Minggu, 19 Oktober 2025

Export PKS dan Wood Pellet untuk Pembangkit Listrik Biomasa dan BECCS di Jepang

Dalam kasus di Jepang, dengan sejumlah sekitar 290 pembangkit listrik biomasa (biomass power plant) maka secara teknis mestinya untuk menuju BECCS bisa lebih cepat, tinggal nanti bagaimana di sisi policy/regulation. Pemasangan unit CCS (Carbon Capture and Storage) di unit pembangkit listrik biomasa membuat operasional pembangkit tersebut carbon negative atau sebagai carbon (dioxide) removal. Jumlah karbon yang bisa ditangkap dan disimpan sehingga bisa dipisahkan dari atmosfer tersebut bisa mendapatkan carbon credit yang bisa digunakan untuk operasional CCS (Carbon Capture and Storage) di unit pembangkit listrik biomasa. Dekarbonisasi untuk mencapai target iklim yakni NZE (Net Zero Emission ) 2050 dan Paris Agreement menjadi daya dorong tersebut. 

Dan karena pembangkit listrik biomasa (biomass power plant) selalu membutuhkan bahan bakar biomasa untuk operasionalnya sehingga ini menjadi peluang Indonesia untuk menyuplai wood pellet dan PKS (palm kernel shell) / cangkang sawit. Pembangkit-pembangkit listrik di Jepang tersebut, sebagian besar atau mayoritas bahan bakar biomasa berasal dari import, seperti pembangkit listrik biomasa Kanda (Kanda Biomass Energy) di  kota Kanda, timur laut Chiyoda, Tokyo. Kanda Biomass Energy menggunakan tiga jenis biomassa: wood pellet (60 persen), cangkang sawit / PKS (30 persen), dan wood chip (10 persen). Wood pellet diimpor dari British Columbia, Kanada dan Vietnam, cangkang sawit / PKS dari Indonesia, dan wood chip didatangkan secara lokal dari Kyushu utara. Fasilitas ini mengonsumsi sekitar 170.000 ton wood pellet, lalu 120.000 ton cangkang sawit / PKS, dan 60.000 ton wood chip per tahun.  

Pembangkit-pembangkit listrik biomasa di Jepang tersebut pada umumnya menggunakan teknologi fluidized bed combustion (FBC) pada boiler mereka. Alasan penggunaan teknologi ini adalah fleksibitas bahan bakar lebih tinggi, efisiensi tinggi karena mixing yang baik, suhu pembakaran relatif rendah sehingga meminimalisir masalah deposit abu karena meleleh dan penggunaan udara berlebih (excess air) kecil, juga semakin meningkatkan efisiensinya dan mengurangi flue gas yang dihasilkan. Teknologi FBC ini cocok untuk kapasitas besar yakni diatas 20 MW. Dalam perkembangannya teknologi ini terbagi menjadi 2, yakni bubbling fluidized bed (BFB) dan circulating fluidized bed (CFB). Secara umum perbedaan keduanya tidak banyak, seperti ukuran bahan bakar, konstruksi unit dan rasio udara-bahan bakar. PKS (palm kernel shell) atau cangkang sawit lebih cocok untuk CFB powerplant karena ukurannya kurang dari 4 cm. Pembangkit-pembangkit listrik di Jepang khususnya, yang menggunakan PKS atau cangkang sawit sebagai bahan bakarnya karena menggunakan teknologi CFB ini. 

Dengan operasi suhu relatif rendah yakni 650-900 C maka masalah abu bisa diminimalisir. Bahan bakar biomasa tertentu kadang memiliki kadar abu yang tinggi dan kimia abu yang berpotensi merusak unit pembangkit tersebut. Selain itu faktor kebersihan bahan bakar juga sangat penting, hal ini karena secara teknis pengotor-pengotor tertentu seperti logam bisa menutup pori-pori udara pada angsang (perforated plate) unit FBC tersebut, padahal udara khususnya oksigen mutlak dibutuhkan pada proses pembakaran tersebut dan juga yang membuat kondisi fuel bed ter-fluidize. Prasyarat kebersihan bahan bakar tersebut harus dipenuhi oleh penyedia atau penjual bahan bakar biomasa tersebut, oleh sebab itu pihak pembeli mensyaratkan jumlah pengotor (impurities/kontaminan) yang bisa diterima sangat kecil, yakni berkisar kurang dari 1%. Pembersihan PKS dilakukan dengan mengayaknya baik manual maupun dengan mesin mekanis, untuk lebih detail masalah kebersihan bahan bakar biomasa bisa dibaca disini

