setiap pellet fuel, tetapi karena mayoritasnya pembangkit listrik yang ada saat ini menggunakan sistem pulverized sehingga perlu mengganti sistem tersebut untuk bisa menggunakan agro-waste pellet dan ini tentu saja tidak mudah, cepat dan murah. Hal tersebut juga membuat target mengurangi CO2 (Carbon Reduction) juga sulit dipenuhi. Hal lain yang bisa dilakukan adalah menggunakan wood pellet dan berarti perlu import yang sangat banyak. Kandungan silica tinggi pada limbah pertanian menjadi masalah terutama saat produksi atau pemelletan dan penggunaannya. Contoh limbah pertanian yang tinggi kandungan silica-nya adalah sekam padi. Masih menurut perhitungan FutureMetrics apabila dengan porsi co-firing wood pellet hanya 5% saja dan itupun dilakukan hanya oleh 16% dari pembangkit listrik batubara di China, maka itu sudah bisa menimbulkan permintaan wood pellet hampir 40 juta ton/tahun.


Potensi Indonesia cukup bagus untuk bisa menjadi salah satu pemain utama wood pellet dunia. Dengan iklim tropis, curah hujan tinggi, tanah subur, letak geografis cukup dekat dengan Jepang, Korea Selatan dan China serta luasnya lahan baik hutan tanaman industri (HTI) yang luasnya sekitar 80 juta hektar, polikultur dengan kebun sawit, maupun lahan-lahan tidur dan marjinal yang bisa digunakan untuk kebun energi. Mengapa menggunakan kebun energi untuk memasok bahan baku kayu-kayuan bagi produksi wood pellet tersebut? Hal ini karena dengan kebun energi pasokan bahan baku untuk pabrik wood pellet bisa dalam jumlah besar dan stabil untuk jangka waktu yang panjang, lebih detail untuk kebun energi bisa dibaca disini. Indonesia juga terkenal sebagai produsen terbesar CPO  atau minyak mentah sawit dengan produksi 23 juta ton/tahun, tetapi dengan monokultur dalam perkebunan luas maka perkebunan akan rentan terserang penyakit dan produksinya juga tidak optimal, untuk itu polikultur dengan kebun energi adalah solusi jitu, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Hutan-hutan tanaman industri yang jumlahnya juga jutaan hektar juga bisa dioptimalkan dengan kebun energi, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Sedangkan untuk merancang produksi wood pellet dari kebun energi bisa dibaca disini.

Demikian juga lahan-lahan tidur, lahan marjinal hingga lahan kritis juga akan memberi manfaat yang besar dengan kebun energi tersebut. Satu hal lagi yakni konsumsi protein khususnya daging bagi masyarakat Indonesia juga masih perlu ditingkatkan karena berada dibawah konsumsi rata-rata dunia, yakni 16 gram/hari, sedangkan rata-rata dunia yakni 31 gram/hari. Peternakan domba besar bisa dibuat dengan menggunakan pakan daun-daun dari hasil panen kebun energi leguminoceae yang kaya protein juga rendah kandungan taninnya dan rerumputan dengan penggembalaan di kebun-kebun tersebut. Dedaunan yang kaya protein tersebut memiliki konversi yang tinggi menjadi daging domba, yang nanti daging tersebut ujung-ujungnya dimakan manusia. Protein ini sangat penting bagi tubuh karena berfungsi untuk pertumbuhan sel-sel dan domba-domba tersebut juga akan menjadi harta terbaik kita. Jangan sampai Indonesia hendak menggenjot produksi daging dengan peternakan tersebut, tetapi di satu sisi juga malah menggenjot import pakan ternak seperti jagung dan kedelai karena kurang ketersediaan pakan ternak di dalam negeri. Selain itu pakan ternak domba dengan rerumputan dan dedaunan akan membuat dagingnya memiliki rasio omega 6 terhadap omega 3 mendekati 1, sehingga akan menjadi the world healthiest food. Berbeda apabila ternak tersebut diberi pakan biji-bijian maka rasio omega 6 terhadap omega 3 besar, bisa lebih dari 10 dan ini juga kurang baik.

