Senin, 18 Mei 2015

Berpacu Menurunkan Suhu Bumi (Bagian 2)

Biomasa sebagai bahan bakar 'carbon neutral' tentu tidak berdiri sendiri sebagai suatu skenario besar untuk menurunkan suhu bumi akibat pemanasan global oleh emisi gas rumah kaca. Kelebihan biomasa sebagai sumber energi terbarukan dengan penggunaannya yang stabil, dalam artian tidak terpengaruh oleh kondisi iklim dan cuaca menjadi produk yang diandalkan dalam berbagai skala aplikasinya. Upaya mengoptimalkan potensi biomasa sebagai sumber energi bisa ditinjau dari sisi pasokan hingga pemanfaatannya.

Dari sisi pasokan, maka keterjaminan pasokan biomasa sebagai bahan baku adalah hal mutlak jika akan digunakan sebagai sumber energi utama, untuk itu sejumlah upaya mulai dari mengumpulkan berbagai limbah biomasa yang pada awalnya hanya dibuang hingga mencari spesies tanaman dengan rotasi cepat (SRC), produktivitas tinggi dan berefek positif di alam dengan dibuat kebun energi. Salah satu tanaman tersebut adalah kaliandra untuk daerah tropis sedangkan di daerah sub-tropis seperti Eropa menggunakan spesies poplar dan willow. Kita patut bersyukur kepada Allah SWT karena lokasi di Indonesia yang beriklim tropis membuat produktivitas tanaman kaliandra bisa 4 kali lebih cepat daripada yang beriklim sub tropis atau konkritnya 4 tahun poplar dan willow di Eropa sama seperti 1 tahun kaliandra di Indonesia.



Sedangkan ditinjau dari pemanfaatannya, energi biomasa harus bisa dimanfaatkan secara luas, mudah, murah dan efisien. Biomasa bisa dimanfaatkan ditempat ataupun digunakan ditempat lain yang cukup jauh. Pada penggunaan di tempat atau yang jaraknya dekat, biomasa hanya diseragamkan ukurannya atau ditambah pengeringan. Sedangkan untuk digunakan pada lokasi cukup jauh biomasa tersebut perlu ditambah proses lagi berupa dipadatkan seperti dalam bentuk pellet atau briket. Biomasa tersebut lalu diproses rute thermal (yang paling populer) dengan pembakaran, pirolisis atau gasifikasi untuk mengekstrak kandungan energinya.


Saat ini posisi Eropa telah melampaui Amerika Utara dalam berpacu menurunkan suhu bumi atau upaya mengurangi pemanasan global. Setelah sebelumnya Uni-Eropa menerapkan RED (EU's Renewable Energy Directive) yang biasa dikenal target 20-20-20 atau yang dimaksudkan adalah mandat untuk menurunkan 20% emisi gas rumah kaca dari tahun 1995 sebagai level dasarnya; menurunkan 20% konsumsi energi; dan untuk 20% untuk energi terbarukan. Hal ini juga yang membuat Eropa adalah konsumen atau pasar terbesar wood pellet dengan perkiraan 80% dari produksi dunia, lalu diikuti Amerika Serikat dan posisi ketiga, Korea Selatan.

Saat ini Uni-Eropa sedang mendekati tahun 2020 untuk realisasi target 20-20-20 tetapi disisi lain mereka mulai menyiapkan rancangan untuk kebijakan baru masalah iklim dan energi dari tahun 2020-2030. Uni-Eropa telah mengusulkan target baru 2030 termasuk menurunkan 40% emisi gas rumah kaca, menurunkan 30% konsumsi energi dan 27% untuk penggunaan energi terbarukan. Saat ini mereka juga sedang mencari strategi untuk mencapai target 2030. Sejarah juga menunjukkan bagaimana kebijakan biomasa adalah pendorong utama untuk perkembangan pasar pellet di Eropa. Hal ini juga yang banyak digunakan sebagai model kawasan atau negara tertentu untuk menerapkan  kebijakan energi terbarukan khususnya biomasa.

Rabu, 06 Mei 2015

Wood Pellet Untuk Sektor Industri di Indonesia

Energi memiliki peran vital dalam suatu industri. Energi juga merupakan salah satu komponen biaya tertinggi dalam proses produksi. Berbagai upaya dilakukan oleh industri dalam rangka menekan biaya energi ini sehingga pada akhirnya memberikan marjin keuntungan usaha yang lebih besar. Kenaikan harga BBM akan sangat berdampak bagi industri karena sedikit banyak akan mengurangi keuntungan mereka. Dan apabila harga jual produk mereka naikkan sedangkan daya beli masyarakat menurun hal itu juga hanya berpotensi menambah kerugian pada industri yang bersangkutan. Energi dan khususnya BBM selalu memiliki peran strategis bagi kelangsungan berjalannya ekonomi dan stabilitas politik suatu negara. 


Wood pellet adalah salah satu energi alternatif yang sangat potensial khususnya pada sektor industri baik menengah maupun besar, karena subsidi BBM level industri ini umumnya sudah ditiadakan. Sebagai perbandingan dengan nilai kalor gas LPG sekitar 11.000 kkal/kg sedangkan wood pellet atau pellet bahan bakar memiliki nilai kalor sekitar 4.000 kkal/kg, berarti satu kg LPG setara dengan dengan tiga kg wood pellet. Gas LPG non-subsidi kemasan 12 kg saat ini harganya berkisar Rp 12.000,-/kg, sedangkan wood pellet harga perkg-nya sekitar seper-enamnya atau Rp 2.000/kg. Hal ini sehingga akan menghemat sekitar 80% apabila melakukan subtitusi bahan bakar ke jenis bahan bakar ini. Hal ini tentu sangat menarik disamping bahan bakar wood pellet juga bahan bakar terbarukan dan ramah lingkungan. Apabila dibandingkan dengan batubara dengan kadar abu tinggi, benruk tidak seragam, kadar air tinggi dan kandungan sulfur lebih tinggi sehingga menimbulkan penanganan masalah pencemaran yang serius, maka jelas wood pellet jelas lebih unggul. Berbeda halnya dengan sejumlah negara, secara khusus Indonesia juga belum ada kebijakan untuk pemakaian wood pellet.

Apabila industri tersebut sebelumnya telah menggunakan bahan bakar seperti kayu bakar atau batubara, maka konversi ke wood pellet lebih mudah dibandingkan apabila sebelumnya menggunakan bahan bakar gas (LPG) atau minyak. Wood pellet sebagai bahan bakar membutuhkan tungku atau unit pembakaran (combustor) khusus sehingga proses pembakarannya bisa optimal dengan efisiensi tinggi atau terjadinya kehilangan panas ke lingkungan sangat kecil.  Unit pembakaran ini juga yang akan menentukan seberapa efektif penggunaan wood pellet untuk subtitusi bahan bakar fossil seperti bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar gas (LPG).  Ada beberapa unit pembakaran wood pellet yang umum digunakan oleh industri khususnya skala industri menengah-besar yakni, jenis grate combustor dan stoker combustor.  Sedangkan sektor-sektor penggunaan wood pellet atau pellet bahan bakar (pellet fuel) bisa dibaca disini.

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...