Jumat, 15 November 2024

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What Islam Teaches about Protecting the Planet menyebut energi baru terbarukan sebagai energy from heaven (energi dari surga). Energi dari surga menurutnya adalah energi berasal dari atas, yakni energi tersebut tidak diekstrak (dikeruk) dari dalam bumi, dan dapat diperbaharui (renewable). “Ekstraksi menyebabkan ketidakseimbangan (penyebab perubahan iklim), sedangkan energi dari atas itu laksana dari surga.” 

Dan sehingga dalam perspektif karbon ketika karbon sebagai sumber energi berasal dari (ekstraksi) dalam bumi yakni energi fossil (minyak bumi, batubara, gas alam) maka hal tersebut berkontribusi meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca khususnya karbondioksida (CO2) di atmosfer, atau istilahnya carbon positive, sedangkan apabila berasal dari tumbuh-tumbuhan (biomasa) yang karena berasal dari proses photosintesa maka hal tersebut hal tersebut tidak menambah konsentrasi gas rumah kaca khususnya karbondioksida (CO2) di atmosfer, atau istilahnya carbon neutral. Sumber energi yang berasal dari matahari, angin dan air juga termasuk sumber energi carbon neutral tersebut. Sedangkan apabila sumber karbon dari tumbuh-tumbuhan (biomasa) hasil photosistesa tersebut, lalu bisa disimpan (carbon sequestration) hingga ratusan bahkan ribuan tahun maka hal tersebut akan mengurangi konsentrasi gas rumah kaca khususnya karbondioksida (CO2) di atmosfer, atau istilahnya carbon negative.

Bahkan secara lebih spesifik yakni terkait tambang batubara, fatwa tarjih Muhammadiyah, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, menyatakan bahwa empat problem utama dari pertambangan batubara di Indonesia, yaitu (a). kerusakan lingkungan; (b). regulasi yang tidak berdasarkan pada keadilan dan maslahat; (c) pengabaian pada hak-hak masyarakat sekitar tambang, dan (d) bisnis pertambangan sebagai alat politik. Apabila fatwa tersebut dijadikan landasan kebijakan dan motivasi dalam transisi energi berkeadilan.

Saat ini untuk mengurangi konsentrasi gas rumah kaca khususnya karbondioksida (CO2) di atmosfer upaya dekarbonisasi dilakukan, yakni mengurangi atau mengganti penggunaan bahan bakar fossil tersebut dengan sumber energi terbarukan. Produksi bahan bakar biomasa seperti wood chip, wood pellet, wood briquette dan sebagainya adalah dalam rangka dekarbonisasi tersebut. Demikian juga produksi biochar lalu karbon tersebut bisa disimpan sangat lama (carbon sequestration) mulai banyak dilakukan saat ini.  Bahkan aplikasi biochar tersebut juga digunakan untuk perbaikan kondisi tanah-tanah yang rusak atau kurang subur sehingga produktivitas pertanian atau tanaman akan meningkat. Dalam konteks ini biochar bahkan bisa digunakan untuk mengatasi krisis kekurangan pangan, untuk lebih detail baca disini

Sumber energi terbarukan berasal dari tanaman (bio-energi) tersebut juga sejalan dengan QS. Yaasin (36) : 80. Untuk menghasilkan sumber energi tersebut baik seperti batang kayu, buah, biji ataupun bagian lain dari tumbuhan tersebut, tumbuhan melakukan photosintesa. Selain dibutuhkan air dan karbondioksida (CO2), proses photosintesa ini membutuhkan sinar matahari. Matahari sangat penting sebagai sumber energi bagi makhluk hidup khususnya bagi tumbuhan tersebut. Matahari adalah sumber energi yang sangat melimpah, gratis dan tidak akan habis kecuali pada saat kiamat tiba. Kata matahari disebut sebanyak 25 kali di Al Qur’an dan menjadi salah satu nama surat yang Allah diabadikan dalam Al Qur’an. Ini menunjukkan bahwa Allah ingin memberikan isyarat bahwa ada yang perlu digali oleh manusia melalui asy-syams atau matahari. Tanaman melalui proses photosintesa akan menyimpan energi dari matahari dalam bentuk biomasa-nya dan ini diibaratkan seperti baterai. Baterai hijau tanaman ini akan bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi yang sangat besar, untuk lebih detail baca disini

