Moratorium sawit yang ramai didengungkan saat ini, walaupun secara resmi belum diberlakukan adalah momen tepat untuk mempertimbangkan kebun energi. Ditinjau dari permodalan atau investasi usaha kelapa sawit juga membutuhkan modal besar, selain itu masalah perawatan kebun dan kualitas lahan juga menjadi faktor penting dan membutuhkan biaya yang juga besar. Kebun energi dengan tanaman leguminoceae seperti kaliandra dan gamal (gliricidae), hanya membutuhkan perawatan yang mudah dan murah. Apalagi hanya membutuhkan waktu kurang lebih 1 tahun untuk bisa dipanen kayunya dan bisa dipanen terus menerus setiap tahunnya tanpa harus replanting. Leguminoceae adalah jenis tanaman perintis yang mampu menyuburkan tanah dengan simbiosis bakteri pengikat nitrogen pada akarnya. Berbeda dengan pohon sawit yang membutuhkan biaya perawatan dan pupuk yang tinggi, leguminoceae adalah sebaliknya. Pohon sawit juga membutuhkan air yang banyak, hal ini juga berkebalikan dengan leguminoceae. Kebun energi seperti kaliandra juga memberi manfaat penting yakni menjaga terpenuhinya pangan, energi dan air. Perbandingan antara keduanya juga bisa dibaca disini.
Kedaulatan dan produsen energi
Harus diakui bahwa saat ini Indonesia tidak lagi menjadi eksportir minyak bumi sehingga tidak lagi menjadi anggota OPEC tetapi sebagai negara importir minyak bumi yang semakin hari jumlahnya semakin bertambah untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sementara kebutuhan energi semakin meningkat dari hari ke hari akibat pertumbuhan penduduk. Semakin tinggi ketergantungan terhadap bahan bakar import tersebut semakin tidak berdaulat Indonesia dari sektor energi. Bahkan energi adalah sektor penting dan vital bagi kedaulatan satu negara sehingga perangkat kebijakan yang mengaturnya juga tidak sederhana. Di Sisi lain padahal sebenarnya terbuka peluang besar untuk berdaulat pada sektor energi salah satunya dengan kebun energi, yakni dengan memanfaatkan jutaan hektar tanah-tanah yang saat ini belum atau tidak dimanfaatkan. Selain berdaulat dari pada sektor energi, visi lebih jauh yakni menjadi produsen energi yang menyuplai kebutuhan energi khususnya energi terbarukan ke berbagai belahan dunia. Dengan potensi luasnya lahan tersebut bukan mustahil Indonesia menjadi produsen terbesar energi terbarukan dari biomasa yakni wood pellet. Walaupun proyeksi pemerintah hanya menargekan 17% energi terbarukan pada tahun 2025 melalui kebijakan energi nasional melalui Peraturan Presiden no. 5 tahun 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar