Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What Islam Teaches about Protecting the Planet menyebut energi baru terbarukan sebagai energy from heaven (energi dari surga). Energi dari surga menurutnya adalah energi berasal dari atas, yakni energi tersebut tidak diekstrak (dikeruk) dari dalam bumi, dan dapat diperbaharui (renewable). “Ekstraksi menyebabkan ketidakseimbangan (penyebab perubahan iklim), sedangkan energi dari atas itu laksana dari surga.”
Dan sehingga dalam perspektif karbon ketika karbon sebagai sumber energi berasal dari (ekstraksi) dalam bumi yakni energi fossil (minyak bumi, batubara, gas alam) maka hal tersebut berkontribusi meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca khususnya karbondioksida (CO2) di atmosfer, atau istilahnya carbon positive, sedangkan apabila berasal dari tumbuh-tumbuhan (biomasa) yang karena berasal dari proses photosintesa maka hal tersebut hal tersebut tidak menambah konsentrasi gas rumah kaca khususnya karbondioksida (CO2) di atmosfer, atau istilahnya carbon neutral. Sumber energi yang berasal dari matahari, angin dan air juga termasuk sumber energi carbon neutral tersebut. Sedangkan apabila sumber karbon dari tumbuh-tumbuhan (biomasa) hasil photosistesa tersebut, lalu bisa disimpan (carbon sequestration) hingga ratusan bahkan ribuan tahun maka hal tersebut akan mengurangi konsentrasi gas rumah kaca khususnya karbondioksida (CO2) di atmosfer, atau istilahnya carbon negative.
Bahkan secara lebih spesifik yakni terkait tambang batubara, fatwa tarjih Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, menyatakan bahwa empat problem utama dari pertambangan batubara di Indonesia, yaitu (a). kerusakan lingkungan; (b). regulasi yang tidak berdasarkan pada keadilan dan maslahat; (c) pengabaian pada hak-hak masyarakat sekitar tambang, dan (d) bisnis pertambangan sebagai alat politik. Apabila fatwa tersebut dijadikan landasan kebijakan dan motivasi dalam transisi energi berkeadilan.
Saat ini untuk mengurangi konsentrasi gas rumah kaca khususnya karbondioksida (CO2) di atmosfer upaya dekarbonisasi dilakukan, yakni mengurangi atau mengganti penggunaan bahan bakar fossil tersebut dengan sumber energi terbarukan. Produksi bahan bakar biomasa seperti wood chip, wood pellet, wood briquette dan sebagainya adalah dalam rangka dekarbonisasi tersebut. Demikian juga produksi biochar lalu karbon tersebut bisa disimpan sangat lama (carbon sequestration) mulai banyak dilakukan saat ini. Bahkan aplikasi biochar tersebut juga digunakan untuk perbaikan kondisi tanah-tanah yang rusak atau kurang subur sehingga produktivitas pertanian atau tanaman akan meningkat. Dalam konteks ini biochar bahkan bisa digunakan untuk mengatasi krisis kekurangan pangan, untuk lebih detail baca disini.
Sumber energi terbarukan berasal dari tanaman (bio-energi) tersebut juga sejalan dengan QS. Yaasin (36) : 80. Untuk menghasilkan sumber energi tersebut baik seperti batang kayu, buah, biji ataupun bagian lain dari tumbuhan tersebut, tumbuhan melakukan photosintesa. Selain dibutuhkan air dan karbondioksida (CO2), proses photosintesa ini membutuhkan sinar matahari. Matahari sangat penting sebagai sumber energi bagi makhluk hidup khususnya bagi tumbuhan tersebut. Matahari adalah sumber energi yang sangat melimpah, gratis dan tidak akan habis kecuali pada saat kiamat tiba. Kata matahari disebut sebanyak 25 kali di Al Qur’an dan menjadi salah satu nama surat yang Allah diabadikan dalam Al Qur’an. Ini menunjukkan bahwa Allah ingin memberikan isyarat bahwa ada yang perlu digali oleh manusia melalui asy-syams atau matahari. Tanaman melalui proses photosintesa akan menyimpan energi dari matahari dalam bentuk biomasa-nya dan ini diibaratkan seperti baterai. Baterai hijau tanaman ini akan bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi yang sangat besar, untuk lebih detail baca disini.
Terkait aksi untuk mitigasi perubahan iklim ini, peran ulama bisa sangat penting. Bahkan survey yang dilakukan oleh Purpose dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) mengatakan bahwa peran ulama dalam aksi ini memiliki pengaruh atau tingkat kepercayaan tertinggi dibanding kalangan lainnya (termasuk aktivis lingkungan, pemerintah dan ilmuwan). Dan bahkan hasil survei Iklim Nasional ini juga menunjukan anggota legislatif berada pada urutan terakhir dalam tingkat kepercayaan masyarakat. Upaya memakmurkan atau mengelola bumi sesuai perintah Allah yakni Q.S. Hud : 61 dan ini memang juga tugas manusia sebagai khalifah Allah di bumi atau di planet ini (Q.S. Al-Baqarah: 30) sehingga pengelolaan bumi tersebut harus berdasarkan ajaran atau nilai-nilai Islam. Sedangkan konsep sekulerisasi barat berakibat pada cara pandangnya yakni manusia memiliki dominasi atas bumi, bukan sebagai pengelolanya, yang merupakan pandangan Islam. Muslim harus menjadi penjaga atau pengelola bumi, demi lingkungan mereka dan terpenting demi perintah Allah SWT.
Dan walaupun Islam mengajari para pengikutnya untuk menjaga atau mengelola bumi atau khalifah di planet ini. Dan bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas tindakan mereka, tetapi faktanya kelambanan dunia musim terus berlanjut meskipun ada deklarasi negara-negara muslim pada tahun 2015 tersebut untuk memainkan peran aktif dalam memerangi perubahan iklim. Hal ini tentu berdampak negatif terhadap masalah iklim global. Semestinya kepedulian dan aksi nyata terhadap iklim ini semakin ditingkatkan seiring upaya peningkatan iman dan takwa serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, apalagi ditambah dengan sejumlah bencana alam akibat perubahan iklim tersebut. Transisi atau hijrah energi secara bertahap adalah salah satu solusinya. Semestinya negara-negara Muslim memiliki keunggulan dalam perlombaan iklim. Mereka memiliki kerangka kerja dan sistem kepercayaan yang mengamanatkan perlindungan bumi dan sumber daya alamnya.