Terkait aksi untuk mitigasi perubahan iklim ini, peran ulama bisa sangat penting. Bahkan survey yang dilakukan oleh Purpose dan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) mengatakan bahwa peran ulama dalam aksi ini memiliki pengaruh atau tingkat kepercayaan tertinggi dibanding kalangan lainnya (termasuk aktivis lingkungan, pemerintah dan ilmuwan). Dan bahkan hasil survei Iklim Nasional ini juga menunjukan anggota legislatif berada pada urutan terakhir dalam tingkat kepercayaan masyarakat. Upaya memakmurkan atau mengelola bumi sesuai perintah Allah yakni Q.S. Hud : 61 dan ini memang juga tugas manusia sebagai khalifah Allah di bumi atau di planet ini (Q.S. Al-Baqarah: 30) sehingga pengelolaan bumi tersebut harus berdasarkan ajaran atau nilai-nilai Islam. Sedangkan konsep sekulerisasi barat berakibat pada cara pandangnya yakni manusia memiliki dominasi atas bumi, bukan sebagai pengelolanya, yang merupakan pandangan Islam. Muslim harus menjadi penjaga atau pengelola bumi, demi lingkungan mereka dan terpenting demi perintah Allah SWT.  

Dan walaupun Islam mengajari para pengikutnya untuk menjaga atau mengelola bumi atau khalifah di planet ini. Dan bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas tindakan mereka, tetapi faktanya kelambanan dunia musim terus berlanjut meskipun ada deklarasi negara-negara muslim pada tahun 2015 tersebut untuk memainkan peran aktif dalam memerangi perubahan iklim. Hal ini tentu berdampak negatif terhadap masalah iklim global. Semestinya kepedulian dan aksi nyata terhadap iklim ini semakin ditingkatkan seiring upaya peningkatan iman dan takwa serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, apalagi ditambah dengan sejumlah bencana alam akibat perubahan iklim tersebut. Transisi atau hijrah energi secara bertahap adalah salah satu solusinya. Semestinya negara-negara Muslim memiliki keunggulan dalam perlombaan iklim. Mereka memiliki kerangka kerja dan sistem kepercayaan yang mengamanatkan perlindungan bumi dan sumber daya alamnya.

Rabu, 13 November 2024

Madu Kaliandra dari Kebun Energi Kaliandra

Madu kaliandra bisa dikatakan salah satu madu terbak di dunia. Kualitas dan cita rasa madu kaliandra di atas madu-madu lainnya seperti madu karet, madu akasia dan madu randu. Tetapi ternyata produksi madu kaliandra juga tidak semudah madu-madu lainnya. Sejumlah hal perlu diupayakan sehingga target untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas madu kaliandra tersebut bisa tercapai termasuk adalah rekayasa atau pengkayaan tanaman kebun energi dan pemilihan spesies lebah madu yang sesuai. Hal ini lah mengapa sebelum menanam kaliandra di kebun energi tersebut perlu berdiskusi dulu dengan ahli peternakan lebah madu, jika memang kebun energi juga akan memproduksi madu sebagai produk samping atau tambahan, disamping produk utama berupa wood pellet dari kayunya. Pembuatan rekayasa atau pengkayaan tanaman kebun energi tersebut jauh lebih mudah sebelum kegiatan penanaman dilakukan daripada nanti setelah kebun energi tersebut telah jadi atau berproduksi.

Dengan memaksimalkan potensi kebun, artinya tidak hanya mengolah kayunya saja maka akan didapat keuntungan yang maksimal. Dengan kualitas madu kaliandra yang begitu tinggi, sayang apabila tidak dimanfaatkan. Produksi madu kaliandra bahkan akan memberi tambahan keuntungan yang significant karena diperkirakan dapat menghasilkan 1 ton madu per tahun dari 1 hektar tegakkan kaliandra. Dan saat ini Perhutani mempunyai areal produksi madu yang lebih luas. Berdasarkan data API (Asosiasi Perlebahan Indonesia), kebutuhan madu orang Indonesia mencapai 15.000 ton-150.000 ton per tahun. Dari jumlah tersebut, sebanyak 50% dari kebutuhan dipasok dari China. Dengan semakin berkembangnya kebun energi kaliandra khususnya untuk produksi wood pellet, yang diusahakan oleh pemerintah dan swasta maka diharapkan juga akan meningkatkan produksi madu Indonesia. 

Masalah utama dari peternakan lebah adalah ketersediaan pakan untuk lebah atau nektar bunga. Kaliandra yang merupakan tanaman bertipe tumbuh cepat (fast growing) dan dibudidayakan secara massif akan mendongkrak produksi madu secara significant, bahkan ditargetkan bisa meningkat tiga kali lipat (300%) dalam 5 tahun ke depan. Apalagi dengan sembilan dari sebelas spesies lebah madu dunia hidup di Indonesia, negeri ini seharusnya bisa mencukupi kebutuhan sendiri. Hal ini sehingga import madu bisa dikurangi bahkan Indonesia akan mampu export madu. 

