Kamis, 10 Oktober 2024

Peningkatan Produktivitas Pertanian Pangan : Aplikasi Biochar atau Buka Hutan Untuk Food Estate ?

Indonesia saat ini menempati peringkat 69 dari 113 negara pada tahun 2022 dalam ketahanan pangan dan ini lebih rendah daripada Malaysia dan Vietnam dengan poin indikatornya dibawah rata-rata global. Kondisi ini memprihatinkan mengingat Indonesia pernah menjadi swasembada pangan sebelumnya bahkan harga beras di Indonesia paling mahal di ASEAN. Upaya mempertahankan produktivitas pangan memang menjadi tantangan tersendiri apalagi untuk meningkatkannya. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat maka otomatis kebutuhan pangan juga semakin meningkat. Upaya menurunnya produksi dan produktivitas pangan terkait dengan sejumlah faktor antara lain alih fungsi lahan menjadi lahan non-pertanian, dan kerusakan tanah / lahan. Sejumlah peraturan dibuat untuk menahan laju penurunan produktivitas pangan akibat dua hal tersebut. 

Terkait kerusakan lahan upaya perbaikan perlu dilakukan sehingga produktivitas pertanian meningkat. Diperkirakan area kerusakan lahan yang terjadi sangat luas dengan tingkat keparahan tinggi. Hal ini sehingga menuntut upaya perbaikan bertahap dan berkelanjutan dengan berbagai strategi termasuk perbaikan pola bertani bahkan sejumlah insentif. Hanya dengan upaya ini sektor pertanian sebagai sumber pangan bisa diperbaiki atau jika tidak maka kerusakan lahan pertanian semakin parah sehingga upaya perbaikan juga semakin sulit. 

Aplikasi biochar atau buka hutan untuk lahan food estate ?
Aplikasi biochar akan mampu memperbaiki lahan-lahan rusak tersebut. Selain sebagai agen pupuk lepas lambat sehingga pemakaian pupuk menjadi efisien dan tidak mencemari lingkungan, menaikkan pH tanah, meningkatkan karbon organik tanah serta meningkatkan produktivitas pertanian, biochar juga akan membantu mengatasi pengelolaan limbah-limbah pertanian yang selama ini banyak mencemari lingkungan.  Peningkatan produktivitas pertanian dari penggunaan biochar rata-rata sekitar 20%. Jika produksi beras Indonesia saat ini berkisar 31 juta ton per tahun, maka aplikasi biochar akan meningkatkan produksi beras total menjadi 37,2 juta ton (terjadi kenaikan 6,2 juta ton). Dengan rata-rata produksi beras per hektar 6 ton maka kenaikan 6,2 juta ton tersebut ekuivalen dengan menmbah luas lahan pertanian 1,03 juta hektar. Bahkan lahan-lahan rusak dari pasca tambang bisa direklamasi dan rehabilitasi dengan aplikasi biochar tersebut, dengan luasan lahan juga mencapai jutaan hektar. Hal ini tentu lebih baik daripada pembukaan lahan hutan baru untuk food estate karena dampak lingkungannya.   

Seiring dengan pertumbuhan populasi manusia, kebutuhan akan pangan dan energi akan terus meningkat. Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2045 diperkirakan mencapai 319 juta jiwa dan jumlah penduduk dunia pada tahun 2050 mendekati 10 miliar jiwa. Kebutuhan dan urgensi biochar untuk memperbaiki kualitas tanah semakin tinggi. Puluhan juta hektar dari seluruh tanah masam Indonesia yang tergolong tanah masam lahan kering perlu diperbaiki dengan biochar. Artinya potensi bisnisnya mencapai miliaran dolar atau trilyunan rupiah. Sedangkan import beras tahun 2024 ditargetkan mencapai 3,6 juta ton (sebagai buffer), jumlah yang besar.  Dengan kebutuhan beras tahunan sekitar 31 juta ton, maka kontribusi beras import mencapai 10% lebih.

