Sabtu, 03 Mei 2025

Green Economy Pada Industri Semen Bagian 8 : Sebuah Pendekatan Komprehensif dan Peran Biomasa

Upaya-upaya mengurangi atau menurunkan CO2 di industri semen terus berkembang dengan berbagai metode untuk mencapai target yang memadai. Target global adalah mencapai Net-Zero Emission pada 2050 sedangkan target antara tergantung lebih spesifik pada industri semen itu sendiri, misalnya ada industri semen yang mentargetkan menurunkan emisinya sebesar 35% dengan baseline tahun 1990 pada tahun 2025 dan selanjutnya menjadi lebih dari 40% pada 2030. Hal tersebut secara praktis bisa diterjemahkan menjadi pengurangan emisi CO2 pada produksi semen dari sekitar 800 kg CO2/ton semen, menjadu 520 kg/ton semen pada 2025 dan kurang dai 475 kg / ton semen pada 2030. Untuk mencapai target tersebut industri terebut harus membuat roadmap yang mengacu pada solusi iklim terkini di industri semen ini, sehingga lebih mudah pencapaiannya dengan berbasis sains (Science-Based Targets / SBT). 

Walaupun motivasi untuk menurunkan emisi CO2 hampir sama di seluruh dunia, tetapi perkembangannya tidak semua sama di berbagai kawasan. Eropa adalah kawasan tercepat karena kesiapannya yang didukung sejumlah faktor, antara lain :
• Peraturan yang memprioritaskan penggunaan sumber daya yang efisien dan mempromosikan ekonomi sirkular.
• Insentif ekonomi untuk peralihan bahan bakar ke alternatif yang lebih bersih, yang dalam banyak kasus menghasilkan biaya energi negatif.
• Penerimaan pasar yang lebih besar terhadap semen campuran (blended cement) dan permintaan konsumen terhadap produk rendah karbon.
• Dukungan pemerintah yang signifikan untuk penelitian dan pengujian teknologi yang lebih bersih.
• Peraturan emisi karbon, yang menghasilkan harga karbon yang dapat diprediksi.

Upaya menurunkan emisi CO2 pada pabrik semen secara langsung atau yang terkait langsung pada produksi semen yakni berfokus pada tiga hal, yakni penggunaan bahan bakar alternatif atau energi terbarukan atau bahan bakar rendah karbon, menurunkan emisi dari proses kalsinasi dan penggunaan aditif semen (suppplementary cementious material / SCM) atau lowering clinker factor. Sedangkan upaya tidak langsung yakni bisa dilakukan dengan penggunaan listrik dari energi terbarukan untuk operasional pabrik semen tersebut.

Secara teknis atau pendekatan teknologi dalam mencapai target penurunan emisi CO2 pada industri semen, sektor energi alternatif atau lebih khusus lagi bahan bakar biomasa berada di urutan ketiga. Hal ini karena sumber emisi pada pabrik semen paling besar atau sekitar 60% berasal dari proses kalsinasi (produksi clinker), sedangkan pembakaran atau terkait bahan bakar hanya berkisar 40%. Hal ini sehingga penangkapan karbon atau CCS (Carbon Capture and Storage) dalam upaya mencapai target emisi menempati peringkat pertama, selanjutnya subtitusi clinker dengan bahan aditif atau SCM (Supplementary Cementious Material) menempati urutan kedua, dan penggunaan bahan bakar alternatif termasuk biomasa berada pada urutan ketiga. Teknologi CCS masih mahal sehingga implementasinya masih banyak terkendala, sehingga praktisnya belum banyak dilakukan tetapi subtitusi clinker dan penggunaan energi alternatif termasuk biomasa lebih mudah dilakukan, sehingga banyak pabrik semen yang sudah melakukannya.