Kebutuhan bahan bakar biomasa tersebut diprediksi akan terus meningkat. Dan pembangkit listrik biomasa (biomass power plant) terus berkembang dengan perkiraan pada 2030 di Jepang diproyeksikan akan terjadi penambahan pembangkit sebesar 6 GW dengan kapasitas terpasang pada tahun 2024 sebesar 7,3 GW.  Bahkan pada tahun 2025 ini ada 11 pembangkit baru yang dijadwalkan beroperasi, yang dapat meningkatkan permintaan bahan bakar biomasa tahunan sekitar 1,1 juta ton. Nah apabila Indonesia bisa menyuplai wood pellet juga ke Jepang dengan memaksimalkan forest residue, limbah sawmill atau limbah industri pengolahan kayu lainnya, tentu luar biasa.

Sebagai estimasi pemanfaatan limbah hutan yakni misalkan hutan produksi dengan luas 200.000 hektar (sekitar 2.000 km2) dan karena berada di area tropis maka kecepatan pertumbuhan biomasa kayunya rata-rata 20 ton/hektar/tahun, maka hutan tersebut akan menghasilkan kayu 4.000.000 ton/tahun setiap tahun pada pertumbuhan baru. Luasan 200.000 hektar sepertinya sangat besar, tetapi dengan Indonesia memiliki hampir 70 juta hektar hutan produksi, maka luasan 200.000 hektar adalah 0,29% saja. 

Misalkan kita buat setting default pemanfaatan kayu dari hutan produksi yakni 35% untuk bahan bangunan, furniture, flooring dsb, dan 30% untuk kertas, tisu dan kemasan, dan 5% kayu dari dari panen berada di hutan. Dan dengan 15% limbah penggergajian kayu (sawdust, chip dsb) untuk produksi wood pellet dan sisa dari penggergajian ke pabrik kertas (pulp and paper) dan industri kayu rekayasa (engineered wood). 

Dan terhitung bahwa 35,3% dari 3,8 juta ton/tahun limbah kayu setiap tahun ke pabrik wood pellet (sekitar 1,34 juta ton setiap tahun). Di sejumlah lokasi persentasi aktual jauh lebih sedikit karena pabrik kertas dan industri kayu rekayasa (engineered wood) menggunakan bahan baku lebih banyak dengan bahan baku yang sama seperti yang digunakan pabrik wood pellet. Sehingga pada umumnya pabrik wood pellet tidak berada dilokasi yang telah memiliki permintaan atau telah ada penggunaan untuk pulp and paper dan industri kayu rekayasa (engineered wood). Dengan tingginya kadar air maka perlu pengeringan untuk produksi wood pellet, sehingga estimasi produksi wood pellet adalah 650.000 ton/tahun. Dengan ukuran kapal handymax vessel yang bisa memuat 25.000 ton/shipment berarti dibutuhkan 26 kali pengapalan ke Jepang setiap tahun atau dengan panamax vessel yang bisa memuat 50.000 ton/shipment berarti dibutuhkan 13 kali pengaplan ke Jepang setiap tahunnya. 

Sabtu, 11 Oktober 2025

Alat Pirolisis Skala Laboratorium untuk Ujicoba Produksi dan Penelitian Biochar

Trend dekarbonisasi terus berkembang di semua sektor kehidupan sebagai bagian konsensus global untuk menyelamatkan bumi. Biomasa memiliki peran strategis melalui biotransition yakni biomasa sebagai bahan bakar carbon neutral sehingga tidak berkonstribusi pada penambahan emisi CO2 di atmosfer hingga program carbon negative dengan carbon sequestration. Secara subtantif dekarbonisasi dengan program carbon negative (CDR /carbon dioxide removal) akan efektif jika bahan bakar biomasa sebagai bahan bakar carbon neutral ataupun penggunaaan energi terbarukan lainnya juga ditingkatkan. Atau dengan kata lain upaya mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer ternyata tidak bisa serta merta menyerap CO2 dari atmosfer (carbon capture and storage) saja. Dan dalam konteks energi terbarukan berbasis biomasa, praktisnya produksi wood chip dan wood pellet sebagai bahan bakar terbarukan carbon neutral akan saling melengkapi dengan biochar (carbon negative), lebih detail baca disini.