Biochar selain memperbaiki kerusakan tanah sehingga meningkatkan kesuburannya yang pada akhirnya meningkatkan produktivitas pertanian juga sebagai bagian dari solusi iklim yakni dengan cara carbon sequestration. Biochar yang diaplikasikan ke tanah tersebut akan bertahan ratusan bahkan ribuan tanah, dan tidak terdekomposisi. Hal inilah menjadi faktor keuntungan lainnya bagi produsen biochar yakni mendapatkan carbon credit. Kualitas biochar akan menentukan perolehan atau harga carbon credit tersebut, sehingga bahan baku biochar serta proses produksinya berpengaruh. Harga carbon credit semakin meningkat sehingga semakin menarik dan juga pasar carbon credit yang terus bertambah.

Kerusakan tanah atau lahan pertanian yang terjadi banyak disebabkan oleh pemakaian pupuk kimia yang berlebihan. Apabila pemakaian pupuk kimia tersebut bisa dikurangi dosisnya atau dengan penggunaan secukupnya maka akan terjadi perbaikan kualitas lahan. Bahkan apabila pupuk kimia secara bertahap pupuk kimia terus dikurangi dosisnya dan pupuk organik / kompos semakin ditambah sehingga pada akhirnya pupuk kimia tidak digunakan sama sekali maka kesuburan tanah akan optimal demikian juga produktivitas pertaniannya. 

Photo dari sini

Hal tersebut tentu saja membutuhkan waktu dan upaya yang berkelanjutan. Peternakan juga mesti digalakkan sehingga kompos / pupuk organik juga bisa diproduksi secara cukup memadai dari pengolahan kotoran ternak tersebut. Pertanian terpadu (integrated farming) dengan peternakan tersebut menjadi solusi terbaik perbaikan lahan-lahan pertanian dengan biochar terutama meningkatkan efisiensi pemupukan tersebut. Apabila hal-hal diatas bisa diimplentasikan dengan baik maka pembukaan hutan untuk lahan food estate juga bisa diperlambat / ditahan dengan memperhatikan semua aspek secara komprehensif sehingga bukan pilihan solusi jangka pendek yang cenderung dipaksakan, dan buru-buru karena upaya pencitraan rezim bahkan dengan biaya ratusan trilyun.        

Rabu, 02 Oktober 2024

Mendorong Industri Permesinan Untuk Mendukung Industri Bioenergi

Ketika menyadari bahwa Indonesia adalah “surga” biomasa sehingga potensial menjadi pemimpin dunia di bioenergi maka semestinya sejumlah upaya dilakukan untuk mendukung hal tersebut. Peralatan atau mesin produksi adalah salah satu komponen yang mendukung hal tersebut. Sebagai contoh produksi wood pellet kapasitas besar biasa mengandalkan mesin-mesin Eropa yang terbukti handal sehingga tujuan bisnis wood pellet bisa tercapai. Analisis cost to benefits ratio digunakan dalam pemilihan mesin-mesin Eropa tersebut. Tetapi karena membeli mesin Eropa dengan lini produksi lengkap (complete line) mahal maka penggunaan mesin kombinasi menjadi alternatif. Kompleksitas dan jantung dari suatu proses produksi biasanya terletak hanya pada alat utama dan ini yang masih import, sedangkan alat-alat pendukung semestinya bisa dengan peralatan produksi lokal. 

Ketika peralatan produksi bisa bekerja sesuai kapasitas dan fungsinya maka target produksi (kuantitas dan kualitas) akan bisa tercapai. Memilih sejumlah perlatan pendukung yang sesuai dan mampu beroperasi sesuai kebutuhan alat utama bukan hal yang mudah. Mendapatkan partner produsen mesin lokal untuk mendapatkan kecocokan antara karakteristik mesin utama dan mesin pendukung memang perlu waktu dan proses. Tetapi untuk bisa berperan dan mengurangi resiko dalam era dekarbonisasi maka bisa dimulai dengan mendukung beberapa peralatan pada kapasitas kecil atau terbatas pada alat-alat tertentu saja. Faktor rekayasa dan desain menjadi faktor utama yang penting sebelum fabrikasi peralatan-peralatan mendukung tersebut. 