Jika upaya menjadi emisi nol karbon (net zero emission) pada PLTU batubara bisa dilakukan dengan mengkonversi bahan bakarnya menjadi biomasa 100%, maka pada pabrik semen tidak bisa dilakukan hanya dengan mengganti bahan bakarnya saja dengan biomasa karena sumber emisi karbon utama pada pabrik semen pada produksi clinkernya. Sehingga apabila pabrik semen melakukan hal tersebut prosentase CO2 yang bisa dikurangi maksimal hanya 40%, artinya emisi CO2 dari proses kalsinasi (produksi clinker) sebesar 60% masih tetap terjadi.   Penggunaan clinker untuk produksi semen bisa dikurangi sehingga emisi CO2 dari produksi clinker bisa dikurangi. Hal itulah mengapa pada pabrik semen penggunaan SCM untuk subtitusi clinker rasio atau porsinya juga mesti ditingkatkan. Tetapi tentu saja tidak mungkin produksi clinker direduksi hingga nol atau meniadakan proses kalsinasi dan seluruhnya digantikan oleh SCM (loweing clinker factor) untuk mengurangi emisi CO2 yang 60% tersebut. 

Hal inilah sehingga semakin tinggi rasio clinker terhadap semen yang dihasilkan (C/S) maka semakin besar emisi CO2 yang dihasilkan dan demikian sebaliknya. China memiliki rasio clinker terhadap semen (C/S) terendah di dunia saat ini yakni 0,58 sedangkan sejumlah area di negara lain ada yang memiliki porsi rasio C/S tertinggi hingga 0,89 yakni di Amerika Serikat. Sedangkan di Eropa 0,77, lalu di India 0,68, di Amerika Latin 0,71 dan  rata-rata global yakni 0,76. Hal tersebut juga bisa dipahami bahwa China menggunakan SCM dengan porsi tertinggi dibandingkan negara-negara di dunia.Hal itulah sehingga untuk mencapai nett zero emission pada pabrik semen perlu ditambah perangkat CCS (carbon capture and storage). 

Tentang CCS (carbon capture and storage )sejumlah inovasi sedang dikembangkan sehingga teknologi ini lebih murah dan mudah diaplikasikan pada pabrik semen. Termasuk juga hal tersebut adalah peningkatan efisiensi penangkapan CO2,  penggunaan pelarut-pelarut generasi baru non-aqueous, serta teknologi modular yang lebih murah. Transformasi CO2 yang ditangkap menjadi produk baru yang dapat dipasarkan juga menjadi fokus berikutnya.  

Penggunaan bahan bakar alternatif dengan kandungan biomasa yang tinggi sangat disarankan untuk pabrik semen untuk mereduksi CO2. Tetapi pada kenyataannya biasanya masih terjadi sejumlah kendala saat implementasinya sehingga bahkan sulit untuk meningkatkan rasionya. Kendala-kendala tersebut seperti ketersediaan, kualitas dan kuantitas limbah biomasa, logistik dan infrastruktur penunjang, dinamika pasar, keekonomian harga bahan bakar berbasis limbah biomasa tersebut dan sejumlah faktor teknis pembatas terkait karakteristik bahan bakar biomasa tersebut. Sejumlah limbah biomasa pertanian atau perkebunan seperti sekam padi, cangkang sawit, cangkang mete dan biji zaitun juga sudah sebagai bahan bakar biomasa di pabrik-pabrik semen. Mendapatkan pasokan bahan bakar biomasa yang volumenya mencukupi, kualitas standar dan kontinyu / berkelanjutan sangat penting bagi pabrik-pabrik semen untuk mendukung penurunan emisi CO2. Dan pada dasarnya tidak ada pilihan bagi pabrik semen untuk menghindar dari masalah iklim, sehingga yang harus dilakukan adalah meresponnya dengan aksi riil. 

Kamis, 17 April 2025

Biochar : Prioritas untuk Kesuburan Tanah atau Solusi Iklim dulu ?

