Selasa, 05 November 2024

Pellet Daun (Leaf Pellet) dari Kebun Energi

Pellet daun (leaf pellet) kaliandra
Dengan estimasi volume daun 1/4 dari kayu tetapi harga pellet daun sekitar 3 kali harga pellet kayu (wood pellet)-nya. Maka keuntungan dari pemanfaatan daun menjadi pellet (leaf pellet) sangat besar, perkiraan 1/2 s.d 3/4 dari omset wood pellet.  Padahal daun kaliandra biasa hanya dianggap produk samping atau limbah di kebun energi. 

Dan hampir sama dengan pellet daun (leaf pellet) gamal / gliricidia, jika tanaman tersebut yang ditanam di kebun energinya. 

Sebagai referensi dari pellet daun (leaf pellet) indigofera zollingeriana :

 

Baik kaliandra, gliricidia dan indigofera tersebut adalah kelompok tanaman legum dimana daunnya cocok untuk pakan ternak yang kaya protein. Protein adalah unsur nutrisi paling mahal dalam pakan ternak. 

Minggu, 27 Oktober 2024

100% Complete Line Wood Pellet Machine or Mixed Line Wood Pellet Machine ?

Faktor berupa nilai tingginya nilai investasi untuk pembelian mesin produksi wood pellet (CAPEX) berkualitas tinggi sering menjadi kendala utama para calon produsen wood pellet. Dengan mesin berkualitas tinggi dari A-Z atau 100% complete line maka kendala produksi seperti kuantitas dan kualitas wood pellet biasanya akan dengan mudah bisa diatasi sehingga tujuan bisnis wood pellet bisa tercapai. Hal ini karena dengan konfigurasi 100% complete line tersebut maka kualitas dan kehandalan mesin produksi sudah teruji dan disediakan oleh satu pabrikan misalnya suatu pabrikan merk tertentu dari Eropa. Disinilah bisa dikatakan perfoma atau kinerja mesin dengan biaya berbanding lurus sehingga diharapkan juga cost to benefit ratio sepadan sehingga bisnis tetap menguntungkan. Apalagi kebutuhan mesin wood pellet berkualitas tinggi terutama untuk produksi kapasitas besar sehingga faktor resiko kegagalan bisa dihindari dan diminimalisir.

Lalu bagaimana supaya performa mesin tercapai sehingga target produksi (kualitas dan kuantitas) juga tetap tercapai tetapi dengan nilai investasi (CAPEX) yang lebih murah ? Dengan kondisi seperti ini tentunya perlu suatu upaya modifikasi konfigurasi mesin produksi dari pabrikan lain yang kompatibel atau konfigurasi mixed line.  Sebagai konfigurasi campuran (mixed line) tentu perlu dianalisis bagian atau mesin mana yang harus tetap dipertahankan dengan kualitas terbaik dan mesin-mesin pendukung mana yang bisa menggunakan dari pabrikan lain. Mesin-mesin utama yang memiliki peran vital dari produksi wood pellet seperti pelletiser mestinya harus menggunakan mesin dengan kualitas tinggi sedangkan mesin-mesin pendukung lainnya bisa dengan kualitas lebih rendah atau fungsional saja sehingga menjaga performa target produksi pabrik wood pellet tersebut. Sehingga pada akhirnya bisa saja komposisi atau konfigurasi campuran (mixed line) tersebut yakni 20% mesin Eropa dan 80% mesin Asia dan sebagainya. 

Faktanya memang tidak mudah menemukan pabrikan mesin lain yang kompatibel tersebut terutama faktor rancangan, dan kualitas mesin termasuk performa dan durabilitasnya. Hal ini sehingga perlu mempertimbangkan tentang track record atau success story pabrikan mesin pendukung tersebut. Apabila pabrikan mesin pendukung tersebut sudah ada pengalaman serupa sebelumnya maka hal ini akan lebih baik tetapi jika belum maka faktor resiko kegagalan akan semakin besar. 