Tentu saja apabila sejumlah faktor pendukung terpenuhi seperti penguasaan iptek, pengalaman, organisasi perusahaan yang baik dan sebagainya maka produksi 100% peralatan produksi atau complete line bisa dilakukan. Hal itu tentu butuh waktu dan upaya yang tidak sederhana, seperti mempertahankan performa kualitas produk mesinnya sehingga memberi kepuasan bagi pengguna dengan harapan performa bisnis juga meningkat dan riset berkelanjutan. Dan dengan secara bertahap menjadi bagian untuk ikut aktif di berbagai proyek bioenergi maka penguasaan teknologi melalui transfer teknologi juga memungkinkan terjadi. Menjadi bagian solusi dan berperan di dalamnya adalah hal penting dilakukan termasuk pada industri permesinan yang mendukung industri bioenergi tersebut.   

Minggu, 29 September 2024

Industrial Wood Briquette Menjadi Alternatif Antara Wood Chip dan Wood Pellet

Bahan bakar biomasa adalah bahan bakar atau energi terbarukan yang saat ini posisinya sebagai salah satu bahan bakar atau energi alternatif. Tetapi seiring kesadaran akan berbagai masalah iklim maka penggunaan energi alternatif dari biomasa semakin meningkat dari waktu ke waktu. Trend dekarbonisasi sebagai respon terhadap masalah iklim tersebut  merambah ke semua lini kehidupan termasuk sektor industri. Sebagai industri yang berorientasi profit tentu saja upaya memaksimalkan menjadi perhatian utama termasuk dalam pemakaian bahan bakar alternatif tersebut. Ada aneka tipe bahan bakar yang bisa diproduksi dari biomasa dan khususnya untuk bahan bakar padat antara lain wood chip, wood pellet dan wood briquette. Karakteristik bahan bakar tersebut ada sedikit perbedaan antara satu dan lainnya termasuk juga biaya produksinya. Perlu melihat lebih teliti dan mendalam sehingga bisa mendapatkan bahan bakar biomasa terbaik sesuai tujuan industri tersebut.  

Industrial wood briquette adalah wood briquette yang diproduksi dengan mechanical piston press. Hal ini berbeda dengan briquette yang diproduksi dengan hidrolik dan extruder. Industrial briquette bisa diproduksi dalam jumlah besar dengan biaya lebih murah dibandingkan briquette yang diproduksi dengan hidrolik maupun extruder. Dan apabila dibandingkan dengan wood pellet maka industrial wood briquette ini juga lebih murah biaya produksinya. Tetapi tentu saja biaya produksi lebih mahal dibandingkan wood chip. Wood chip bisa dikatakan sebagai bahan bakar biomasa paling mudah dan murah untuk diproduksi. 

Hal tersebut menempatkan industrial wood briquette menempatkan posisinya diantara wood chip dan wood pellet ataupun briquette tipe hidrolik dan extruder. Sebagai produk pemadatan biomasa (biomass densification) industrial wood briquette juga menjadi lebih ekonomis untuk transport jarak jauh. Selain itu sejumlah boiler industri juga sudah dirancang khusus untuk bisa menggunakan bahan bakar industrial wood briquette ini bahkan secara automatic feeding. Faktor lain seperti keseragaman bentuk, ukuran bisa bervariasi dan kadar air rendah adalah keunggulan-keunggulan lain dari industrial wood briquette ini.

Para pengguna boiler di industri bahkan PLTU bisa mempertimbangkan penggunaaan industrial wood briquette ini. Apalagi untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak pada utilitas industri seperti penyedia kukus (steam) bagi industri-industri pengolahan sehingga operasional dan perawatan boiler termasuk penggunaan bahan bakar biomasanya menjadi tanggungjawab perusahaan tersebut. Dengan kontrak penyediaan kukus (steam) jangka panjang misalnya berkisar 5-10 tahun maka penyediaan bahan bakar biomasa berupa industrial wood briquette dalam jangka waktu tersebut juga sangat penting. Selain faktor ketersediaan bahan baku yang mencukupi, legal dan berkelanjutan, aspek kehandalan mesin produksi industrial wood briquette tidak bisa dikesampingkan. 