Apakah Indonesia juga akan bebas halangan untuk menjadi salah satu produsen terbesar wood pellet dunia tersebut? Jawabnya tentu saja tidak. Negara-negara besar produsen wood pellet seperti Kanada yang kaya biomasa kayu dari kehutanan juga tidak tinggal diam dan berusaha merebut dan memimpin pasar wood pellet dunia. Bahkan Kanada sudah mentargetkan Eropa dan Asia sebagai pasar wood pelletnya, yakni produksi wood pellet dari Kanada bagian barat untuk pasar Jepang dan Korea serta dari bagian timurnya untuk pasar Eropa. Sementara itu kebijakan dalam negerinya juga membutuhkan wood pellet karena dengan pan-Canadian climate deal mentargetkan pembangkit listrik yang bebas batubara pada 2030. Eropa masih menjadi tujuan pasar paling penting untuk export wood pellet  dari Kanada yang terhitung 80% volume exportnya. Dan hampir semua  ditujukan untuk sektor industri listrik, yakni di Inggris, Belgia dan  Belanda serta hanya sedikit untuk sektor pemanas di Italia. Melihat  peluang tentang kekurangan pasokan wood pellet di Eropa, sejumlah negara  di Eropa juga sudah mulai muncul sebagai produsen wood pellet pada 2016,  seperti Ukraina 360 ribu ton (ditambah 1 juta ton pellet fuel yang  terbuat limbah pertanian seperti jerami dari  batang gandum, dan kulit  biji bunga matahari/sunflower husk), Serbia (250 ribu ton), Kroasia (232  ribu ton), dan Slovenia (110 ribu ton). Estonia dan Latvia, dua negeri  kecil di Eropa juga mulai menjadi rival bagi Kanada. Sedangkan negara- negara lain di Eropa juga sudah mulai meningkatkan produksinya. Berapakah  produksi wood pellet Indonesia saat ini? Produksi wood pellet di  Indonesia relatif kecil kurang lebih baru sekitar 80 ribu ton per tahun sedangkan Malaysia sudah lebih banyak yakni sekitar 180 ribu ton per tahun dan  sebagian besar untuk pasar Korea yakni lebih dari 70% baik dari produsen Indonesia dan Malaysia. Sedangkan yang di export ke Jepang masih sangat kecil. Terakhir ada beberapa hal  yang perlu diperhatikan yakni, pertama bukti tentang keberlanjutan  (sustainibility), kedua kualitas, ketiga kekuatan dan kehandalan  finansial, dan yang keempat yakni harga yang kompetitif.

Selain Kanada, Amerika Serikat dan Eropa adalah produsen-produsen terbesar saat ini, sekaligus juga pengguna wood pellet dalam jumlah besar. Tetapi ada perbedaan diantara ketiganya, yakni Kanada mengeksport sebagian besar wood pelletnya, Amerika banyak menggunakan wood pellet didalam negeri, sedangkan Eropa masih membutuhkan sangat banyak wood pellet dari negara lain. Sementara itu juga ada sejumlah produsen wood pellet di Asia, lebih khusus di Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam. Luas tanah di Indonesia dan berbagai kondisi yang mendukungnya membuat potensi untuk menjadi pemimpin untuk produksi wood pellet di kawasan Asia Tenggara sangat besar. Faktor lainnya adalah rendahnya target pemerintah Indonesia untuk energi biomasa dalam bauran energi nasional yang menurut Peraturan Presiden no 5 tahun 2006 hanya 5% itupun pada tahun 2025, sehingga mayoritas produksi wood pellet bisa diarahkan ke pasar wood pellet yang besar seperti Jepang dan Korea Selatan. Sedangkan apabila untuk pasar pemanas yang lebih terpengaruh harga energi atau bahan bakar kompetitor, bukan karena kebijakan atau regulasi, maka harga bahan bakar kompetitor seperti batubara, minyak bumi, gas bahkan kayu bakar akan menentukan jumlah konsumsi wood pellet di dalam negeri. Kondisi di Indonesia pada dasarnya juga mendukung untuk pasar wood pellet untuk pemanas baik untuk industri maupun rumah tangga yang biasa menggunakan LPG (propane), karena harga wood pellet jauh lebih murah ditinjau dari kandungan energinya. Sayang belum banyak yang menggarap pasar ini, hal ini karena ada beberapa faktor penghalang yakni keterbatasan pasokan wood pellet dan kompor-kompor masak yang praktis untuk sektor tersebut.