Perspektif atau sudut pandang terhadap biochar sangat dipengaruhi kepakaran atau keahlian seseorang, sedangkan daya dorong aplikasinya sangat dipengaruhi oleh faktor yang menjadi masalah daerah atau kawasan tersebut. Sebagai contoh : ilmuwan iklim melihat tentang perbaikan tanah dari aplikasi biochar sebagai keuntungan tambahan (co-benefit). Untuk ilmuwan tanah atau petani yang menggunakan biochar sebagai soil amendment karena pengalaman praktisnya yang memiliki efek positif pada kesuburan tanahnya dan aspek ekonomis dari pertaniannya, sedangkan keuntungan iklim menjadi keuntungan tambahan (co-benefit). Dan pada kenyataannya akumulasi keuntungan (termasuk ekonomi) dan efektivitas memberi solusi lingkungan tersebut akan mengakselerasi pemakaian biochar di dunia nyata.  

Photo dari sini

Untuk memaksimalkan manfaat terhadap aplikasi biochar, maka kuaitas biochar menjadi sangat penting, atau dengan kata lain sifat-sifat fisika dan kimia biochar mengontrol tingkat keefektifannya untuk berbagai aplikasinya. Sifat-sifat tersebut ditentukan oleh faktor-faktor yakni, bahan baku, kondisi proses serta sebelum dan pasca proses produksinya. Hal tersebut sehingga biochar yang diproduksi berbeda sifat-sifatnya sehingga analisa laboratorium adalah cara yang digunakan untuk memprediksi keefektivan biochar tersebut. Dan juga supaya memenuhi syarat untuk mendapatkan insentif tertentu yang berlaku di negara-negara tertentu, biochar yang diproduksi juga bisa memenuhi kriteria tertentu, misalnya standar yang dibuat oleh IBI (International Biochar Initiative). Maupun untuk mendapatkan carbon credit atau BCR (biochar carbon removal) credit yang telah berlaku secara internasional juga mensyaratkan biochar dengan kriteria dan kualitas tertentu, dan untuk itu produksi biochar harus mengikuti metodologi tertentu sesuai lembaga karbon standar internasional seperti Puro earth, Verra, dan European Biochar Certificate (EBC). Untuk mendapatkan parameter kualitas atau spesifikasi biochar yang sesuai dengan penggunaannya maka dibutuhkan laboratorium tipe tertentu. Tidak banyak laboratorium yang bisa melakukan uji biochar ini. Beberapa laboratorium yang bisa melakukannya antara lain laboratorium analisis kompos, tanah, batubara dan activated carbon. 

Saat ini fokus utama dan telah berjalan lama, yakni penggunaan biochar untuk pertanian, perkebunan dan kehutanan adalah meningkatkan produktivitas / yield. Tetapi, sebenarnya nilai tambah yang dapat ditawarkan oleh biochar dalam aplikasinya di tanah, khususnya dalam budidaya tersebut, tidak hanya mencakup peningkatan hasil panen, tetapi juga menangkal hilangnya humus di dalam tanah, mencegah pencucian nitrat, dan meningkatkan kapasitas penyimpanan air untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan ketahanannya terhadap krisis iklim. Sedangkan bagaimana entry point tercepat untuk industri biochar, untuk lebih detail baca disini.

Jumat, 11 April 2025

Bioeconomy : Carbon Neutral Economy (wood pellet & pks) VS Carbon Sink Economy (Biochar)

Kesiapan dan ketersediaan pasar menjadi faktor penting bagi tumbuh dan berkembangnya suatu bisnis pada umumnya dan bisnis berbasis biomasa pada khususnya. Dan secara global menurut Hawkin Wright, memprediksi penjualan wood pellet mencapai adalah tertinggi diantara bahan bakar biomasa lainnya, yakni lebih dari 27 juta ton/tahun pada 2025. Sedangkan FutureMetric juga memprediksi bahwa pasar untuk wood pellet untuk industri (industrial pellet fuel) dapat mencapai 55 juta ton pada 2030. Dengan demikian kebutuhan wood pellets akan terus meningkat dengan rata-rata lebih dari 5,5 juta ton per tahunnya sejak 2025, sehingga demikian juga untuk produksi wood pelletnya. Selain itu PKS (palm kernel shell) atau cangkang sawit juga menjadi alternatif bahan bakar biomasa selain wood pellet dan PKS merupakan kompetitor utama wood pellet di pasar bahan bakar biomasa global. Tetapi dibandingkan wood pellet, perdagangan PKS global relatif kecil yakni diperkirakan hanya 5 juta ton/tahun. Indonesia adalah produsen terbesar PKS di dunia karena sebanding dengan luasnya kebun sawit serta sebagai produsen minyak sawit / CPO atau pemilik kebun sawit terbesar di dunia.