Biochar produk pirolisis biomasa atau produk biocarbon sebagai media untuk mitigasi perubahan iklim dengan carbon sequestration / carbon sink, belum sepopuler pemanfaaran biomasa sebagai sumber energi terbarukan seperti wood chip, wood pellet ataupun cangkang sawit. Sebagai perbandingan pada tahun 2023 produksi biochar secara global sebanyak 350 ribu ton sedangkan produksi wood pellet 47 juta ton. Dengan konversi dari biomasa menjadi biochar sekitar 30% maka pada tahun 2023 jumlah biomasa kering yang diolah menjadi biochar 1,2 juta ton, sedangkan pada wood pellet pada tahun yang sama sebanyak 47 juta ton atau biomasa untuk wood pellet sekitar 2,6%-nya saja, artinya terpaut sangat jauh. Tetapi diprediksi biochar akan menemukan momentumnya dan akan diproduksi secara masif secara global. Aplikasi biochar tersebut sebagai bagian carbon capture dan storage (CCS) saat ini perkembangannya paling cepat dibandingkan upaya pengurangan CO2 (CDR / Carbon Dioxide Removal) lainnya. Biochar memimpin dalam CDR credits di voluntary carbon market (VCM), yakni dengan lebih dari 90% secara global pada tahun 2023 seperti tertera di database cdr.fyi   

Selain itu aplikasi carbon capture dan storage (CCS) dengan kolom absorber-stripper lalu karbon dioksida yang tertangkap disimpan dilapisan kerak bumi masih mahal. Sedangkan teknologi pirolisis untuk produksi biochar semakin berkembang sehingga selain mudah dioperasikan, efisien, emisi gas buang yang ramah lingkungan juga bisa menghasilkan berbagai produk samping yang memberi keuntungan tambahan. Bahkan unit pirolisis tersebut juga dimungkinkan untuk diintegrasikan dengan suatu industri pengolahan, misalnya pada pabrik sawit, untuk lebih detail baca disini

Termasuk aplikasi BECCS (Bioenergy with Carbon Capture and Storage) yang secara overall merupakan program carbon negative atau penghilangan CO2 dari atmofer (CDR / Carbon Dioxide Removal) tetapi membangun unit bioenergy seperti pembangkit listrik biomasa itu sendiri juga tidak murah apalagi dengan penambahan perangkat carbon capture dan storage (CCS). Sejumlah negara yang sudah memiliki banyak pembangkit listrik biomasa sebagai contoh Jepang dengan sekitar 300 unit pembangkit listrik biomasa maka untuk menjadi operasionalnya carbon negative atau bagian dari penghilangan CO2 dari atmofer (CDR / Carbon Dioxide Removal) akan lebih mudah dengan meng-upgradenya dengan pemasangan perangkat carbon capture dan storage (CCS). Tetapi secara umum untuk menyerap CO2 di atmosfer dan mencapai target iklim maka aplikasi biochar yang diproduksi dengan unit pirolisis lebih mudah, murah dan strategis. 

Untuk mengantisipasi sekaligus preparasi menghadapi era penghilangan CO2 dari atmofer (CDR / Carbon Dioxide Removal) yang semakin berkembang, maka riset biochar juga harus ditingkatkan. Peralatan pirolisis yang bisa meng-cover atau mampu melakukan berbagai ujicoba produksi biochar secara komprehensif dengan semua kondisi operasi proses produksi terukur sangat penting. Parameter kualitas produk biochar ditentukan oleh 3 faktor yakni bahan baku atau jenis biomasa, proses produksi dan pre-treatment biomasanya, untuk lebih detail baca disini. Variabel-variabel penting proses produksi biochar pada unit pirolisis seperti durasi / residence time, suhu dan kecepatan pemanasan (heating rate) juga harus bisa dilakukan dengan peralatan tersebut.

Selain itu masalah emisi gas buang juga sangat penting. Hal ini karena lembaga-lembaga karbon standar seperti Puro, Verra dan CSI mensyaratkan emisi gas buang dengan ambang batas tertentu. Selain itu excess heat dari pirolisis dan/atau produk cair dan gas harus digunakan. Hal tersebut berarti bahwa peralatan pirolisis skala laboratorium tersebut harus cukup canggih untuk mencapai syarat-syarat tersebut. Mengikuti metodologi yang dikembangkan lembaga-lembaga karbon standar tersebut penting dilakukan supaya bisa menghasilkan biochar bersertifikat untuk mendapatkan carbon credit. Dengan setiap ton CO2 ekuivalen yang bisa dihilangkan dari atmosfer atau CORC (CO2 Removal Certificates) nilainya bisa lebih dari $150 maka itu tentu sangat menarik. 