Kesimpulan : Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pemain utama wood pellet baik sebagai produsen maupun pengguna sekaligus. Hal tersebut didukung oleh sejumlah kondisi alamnya, luas tanah dan posisi geografisnya. Tetapi berhubung belum ada kebijakan yang jelas untuk penggunaan bahan bakar atau sumber energi wood pellet untuk pembangkit listrik dan kebijakan energi nasional berdasarkan Peraturan Presiden no 5 tahun 2006 hanya mentargetkan 5% untuk energi biomasa dalam bauran energi (energy mix) terbarukan sehingga peran sebagai produsen wood pellet dengan mayoritas produknya untuk pasar export lebih menjadi prioritas. Kebun energi sebagai cara untuk menghasilkan bahan baku industri wood pellet dengan jumlah besar, berkesinambungan dan stabil serta potensi menghasilkan pangan berupa protein dari daging domba adalah pilihan terbaik.Perbaikan generasi untuk menuju peradaban yang gemilang untuk mencahayai dunia, salah satunya dengan pangan berupa daging yang halalan thoyyiban yakni sehat, lezat dan berkualitas dengan ketercukupan kandungan gizi berupa proteinnya.Pengembangan energi dengan produksi wood pellet yang berasal dari kayu-kayu di pepohonan dalam kebun energi juga sejalan dengan petunjuk Al Qur'an.

Jumat, 25 Agustus 2017

Mau Terus Melanjutkan Menanam Sawit atau Beralih ke Kebun Energi?

Banyaknya perkebunan-perkebunan sawit di Indonesia dan Malaysia yang telah memasuki masa tua sehingga sudah tidak produktif, perlu segera mendapatkan solusi. Solusi pertama dan merupakan solusi populer karena banyak dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit adalah dengan replanting atau menanam kembali perkebunan  tersebut dengan pohon sawit baru. Solusi kedua adalah beralih menanam tanaman lainnya yang dianggap lebih menguntungkan. Kebun energi untuk produksi wood pellet adalah solusi jitu untuk itu. Mengapa perusahaan atau petani sawit mengambil solusi kedua ini? Hal ini terutama karena usaha pertanian sawit tidak memberi keuntungan yang diharapkan. Banyak perkebunan sawit tidak memberikan keuntungan yang diharapkan karena tingginya biaya perawatan termasuk pemupukan dan penanggulangan hama serta harga jual tandan buah segar dan/atau CPO yang murah. Apalagi kelapa sawit juga membutuhkan waktu 5 panen sebelum bisa dipanen buahnya. 
Mengapa kebun energi untuk produksi wood pellet bisa dikatakan sebagai solusi jitu? Hal ini karena ada beberapa alasan : pertama, perawatan kebun energi tersebut sangat mudah dan murah biayanya. Kedua, dengan menanam kebun energi tersebut juga akan mengembalikan kesuburan tanahnya. Ketiga, kebutuhan wood pellet untuk sektor energi juga terus meningkat. Keempat, daun-daun dari kebun tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk peternakan domba atau kambing. Domba ini juga akan menjadi harta terbaik bagi kita. Kelima, sebagai tanaman pendamping perkebunan sawit. Luasnya perkebunan sawit yang mencapai puluhan bahkan ratusan ribu hektar yang ditanam secara monokultur atau hanya satu jenis tanaman rentan dengan berbagai penyakit, sehingga dengan menambahkan tanaman pendamping berupa kelompok leguminoceae pada kebun energi tersebut akan mengurangi atau menghindari masalah tersebut selain juga mengoptimalkan hasil perkebunan itu sendiri. Setelah pohon-pohon sawit tua tersebut ditebang, maka batang-batang tersebut juga bisa digunakan sebagai bahan baku produksi pellet atau OPT pellet. Baru selanjutnya bisa dilanjutkan untuk menanam kembali pohon sawit baru, atau pun beralih 100% dengan kebun energi maupun kombinasi dengan sebagian tetap sebagai perkebunan sawit dan sebagiannya untuk kebun energi. 