Sedangkan biochar, khusus untuk Eropa saja diperkirakan ada 51 pabrik biochar baru atau total ada 220 unit, dengan produksi biocharnya diperkirakan menjadi 115.000 ton per tahunnya. Dan produksi biochar global pada tahun 2023 diperkirakan mencapai 350 ribu ton atau ekuivalen dengan 600.000 carbon credit dan diperkirakan akan terus meningkat. Dan pada tahun 2025 ini diprediksi pertumbuhan industri biochar lebih dari 5 lipat dibandingkan pada tahun 2023. Adanya carbon credit menjadi salah motivasi terbesar untuk produksi biochar tersebut. Dengan adanya carbon credit tersebut terjadi lonjakan produksi biochar secara signifikan dari sebelumnya. Sebagai ilustrasi bahwa pada tahun 2023 dari carbon credit biochar ini memberi kontribusi terbesar pada yakni 90% carbon removal di pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) menurut data dari CDR.fyi.

Pasar atau pengguna utama wood pellet (industrial pellet grade) adalah pembangkit-pembangkit listrik yang melakukan cofiring dengan bahan bakar terbarukan yakni berbasis biomasa khususnya wood pellet. Semakin besar ratio cofiring-nya maka semakin besar kebutuhan wood pelletnya. Dengan kapasitas atau ukuran pembangkit listrik ratusan bahkan ribuan MW maka kebutuhan wood pelletnya juga banyak bahkan walaupun dengan cofiring ratio rendah. Trend pembangkit-pembangkit listrik batubara untuk melakukan cofiring semakin besar dan juga peningkatan ratio cofiringnya bahkan sejumlah pembangkit listik batubara bisa beralih 100% menggunakan wood pellet (fulfiring). Selain itu juga sejumlah pembangkit listrik biomasa baik yang 100% dengan wood pellet ataupun PKS juga banyak dibangun dan mulai beroperasi.  Ada target global bahwa porsi pembangkit listrik batubara harus turun hingga 4% (dari kondisi saat ini sekitar 30% ) pada 2030 dan 0% pada 2040 jika dunia ini ingin membatasi pemanasan global pada 1,5 derajad Celcius (2,7 derajad Fahrenheit) dan mencegah terjadinya dampak kerusakan yang parah dari krisis iklim. Hal ini bahkan juga yang membuat sejumlah perusahaan batubara di Indonesia mengembangkan energi terbarukan khususnya wood pellet dari kebun energi.

Sedangkan biochar walaupun potensi pasarnya juga sangat besar, tetapi masalah karena kesadaran (awareness) yang masih rendah sehingga edukasi dan sosialisasi masih perlu ditingkatkan. Seperti halnya pasar untuk bahan bakar biomasa berupa wood pellet dan PKS / cangkang sawit yang umumnya adalah perusahaan-perusahaan besar (karena juga merupakan emitter CO2 terbesar), maka untuk mengakselerasi industri biochar dibutuhkan pasar atau pengguna berkapasitas besar tersebut. Pertanian-pertanian dan perkebunan-perkebunan besar demikian juga hutan-hutan tanaman energi atau kebun-kebun energi adalah potensi pasar / pengguna besar biochar. Demikian juga lahan-lahan reklamasi pasca tambang yang akan dilakukan revegetasi juga potensi pengguna / pasar besar untuk biochar. Hal ini juga terkait bahwa butuh volume yang signifikan untuk bisa menghasilkan volume penyerapan CO2 (carbon sequestration / carbon sink) yang memadai. Sedangkan dari sisi pertanian atau perkebunan atau aplikasi ke tanah terkait penggunaan biochar bahwa selama ini, ketika mempertimbangkan efek biochar, fokusnya hanya pada peningkatan hasil panen. Namun, nilai tambah yang dapat ditawarkan biochar dalam penerapannya di tanah, setidaknya dalam sistem pertanian yang optimal, tidak hanya mencakup peningkatan hasil panen, tetapi juga menangkal hilangnya humus di tanah, mencegah pencucian nitrat, dan meningkatkan kapasitas penyimpanan air untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan ketahanannya terhadap krisis iklim. 