Limbah Produksi Wood Chip untuk Produksi Wood Pellet atau Wood Briquette

Produksi wood chip sebagai bahan bakar biomasa pada cofiring PLTU milik PLN semakin marak akhir-akhir ini. Produksi wood chip adalah produksi bahan bakar biomasa paling mudah dibandingkan berbagai produk bahan bakar biomasa yang diproduksi industri saat ini. Ketersediaan bahan baku menjadi faktor utama keberlangsungan produksi. Nilai kalori dari wood chip tergantung dari spesies atau jenis kayu yang digunakan dan level kekeringannya (kadar air). Kayu-kayu keras dan kadar air rendah adalah produk ideal untuk wood chip tersebut. Dan karena memiliki bulk density yang rendah yakni sekitar 250 – 350 kg/m3 maka faktor transportasi menjadi aspek lain yang sangat diperhatikan untuk pengiriman produk wood chip tersebut.

Ukuran partikel wood chip juga sudah ditentukan sehingga handling dan penyimpanan lebih mudah dilakukan. Untuk mendapatkan ukuran wood chip sesuai ukuran partikel yang dikehendaki maka dilakukan pengayakan (screening) setelah batang atau potongan kayu dicacah dengan mesin chipper kayu. Dengan prasyarat tersebut maka ada produk yang ditolak / reject dari proses produksi tersebut yakni produk wood chip yang terlalu besar (oversize) dan produk yang terlalu kecil (undersize). Produk yang terlalu besar (oversize) tersebut bisa dikembalikan ke mesin chipper untuk dicacah kembali, tetapi produk wood chip yang ukuran partikelnya terlalu kecil (undersize) harus dimanfaatkan untuk hal lain sehingga selain produksi wood chip bisa zero waste juga memberi tambahan pendapatan bagi produsen wood chip tersebut. 

Ukuran partikel yang kecil seperti serbuk gergaji (sawdust) dari produksi limbah wood chip tersebut bisa dimanfaatkan untuk produksi wood pellet maupun wood briquette (pini kay briquette). Dan bahkan wood briquette lebih toleran terhadap ukuran partikel yang sedikit lebih besar karena produk wood briquette memiliki kepadatan (density) lebih tinggi dibanding wood pellet, selain itu wood briquette juga bisa diproses lanjut menjadi produk arang briket (sawdust charcoal briquette). Wood briquette sendiri biasa digunakan di negara-negara empat musim khususnya pada musim dingin untuk pemanas ruangan (home heating). Sedangkan arang briket (sawdust charcoal briquette) biasa digunakan untuk BBQ khususnya untuk negara-negara Timur Tengah dan Turki. 

Pada produksi wood chip tersebut diperkirakan limbah biomasa yang kurang lebih seukuran serbuk gergaji tersebut sekitar 20-25%, artinya jika produksi wood chip mencapai 5.000 ton/bulan maka limbahnya sekitar 1.000 – 1.250 ton/bulan. Hal ini cukup memadai untuk produksi wood briquette maupun arang briket (sawdust charcoal briquette) tersebut. Sedangkan apabila mau produksi wood pellet apalagi untuk pasar export biasanya dibutuhkan kapasitas produksi bisa sekitar 5.000 – 10.000 ton/bulan. Tentu saja hal tersebut tidak bisa dilakukan. Selain itu investasi peralatan untuk produksi wood briquette, arang briket (sawdust charcoal briquette) bahkan wood pellet untuk maksud tersebut juga jauh lebih besar dibandingkan dari produksi wood chip. Hal tersebut sehingga akan lebih masuk akal apabila produksi wood briquette ataupun arang briket (sawdust charcoal briquette) dilakukan oleh pihak lain. Pihak lain tersebut akan mengolah limbah pabrik wood chip tersebut menjadi wood briquette, arang briket (sawdust charcoal briquette) dan karena kompleksitas produksi serta biaya peralatan juga lebih tinggi maka wajar jika keuntungan yang didapat dari pengolahan limbah tersebut juga lebih tinggi. 

