Trend penggunaan wood pellet secara global belum lama yakni baru dimulai sekitar awal 2010an dan sejumlah negara meresponnya dengan cepat sehingga industri wood pelletnya berkembang cepat sebagai bagi bagian mesin ekonomi mereka yang sejalan dengan trend global untuk dekarbonisasi dan ekonomi hijau atau bioekonomi. Kesiapan sejumlah negara untuk merespon peluang tersebut juga bukan cuma tanpa alasan tetapi memang wawasan dan pengetahuan mereka telah mendukung untuk melakukannya. Indonesia sebagai negara tropis dan lahan luas serta SDM yang berlimpah seharusnya bisa menggenjot juga peluang industri wood pellet ini sehingga menjadi salah satu pemain utama dunia.
Vietnam dan Latvia adalah dua negara di dunia yang saat ini memimpin industri wood pellet ini bahkan ada pabrik wood pellet terbesar di dunia ada di sana, untuk lebih detail baca disini. Pada awalnya kedua negara tersebut juga memulai industri ini dari kapasitas kecil. Untuk Vietnam, produksi wood pellet Vietnam dimulai pada tahun 2012 dengan kapasitas sangat kecil yakni sekitar 175 ton/tahun dan saat ini tahun 2021 atau sekitar 9 tahun kemudian produksinya telah mencapai sekitar 4,5 juta ton/tahun sehingga menempatkan Vietnam diurutan kedua sebagai produsen wood pellet dunia, setelah Amerika Serikat. Produksi total 4,5 juta ton/tahun tersebut disuplai dari 74 pabrik wood pellet di Vietnam. Pada tahun 2020 mengeksport wood pellet sebanyak 3,2 juta ton ke Jepang dan Korea untuk pembangkit listrik dengan nilai export mendekati USD 351 juta. Selain ke Korea dan Jepang, wood pellet produksi Vietnam juga di export ke Eropa.
Pada awalnya produksi wood pellet Vietnam menggunakan limbah dari industri mebel. Limbah mebel berupa serbuk kayu dari industri tersebut sudah kering dan ukuran partikelnya sudah sesuai untuk produksi wood pellet, sehingga alat berupa hammer mill dan pengering (dryer) tidak dibutuhkan. Banyak pabrik wood pellet Vietnam waktu itu tidak memiliki alat hammer mill ataupun dryer tersebut. Dengan bahan baku yang siap untuk dipellet tersebut maka biaya produksi wood pellet sangat murah ditambah lagi biaya tenaga kerja yang juga murah. Tetapi seiring permintaan limbah industri mebel untuk produksi wood pellet semakin tinggi maka ketersediaan bahan baku tersebut semakin langka, sehingga pabrik-pabrik wood pellet baru tidak bisa lagi menggunakan limbah-limbah tersebut. Limbah industri pengolahan kayu lainnya seperti penggergajian kayu dan pabrik veneer juga menjadi bahan baku. Selanjutnya dengan peningkatan produksi wood pellet semakin besar, limbah-limbah kayu hutan dan kayu bulat lainnya menjadi sumber bahan baku berikutnya. Hal tersebut juga membuat biaya produksi semakin meningkat karena perlu alat seperti hammer mill dan dryer sehingga bahan baku tersebut siap untuk dipellet.
Sedangkan Latvia, sebagai sebuah negara kecil di Eropa bagian utara melihat peluang untuk memimpin di industri yang sedang tumbuh ini. Dengan wilayahnya yang hampir setengahnya berupa hutan, Latvia memiliki sumber daya alam untuk memproduksi wood pellet. Pada awal tahun 2000an dengan dukungan pemerintahnya untuk pengelolaan hutan yang bertanggungjawab sehingga produksi kayunya bisa berkelanjutan termasuk sejumlah dukungan bagi pengusaha yang akan memulai produksi wood pellet. Tidak lama berselang, dunia mengetahuinya. Negara-negara seluruh Eropa termasuk Inggris, Denmark dan Italia, mulai mengandalkan produksi wood pellet dari Latvia untuk pemanas ruangan maupun pembangkit-pembangkit listrik mereka.
Meskipun hanya negara kecil, Latvia menjadi pemain utama dalam industri wood pellet, bersaing dengan negara-negara lebin besar seperti Jerman dan Swedia. Saat ini Latvia menjadi salah satu eksportir terbesar wood pellet di dunia. Kisah sukses Latvia memberi pelajaran bahwa walaupun negara kecil tetapi dengan kemauan kuat, berfokus pada kualitas, inovasi dan keberlanjutan (sustainibility), sumber daya alam (SDA) akan membawa pada kisah kesuksesan global. Kesuksesan Latvia menunjukkan ketika adanya dukungan pemerintah, investasi teknologi, dan orang-orang yang berdedikasi maka walaupun negara kecil dapat memimpin pada pasar global yang kompetitif. Dan ketika semakin hari, dunia semakin mencari solusi untuk energi bersih dan berkelanjutan, kesuksean industri wood pellet Latvia menginspirasi tentang contoh yang bisa diraih dengan visi, kerja keras dan komitmen pada keberlanjutan.
Negeri tropis seperti Indonesia adalah “surga” untuk energi biomasa, energi biomasa ini ibarat baterai hijau yang harus dikembangkan, untuk lebih detail baca disini. Ketika negara-negara kecil seperti Vietnam dan Latvia bisa menggenjot industri wood pellet nya maka sudah semestinya Indonesia tidak mau ketinggalan. Ketika potensi besar tetapi disia-siakan maka selain itu adalah sikap tidak bersyukur sehingga akan berdampak pada kemiskinan dan rusaknya alam juga merupakan suatu kebodohan. Banyaknya lahan tersedia bahkan jutaan hektar menjadi lahan kritis dan multimanfaat dari kebun energi seharusnya memotivasi industri wood pellet. Ketika Vietnam dan Latvia bisa melakukannya Indonesia juga semestinya demikian juga.