Rabu, 18 September 2024

Belajar dari Kesuksesan Industri Wood Pellet di Asia (Vietnam) dan Eropa (Latvia)

Trend penggunaan wood pellet secara global belum lama yakni baru dimulai sekitar awal 2010an dan sejumlah negara meresponnya dengan cepat sehingga industri wood pelletnya berkembang cepat sebagai bagi bagian mesin ekonomi mereka yang sejalan dengan trend global untuk dekarbonisasi dan ekonomi hijau atau bioekonomi. Kesiapan sejumlah negara untuk merespon peluang tersebut juga bukan cuma tanpa alasan tetapi memang wawasan dan pengetahuan mereka telah mendukung untuk melakukannya. Indonesia sebagai negara tropis dan lahan luas serta SDM yang berlimpah seharusnya bisa menggenjot juga peluang industri wood pellet ini sehingga menjadi salah satu pemain utama dunia. 

Vietnam dan Latvia adalah dua negara di dunia yang saat ini memimpin industri wood pellet ini bahkan ada pabrik wood pellet terbesar di dunia ada di sana, untuk lebih detail baca disini. Pada awalnya kedua negara tersebut juga memulai industri ini dari kapasitas kecil. Untuk Vietnam, produksi wood pellet Vietnam dimulai pada tahun 2012 dengan kapasitas sangat kecil yakni sekitar 175 ton/tahun dan saat ini tahun 2021 atau sekitar 9 tahun kemudian produksinya telah mencapai sekitar 4,5 juta ton/tahun sehingga menempatkan Vietnam diurutan kedua sebagai produsen wood pellet dunia, setelah Amerika Serikat. Produksi total 4,5 juta ton/tahun tersebut disuplai dari 74 pabrik wood pellet di Vietnam. Pada tahun 2020 mengeksport wood pellet sebanyak 3,2 juta ton ke Jepang dan Korea untuk pembangkit listrik dengan nilai export mendekati USD 351 juta. Selain ke Korea dan Jepang, wood pellet produksi Vietnam juga di export ke Eropa.

Pada awalnya produksi wood pellet Vietnam menggunakan limbah dari industri mebel. Limbah mebel berupa serbuk kayu dari industri tersebut sudah kering dan ukuran partikelnya sudah sesuai untuk produksi wood pellet, sehingga alat berupa hammer mill dan pengering (dryer) tidak dibutuhkan. Banyak pabrik wood pellet Vietnam waktu itu tidak memiliki alat hammer mill ataupun dryer tersebut. Dengan bahan baku yang siap untuk dipellet tersebut maka biaya produksi wood pellet sangat murah ditambah lagi biaya tenaga kerja yang juga murah. Tetapi seiring permintaan limbah industri mebel untuk produksi wood pellet semakin tinggi maka ketersediaan bahan baku tersebut semakin langka, sehingga pabrik-pabrik wood pellet baru tidak bisa lagi menggunakan limbah-limbah tersebut. Limbah industri pengolahan kayu lainnya seperti penggergajian kayu dan pabrik veneer juga menjadi bahan baku. Selanjutnya dengan peningkatan produksi wood pellet semakin besar, limbah-limbah kayu hutan dan kayu bulat lainnya menjadi sumber bahan baku berikutnya. Hal tersebut juga membuat biaya produksi semakin meningkat karena perlu alat seperti hammer mill dan dryer sehingga bahan baku tersebut siap untuk dipellet. 

Sedangkan Latvia, sebagai sebuah negara kecil di Eropa bagian utara melihat peluang untuk memimpin di industri yang sedang tumbuh ini. Dengan wilayahnya yang hampir setengahnya berupa hutan, Latvia memiliki sumber daya alam untuk memproduksi wood pellet. Pada awal tahun 2000an dengan dukungan pemerintahnya untuk pengelolaan hutan yang bertanggungjawab sehingga produksi kayunya bisa berkelanjutan termasuk sejumlah dukungan bagi pengusaha yang akan memulai produksi wood pellet.  Tidak lama berselang, dunia mengetahuinya. Negara-negara seluruh Eropa termasuk Inggris, Denmark dan Italia, mulai mengandalkan produksi wood pellet dari Latvia untuk pemanas ruangan maupun pembangkit-pembangkit listrik mereka. 