 

Harga wood pellet dunia seperti juga cangkang sawit atau PKS (palm kernel shell) banyak mengalami fluktuasi, bahkan akhir-akhir ini harganya cenderung rendah. Cangkang sawit atau PKS (palm kernel shell) sendiri adalah bahan bakar biomasa yang menjadi kompetitor wood pellet di pasar global tetapi harganya lebih murah, karena berasal dari salah satu limbah padat pabrik sawit yang diproses dengan sederhana. Dengan kondisi tersebut ditambah dengan mendapatkan volume limbah dari pabrik wood chip yang memadai juga sangat sulit maka produksi wood briquette (pini kay briquette) atau arang briquette (sawdust chracoal briquette) menjadi pilihan yang rasional. Selain itu harga yang stabil dari dua produk tersebut membuat daya tarik semakin besar untuk mempertimbangkannya. 

Jumat, 08 November 2024

Minyak Inti Sawit (PKO) dan Minyak Kelapa (CCO) Untuk Bio-Avtur (SAF)

Bio-avtur atau SAF (Sustainable Aviation Fuel) akan menjadi satu-satunya upaya dekarbonisasi pada sektor penerbangan hingga beberapa dekade ke depan. Tiga proses produksi terkemuka untuk produksi SAF yakni HEFA, FT dan ATJ.  Dan dari ketiga proses tersebut proses HEFA paling efisien dan paling kompetitif saat ini, diprediksi bertahan sampai 2030. Bahan baku atau feedstock untuk proses HEFA ini terutama adalah vegetable oil, used cooking oil/minyak jelantah, lemak binatang dan sebagainya. Proses HEFA juga telah disetujui oleh ASTM untuk digunakan sebagai bahan bakar penerbangan (bio-jet fuel) berdasarkan pada ASTM D7566-14. Pada tahun 2011 versi terbaru standard tersebut dipublikasikan bahwa memperkenankan hingga 50% produk bahan bakar penerbangan HEFA untuk ditambahkan pada bahan bakar jet konsensional atau bahan bakar dari minyak bumi (avtur). ASTM sendiri, sebagai suatu entitas, tidak memiliki wewenang atau menggerakkan proses pengembangan atau kualifikasi suatu teknologi SAF baru, melainkan hanya membuat kerangka kerja, proses, dan repositori  yang menjadi dasar bagi industri membuat metode pengujian, spesifikasi, klasifikasi, panduan, dan praktik untuk kebutuhan mereka sendiri. 

Bio-avtur atau SAF harus memiliki karakteristik dengan bahan bakar jet konvensional sehingga bisa digunakan dimana saja di seluruh dunia. Bahan bakar jet A terutama digunakan di AS dan jet A1 di seluruh dunia. Bahan bakarnya dapat dipertukarkan. Perbedaan utama antara kedua jenis ini adalah bahwa Jet A1 memiliki titik beku yang lebih rendah (-47oC, vs. -40oC) dan biasanya memiliki aditif penghilang statis (SDA) yang ditambahkan untuk membantu mengurangi penumpukan statis dalam bahan bakar selama penerbangan. Jet A1 adalah bahan bakar pilihan untuk penerbangan antarbenua. Mengingat volatilitas bahan bakar jet, komponen yang lebih disukai adalah hidrokarbon dalam kisaran parafin C10 hingga C15. Lebih jauh, untuk memenuhi spesifikasi titik beku (-47oC), parafin ini harus banyak bercabang untuk mencapai titik beku rendah tersebut. Hal ini sehingga bio-avtur atau SAF tersebut harus memiliki ikatan atom karbon atau ikatan C direntang C10-C15, dan pada rentang tersebut minyak inti sawit dan minyak kelapa paling sesuai karena tingginya komposisi asam laurat yang terdiri 12 atom C.  

HVO / HEFA - SPK (Hydro-processed Esters and Fatty Acids-Synthesized paraffinic kerosene) adalah parafin terbarukan (renewable paraffin) dengan sifat pembakaran yang mirip dengan parafin terbarukan lainnya seperti cairan Fischer-Tropsch, yang diproduksi melalui gasifikasi biomassa dan sintesis kimia. HVO / HEFA dapat diproduksi di fasilitas khusus yang menghasilkan 100% HVO, atau dapat diproses bersama (co-processing) dengan minyak fosil di kilang minyak. Dalam pemrosesan bersama, umpan berbasis bio yang biasanya 5-10% dicampur dengan umpan fosil. Proses HVO /HEFA selain untuk produksi renewable diesel (yang berbeda dengan biodiesel – FAME) juga dapat dimodifikasi untuk menghasilkan bio-avtur / SAF untuk aplikasi bahan bakar jet. AltAir Fuels memasok SAF berbasis HVO / HEFA dan memproduksi sekitar 13 juta liter per tahun.