Dalam beberapa kasus nyata dalam produksi wood pellet yakni pelletiser sudah menggunakan merk Eropa yang sudah terbukti kualitas performanya tetapi mesin pendukung yang tidak kompatibel sehingga target produksi tidak tercapai, misalnya sebuah pelletiser tersebut membutuhkan input/feeding sawdust kering 3 ton/jam tetapi output dari mesin pengering (rotary dryer) yang menjadi input/feeding ke pelletiser kurang dari itu atau hanya sekitar setengahnya. Jadi untuk bisa mendapatkan harga mesin produksi kapasitas besar dengan performa yang diharapkan sehingga target produksi bisa tercapai dengan investasi (CAPEX) yang “murah” memang tidak mudah tetapi itu mungkin diusahakan dan sudah ada beberapa success story yang membuktikannya.  

 

Sabtu, 19 Oktober 2024

Biochar dari Kayu limbah dan Limbah Kehutanan

Era dekarbonisasi dan bioekonomi terus berlanjut dan semakin berkembang seiring waktu. Ketika sebagian orang fokus pada sektor karbon netral seperti dengan produksi bahan bakar biomasa seperti wood pellet, wood briquette ataupun wood chip, orang-orang yang fokus untuk karbon negatif tampaknya masih lebih sedikit antara lain yakni dengan penggunaan CCS (Carbon Capture and Storage) dan produksi biochar. Dibandingkan CCS, produksi biochar dengan pirolisis lebih mudah dan murah sehingga diproyeksi akan menjadi trend masa depan. Secara logika sebenarnya skenario karbon negatif jauh lebih baik karena selain akan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer, sedangkan skenario karbon netral hanya tidak menambah emisi CO2 di atmosfer, tetapi tidak sampai mengurangi atau menyerap CO2 di atmosfer. Penyerapan CO2 atau biochar carbon removal (BCR) sampai saat ini juga merupakan teknologi carbon removal paling relevan secara industri. BCR adalah solusi kunci untuk mitigasi perubahan iklim yang riil saat ini dan perkembangannya sangat cepat.  BCR juga memiliki peran vital dalam portofolio teknologi karbon removal.


Biomasa kayu-kayuan khususnya dari limbah industri perkayuan maupun limbah-limbah kehutanan adalah bahan baku potensial untuk produksi biochar, bahkan jenis biomasa kayu-kayuan ini adalah bahan baku terbaik karena bisa menghasilkan biochar kualitas tinggi yakni fixed carbon lebih dari 80%. Potensi bahan baku biomasa kayu-kayuan di Indonesia sangat besar yakni diperkirakan 29 juta m3/tahun dari limbah pemanenan hutan, dan 2 juta m3/tahun dari limbah industri pengolahan kayu termasuk 0,78 juta m3 berupa serbuk gergaji (rendemen industri penggergajian kayu berkisar antara 50-60% dan sebanyak 15-20% terdiri dari serbuk gergaji kayu). Dan itu belum termasuk apabila ada suatu perkebunan biomasa atau kebun energi yang didedikasikan untuk produksi biochar.  

Dengan kondisi lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan yang banyak mengalami degradasi maka kebutuhan biochar juga sangat besar. Diantara faktor penyebab menurunnya kesuburan lahan adalah penggunaan pupuk dan pestisida kimia selama puluhan tahun secara terus menerus dan cenderung berlebihan. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas tanah yang berimbas pada produksi tanaman karena membuat lahan menjadi bertambah masam dan keras yang diperkirakan mencapai jutaan hektar. Selain itu harga pupuk kimia yang semakin mahal serta sulit diperoleh, yang berakibat pada rendahnya produksi pertanian, sehingga pemerintah terpaksa mengimpor beberapa komoditi pertanian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi mengingat lahan potensial di Indonesia sangat luas, hanya perlu perbaikan kondisi lahan agar bisa optimal kembali. Membuat lahan rusak menjadi subur tidaklah sulit, hanya dibutuhkan ketekunan untuk memper-baiki dan merawat tanah tersebut agar terus subur. 

Sementara lahan kering berupa tanah ultisol 47,5 juta ha dan oxisol 18 juta ha. Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan 1.060.000 ha, secara umum termasuk lahan marginal. Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, ber-prospek baik untuk pengembangan pertanian namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan tersebut tingkat kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitasnya. Belum lagi lahan pasca tambang yang hampir semuanya sangat rusak yang luasnya juga jutaan hektar. Dan biochar adalah solusi tepat yang dapat mengembalikan kondisi lahan menjadi subur kembali. 