Meskipun hanya negara kecil, Latvia menjadi pemain utama dalam industri wood pellet, bersaing dengan negara-negara lebin besar seperti Jerman dan Swedia. Saat ini Latvia menjadi salah satu eksportir terbesar wood pellet di dunia. Kisah sukses Latvia memberi pelajaran bahwa walaupun negara kecil tetapi dengan kemauan kuat, berfokus pada kualitas, inovasi dan keberlanjutan (sustainibility), sumber daya alam (SDA) akan membawa pada kisah kesuksesan global. Kesuksesan Latvia menunjukkan ketika adanya dukungan pemerintah, investasi teknologi, dan orang-orang yang berdedikasi maka walaupun negara kecil dapat memimpin pada pasar global yang kompetitif. Dan ketika semakin hari, dunia semakin mencari solusi untuk energi bersih dan berkelanjutan, kesuksean industri wood pellet Latvia menginspirasi tentang contoh yang bisa diraih dengan visi, kerja keras dan komitmen pada keberlanjutan.

Negeri tropis seperti Indonesia adalah “surga” untuk energi biomasa, energi biomasa ini ibarat baterai hijau yang harus dikembangkan, untuk lebih detail baca disini. Ketika negara-negara kecil seperti Vietnam dan Latvia bisa menggenjot industri wood pellet nya maka sudah semestinya Indonesia tidak mau ketinggalan. Ketika potensi besar tetapi disia-siakan maka selain itu adalah sikap tidak bersyukur sehingga akan berdampak pada kemiskinan dan rusaknya alam juga merupakan suatu kebodohan. Banyaknya lahan tersedia bahkan jutaan hektar menjadi lahan kritis dan multimanfaat dari kebun energi seharusnya memotivasi industri wood pellet. Ketika Vietnam dan Latvia bisa melakukannya Indonesia juga semestinya demikian juga.    

Minggu, 15 September 2024

EUDR dan Saatnya Industri Sawit Mempertimbangkan Biochar ?

Petani kecil sawit Malaysia menggarap lahan seluas sekitar 27% dari total perkebunan sawitnya atau ekuivalen 1,54 juta hektar sedangkan di Indonesia mencapai 41% atau ekuivalen 6,72 juta hektar. Malaysia memilih peningkatan yield atau produktivitas TBS sebagai upaya meningkatkan produksi CPO yakni dengan sebagai binaan perusahaan-perusahaan besar dengan target peningkatan sebesar 600.000 ton/tahun tanpa penambahan luas lahan. Bagi Malaysia membuka perkebunan baru sesuatu hal yang sangat sulit bahkan mustahil apalagi dengan akan diberlakukannya mulai pada EUDR pada 30 Desember 2024 ini. Konsolidasi antar petani sawitnya diharapkan meningkatkan efisiensi sehingga pada akhirnya meningkatkan yield dan income. Luas perkebunan sawit Malaysia sekitar 5,7 juta hektar atau sekitar 1/3 luaslahan perkebunan sawit Indonesia (ssat ini mencapai sekitar 17 juta hektar). Hal tersebut juga menjadi alasan utama mengapa Malaysia memilih intensifikasi perkebunan sawitnya sedangkan di Indonesia cenderung melakukan perluasan lahan sawit, walaupun kedua negara tersebut menghadapi dua isu utama yakni peningkatan produksi dan ketahanan iklim. 

Aplikasi biochar adalah solusi untuk mengatasi dua isu penting di atas. Terkait semakin tingginya tekanan masalah lingkungan, iklim dan keberlanjutan bahkan energi terbarukan, sepertinya biochar akan semakin mendapat perhatian. Ada banyak aspek lahan dan lingkungan yang bisa diperbaiki dengan aplikasi biochar yang muaranya adalah solusi bagi dua isu utama tersebut. Bagi perkebunan kecil aplikasi biochar bisa lebih mudah dilakukan, tetapi bagi perkebunan besar yang dikelola berbagai perusahaan sawit aplikasi biochar perlu pertimbangan lebih kompleks terutama karena faktor resiko luasnya lahan kebun sawit tersebut tetapi tetap saja opsi biochar ini menarik. Penggunaan IoT (Internet of Thing) bisa digunakan monitoring perfoma biochar di lahan tersebut, untuk lebih detail bisa dibaca disini.