Dan pada dasarnya baik produksi bahan bakar biomasa seperti wood pellet maupun material penyerap karbon (carbon sink) seperti biochar akan berdampak positif bagi iklim, bahkan keduanya bisa saling mendukung seperti apabila biochar digunakan untuk kebun energi dan lalu produk kayu dari kebun energi tersebut digunakan untuk produksi wood pellet, lebih detail baca disini. Penggunaan energi terbarukan akan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer karena tidak menambah konsentrasi CO2 tersebut atau carbon neutral, sedangkan biochar akan mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer karena menyerap CO2 di atmosfer di dalam biomasa yang kemudian dikonsentrasikan karbonnya dengan pirolisis sehingga menjadi biochar, atau carbon negative. Bahkan membuat carbon sink, tetapi tidak mengurangi sumber emisinya adalah upaya yang sia-sia atau tidak relevan, lebih detail baca disini. Jadi bioeconomy dengan carbon neutral economy yakni bahan bakar biomasa seperti wood pellet atau PKS maupun carbon sink economy yakni dengan biochar akan banyak terkait dari kesiapan bisnisnya seperti aspek pasar / user, bahan baku untuk kapasitas produksi tertentu, bahan baku dan sebagainya. Karakteristik tersebut perlu dipertimbangkan secara seksama dan komprehensif sehingga menghasilkan keuntungan yang optimal dan berkelanjutan.

Rabu, 19 Maret 2025

Entry Point Tercepat Industri Biochar

Ketika di barat khususnya di Eropa melihat biochar terutama untuk mitigasi iklim yakni sebagai carbon sequestration / carbon sink dan membandingkan dengan berbagai upaya serupa di carbon negative / negative emission technologies dengan kompensasi berupa carbon credits atau BCR (biochar carbon removal) credits maka hal tersebut banyak berbeda dengan khususnya di Asia dan Afrika. Biochar di kedua benua itu terutama untuk meningkatkan kesuburan tanah atau memperbaiki tanah-tanah rusak / terdegradasi sehingga bisa lebih produktif untuk menghasilkan produk pertanian pangan.. Pendekatan yang berbeda itu terutama dilatar belakangi oleh faktor yang mempengaruhinya, yakni khususnya di Eropa ketika masalah perubahan iklim, lingkungan, keberlanjutan dan pemanasan global lebih menjadi konsern mereka maka berbagai upaya yang sejalan dengan itu menjadi penting dan relevan sehingga biochar sebagai salah satu solusi. Sedangkan di Asia dan Afrika, faktor tercukupinya kebutuhan pangan menjadi konsern yang lebih utama. 

Saat ini ada 6 NET (negative emission technologies) atau carbon negative action yang bisa menyerap CO2 dari atomosfer seperti diagram diatas. Pada dasarnya diperlukan skala atau kapasitas yang memadai sehingga upaya mitigasi perubahan iklim bisa berjalan secara efektif dan efisien. Faktor kemudahan, biaya dan manfaat tambahan dari aplikasi-aplikasi teknologi di atas akan mempengaruhi implementasinya. Dari keenam NET tersebut biochar memiliki perkembangan tercepat, hal ini karena biochar bisa memenuhi faktor-faktor di atas. Minat ilmiah dan publik pada Biochar mulai tumbuh pada awal tahun 2010 -an dan telah berkembang pesat sejak itu. Fokus awal penelitian biochar adalah pada terra preta (black earth) dan perbaikan tanah. Dan sekarang telah berkembang ke berbagai bidang, termasuk dalam konteks industri dan konstruksi.