HEFA diproduksi dengan hidrogenasi dan hidrocracking minyak nabati maupun lemak binatang menggunakan hidrogen dan katalis pada suhu dan tekanan tinggi. Pada hydroteating process ini, oksigen dilepaskan dari feedstock yang terdiri dari trigliserida dan / atau asam lemak ini. Hal ini akan menghasilkan hidrokarbon rantai lurus (paraffin) dengan berbagai properti dan ukuran molekul tergantung dari karakteristik bahan baku dan kondisi operasi proses yang dilakukan. Dengan tingginya kandungan laurat pada minyak inti sawit dan minyak kelapa maka yield akan tinggi karena kandungan minyak tersebut berada pada rentang bio-avtur yakni C10 - C15 . Hal ini berbeda apabila menggunakan vegetable oil yang rantai karbonnya lebih panjang misalnya CPO, minyak nyamplung atau minyak kanola. Apabila menggunakan minyak nabati dengan rantai panjang maka yield akan kecil dan perlu proses cracking extra untuk meningkatkan yield bioavtur atau SAF nya. 

Konversi ini biasanya melalui dua tahap yakni hydrotreatment lalu diikuti dengan hydrocracking/isomerisasi. Proses hydrotreatment ini biasanya dilakukan pada suhu 300 -390 C dan untuk treatment trigliserida, biasanya akan dihasilkan propana sebagai produk samping. Semakin banyak hidrogen ditambahkan semakin sedikit propana yang dihasilkan.  Produk akhir hidrokarbon rantai lurus tersebut bisa disesuaikan sesuai tipe bahan bakar tertentu misalnya untuk bio-avtur atau bio jet fuel atau SAF ini, yakni dengan isomerasi dan proses cracking tersebut. Hidrogen yang digunakan dalam produksi HEFA saat ini sebagian besar berasal dari sumber fosil atau blue hydrogen. Katalis untuk ini dapat berupa katalis hidroproses kilang sederhana (simple refinery hydro-processing catalysts). Katalis ini dapat disesuaikan untuk mengisomerisasi rantai parafin guna menurunkan titik leleh (melting point) produk. Jika perlu, tahap isomerisasi kedua digunakan untuk menjalankan tugas ini guna mencapai sifat aliran dingin bahan bakar jet yang dibutuhkan (jet fuel cold flow properties) yakni Jet A atau Jet A-1.

Saat ini Pertamina telah berhasil menghasilkan bio-avtur atau SAF dari minyak inti sawit atau olahan PKO yakni refined bleached deodorized palm kernel oil (RBDPKO) bernama bioavtur J2.4 atau mengandung bahan nabati berupa RBDPKO 2,4%. Produksi bioavtur ini dilakukan melalui metode co-processing Hydrotreated Esters and Fatty Acids (HEFA) dan memiliki kapasitas 9.000 barel per hari. Bioavtur J.24 tersebut telah sukses dilakukan uji terbang komersial pada pesawat Boeing 737-800 NG milik PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) pada 4 Oktober 2023. Dan untuk ke depan selain dari sekgi kuantitas yakni porsi minyak nabati (PKO) lebih besar bahkan juga penggunaan minyak nabati lainnya seperti minyak kelapa, minyak CPO, minyak nyamplung dan sebagainya, juga diharapkan kualitas bioavtur juga semakin baik . Selain itu ada juga rencana dari lembaga lain yakni produksi biovatur atau SAF dari minyak kelapa dengan kerjasama dengan Jepang.  

Dalam industri bahan bakar penerbangan, ASTM berfungsi sebagai standar internasional untuk kualitas bahan bakar jet, dan memainkan peran penting dalam memastikan keselamatan, kualitas, dan keandalan Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (SAF).  ASTM menetapkan persyaratan untuk kriteria seperti komposisi, volatilitas, fluiditas, pembakaran, korosi, stabilitas termal, kontaminan, dan aditif, antara lain untuk memastikan bahwa bahan bakar tersebut kompatibel saat dicampur. ASTM International (American Society for Testing and Materials) adalah organisasi internasional yang mengembangkan standar teknis untuk berbagai bahan, produk, proses, sistem, dan layanan. Bahan bakar jet harus memenuhi spesifikasi kualitas yang ketat agar memenuhi syarat untuk digunakan dalam industri penerbangan.  