Lalu bagaimana supaya usaha kebun energi tersebut juga menjadi usaha yang menguntungkan dan berkelanjutan? Mirip dengan perkebunan sawit sehingga produk CPO -nya bisa dijual didalam negeri maupun export, yaitu membutuhkan pabrik pengolah tandan buah dari perkebunan sawit tersebut, maka demikian juga dengan kebun energi yang membutuhkan pabrik atau unit pengolahan untuk menjadi wood pellet sebelum dipasarkan di dalam negeri atau export. Proses produksi wood pellet juga lebih sederhana dibandingkan produksi CPO dan harga pabriknya juga jauh lebih murah. Pengusaha-pengusaha menengah lebih terjangkau untuk melakukan produksi wood pellet dari kebun energi ini, misalnya mulai dari kebun energi 500 hektar, 1000 hektar dan seterusnya. Skema perancangan produksi wood pellet dari kebun energi juga bisa dibaca disini. Bagi pembaca yang ingin mendapatkan estimasi produksi wood pellet tersebut, silahkan mengirim email ke eko.sbs@gmail.com

Sabtu, 22 Juli 2017

Go Biomass, Go Bioeconomy!

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal (ulil albab). Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi – (kemudian berkata) ‘Ya Tuhan kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS 3:190-191)

Energi berada pada pondasi dari berbagai aktvitas ekonomi. Untuk memanaskan, mendinginkan, menerangi, komunikasi dan berbagai sistem komputer, transportasi, kerja mekanik selalu membutuhkan energi. Saat ini sebagian besar energi tersebut berasal dari bahan bakar fossil yang ternyata berdampak buruk bagi lingkungan berupa naiknya konsentrasi CO2 di atmosfer (carbon positif) yang mengakibatkan masalah perubahan iklim dan pemanasan global. Selain itu bahan bakar fossil tersebut di nilai juga tidak berkelanjutan (sustainable) karena sumbernya yang terbatas, sehingga kata kunci pengembangan energi untuk masa kini dan akan datang adalah keberlanjutan (sustainibility) tersebut. Dalam Qur'an Surat An Naba' (78) : 13, Allah SWT menjadikan matahari sebagai penerang atau sumber energi bagi alam raya, lalu menjadikan hujan dari awan (QS 78 : 14) dan dengan air hujan tersebut Allah menumbuhkan biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan (QS 78 : 15) serta kebun-kebun yang rindang (QS 78 : 16).