Upaya operasional industri sawit untuk semakin ramah lingkungan dan efisien menjadi daya dorong  dan tantangan tersendiri. Dengan besarnya keuntungan dari bisnis industri sawit ini tentu industri sawit tidak akan mengabaikan begitu saja tuntutan terkait lingkungan dan keberlanjutan ini khususnya EUDR. Produsen minyak sawit khususnya Indonesia dan Malaysia dihadapkan pada suatu pedoman baku yang diberlakukan bagi negara-negara penghasil ‘minyak makan’ (edible oil), yaitu bahwa minyak sawit yang akan diekspor harus berasal dari lahan yang sudah dihutankan (reforestasi) sebelum tahun 2020. Kalau tidak, negara produsen akan dianggap sebagai negara yang tidak memperhatikan isu deforestasi dan menghambat ekspor minyak kelapa sawit ke luar negeri.   Berbagai upaya lobi dan negosiasi Indonesia dan Malaysia sebagai dua negara produsen minyak sawit terbesar di dunia kepada Uni Eropa untuk lebih longgar dalam pemberlakuan EUDR tersebut termasuk adanya kecurigaan besar mengapa minyak rapeseed tidak diperlakukan sama seperti minyak sawit. Produksi minyak rapeseed sebagai bahan baku biofuel di Eropa mendapat proteksi dan mengabaikan dampak lingkungannya. 

Indonesia sebagai negara rayuan pulau kelapa memiliki sebuah pengalaman dari komoditas minyak kelapa di masa lalu juga bisa sebagai referensi akan hal ini. Era kejayaan kopra atau minyak kelapa ini berkisar pada dekade peralihan abad 19 ke abad 20 atau lebih pasnya antara 1870-an hingga 1950-an dan puncak kejayaannya pada tahun 1920-an. Mengapa saat ini kopra dan minyak kelapa khususnya terpuruk dan kalah bersaing dengan minyak nabati lainnya? Sejarah panjang tentang persaingan dagang adalah jawabnya. Beberapa pihak, terutama Asosiasi kedelai Amerika atau American Soybean Association (ASA) menuduh minyak kelapa sebagai minyak jahat yang mengandung kolestrol dan lemak jenuh penyumbat pembuluh darah koroner. Tuduhan tersebut tidak pernah terbukti benar, bahkan malah terbukti sebaliknya, tetapi menjadi salah satu sebab utama hancurnya perdangan kopra dan kelapa global. Kampanye dan perang minyak tropis tersebut membutuhkan waktu sekitar 30 tahun atau pada tahun 1950-an hingga akhir tahun 1980-an di Amerika Serikat dan sehingga akhirnya industri kelapa Indonesia terpuruk.

Faktor iklim berupa upaya menolak deforestasi dengan EUDR-nya dan faktor ekonomi berupa produksi minyak sawit akan menjadi perseteruan sengit tetapi cepat atau lambat pasti akan mencapai titik temu yang bisa diterima kedua belah pihak karena saling membutuhkan. Mengalihkan produk CPO ke pasar yang tidak membutuhkan persyaratan lingkungan seperti EUDR sepertinya juga belum waktunya. Lebih lanjut berupa mengatasi dua isu penting pada industri sawit yakni peningkatan produksi dan ketahanan iklim serta sejalan dengan EUDR tersebut maka biochar adalah solusi jitu. Pertanyaannya akankah biochar ini menjadi pertimbangan penting bahkan menemukan momentumnya untuk diaplikasikan di lahan perkebunan-perkebunan sawit terutama bagi Indonesia  dan Malaysia ? Dan pemberlakuan EUDR sebagai daya dorongnya.  

Jumat, 30 Agustus 2024

Kebun Energi : Mengapa Kaliandra (Calliandra Calothyrsus) atau Gamal (Gliricidia Sepium) ?