Luasnya lahan terdegradasi yang mencapai puluhan bahkan ratusan juta hektar di Indonesia bisa diperbaiki dengan menggunakan biochar. Apalagi potensi limbah biomasa yang bisa dimanfaatkan juta sangat besar, puluhan juta ton bahkan lebih lebih serta kebutuhan pangan (bahkan bioenergi) juga terus meningkat. Upaya yang bertahap dan berkelanjutan untuk perbaikan lahan tersebut perlu segera dimulai. Perbaikan tanah, sekaligus upaya pengelolaan limbah biomasa, produksi energi sekaligus menjadi solusi iklim dengan NET adalah upaya simultan yang efektif. Hal inilah daya tarik biochar sehingga semestinya menjadi program unggulan bagi berbagai industri yang concern dengan ketahanan pangan dan energi, lingkungan, dekarbonisasi, iklim dan keberlanjutan. Hal ini juga sehingga pembukaan hutan untuk food estate bisa dihindari apabila biochar ini dipilih sebagai solusi. 

Pertanyaannya adalah bagaimana biochar ini bisa segera menjadi solusi dan terimplementasi secara massif ? Peningkatan kesadaran tentang manfaat biochar menjadi pintu masuknya. Selanjutnya perbaikan tanah sebagai aksi riil-nya diikuti carbon credit atau bisa dilakukan secara simultan menjadi entry point tercepat industri biochar di Indonesia. Hal ini selain carbon credits dengan biochar atau biochar carbon removal (BCR) credit telah berlaku secara global juga carbon credits menjadi salah satu daya dorong utama pertumbuhan industri biochar secara global. Bahkan secara global BCR credit menempati peringkat pertama atau lebih dari 90% dalam Carbon Dioxide Removal (CDR) yang terdata di cdr.fyi

Selasa, 18 Maret 2025

Export Domba dan Pellet Pakan Ternak ke Aljazair

Aljazair mencanangkan import domba hingga 1 juta ekor untuk memenuhi kebutuhan Idul Adha. Hal ini karena kebutuhan dalam negeri yang besar sedangkan tidak cukup pasokan dari dalam negeri itu sendiri. Hal tersebut disebabkan karena dalam beberapa tahun terakhir terjadi kekeringan, yang mengakibatkan kekurangan pakan ternak dan kenaikan biaya pakan. Dan karena pakan ternak adalah komponen utama dalam sektor peternakan maka kekurangan pakan dan kenaikan biaya pakan akan sangat berakibat pada produk domba penghasil daging tersebut. Harga domba dan daging domba menjadi sangat tinggi. Dengan memilih impor dalam jumlah besar, pemerintah bertujuan untuk mengatasi kekurangan pasokan di pasar dan menekan kenaikan tajam harga ternak.

Indonesia berpeluang untuk menjadi exportir domba tersebut. Selama pakan tersedia maka peternakan domba tidak akan mengalami kendala berarti. Pakan-pakan domba tersebut bisa diupayakan di banyak tempat di Indonesia, bahkan dengan iklim tropis semestinya memproduksi pakan ternak domba bukan hal yang sulit. Apalagi saat ini juga sejumlah kebun energi telah dibuat dengan tanaman kebun energi tersebut juga sekaligus menghasilkan pakan ternak dari daunnya seperti kaliandra dan gamal. Luasnya kebun energi tersebut yang mencapai puluhan ribu hektar juga akan menghasilkan pakan ternak domba tersebut sangat banyak. Hal ini juga dimungkinkan untuk mengeksport pellet pakan berupa pellet daun tersebut, dan sementara kayu dari kebun energi tersebut digunakan untuk produksi wood pellet.  

Sumber berita : Hidayatullah

Kamis, 06 Maret 2025

Biochar untuk Kebun-Kebun Energi

Rendahnya produktivitas kayu dari kebun-kebun energi menjadi salah satu penghambat berkembangnya kebun energi. Walaupun tanaman kebun energi seperti kaliandra bisa tumbuh pada lahan-lahan marjinal atau lahan-lahan kritis, tetapi kualitas tanah tersebut berpengaruh pada produktivitas kayu yang dihasilkan. Hal tersebut sehingga menjadi penting untuk meningkatkan kualitas tanah kebun-kebun energi tersebut sehingga bisa menghasilkan produktivitas tanaman yang optimal. Biochar bisa menjadi solusi efektif untuk hal tersebut. Limbah-limbah biomasa yang banyak mencemari lingkungan bisa dimanfaatkan untuk produksi biochar ataupun produk-produk kayu dari kebun energi tersebut bisa sebagian untuk produksi biochar.