Mauna Loa Observatory : tahun 1959 tercata konsentrasi CO2 316 ppm, dan tahun 2013 telah mencapai 400 ppm atau meningkat 27% pada kurun waktu setengah abad. Hal ini juga berarti 50% lebih tinggi sebelum era-revolusi industri
Sinar matahari sebagai sumber energi bagi alam raya sehingga suhu bumi bisa terjaga dan berbagai proses kehidupan bisa berjalan. Termasuk energi fossil tersebut juga berasal dari berbagai tumbuhan yang berphotosintesis pada masa lampau. Mengekstrak atau mengambil energi matahari sebagai energi telah menjadi perhatian manusia saat ini. Dengan cara apa seharusnya manusia mengekstrak energi matahari tersebut? Tidak lain yakni dengan menggunakan pohon-pohon melalui proses photosintesisnya untuk produksi biomasa. Pada energi fossil, proses geologi telah membuatnya terkonsentrasi dan menjadi deposit yang kaya, sedangkan pada energi terbarukan maka keberadaan sinar matahari menjadi sangat vital. Bahkan dari keberadaan berbagai pepohonan tersebut maka mata-mata air akan muncul lalu menjadi sungai-sungai. Pertanyaannya dimana di bumi ini lokasi bisa mendapat curahan matahari yang melimpah ruah dan terus menerus sepanjang tahun? Daerah tropis seperti Indonesia inilah lokasinya sehingga secara alamiah proses photosintesis bisa berjalan dengan optimal dan untuk lebih detailnya bisa dibaca di sini. Lalu mengapa Indonesia yang mayoritas muslim dengan lahan yang luas dengan curahan sinar matahari melimpah ruah tidak juga punya peran berarti pada era bioeconomy dengan energi terbarukan khususnya biomasa sebagai komoditas utamanya? Bukankah Allah SWT juga memerintahkan kita untuk memakmurkan bumi ini (QS 11:61)? Mari kita renungkan bersama.
Ditengah gencarnya efisiensi energi, proyeksi konsumsi energi secara global terus meningkat, yakni dengan kenaikkan 1,5% setiap tahunnya sejak 2012 hingga 2035. Energi terbarukan khususnya biomasa meningkat signifikan yakni lebih dua kali pertumbuhan energi nuklir dan lebih tiga kali pertumbuhan energi hidro. Sedangkan pertumbuhan konsumsi energi fossil hanya berkisar 1/6-nya. Hal ini menunjukkan era bioeconomy semakin terbuka.  Biomasa kayu dari pepohonan sudah menjadi sumber energi bagi masyarakat sejak jaman dulu dan dalam era-bioeconomy ternyata sejarah berulang. Amerika Serikat saat ini misalnya menggunakan 1% biomasa kayu untuk produksi listrik dan 2% di sektor industri. Bahkan baru-baru ini Amerika melalui department energinya (The US Department of Energy) mencanangkan produksi biomasa kering minimal 1 milyar ton pada 2040 dan misi tersebut ternyata juga mendorong negara tetangganya, yakni Kanada untuk mengembangkan program yang serupa. Sedangkan Finlandia dan Swedia bahkan telah mencapai hampir 1/5 dari sektor energinya menggunakan biomasa kayu yakni untuk produksi listrik dan sumber panas. Berbeda lagi dengan Italia yang terkenal sebagai pengguna biomasa kayu terbesar untuk sektor rumah tangga pada pemanas ruangan, untuk lebih detail bisa dibaca di sini. Sedangkan di Asia, Jepang dan Korea adalah dua negara yang mempelopori biomasa kayu secara massif. Korea dengan RPS (Renewable Portofolio standard) yang dicanangkan sejak 2012 telah mentargetkan penggunaan biomasa kayu 20% pada 2020. Jepang setelah tragedi PLTN Fukushima 2011 juga telah mendorong penggunaan biomasa kayu untuk sumber energinya. Pada umumnya negara-negara besar telah memasukkan biomasa sebagai kebijakan energinya atau secara umum dikenal dengan bioeconomy. Bagaimana Indonesia? Meski memiliki posisi strategis di katulistiwa dan tersedia tanah luas tetapi visi energi biomasa di Indonesia belum menggembirakan, karena hanya menempati porsi 3% dalam bauran energinya. Wood pellet adalah bentuk energi biomasa kayu yang sangat populer saat ini karena efisien dan mudah digunakan serta disimpan. Teknologi proses produksi wood pellet bisa dibaca di sini.
Pada dasarnya ada banyak energi yang bisa dihasilkan dari biomasa dan semua energi dari fossil juga bisa dihasilkan dari biomasa karena kesamaan unsur-unsur kimia penyusunnya. Mengapa unsur-unsur kimia penyusun biomasa sama seperti pada fossil? Kembali lagi karena asal muasal fossil tersebut dari biomasa dan seperti dijelaskan dalam firman Allah SWT dalam rangkaian QS 78 diatas. Hanya pada prakteknya belum semua biomasa saat ini diolah menjadi energi seperti fossil yang beraneka ragam termasuk berbagai bahan kimia, hal ini karena pada umumnya masih terkendala teknis dan ekonomis. Ditinjau dari bentuknya bentuk energi tersebut meliputi jenis padat, cair dan gas, antara lain wood chip, wood pellet, wood briquette, torrified wood, arang pada bentuk padat, lalu bioetanol dan biodiesel pada bentuk cair serta biogas dan syngas pada bentuk gas. Dan yang lebih penting bahwa penggunaan pepohonan sebagai sumber biomasa untuk energi sesuai dengan Al Qur'an dan untuk lebih detailnya silahkan dibaca di sini. Dengan mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (QS 3:190-191) tentu bukan hanya sekedar menjadi pemenang dalam era-bioeconomy tetapi lebih jauh meningkatkan iman dan takwa kepada-Nya yang memberi kebahagiaan dunia dan akhirat. Bagi yang tertarik diskusi dan mengelobarsi peluang ini sehingga terimplementasi silahkan menulis email : eko.sbs@gmail.com