Slow pyrolysis adalah teknologi terbaik untuk produksi biochar. Tetapi teknologi yang digunakan harus efisien dan emisi memenuhi standar ambang batas negara yang bersangkutan. Selain itu juga excess heat dan/atau produk cair dan produk gas dari pirolisis seharusnya juga dimanfaatkan. Dengan kriteria teknologi pirolisis seperti di atas maka selain kualitas dan kuantitas produk yakni biochar bisa dimaksimalkan, proses produksinya juga tidak menimbulkan masalah baru berupa pencemaran lingkungan. Hal tersebut menjadi sangat sejalan dengan aktivitas bisnis biochar sehingga menjadi solusi masalah limbah biomasa industri perkayuan dan limbah kehutanan serta solusi masalah iklim. Bahkan pemanfaatan produk-produk samping (excess heat dan/atau produk cair dan produk gas dari pirolisis) juga bisa mendorong munculnya produk-produk lain yang ramah lingkungan dan terbarukan (enviroment friendly and renewable products). 

Secara keekonomian secara garis besarnya bisa seperti berikut yakni dengan investasi 10 juta US dollar maka akan dihasilkan kurang lebih 200.000 ton biochar dengan lebih dari 400.000 carbon credit selama rentang waktu 10 tahun. Atau jika dengan investasi 100 juta US dollar maka akan dihasilkan hampir 2 juta ton biochar dan lebih dari 4 juta carbon credit dalam rentang waktu 10 tahun. Dan misalkan dengan harga jual biochar 100 dollar per ton dan juga carbon credit 100 dollar per unit (per ton CO2) maka dalam waktu 10 tahun tersebut investasi telah menjadi 6 kali lipat atau hanya dibutuhkan sekitar 1,7 tahun investasi awal tersebut telah kembali (payback period). Tentu ketika harga biochar lebih tinggi dan / atau carbon creditnya maka tentu saja kembali modalnya akan lebih cepat. Dan itupun belum termasuk pemanfaatan produk cair dan gas dari pirolisis serta excess heat yang juga memiliki potensi ekonomi yang tidak kalah menarik. Trend era bisnis di masa mendatang memang tidak hanya fokus pada keuntungan finansial tetapi juga memberi solusi masalah lingkungan dan solusi masalah iklim, serta tentu saja solusi masalah sosial dengan penciptaan lapangan kerja.

Kamis, 10 Oktober 2024

Peningkatan Produktivitas Pertanian Pangan : Aplikasi Biochar atau Buka Hutan Untuk Food Estate ?

Indonesia saat ini menempati peringkat 69 dari 113 negara pada tahun 2022 dalam ketahanan pangan dan ini lebih rendah daripada Malaysia dan Vietnam dengan poin indikatornya dibawah rata-rata global. Kondisi ini memprihatinkan mengingat Indonesia pernah menjadi swasembada pangan sebelumnya bahkan harga beras di Indonesia paling mahal di ASEAN. Upaya mempertahankan produktivitas pangan memang menjadi tantangan tersendiri apalagi untuk meningkatkannya. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat maka otomatis kebutuhan pangan juga semakin meningkat. Kondisi menurunnya produksi dan produktivitas pangan terkait dengan sejumlah faktor antara lain alih fungsi lahan menjadi lahan non-pertanian, dan kerusakan tanah / lahan. Sejumlah peraturan dibuat untuk menahan laju penurunan produktivitas pangan akibat dua hal tersebut. 

Terkait kerusakan lahan upaya perbaikan perlu dilakukan sehingga produktivitas pertanian meningkat. Diperkirakan area kerusakan lahan yang terjadi sangat luas dengan tingkat keparahan tinggi. Hal ini sehingga menuntut upaya perbaikan bertahap dan berkelanjutan dengan berbagai strategi termasuk perbaikan pola bertani bahkan sejumlah insentif. Hanya dengan upaya ini sektor pertanian sebagai sumber pangan bisa diperbaiki atau jika tidak maka kerusakan lahan pertanian semakin parah sehingga upaya perbaikan juga semakin sulit. 