Kebun-kebun energi dan biochar adalah dua hal yang positif bagi solusi iklim. Kebun-kebun energi untuk produksi bahan bakar biomasa yang carbon neutral seperti wood pellet, sedangkan biochar untuk meningkatkan kualitas tanah, menghemat pemakaian pupuk dan sebagainya serta sebagai carbon sequestration / carbon sink yang carbon negative. Solusi biochar untuk kebun-kebun energi akan memaksimalkan upaya CO2 reduction dan sustainibility. Luasnya kebun-kebun energi karena mengejar target produksi kuantitas bahan bakar biomasa yang berarti sebanding dengan penggunaan lahan dan juga sebanding dengan penggunaan biocharnya. Hal ini sehingga produksi biochar skala industri dibutuhkan untuk mendukung hal tersebut, lebih detail baca disini. Semakin rusak tanah-tanah atau lahan-lahan kritis tersebut maka kebutuhan biochar akan semakin besar. Dan produksi biochar kapasitas besar tersebut berpeluang mendapat carbon credit atau BCR (Biochar Carbon Removal) credit yang bisa menjadi daya dorong tumbuhnya industri-industri biochar.  

Lahan-lahan kritis dan lahan marjinal semestinya diprioritaskan sebagai lahan-lahan kebun energi. Hal ini selain akan memulihkan kualitas lahan dan akan memberi nilai tambah penggunaan lahan serta upaya mencegah terjadinya bencana. Legalitas lahan juga menjadi perhatian penting. Lahan harus clear and clean artinya bebas dari sengketa sehingga tidak menimubulkan masalah di kemudian hari. Selanjutnya lahan hutan tanaman industri (HTI) yang memang sesuai peruntukannya hutan produksi juga bisa digunakan untuk lahan kebun energi tersebut. Seberapa rusak atau terdegradasinya lahan-lahan tersebut akan menentukan seberapa banyak atau dosis penggunaan biochar. Sedangkan pembuatan kebun energi dari alih fungsi lahan dari hutan lindung / hutan konservasi ke hutan produksi seharusnya dilarang, karena alih-alih akan menyelamatkan lingkungan tetapi malah dampak buruk terhadap lingkungan semakin besar. Jadi membuka lahan hutan (deforestasi) untuk kebun energi sama sekali tidak dianjurkan.  

Minggu, 02 Maret 2025

Taiwan, Pasar Baru Wood Pellet Asia

Setelah Jepang dan Korea menjadi pasar utama wood pellets di Asia selama bertahun-tahun, selanjutnya Taiwan diprediksi akan muncul sebagai tujuan baru pasar wood pellet di Asia. Hal ini karena kebijakan energi Taiwan mentargetkan 20% penggunaan energi terbarukan pada tahun 2025. Yakni dengan berfokus pada transisi energi dari batubara dan bahan bakar fosil lainnya ke sumber energi terbarukan termasuk biomasa, matahari dan angin untuk meningkatkan energi terbarukan dari 10% ke 20% pada 2025. Undang-undang penurunan dan pengelolaan gas rumah kaca (Greenhouse Gas Reduction and Management Act) mensyaratkan penurunan emisi karbon tahunan sebesar 20% pada 2030 dan 50% pada 2050, dibawah 2005 atau penurunan 53 juta ton ekuivalen CO2 pada 2030 dan 133 juta ton pada 2050. Hal tersebut juga bagian dari visi Taiwan bebas nuklir dan mendukung tujuan nasional untuk mencapai net-zero carbon emission pada 2050. Pengembangan energi terbarukan adalah implementasi terpenting untuk mencapai tujuan tersebut dan wood pellet menjadi prioritas utama. Taiwan akan mengimport wood pellet dalam jumlah cukup besar untuk mencapai sasaran produksi baru energi hijaunya. 