Sejak tahun 1937 kaliandra telah ditanam di Perhutani dan daerah yang lebih luas bersamaan dengan program penghijauan dan pendukung kayu bakar dan pakan ternak. Dan juga sejak tahun 1974, Perhutani telah menyebarkan bibit kaliandra kepada petani hutan dan memanfaatkannya sebagai tanaman batas antara kawasan hutan dan daerah pedesaan atau lahan pertanian. Budidaya kaliandra pada saat itu terutama ditujukan untuk menyediakan kayu bakar dan pakan ternak bagi masyarakat yang tinggal di hutan, dan mengurangi ketergantungan pada minyak tanah untuk memasak. Kaliandra digunakan sebagai tanaman teras (penahan erosi) dengan kemiringan tinggi untuk memperkuat perkebunan utama, misalnya dengan perkebunan jati, dan juga untuk tujuan perlindungan tanah, karena dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui kemampuan akarnya untuk menyerap nitrogen dalam bentuk bintil akar.

Sedangkan jenis tanaman gliricidia banyak digunakan sebagai tanaman tepi atau tanaman pagar untuk mencegah ternak besar memasuki hutan. Kayunya digunakan sebagai kayu bakar dan daunnya digunakan sebagai pakan ternak. Kayunya dapat dipanen dengan cepat, dan pemangkasannya juga dilakukan dengan proses yang cepat. Sehingga dapat dikatakan bahwa, tidak direkomendasikan untuk menanam spesies baru yang memiliki karakteristik yang tidak diketahui sampai ada kegiatan penelitian yang memadai tentang spesies tersebut. 

Sebagai contoh misalnya jenis akasia relatif memiliki karakteristik sebagai spesies yang cepat tumbuh namun tidak banyak diketahui apakah bisa digunakan dan dikelola dengan sistem trubusan (coppice) yang berkelanjutan. Dan juga jenis-jenis tersebut tidak seperti tanaman kaliandra dan gamal meski mudah dalam budidaya dan pemanenan, namun tidak terbukti cocok untuk penerapan sistem trubusan rotasi pendek, dan juga jarang ditanam dalam skala yang lebih luas. 

Meskipun kaliandra dan gliricidia bukan spesies pohon asli di Indonesia, tetapi spesies tersebut telah lama diperkenalkan, dan dapat ditemukan hampir di seluruh pulau Jawa. Calliandra dan Gliricidia menjadi sangat populer di daerah pertanian di sebagian besar wilayah Jawa. Selain itu bahkan juga belum banyak laporan yang menggambarkan adanya hama dan / atau penyakit yang berkaitan dengan salah satu spesies tersebut. Kayu yang dihasilkan dari tanaman kaliandra dan gliricidia memiliki karakteristik fisik dan kimia yang relatif baik untuk dijadikan kayu bakar atau sebagai bahan baku wood pellet. Nilai kalorinya tinggi dan kadar abunya rendah.   

Indonesia sebagai negara tropis bahkan dengan luas tanah terbesar di Asia Tenggara akan sangat potensial mengembangkan kebun energi tersebut. Kebun energi pada hakekatnya adalah sumber energi atau diibaratkan sebagai baterai, yang menyimpan energi matahari dalam tanaman ,kebun energi tersebut, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Walaupun pengembangan aneka tipe energi terbarukan terus dipacu tetapi untuk menyimpan energi dalam kapasitas besar akan membutuhkan baterai yang juga sangat besar. Riset baterai tersebut juga diperkirakan akan membutuhkan waktu cukup lama dan biaya besar, sehingga dalam rangka karbonisasi maka energi biomasa bisa digunakan untuk cofiring dan bahkan fulfiring hingga pada saatnya baterai besar itu bisa diaplikasikan.