Aplikasi biochar atau buka hutan untuk lahan food estate ?
Aplikasi biochar akan mampu memperbaiki lahan-lahan rusak tersebut. Selain sebagai agen pupuk lepas lambat sehingga pemakaian pupuk menjadi efisien dan tidak mencemari lingkungan, menaikkan pH tanah, meningkatkan karbon organik tanah serta meningkatkan produktivitas pertanian, biochar juga akan membantu mengatasi pengelolaan limbah-limbah pertanian yang selama ini banyak mencemari lingkungan.  Peningkatan produktivitas pertanian dari penggunaan biochar rata-rata sekitar 20%. Jika produksi beras Indonesia saat ini berkisar 31 juta ton per tahun, maka aplikasi biochar akan meningkatkan produksi beras total menjadi 37,2 juta ton (terjadi kenaikan 6,2 juta ton). Dengan rata-rata produksi beras per hektar 6 ton maka kenaikan 6,2 juta ton tersebut ekuivalen dengan menambah luas lahan pertanian 1,03 juta hektar. Bahkan lahan-lahan rusak dari pasca tambang bisa direklamasi dan rehabilitasi dengan aplikasi biochar tersebut, dengan luasan lahan juga mencapai jutaan hektar. Hal ini tentu lebih baik daripada pembukaan lahan hutan baru untuk food estate karena dampak lingkungannya.   

Seiring dengan pertumbuhan populasi manusia, kebutuhan akan pangan dan energi akan terus meningkat. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2045 diperkirakan mencapai 319 juta jiwa dan jumlah penduduk dunia pada tahun 2050 mendekati 10 miliar jiwa. Kebutuhan dan urgensi biochar untuk memperbaiki kualitas tanah semakin tinggi. Puluhan juta hektar dari seluruh tanah masam Indonesia yang tergolong tanah masam lahan kering perlu diperbaiki dengan biochar. Artinya potensi bisnisnya mencapai miliaran dolar atau trilyunan rupiah. Sedangkan import beras tahun 2024 ditargetkan mencapai 3,6 juta ton (sebagai buffer), jumlah yang besar.  Dengan kebutuhan beras tahunan sekitar 31 juta ton, maka kontribusi beras import mencapai 10% lebih.

Biochar selain memperbaiki kerusakan tanah sehingga meningkatkan kesuburannya yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas pertanian juga sebagai bagian dari solusi iklim yakni dengan cara carbon sequestration. Biochar yang diaplikasikan ke tanah tersebut akan bertahan ratusan bahkan ribuan tahun, dan tidak terdekomposisi. Hal inilah menjadi faktor keuntungan lainnya bagi produsen biochar yakni mendapatkan carbon credit. Kualitas biochar akan menentukan perolehan atau harga carbon credit tersebut, sehingga bahan baku biochar serta proses produksinya berpengaruh. Harga carbon credit semakin meningkat sehingga semakin menarik dan juga pasar carbon credit yang terus bertambah.

Kerusakan tanah atau lahan pertanian yang terjadi banyak disebabkan oleh pemakaian pupuk kimia yang berlebihan. Apabila pemakaian pupuk kimia tersebut bisa dikurangi dosisnya atau dengan penggunaan secukupnya maka akan terjadi perbaikan kualitas lahan. Bahkan apabila pupuk kimia secara bertahap pupuk kimia terus dikurangi dosisnya dan pupuk organik / kompos semakin ditambah sehingga pada akhirnya pupuk kimia tidak digunakan sama sekali maka kesuburan tanah akan optimal demikian juga produktivitas pertaniannya. 

Photo dari sini

Hal tersebut tentu saja membutuhkan waktu dan upaya yang berkelanjutan. Peternakan juga mesti digalakkan sehingga kompos / pupuk organik juga bisa diproduksi secara cukup memadai dari pengolahan kotoran ternak tersebut. Pertanian terpadu (integrated farming) dengan peternakan tersebut menjadi solusi terbaik perbaikan lahan-lahan pertanian dengan biochar terutama meningkatkan efisiensi pemupukan tersebut. Apabila hal-hal diatas bisa diimplentasikan dengan baik maka pembukaan hutan untuk lahan food estate juga bisa diperlambat / ditahan dengan memperhatikan semua aspek secara komprehensif sehingga bukan pilihan solusi jangka pendek yang cenderung dipaksakan, dan buru-buru karena upaya pencitraan rezim bahkan dengan biaya ratusan trilyun.        