Ada beberapa standar dari ASTM terkait bahan bakar jet ini, yakni pertama, ASTM D1655: Ini adalah spesifikasi bahan bakar jet konvensional yang menetapkan persyaratan untuk Jet A dan Jet A-1 yang diproduksi dari minyak bumi. Spesifikasi ini telah digunakan secara global oleh industri penerbangan sejak tahun 1959 untuk memastikan ketersediaan bahan bakar jet yang aman dan konsisten untuk semua pesawat. Kedua, ASTM D4054: Praktik standar ASTM ini mendefinisikan cakupan pengujian properti bahan bakar, rig, dan mesin yang perlu dipertimbangkan saat mengevaluasi bahan bakar jet sintetis baru. Praktik ini juga menjelaskan keseluruhan proses evaluasi dan peran penting produsen mesin dan pesawat untuk memastikan catatan keselamatan bahan bakar jet yang baik dipertahankan dengan bahan bakar baru ini. Ketiga, Jalur ASTM D7566: Sesuai ASTM D4054, jalur mencakup definisi komponen pencampuran bahan bakar jet sintetis sebagaimana didefinisikan oleh: bahan baku yang diizinkan; proses konversi dan atributnya; dan karakteristik akhir dari komponen murni. Semua ini dirinci baik dalam isi D7655 maupun Lampirannya. Jalur tersebut juga akan menentukan persyaratan pencampuran.

Agar jalur produksi SAF baru dapat dimasukkan dalam D7566, bahan bakar tersebut harus menjalani pengujian ekstensif untuk menentukan rasio campuran maksimum dengan bahan bakar jet konvensional dan menunjukkan bahwa campuran tersebut sesuai dengan tujuannya. Prosedur ini diuraikan dalam ASTM D4054, ‘Praktik Standar untuk Evaluasi Bahan Bakar Turbin Penerbangan Baru dan Aditif Bahan Bakar’.

Setiap batch bahan bakar jet perlu disertifikasi sebelum digunakan. Sementara bahan bakar jet konvensional disertifikasi sebagai bahan bakar D1655 (atau turunannya), SAF murni disertifikasi sesuai persyaratan spesifikasi ketat yang tercantum dalam Lampiran D7566 yang terkait dengan jalur produksi SAF. SAF bersertifikasi D7566 dicampur dengan bahan bakar jet konvensional hingga rasio campuran maksimum yang diizinkan. SAF campuran tersebut kemudian disertifikasi sesuai dengan persyaratan campuran D7566, dan dengan demikian secara otomatis menerima sertifikasi D1655, sehingga sepenuhnya sesuai dengan Jet A/A-1 (‘bahan bakar drop-in’) dan siap digunakan dalam infrastruktur dan peralatan bahan bakar jet yang ada. Singkatnya, ASTM sangat penting bagi industri bahan bakar penerbangan karena merupakan dasar standar internasional untuk kualitas bahan bakar jet, dan SAF khususnya.  

Selasa, 05 November 2024

Pellet Daun (Leaf Pellet) dari Kebun Energi

Pellet daun (leaf pellet) kaliandra
Dengan estimasi volume daun 1/4 dari kayu tetapi harga pellet daun sekitar 3 kali harga pellet kayu (wood pellet)-nya. Maka keuntungan dari pemanfaatan daun menjadi pellet (leaf pellet) sangat besar, perkiraan 1/2 s.d 3/4 dari omset wood pellet.  Padahal daun kaliandra biasa hanya dianggap produk samping atau limbah di kebun energi. 

Dan hampir sama dengan pellet daun (leaf pellet) gamal / gliricidia, jika tanaman tersebut yang ditanam di kebun energinya. 

Sebagai referensi dari pellet daun (leaf pellet) indigofera zollingeriana :

 

Baik kaliandra, gliricidia dan indigofera tersebut adalah kelompok tanaman legum dimana daunnya cocok untuk pakan ternak yang kaya protein. Protein adalah unsur nutrisi paling mahal dalam pakan ternak. 

Minggu, 27 Oktober 2024

100% Complete Line Wood Pellet Machine or Mixed Line Wood Pellet Machine ?

Faktor berupa nilai tingginya nilai investasi untuk pembelian mesin produksi wood pellet (CAPEX) berkualitas tinggi sering menjadi kendala utama para calon produsen wood pellet. Dengan mesin berkualitas tinggi dari A-Z atau 100% complete line maka kendala produksi seperti kuantitas dan kualitas wood pellet biasanya akan dengan mudah bisa diatasi sehingga tujuan bisnis wood pellet bisa tercapai. Hal ini karena dengan konfigurasi 100% complete line tersebut maka kualitas dan kehandalan mesin produksi sudah teruji dan disediakan oleh satu pabrikan misalnya suatu pabrikan merk tertentu dari Eropa. Disinilah bisa dikatakan perfoma atau kinerja mesin dengan biaya berbanding lurus sehingga diharapkan juga cost to benefit ratio sepadan sehingga bisnis tetap menguntungkan. Apalagi kebutuhan mesin wood pellet berkualitas tinggi terutama untuk produksi kapasitas besar sehingga faktor resiko kegagalan bisa dihindari dan diminimalisir.