Rabu, 28 Agustus 2024

Biochar Solusi Deforestasi Pada Perkebunan Sawit dan EUDR

Perkembangan industri sawit dan perkebunannya di Indonesia sangat pesat terutama 10 tahun terakhir dan saat ini diperkirakan luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 17 juta hektar. Sebagai tanaman penghasil minyak nabati terbesar di dunia dan luas perkebunan sawitnya juga terbesar di dunia, tentu saja kelapa sawit memiliki nilai strategis dalam perekonomian Indonesia. Rata-rata kecepatan luas perkebunan sawit Indonesia adalah 6,5% per tahun atau ekuivalen sekitar 1 juta hektar per tahun untuk 5 tahun terakhir, sedangkan peningkatan produksi buah kelapa sawit atau TBS (tandan buah segar) rata-rata hanya 11%.

Bahkan perluasan lahan terbesar terjadi pada tahun 2017 yakni bertambah seluas 2,8 juta hektar. Dari tahun 2015 hingga tahun 2019, total luas areal kelapa sawit bertambah seluas 3,7 juta hektar. Ekstensifikasi atau perluasan kebun sawit tersebut ternyata banyak "dituduh" dan menjadi sorotan dunia sebagai dari alih fungsi lahan hutan, sehingga banyak terjadi penggundulan hutan (deforestasi) untuk selanjutnya diubah menjadi perkebunan sawit. 

Tekanan dari Uni Eropa khususnya, akibat kondisi tersebut memperburuk citra minyak sawit Indonesia yang selanjutnya berpengaruh kepada harga jual minyak sawit baik CPO dan produk turunannya tersebut. Memperbaiki citra tersebut memang juga tidak mudah. Salah satu upaya yang efektif adalah menghentikan upaya ekstensifikasi tersebut sehingga lahan hutan tetap menjadi lahan hutan dan tidak berubah menjadi kebun sawit. European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) yang mulai berlaku 30 Desember 2024 sebagai upaya mencegah deforestasi turut menjadi pertimbangan penting. Peraturan tersebut mewajibkan konsumen dan produsen yang berada di sepanjang rantai pasokan komoditas tertentu untuk melakukan uji tuntas dan penilaian risio untuk memastikan bahwa produk mereka tidak berkontribusi terhadap deforestasi. EUDR ini juga menerapkan sistem inspeksi dan penalti berjenjang berdasarkan tingkat risiko yang dirasakan di negara asal. 

Dengan ekstensifikasi lahan sawit lebih dari 1 juta per hektar setiap tahunnya tetapi kenaikan produksi buah sawit hanya 11% tentu kurang menarik dan harus dihindari apalagi ditambah sorotan dunia tentang deforestasi yang semakin kencang tersebut. Hal ini juga semakin mengindikasikan tentang rendahnya produktivitas perkebunan sawit tersebut. Padahal dengan memperbaiki kualitas tanah produktivitas buah sawit bisa dinaikkan secara signifikan dan pembukaan lahan baru untuk pembuatan kebun sawit bisa dihindari. Limbah-limbah biomasa di perkebunan sawit maupun di pabrik sawit bisa digunakan untuk produksi biochar sebagai solusi masalah tersebut.

Dengan peningkatan produktivitas tandan buah segar (TBS) dengan penggunaan biochar tersebut, maka perkebunan sawit baru tidak perlu dibuka lagi. Dengan asumsi terjadi kenaikkan produktivitas rata-rata 20% maka produksi CPO juga meningkat 20% atau setara 2 juta ton. Peningkatan tersebut akan setara untuk pembukaan lahan baru seluas lebih dari 2 juta hektar. Tentu bukan luas tanah yang kecil. Dengan peningkatan produksi 20% tersebut besar kemungkinan besar kebutuhan nasional untuk kebutuhan khususnya CPO telah terpenuhi dan begitu juga untuk pasar export. Keuntungan lain dari penggunaan biochar ini adalah sebagai solusi iklim sebagai carbon sequestration/carbon sink. Jadi dua permasalah utama pada industri sawit berupa peningkatan produktivitas dan ketahanan perubahan iklim bisa diatasi sekaligus dengan aplikasi biochar tersebut.

Peningkatan Produktivitas Pertanian Pangan : Aplikasi Biochar atau Buka Hutan Untuk Food Estate ?

Indonesia saat ini menempati peringkat 69 dari 113 negara pada tahun 2022 dalam ketahanan pangan dan ini lebih rendah daripada Malaysia dan ...