Rabu, 02 Oktober 2024

Mendorong Industri Permesinan Untuk Mendukung Industri Bioenergi

Ketika menyadari bahwa Indonesia adalah “surga” biomasa sehingga potensial menjadi pemimpin dunia di bioenergi maka semestinya sejumlah upaya dilakukan untuk mendukung hal tersebut. Peralatan atau mesin produksi adalah salah satu komponen yang mendukung hal tersebut. Sebagai contoh produksi wood pellet kapasitas besar biasa mengandalkan mesin-mesin Eropa yang terbukti handal sehingga tujuan bisnis wood pellet bisa tercapai. Analisis cost to benefits ratio digunakan dalam pemilihan mesin-mesin Eropa tersebut. Tetapi karena membeli mesin Eropa dengan lini produksi lengkap (complete line) mahal maka penggunaan mesin kombinasi menjadi alternatif. Kompleksitas dan jantung dari suatu proses produksi biasanya terletak hanya pada alat utama dan ini yang masih import, sedangkan alat-alat pendukung semestinya bisa dengan peralatan produksi lokal. 

Ketika peralatan produksi bisa bekerja sesuai kapasitas dan fungsinya maka target produksi (kuantitas dan kualitas) akan bisa tercapai. Memilih sejumlah perlatan pendukung yang sesuai dan mampu beroperasi sesuai kebutuhan alat utama bukan hal yang mudah. Mendapatkan partner produsen mesin lokal untuk mendapatkan kecocokan antara karakteristik mesin utama dan mesin pendukung memang perlu waktu dan proses. Tetapi untuk bisa berperan dan mengurangi resiko dalam era dekarbonisasi maka bisa dimulai dengan mendukung beberapa peralatan pada kapasitas kecil atau terbatas pada alat-alat tertentu saja. Faktor rekayasa dan desain menjadi faktor utama yang penting sebelum fabrikasi peralatan-peralatan mendukung tersebut. 

Tentu saja apabila sejumlah faktor pendukung terpenuhi seperti penguasaan iptek, pengalaman, organisasi perusahaan yang baik dan sebagainya maka produksi 100% peralatan produksi atau complete line bisa dilakukan. Hal itu tentu butuh waktu dan upaya yang tidak sederhana, seperti mempertahankan performa kualitas produk mesinnya sehingga memberi kepuasan bagi pengguna dengan harapan performa bisnis juga meningkat dan riset berkelanjutan. Dan dengan secara bertahap menjadi bagian untuk ikut aktif di berbagai proyek bioenergi maka penguasaan teknologi melalui transfer teknologi juga memungkinkan terjadi. Menjadi bagian solusi dan berperan di dalamnya adalah hal penting dilakukan termasuk pada industri permesinan yang mendukung industri bioenergi tersebut.   

Minggu, 29 September 2024

Industrial Wood Briquette Menjadi Alternatif Antara Wood Chip dan Wood Pellet

Bahan bakar biomasa adalah bahan bakar atau energi terbarukan yang saat ini posisinya sebagai salah satu bahan bakar atau energi alternatif. Tetapi seiring kesadaran akan berbagai masalah iklim maka penggunaan energi alternatif dari biomasa semakin meningkat dari waktu ke waktu. Trend dekarbonisasi sebagai respon terhadap masalah iklim tersebut  merambah ke semua lini kehidupan termasuk sektor industri. Sebagai industri yang berorientasi profit tentu saja upaya memaksimalkan menjadi perhatian utama termasuk dalam pemakaian bahan bakar alternatif tersebut. Ada aneka tipe bahan bakar yang bisa diproduksi dari biomasa dan khususnya untuk bahan bakar padat antara lain wood chip, wood pellet dan wood briquette. Karakteristik bahan bakar tersebut ada sedikit perbedaan antara satu dan lainnya termasuk juga biaya produksinya. Perlu melihat lebih teliti dan mendalam sehingga bisa mendapatkan bahan bakar biomasa terbaik sesuai tujuan industri tersebut.  