Lalu bagaimana supaya performa mesin tercapai sehingga target produksi (kualitas dan kuantitas) juga tetap tercapai tetapi dengan nilai investasi (CAPEX) yang lebih murah ? Dengan kondisi seperti ini tentunya perlu suatu upaya modifikasi konfigurasi mesin produksi dari pabrikan lain yang kompatibel atau konfigurasi mixed line.  Sebagai konfigurasi campuran (mixed line) tentu perlu dianalisis bagian atau mesin mana yang harus tetap dipertahankan dengan kualitas terbaik dan mesin-mesin pendukung mana yang bisa menggunakan dari pabrikan lain. Mesin-mesin utama yang memiliki peran vital dari produksi wood pellet seperti pelletiser mestinya harus menggunakan mesin dengan kualitas tinggi sedangkan mesin-mesin pendukung lainnya bisa dengan kualitas lebih rendah atau fungsional saja sehingga menjaga performa target produksi pabrik wood pellet tersebut. Sehingga pada akhirnya bisa saja komposisi atau konfigurasi campuran (mixed line) tersebut yakni 20% mesin Eropa dan 80% mesin Asia dan sebagainya. 

Faktanya memang tidak mudah menemukan pabrikan mesin lain yang kompatibel tersebut terutama faktor rancangan, dan kualitas mesin termasuk performa dan durabilitasnya. Hal ini sehingga perlu mempertimbangkan tentang track record atau success story pabrikan mesin pendukung tersebut. Apabila pabrikan mesin pendukung tersebut sudah ada pengalaman serupa sebelumnya maka hal ini akan lebih baik tetapi jika belum maka faktor resiko kegagalan akan semakin besar. 

Dalam beberapa kasus nyata dalam produksi wood pellet yakni pelletiser sudah menggunakan merk Eropa yang sudah terbukti kualitas performanya tetapi mesin pendukung yang tidak kompatibel sehingga target produksi tidak tercapai, misalnya sebuah pelletiser tersebut membutuhkan input/feeding sawdust kering 3 ton/jam tetapi output dari mesin pengering (rotary dryer) yang menjadi input/feeding ke pelletiser kurang dari itu atau hanya sekitar setengahnya. Jadi untuk bisa mendapatkan harga mesin produksi kapasitas besar dengan performa yang diharapkan sehingga target produksi bisa tercapai dengan investasi (CAPEX) yang “murah” memang tidak mudah tetapi itu mungkin diusahakan dan sudah ada beberapa success story yang membuktikannya.  

 

Sabtu, 19 Oktober 2024

Biochar dari Kayu limbah dan Limbah Kehutanan

Era dekarbonisasi dan bioekonomi terus berlanjut dan semakin berkembang seiring waktu. Ketika sebagian orang fokus pada sektor karbon netral seperti dengan produksi bahan bakar biomasa seperti wood pellet, wood briquette ataupun wood chip, orang-orang yang fokus untuk karbon negatif tampaknya masih lebih sedikit antara lain yakni dengan penggunaan CCS (Carbon Capture and Storage) dan produksi biochar. Dibandingkan CCS, produksi biochar dengan pirolisis lebih mudah dan murah sehingga diproyeksi akan menjadi trend masa depan. Secara logika sebenarnya skenario karbon negatif jauh lebih baik karena selain akan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer, sedangkan skenario karbon netral hanya tidak menambah emisi CO2 di atmosfer, tetapi tidak sampai mengurangi atau menyerap CO2 di atmosfer. Penyerapan CO2 atau biochar carbon removal (BCR) sampai saat ini juga merupakan teknologi carbon removal paling relevan secara industri. BCR adalah solusi kunci untuk mitigasi perubahan iklim yang riil saat ini dan perkembangannya sangat cepat.  BCR juga memiliki peran vital dalam portofolio teknologi karbon removal.