Senin, 22 Mei 2017

Kebun Energi Gamal Pilihan Korea?

Ada banyak persamaan antara kaliandra dan gamal, antara lain keduanya merupakan kelompok leguminoceae, kayunya memiliki nilai kalor tinggi, mudah tumbuh, cocok dibudidayakan untuk kebun energi dengan kemampuan trubus cepat setelah dipanen kayunya, dan bisa diintegrasikan dengan usaha peternakan dengan memanfaatkan hijauan daunnya. Tetapi gamal (gliricidae sepium) lebih mudah dan banyak dijumpai di berbagai tempat. Hal ini karena gamal memiliki beberapa kelebihan dibanding kaliandra yakni sebagai pohon naungan, tanaman pagar dan tiang bangunan sederhana. Gamal juga bisa tumbuh diberbagai tempat dan jenis tanah, terbukti dari pinggiran laut sampai pegunungan tinggi. Sedangkan untuk sektor energi, kayu kaliandra memiliki kelebihan lebih cepat kering sehingga bisa segera dimanfaatkan atau lebih mudah untuk diproses lebih lanjut.
Sebagai kelompok leguminoceae baik gamal maupun kaliandra mampu menyuburkan tanah karena akarnya yang mampu mengikat nitrogen dari atmosfer, meningkatkan bahan organik tanah, perbaikan karakteristik fisik tanah, aerasi dan drainase, mengurangi erosi permukaan tanah, menurunkan temperatur tanah dan mengurangi penguapan air tanah. Tanah-tanah kritis, marjinal maupun lahan tidur akan bisa diperbaiki dengan tanaman leguminoceae tersebut. Masalah materi essential manusia seperti air, energi dan pangan juga bisa dicukupi dengan perkebunan tersebut. Seperti halnya kaliandra, untuk optimalisasinya gamal juga bisa diintegrasikan pada program 5F projects for the world!

