Senin, 22 Juni 2020

Mengapa Pabrik Sawit Tidak Tertarik Produksi EFB Pellet atau Fiber Pellet ?

EFB (empty fruit bunch) atau tandan kosong kelapa sawit banyak dihasilkan oleh pabrik-pabrik sawit dan bahkan cenderung menjadi limbah yang mencemari lingkungan. Tandan kosong tersebut pada umumnya hanya dibuang begitu saja di sekitar area perkebunan sawit mereka. Selain itu banyak juga pabrik sawit yang menghasilkan limbah fiber yang juga mencemari lingkungan. Sejumlah pabrik sawit yang menggunakan boiler dengan efisiensi tinggi pada umumnya menghasilkan limbah fiber tersebut karena konsumsi bahan bakar untuk boiler berkurang. Dari sudut pandang energi biomasa kedua jenis limbah sawit tersebut merupakan sumber bahan baku potensial. Pengolahan kedua jenis limbah tersebut menjadi pellet untuk energi adalah solusi jitu mengatasi masalah lingkungan sekaligus memberi nilai tambah secara ekonomi. Tetapi mengapa hampir semua pabrik sawit saat ini tidak tertarik untuk produksi EFB pellet dan Fiber pellet dari limbah tersebut ? Setidaknya ada 3 faktor analisa sebagai jawaban pertanyaan tersebut, seperti uraian dibawah ini.

A. Kebutuhan listrik untuk produksi EFB pellet atau Fiber pellet

Pabrik-pabrik sawit pada umumnya berada di daerah pedalaman atau di tengah perkebunan sawit, sehingga kebutuhan listrik pada umumnya harus mereka cukupi sendiri. Selain menghasilkan listrik pembangkit di pabrik sawit juga menghasilkan kukus (steam), karena teknologi yang digunakan adalah steam turbine. Dan ada alasan spesifik mengapa pabrik sawit harus menggunakan teknologi steam turbine tersebut, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Produksi listrik dari pabrik sawit tersebut umumnya hanya memenuhi kebutuhan untuk operasional pabrik sawit, sehingga akan tidak mencukupi bila digunakan untuk produksi pellet tersebut. Kebutuhan listrik untuk produksi setiap ton/jam pellet diperkirakan membutuhkan 300 kW (0,3 MW) sehingga untuk produksi 3 ton/jam membutuhkan hampir 1 MW. Produksi listrik dari biogas dengan memanfaatkan limbah cair (POME : palm oil mill effluent) bisa sebagai solusi hal tersebut, untuk lebih detail bisa dibaca disini.

B. Ketidaktahuan terhadap bisnis bahan bakar biomasa dan khususnya pellet fuel

Pabrik sawit yang menghasilkan produk utama berupa minyak mentah sawit (CPO) dengan penggunaan terutama untuk produk pangan, sehingga cenderung kurang perhatian dengan sektor energi, khususnya energi terbarukan dan lebih spesifik lagi energi biomasa berupa pellet. Pellet fuel khususnya wood pellet memang sedang "hot" dan banyak digunakan sebagai sumber energi di berbagai belahan dunia. Memang karakteristik wood pellet yang berasal dari biomasa kayu-kayuan sedikit berbeda dengan pellet yang berasal dari limbah-limbah pertanian seperti tandan kosong (EFB) dan sabut (fiber) sawit tersebut. Hal tersebut berpengaruh terhadap pembangkit listrik pengguna dan juga porsi penggunaannya.


Sebagai indikasi lain bahwa pabrik sawit hanya fokus pada produksi CPO adalah bahwa mereka tidak tertarik untuk eksport cangkang sawit (PKS : palm kernel shell) sendiri. Pada umumnya pabrik sawit hanya menjual cangkang sawit tersebut kepada exportir di pabrik-pabrik mereka. Exportir tersebut selanjutnya yang akan mengeksport cangkang sawit tersebut ke pembangkit-pembangkit listrik pengguna. Padahal PKS atau cangkang sawit ini juga sangat banyak dibutuhkan dan sebagai kompetitor wood pellet, karena banyak kemiripan dengan wood pellet.


C. Perlu membuat department baru untuk produksi pellet tersebut

Tentu menjadi hal yang umum dilakukan bahwa unit bisnis baru tentu membutuhkan pengelolaan atau manajemen baru. Pabrik atau perusahaan sawit dalam operasionalnya biasanya membagi menjadi dua department atau divisi, yakni divisi pabrik untuk produksi CPO dan divisi kebun untuk produksi buah sawit sebagai bahan baku CPO. Produksi pellet dari tandan kosong dan sabut tersebut juga membutuhkan pengelolaan tersendiri supaya efektif dan efisien.

D. Skala prioritas dengan pengembangan produk turunan CPO

CPO atau minyak mentah sawit merupakan bahan baku untuk sejumlah produk turunan sawit. Export CPO pun juga dihimbau untuk dikurangi dan dianjurkan dengan berbagai produk turunan CPO lainnya seperti minyak goreng, oleokimia dan biodiesel. Selain juga untuk meningkatkan nilai tambah, export barang mentah juga kurang bergengsi. Hal tersebut karena ciri negara berkembang adalah mengeksport bahan mentah untuk negara lain, sedangkan ciri negara maju adalah mengeksport produk jad. Hal tersebut mengapa produksi berbagai produk turunan CPO terus didorong. Bagi pabrik sawit yang lebih fokus dan familiar dengan produksi CPO dan perkembangan industri turunan CPO, maka opsi untuk mengembangkan perusahaannya ke arah berbagai produk turunan CPO bisa jadi menjadi lebih prioritas, dibandingkan pengolahan tandan kosong dan fiber untuk menjadi pellet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...