Biomasa kayu-kayuan khususnya dari limbah industri perkayuan maupun limbah-limbah kehutanan adalah bahan baku potensial untuk produksi biochar, bahkan jenis biomasa kayu-kayuan ini adalah bahan baku terbaik karena bisa menghasilkan biochar kualitas tinggi yakni fixed carbon lebih dari 80%. Potensi bahan baku biomasa kayu-kayuan di Indonesia sangat besar yakni diperkirakan 29 juta m3/tahun dari limbah pemanenan hutan, dan 2 juta m3/tahun dari limbah industri pengolahan kayu termasuk 0,78 juta m3 berupa serbuk gergaji (rendemen industri penggergajian kayu berkisar antara 50-60% dan sebanyak 15-20% terdiri dari serbuk gergaji kayu). Dan itu belum termasuk apabila ada suatu perkebunan biomasa atau kebun energi yang didedikasikan untuk produksi biochar.  

Dengan kondisi lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan yang banyak mengalami degradasi maka kebutuhan biochar juga sangat besar. Diantara faktor penyebab menurunnya kesuburan lahan adalah penggunaan pupuk dan pestisida kimia selama puluhan tahun secara terus menerus dan cenderung berlebihan. Hal ini menyebabkan penurunan kualitas tanah yang berimbas pada produksi tanaman karena membuat lahan menjadi bertambah masam dan keras yang diperkirakan mencapai jutaan hektar. Selain itu harga pupuk kimia yang semakin mahal serta sulit diperoleh, yang berakibat pada rendahnya produksi pertanian, sehingga pemerintah terpaksa mengimpor beberapa komoditi pertanian untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi mengingat lahan potensial di Indonesia sangat luas, hanya perlu perbaikan kondisi lahan agar bisa optimal kembali. Membuat lahan rusak menjadi subur tidaklah sulit, hanya dibutuhkan ketekunan untuk memper-baiki dan merawat tanah tersebut agar terus subur. 

Sementara lahan kering berupa tanah ultisol 47,5 juta ha dan oxisol 18 juta ha. Indonesia memiliki panjang garis pantai mencapai 106.000 km dengan potensi luas lahan 1.060.000 ha, secara umum termasuk lahan marginal. Berjuta-juta hektar lahan marginal tersebut tersebar di beberapa pulau, ber-prospek baik untuk pengembangan pertanian namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan tersebut tingkat kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitasnya. Belum lagi lahan pasca tambang yang hampir semuanya sangat rusak yang luasnya juga jutaan hektar. Dan biochar adalah solusi tepat yang dapat mengembalikan kondisi lahan menjadi subur kembali. 

Slow pyrolysis adalah teknologi terbaik untuk produksi biochar. Tetapi teknologi yang digunakan harus efisien dan emisi memenuhi standar ambang batas negara yang bersangkutan. Selain itu juga excess heat dan/atau produk cair dan produk gas dari pirolisis seharusnya juga dimanfaatkan. Dengan kriteria teknologi pirolisis seperti di atas maka selain kualitas dan kuantitas produk yakni biochar bisa dimaksimalkan, proses produksinya juga tidak menimbulkan masalah baru berupa pencemaran lingkungan. Hal tersebut menjadi sangat sejalan dengan aktivitas bisnis biochar sehingga menjadi solusi masalah limbah biomasa industri perkayuan dan limbah kehutanan serta solusi masalah iklim. Bahkan pemanfaatan produk-produk samping (excess heat dan/atau produk cair dan produk gas dari pirolisis) juga bisa mendorong munculnya produk-produk lain yang ramah lingkungan dan terbarukan (enviroment friendly and renewable products). 

Secara keekonomian secara garis besarnya bisa seperti berikut yakni dengan investasi 10 juta US dollar maka akan dihasilkan kurang lebih 200.000 ton biochar dengan lebih dari 400.000 carbon credit selama rentang waktu 10 tahun. Atau jika dengan investasi 100 juta US dollar maka akan dihasilkan hampir 2 juta ton biochar dan lebih dari 4 juta carbon credit dalam rentang waktu 10 tahun. Dan misalkan dengan harga jual biochar 100 dollar per ton dan juga carbon credit 100 dollar per unit (per ton CO2) maka dalam waktu 10 tahun tersebut investasi telah menjadi 6 kali lipat atau hanya dibutuhkan sekitar 1,7 tahun investasi awal tersebut telah kembali (payback period). Tentu ketika harga biochar lebih tinggi dan / atau carbon creditnya maka tentu saja kembali modalnya akan lebih cepat. Dan itupun belum termasuk pemanfaatan produk cair dan gas dari pirolisis serta excess heat yang juga memiliki potensi ekonomi yang tidak kalah menarik. Trend era bisnis di masa mendatang memang tidak hanya fokus pada keuntungan finansial tetapi juga memberi solusi masalah lingkungan dan solusi masalah iklim, serta tentu saja solusi masalah sosial dengan penciptaan lapangan kerja.

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...