Penggunaan biochar yang beranekaragam seperti pertanian, peternakan, bahkan untuk pembuatan beton bahan bangunan maka semakin mendorong implementasi biochar pada masa depan. Bahkan jika ada pertanyaan misalnya penggunaan biochar pada sektor pertanian yakni biochar : prioritas untuk kesuburan tanah atau solusi iklim dulu ? Tentu ini bukan pertanyaan dikotomis tetapi lebih pada daya dorong aplikasinya yang sangat dipengaruhi oleh faktor yang menjadi masalah daerah atau kawasan tersebut, untuk lebih detail baca disini. Untuk mendapatkan performa terbaik sekaligus meminimalisir resiko dari produksi biochar maka peningkatan kapasitas produksi biochar perlu dilakukan yakni dari skala laboratorium, skala pilot, skala demo hingga pabrik komersialnya, Dengan memahami karakteristik proses produksi secara bertahap dan mendalam maka harapannya angka keberhasilan produksi kapasitas besar atau komersial nantinya juga tinggi.   

Jumat, 03 Oktober 2025

Mengeksplorasi Pasar Produk-Produk Bioenergy dan Biocarbon di era Dekarbonisasi Global

Tuntutan untuk menurunkan suhu bumi dengan mengurangi konsentrasi gas rumah kaca melalui berbagai kesepakatan global seperti kesepakatan Paris dan Net Zero Emission (NZE) 2050 dengan ditindaklanjuti secara teknis melalui dekarbonisasi untuk berbagai sektor dan industri terus berlangsung. Hal inilah menjadi daya dorong untuk peningkatan bahan bakar terbarukan khususnya yang berbasis biomasa atau produk bioenergy yang memang selama ini telah dilakukan tetapi terjadi dinamika berupa fluktuasi permintaan dan harga. Bioenergy dengan sejumlah kelebihan dan keunikannya sebagai energi terbarukan tidak bisa tergantikan di era dekarbonisasi global ini dan walaupun dalam beberapa waktu mendatang sejumlah subsidi untuk bahan bakar biomasa atau bioenergy akan dihapuskan. 

Hal tersebut sangat terkait dengan prioritas suatu pemerintah dalam dekarbonisasi tersebut dari sejumlah opsi-opsi yang muncul. Produk-produk bioenergy bisa beranekaragam termasuk kualitasnya, tetapi semua memiliki segmen pasar tersendiri pada industri-industri tertentu. Selain itu aspek keberlanjutan (sustainibilty) dari sumber biomasa tersebut juga menjadi aspek penting dalam bisnis dan penggunaan bioenergy tersebut dan diberlakukan secara ketat seperti GGL, FSC, SBP, RED III, dan SURE. Kelompok-kelompok industri seperti semen, besi dan baja, kimia, bahkan sektor penerbangan, yang sebelumnya masih 100% menggunakan bahan bakar atau sumber energi berbasis fossil secara bertahap mulai beralih ke sumber energi terbarukan. 

Produk bioenergy seperti industrial wood pellet dan industrial wood briquette memiliki segmen terutama di industri pembangkit listrik dan pemakaian untuk bahan bakar boiler industri. Industrial wood pellet sangat populer dan diproduksi dalam kapasitas besar dibandingkan dengan industrial wood briquette. Terkait penghapusan subsidi dan pemberlakuan sertifikat keberlanjutan maka produsen bahan bakar biomasa dituntut untuk menghasilkan kualitas produk yang lebih baik dengan bahan baku yang tidak merusak lingkungan atau bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini juga berlaku untuk bioenergy yang berasal dari limbah-limbah pertanian, yang umumnya belum ada sertifikat keberlanjutan pada kapasitas besar.