Industrial wood briquette adalah wood briquette yang diproduksi dengan mechanical piston press. Hal ini berbeda dengan briquette yang diproduksi dengan hidrolik dan extruder. Industrial briquette bisa diproduksi dalam jumlah besar dengan biaya lebih murah dibandingkan briquette yang diproduksi dengan hidrolik maupun extruder. Dan apabila dibandingkan dengan wood pellet maka industrial wood briquette ini juga lebih murah biaya produksinya. Tetapi tentu saja biaya produksi lebih mahal dibandingkan wood chip. Wood chip bisa dikatakan sebagai bahan bakar biomasa paling mudah dan murah untuk diproduksi. 

Hal tersebut menempatkan industrial wood briquette menempatkan posisinya diantara wood chip dan wood pellet ataupun briquette tipe hidrolik dan extruder. Sebagai produk pemadatan biomasa (biomass densification) industrial wood briquette juga menjadi lebih ekonomis untuk transport jarak jauh. Selain itu sejumlah boiler industri juga sudah dirancang khusus untuk bisa menggunakan bahan bakar industrial wood briquette ini bahkan secara automatic feeding. Faktor lain seperti keseragaman bentuk, ukuran bisa bervariasi dan kadar air rendah adalah keunggulan-keunggulan lain dari industrial wood briquette ini.

Para pengguna boiler di industri bahkan PLTU bisa mempertimbangkan penggunaaan industrial wood briquette ini. Apalagi untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak pada utilitas industri seperti penyedia kukus (steam) bagi industri-industri pengolahan sehingga operasional dan perawatan boiler termasuk penggunaan bahan bakar biomasanya menjadi tanggungjawab perusahaan tersebut. Dengan kontrak penyediaan kukus (steam) jangka panjang misalnya berkisar 5-10 tahun maka penyediaan bahan bakar biomasa berupa industrial wood briquette dalam jangka waktu tersebut juga sangat penting. Selain faktor ketersediaan bahan baku yang mencukupi, legal dan berkelanjutan, aspek kehandalan mesin produksi industrial wood briquette tidak bisa dikesampingkan. 

Rabu, 18 September 2024

Belajar dari Kesuksesan Industri Wood Pellet di Asia (Vietnam) dan Eropa (Latvia)

Trend penggunaan wood pellet secara global belum lama yakni baru dimulai sekitar awal 2010an dan sejumlah negara meresponnya dengan cepat sehingga industri wood pelletnya berkembang cepat sebagai bagi bagian mesin ekonomi mereka yang sejalan dengan trend global untuk dekarbonisasi dan ekonomi hijau atau bioekonomi. Kesiapan sejumlah negara untuk merespon peluang tersebut juga bukan cuma tanpa alasan tetapi memang wawasan dan pengetahuan mereka telah mendukung untuk melakukannya. Indonesia sebagai negara tropis dan lahan luas serta SDM yang berlimpah seharusnya bisa menggenjot juga peluang industri wood pellet ini sehingga menjadi salah satu pemain utama dunia. 

Vietnam dan Latvia adalah dua negara di dunia yang saat ini memimpin industri wood pellet ini bahkan ada pabrik wood pellet terbesar di dunia ada di sana, untuk lebih detail baca disini. Pada awalnya kedua negara tersebut juga memulai industri ini dari kapasitas kecil. Untuk Vietnam, produksi wood pellet Vietnam dimulai pada tahun 2012 dengan kapasitas sangat kecil yakni sekitar 175 ton/tahun dan saat ini tahun 2021 atau sekitar 9 tahun kemudian produksinya telah mencapai sekitar 4,5 juta ton/tahun sehingga menempatkan Vietnam diurutan kedua sebagai produsen wood pellet dunia, setelah Amerika Serikat. Produksi total 4,5 juta ton/tahun tersebut disuplai dari 74 pabrik wood pellet di Vietnam. Pada tahun 2020 mengeksport wood pellet sebanyak 3,2 juta ton ke Jepang dan Korea untuk pembangkit listrik dengan nilai export mendekati USD 351 juta. Selain ke Korea dan Jepang, wood pellet produksi Vietnam juga di export ke Eropa.