Kebutuhan wood pellet di Taiwan mencapai jutaan ton atau lebih detail perkiraannya adalah 1.7 juta ton per tahun khusus untuk Taiwan Power Company, yang segera akan dilaksanakan ketika kebijakannya diterapkan. Dan ada juga sejumlah pembangkit listrik independent yang menggunakan boiler batubara untuk menghasilkan listrik khususnya industri plastik, kilang minyak bumi dan pembuatan kertas. Saat ini energi terbarukan terhitung kurang dari 10% dari total output energi di Taiwan. Sedangkan pemerintah bertujuan memiliki 778 megawatts (MW) pembangkit listrik berbasis biomasa pada 2025, memungkinkan produksi sebanyak 4.1 milyar kWh.

Negara-negara produsen-produsen besar wood pellets dunia mengarahkan pandangannya ke Taiwan seperti Amerika Serikat, Vietnam dan Kanada. Vietnam bahkan telah menjadi produsen wood pellet terbesar kedua di dunia, dengan menggeser Kanada.  Dan secara nasional, eksport produk-produk kayu Vietnam lebih dari 70% merupakan adalah furniture dan  interior application, 7% untuk panel berbahan dasar kayu, 17% wood chip dan 5% untuk wood pellets. Dan untuk menghasilkan produk-produk tersebut, Vietnam juga mengimport kayu dalam jumlah besar dari lebih 114 negara dan 700 spesies / subspesies, sebesar $3.1 milyar dalam bentuk kayu gelondongan, kayu gergajian dan kayu lapis serta mengimport hampir 2 juta meter kubik kayu keras tropis.   

Pada dasarnya negara-negara produsen besar wood pellet berlomba-lomba ingin meyakinkan Taiwan sebagai pengguna atau pembeli wood pellets tentang kemampuan suplai, termasuk kuantitas dan kualitas, kehandalan logistik dan keberlanjutan pasokannya. Walaupun pasar Jepang dan Korea terus bertumbuh tetapi penetrasi ke pasar baru akan menambah para produsen tersebut. Bahkan di Jepang pembangkit listrik baru juga banyak dibangun sehingga kebutuhan wood pellet juga semakin besar. Selain itu peningkatan rasio cofiring pada pembangkit-pembangkit listrik di Jepang juga akan meningkatakan permintaan wood pellet. 

Dan secara global menurut Hawkin Wright, penjualan wood pellet mencapai adalah tertinggi diantara bahan bakar biomasa lainnya, yakni lebih dari 27 juta ton/tahun pada 2025. Sedangkan FutureMetric bahwa pasar untuk wood pellet untuk industri (industrial pellet fuel) dapat mencapai 55 juta ton pada 2030. Dengan demikian kebutuhan wood pellets akan terus meningkat dengan rata-rata lebih dari 5,5 juta ton per tahunnya sehingga demikian juga untuk produksi wood pelletnya. Indonesia tetap memiliki potensi yang besar untuk menjadi produsen wood pellet dunia karena potensi bahan baku yang bisa diupayakan, baik dari limbah-limbah industri kayu dan kehutanan maupun dari kebun energi. Dengan lokasi yang tidak terlalu jauh dengan Taiwan (dibanding negara produsen wood pellet seperti Amerika Serikat dan Kanada) sehingga biaya logistik atau transportasi lebih murah, maka peluang untuk bersaing juga cukup besar. Selain itu PKS (palm kernel shell) atau cangkang sawit juga menjadi alternatif bahan bakar biomasa selain wood pellet dan sebagai produsen minyak sawit / CPO atau pemilik kebun sawit terbesar di dunia maka Indonesia nomer satu untuk itu. 

Green Economy Pada Industri Semen Bagian 8 : Sebuah Pendekatan Komprehensif dan Peran Biomasa

Upaya-upaya mengurangi atau menurunkan CO2 di industri semen terus berkembang dengan berbagai metode untuk mencapai target yang memadai. Tar...