Pembangkit-pembangkit listrik biomasa yang beroperasi mendekati carbon neutral, selanjutnya bisa ditingkatkan lagi sehingga beroperasi carbon negative atau atmosphere carbondioxide removal (CDR) yakni menambah perangkat penangkap dan penyimpan karbondioksida (CCS / carbon capture and storage). Pembangkit listrik biomasa yang dilengkapi perangkat CCS tersebut populer disebut BECCS (Bio-Energy Carbon Capture and Storage). Diprediksi era BECCS tidak lama lagi dan negara-negara yang memiliki unit pembangkit listrik biomasa bisa dengan mudah meng-upgrade-nya menjadi BECCS. Perangkat CCS yang mahal dan pendapatan carbon credit yang rendah dari CDR masih menjadi kendala saat ini. Jepang yang memiliki sekitar 300 unit pembangkit listrik biomasa sangat berpotensi untuk meng-upgrade-nya menjadi BECCS. Dan sebagai pembangkit listrik biomasa maka kebutuhan bahan bakar akan selalu dibutuhkan seperti wood pellet dan PKS / cangkang sawit, dan untuk lebih detail baca disini

Salah satu contoh sukses BECCS adalah proyek Stockholm Exergi BECCS menggambarkan bagaimana infrastruktur pembangkit listrik biomassa yang ada dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan penyerapan karbon dioksida yang berkelanjutan. Proyek Stockholm ini berbasis bahan bakar biomassa dari sumber yang berkelanjutan, berhasil mendapatkan salah satu kesepakatan penyerapan karbon terbesar di dunia dengan Microsoft, serta kontrak signifikan senilai 500 juta SEK (~89 milyar rupiah).Model mereka mengintegrasikan penangkapan karbon dengan sistem pemanas distrik (District Heating), memaksimalkan efisiensi energi sekaligus mencapai penyerapan karbon dioksida yang permanen.

Demikian juga sejumlah industri besar lain seperti semen, alumunium dan kimia yang juga secara bertahap melakukan dekarbonisasi. Bahan bakar biomasa seperti wood pellet, dan limbah-limbah pertanian / perkebunan seperti PKS / cangkang sawit menjadi preferensi di sektor ini. Selain kandungan energi cukup tinggi, harga bahan bakar biomasa tersebut lebih terjangkau dibanding turunannya seperti torrefied biomass dan charcoal / biochar.  Dengan adanya transisi atau dekarbonisasi bertahap pada industri-industri tersebut maka kebutuhan bahan bakar biomasa juga terus meningkat. 

Sedangkan pada produk biocarbon seperti torrified biomass (biocoal) dan carbonized biomass (biochar / charcoal) mulai menjadi perhatian dan diperkirakan akan mencapai level produksi lebih massal dalam waktu tidak lama lagi. Pembangkit listrik biasanya menyukai biocoal karena kandungan energi lebih tinggi, hidrophobic sehingga bisa ditaruh ditempat terbuka seperti batubara dan lebih mudah dihancurkan (grindability index tinggi). Sedangkan biochar / charcoal terutama pada industri besi dan baja akan sangat cocok untuk menghasilkan low carbon steel bahkan green steel. Reduktor untuk blast furnace yang sebelumnya kokas dari batubara bisa digantikan oleh charcoal atau biochar tersebut. Charcoal atau biochar dengan kemurnian tinggi (fixed carbon >85%) dan impurities rendah dibutuhkan untuk reduktor blast furnace tersebut, dan untuk lebih detail tentang ini bisa baca disini dan disini.  

 

Sedangkan penggunaan biomasa untuk bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau SAF (Sustainable Aviation Fuel) juga sangat dimungkinkan. Hal ini karena saat ini ada 3 proses produksi terkemuka untuk produksi SAF yakni HEFA (Hydro-processed Esters and Fatty Acids), FT (Fischer-Tropsch) dan ATJ (Alcohol to Jet Fuel). Biomasa melalui proses termokimia yakni pada FT (Fischer-Tropsch) dan biokimia yakni pada ATJ (Alcohol to Jet Fuel) bisa digunakan sebagai bahan baku atau feedstock.   Sedangkan bahan baku atau feedstock untuk proses HEFA bukan solid biomass tetapi vegetable oil, used cooking oil/minyak jelantah, lemak binatang dan sebagainya. Jadi aplikasi yang luas dari biomasa menjadi berbagai sumber energi penting di era dekarboniasi global maka hal itu menjadi daya dorong untuk produksi biomasa tersebut baik melalui sektor kehutanan maupun pertanian / perkebunan yang berkelanjutan.   

Export PKS dan Wood Pellet untuk Pembangkit Listrik Biomasa dan BECCS di Jepang

Dalam kasus di Jepang, dengan sejumlah sekitar 290 pembangkit listrik biomasa (biomass power plant) maka secara teknis mestinya untuk menuju...