Pada awalnya produksi wood pellet Vietnam menggunakan limbah dari industri mebel. Limbah mebel berupa serbuk kayu dari industri tersebut sudah kering dan ukuran partikelnya sudah sesuai untuk produksi wood pellet, sehingga alat berupa hammer mill dan pengering (dryer) tidak dibutuhkan. Banyak pabrik wood pellet Vietnam waktu itu tidak memiliki alat hammer mill ataupun dryer tersebut. Dengan bahan baku yang siap untuk dipellet tersebut maka biaya produksi wood pellet sangat murah ditambah lagi biaya tenaga kerja yang juga murah. Tetapi seiring permintaan limbah industri mebel untuk produksi wood pellet semakin tinggi maka ketersediaan bahan baku tersebut semakin langka, sehingga pabrik-pabrik wood pellet baru tidak bisa lagi menggunakan limbah-limbah tersebut. Limbah industri pengolahan kayu lainnya seperti penggergajian kayu dan pabrik veneer juga menjadi bahan baku. Selanjutnya dengan peningkatan produksi wood pellet semakin besar, limbah-limbah kayu hutan dan kayu bulat lainnya menjadi sumber bahan baku berikutnya. Hal tersebut juga membuat biaya produksi semakin meningkat karena perlu alat seperti hammer mill dan dryer sehingga bahan baku tersebut siap untuk dipellet. 

Sedangkan Latvia, sebagai sebuah negara kecil di Eropa bagian utara melihat peluang untuk memimpin di industri yang sedang tumbuh ini. Dengan wilayahnya yang hampir setengahnya berupa hutan, Latvia memiliki sumber daya alam untuk memproduksi wood pellet. Pada awal tahun 2000an dengan dukungan pemerintahnya untuk pengelolaan hutan yang bertanggungjawab sehingga produksi kayunya bisa berkelanjutan termasuk sejumlah dukungan bagi pengusaha yang akan memulai produksi wood pellet.  Tidak lama berselang, dunia mengetahuinya. Negara-negara seluruh Eropa termasuk Inggris, Denmark dan Italia, mulai mengandalkan produksi wood pellet dari Latvia untuk pemanas ruangan maupun pembangkit-pembangkit listrik mereka. 

Meskipun hanya negara kecil, Latvia menjadi pemain utama dalam industri wood pellet, bersaing dengan negara-negara lebin besar seperti Jerman dan Swedia. Saat ini Latvia menjadi salah satu eksportir terbesar wood pellet di dunia. Kisah sukses Latvia memberi pelajaran bahwa walaupun negara kecil tetapi dengan kemauan kuat, berfokus pada kualitas, inovasi dan keberlanjutan (sustainibility), sumber daya alam (SDA) akan membawa pada kisah kesuksesan global. Kesuksesan Latvia menunjukkan ketika adanya dukungan pemerintah, investasi teknologi, dan orang-orang yang berdedikasi maka walaupun negara kecil dapat memimpin pada pasar global yang kompetitif. Dan ketika semakin hari, dunia semakin mencari solusi untuk energi bersih dan berkelanjutan, kesuksean industri wood pellet Latvia menginspirasi tentang contoh yang bisa diraih dengan visi, kerja keras dan komitmen pada keberlanjutan.

Negeri tropis seperti Indonesia adalah “surga” untuk energi biomasa, energi biomasa ini ibarat baterai hijau yang harus dikembangkan, untuk lebih detail baca disini. Ketika negara-negara kecil seperti Vietnam dan Latvia bisa menggenjot industri wood pellet nya maka sudah semestinya Indonesia tidak mau ketinggalan. Ketika potensi besar tetapi disia-siakan maka selain itu adalah sikap tidak bersyukur sehingga akan berdampak pada kemiskinan dan rusaknya alam juga merupakan suatu kebodohan. Banyaknya lahan tersedia bahkan jutaan hektar menjadi lahan kritis dan multimanfaat dari kebun energi seharusnya memotivasi industri wood pellet. Ketika Vietnam dan Latvia bisa melakukannya Indonesia juga semestinya demikian juga.    

Pellet Daun (Leaf Pellet) dari Kebun Energi

Pellet daun (leaf pellet) kaliandra Dengan estimasi volume daun 1/4 dari kayu tetapi harga pellet daun sekitar 3 kali harga pellet kayu (w...