Ketersediaan bahan organik pada berbagai tanaman perkebunan




Sejak menerapkan RPS  (Renewable Portofolio Standard)  tahun 2012 Korea berkomitmen untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan khususnya biomasa dan lebih khusus lagi wood pellet pada sektor energinya. Berdasar RPS tersebut Korea mensyaratkan PLTU batubara untuk minimum menggunakan 2% energi terbarukan pada 2012, dengan peningkatan 0,5% /tahun sampai 2020.  Pada tahun 2020 mereka akan membutuhkan minimum 10% energi terbarukan dengan komposisi diharapkan 60% energi terbarukan berasal dari biomasa kayu, sedangkan 40% sisanya dari sumber lain. Cangkang sawit (palm kernel shell) juga menjadi solusi jangka pendek dan menengah, dan wood pellet untuk jangka panjangnya. Sejak beberapa tahun lalu beberapa kebun energi gamal telah dibuat dengan bekerja sama dengan Korea. Walaupun sampai saat ini produksi wood pellet dengan gamal secara komersial belum terealisasi, tetapi nampaknya tidak akan lama lagi direalisasikan. Beberapa daya dorongnya antara lain ketersediaan cangkang sawit (palm kernel shell) terbatas, wood pellet dari bahan baku limbah-limbah kayu juga terbatas, dan biomass pellet dari berbagai limbah pertanian kualitasnya rendah serta sering membutuhkan berbagai treatment / proses sebelum dipelletkan. Nampaknya gamal akan segera dibudidayakan secara massif untuk memenuhi energi terbarukan di Korea.

Rabu, 20 Januari 2016

Ketika Kebun Energi Kaliandra Untuk Produksi Wood Pellet Belum Dilirik

Saat ini sebagian besar pembangkit listrik di dunia menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya. Batubara adalah bahan bakar padat yang ditambang / berasal dari perut bumi sehingga ketika dibakar akan menghasilkan emisi karbon positif. Saat ini didasari oleh kesadaran lingkungan yang meningkat maka bahan bakar biomasa khususnya wood pellet digunakan sebagai bahan bakar tambahan (cofiring) bahkan tidak sedikit yang telah seluruhnya menggunakan biomasa atau wood pellet. Segmen pasar pembangkit listrik adalah pasar besar yang menghendaki kapasitas besar dan kontinuitas pasokan, untuk itulah pasokan bahan baku wood pellet harus sangat diperhatikan. Prasyarat itu juga biasanya juga akan sulit apabila hanya dipenuhi dari bahan baku yang mengandalkan limbah-limbah penggergajian atau pengolahan kayu. Kebun energi adalah solusi untuk mengatasi masalah tersebut.
Kebun energi bukan hal baru sebagai upaya memproduksi biomasa kayu untuk energi. Kondisi Indonesia yang beriklim tropis dan tanah yang luas dan subur adalah hal yang patut kita bersyukur kepada Allah SWT. Ketika negara-negara sub-tropis mengeluarkan jutaan dollar dan berupaya keras untuk bisa mendapatkan hasil optimal dari kebun energi karena kondisi iklim dan tanah mereka, maka di Indonesia sebenarnya hal itu tidak perlu dilakukan. Banyak daerah di daerah sub-tropis yang tidak bisa ditanami sekaligus minimnya kuantitas dan kualitas cahaya matahari membuat tanaman terkendala untuk proses photosintesa. Sedangkan di Indonesia yang rata-rata 11 jam setiap hari mendapat sinar matahari sepanajang tahun maka proses photosintesis tidak bermasalah dan optimal. Konsekuensi hal tersebut adalah butuh waktu sekitar 4 tahun untuk menghasilkan produktivitas kayu menyamai kondisi di Indonesia. Mensyukuri nikmat Allah SWT salah satunya dengan menyadari kondisi tersebut dan mampu memanfaatkan kondisi tersebut untuk kemanfaatan yang besar.

Kebun Kaliandra di Sebuah Lereng Bukit di Jawa Tengah
Ada banyak manfaat dengan membuat kebun energi kaliandra, terutama manfaat lingkungan bisa menghidupkan tanah mati dan tidak terjadinya penggurunan (desertifikasi) hingga orientasi ekonomi yakni produktivitas biomasa kayu untuk produksi wood pellet. Tingginya kebutuhan wood pellet dunia seharusnya juga menjadi daya dorong untuk pembuatan kebun energi tersebut.

AI untuk Pabrik Sawit atau Pengembangan Produk Baru dengan Desain Proses Baru ?

Aplikasi AI telah merambah ke berbagai sektor termasuk juga pada pabrik kelapa sawit atau pabrik CPO. Aplikasi AI untuk pabrik kelapa sawit ...