Senin, 01 Februari 2016

Wood Pellet Ditengah Murahnya Harga Energi Dunia

Energi adalah salah satu kebutuhan vital bagi manusia, tanpa energi manusia akan menderita dan binasa.  Bentuk energi yang bermacam-macam itulah yang menopang dan memudahkan kehidupan manusia. Energi panas misalnya dibutuhkan untuk menjaga suhu sesuai kebutuhan, energi mekanik dibutuhkan untuk membawa suatu benda, energi listrik untuk penerangan, panas, juga penggerak berbagai motor listrik dan sebagainya. Matahari adalah makhluk ciptaan Allah SWT sebagai sumber energi utama bagi manusia  di bumi dan manusia bisa mendapatkannya secara gratis, sedangkan energi fossil yakni migas dan batubara menempati peringkat kedua yang manusia saat ini perlu membayar untuk bisa mendapatkan dan memanfaatkannya. Energi fossil inilah yang berabad-abad setelah revolusi industri pada pertengahan abad 19 menjadi primadona dan memiliki peran strategis dalam percaturan politik-ekonomi dunia (geopolitik-geoekonomi). Sampai hari ini dan diproyeksi hingga beberapa dekade ke depan energi fossil khususnya migas (BBM) akan mendominasi kebutuhan energi manusia di dunia.

Ketersediaan energi yang murah dan berlimpah adalah harapan dan cita-cita bagi semua manusia. Apabila manusia bisa mendapatkan energi dengan harga murah apalagi dengan kualitas baik tentu manusia akan memilih hal tersebut. Gas adalah jenis bahan bakar terbaik karena mampu terbakar lebih sempurna (secara teoritis/stoikhiometris dan praktis) diikuti dengan bahan bakar cair, selanjutnya bahan bakar padat.  Perkembangan teknologi terbaru telah membuat negara adidaya saat ini yakni Amerika Serikat mampu untuk memproduksi (mengekstraksi) migas dalam jumlah besar dari dalam perut buminya. Teknologi pengolahan minyak serpih (shale gas) yang sudah ekonomis membuat diprediksi oleh IEA (International Energy Agency) bahwa dalam tahun 2017 Amerika Serikat akan mampu menandingi produksi minyak mentah dari Arab Saudi. Sesuatu hal yang tidak pernah diduga sebelumnya, sehingga Amerika Serikat selain telah menjadi produsen migas juga dalam waktu dekat akan menjadi 'raja' eksportir migas (raja minyak baru) tersebut, yakni dengan produksi minyak mentah 11,1 juta barrel perhari (1 barrel = 158,9 liter) atau 500.000 barrel perhari diatas kapasitas Arab Saudi hari ini dan diperkirakan meningkat menjadi 13,1 juta barrel per hari pada 2019 dan mampu stabil selama 10 tahun. Bahkan analisa terakhir mengatakan bahwa pada tahun 2020 shale gas bisa menyediakan hingga setengah pasokan gas Amerika Serikat. Hukum pasar berlaku yakni ketika supply meningkat dan demand relatif tetap, maka harga akan turun, sehingga harga minyak mentah pada 2013 dikisaran 90 USD/barrel saat ini hanya berada dikisaran 30 USD/barrel-nya. Konsekuensi lainnya adalah jatuhnya harga batubara dari USD 192 per metrik ton pada Juni 2008 menjadi USD 96 per metrik ton pada September 2012, hal ini dikarenakan banyak industri yang beralih menggunakan migas karena harganya murah yang sebelumnya menggunakan batubara. Batubara dianggap bahan bakar kotor karena masalah abu dan tingginya emisi karbon. Shale gas menghasilkan emisi karbon yang secara signifikan lebih sedikit dibandingkan dengan batubara (shale gas mengeluarkan sekitar setengah dari emisi karbon batubara).

Revolusi shale gas akan mampu mendongkrak ekonomi Amerika keluar dari krisis ekonominya karena bisa menciptakan jutaan lapangan kerja baru. Potensi shale gas yang sangat berlimpah memang potensi luar biasa tetapi masih terlalu dini bahwa shale gas menjadi salah satu faktor penentu di pasar energi global. Setelah Amerika Utara bisa diperkirakan potensi sekitar 1.000 triliun kaki kubik shale gas yang cukup memasok kebutuhan gas alam Amerika Serikat selama 50 tahun atau lebih, tidak mau kalah China juga mengklaim potensi cadangan shale gas yang katanya lebih besar dari AS dan berambisi untuk memproduksi 100 miliar kubik gas sebelum 2020. Sedangkan Indonesia diperkirakan memiliki potensi 1000-2000 triliun kaki kubik shale gas sehingga ada potensi Indonesia menjadi negara dengan potensi shale gas terbesar di dunia.  Tentu hal tersebut akan berdampak positif apabila pengelolaannya sesuai amanat UUD 1945 dan ancaman terjadinya krisis energi akibat ketergantungan dari bahan bakar impor juga teratasi. Pergeseran peta geoenergi nantinya juga akan berdampak terhadap kebijakan energi di berbagai negara yang berimbas juga terhadap harga komoditas baik gas maupun minyak bumi.

Dalam sejarahnya Amerika Serikat juga tidak serta merta bisa mengekstraksi minyak serpih tersebut secara tiba-tiba. Perjalanan panjang dengan berbagai ujicoba telah mereka lalui sebelum kesuksesannya hari ini. Shale gas ini pertama kali diekstraksi di Fredonia, New York tahun 1821. Namun produksi shale gas untuk industri baru dimulai pada tahun 1970-an akibat perang Yom Kippur. Perang Yom Kippur pada awal 1973 ini menyebabkan krisis energi ketika anggota OAPEC (Organization of Arab Petroleum Exporting Countries) –Mesir dan Syria juga anggota OAPEC menyatakan embargo minyak. Pada akhir 1974 harga minyak dari 3 USD per barrel menjadi sekitar 12 USD per barrel. Krisis minyak tersebut menyebabkan tekanan politik dan ekonomi global yang sifatnya jangka pendek dan juga jangka panjang. Selanjutnya pada tahun 1979 terjadi krisis minyak kedua di Amerika Serikat sehingga minyak menjadi 39,50 USD per barrel. Pada rentang tahun 1970an tersebut Amerika Serikat juga memulai produksi shale gas pada skala industri karena tuntutan pemenuhan energi terutama dalam negerinya termasuk riset dan pengembangan energi baru seperti biomasa. Tetapi dari serangkaian ujicoba, pengeboran shale gas hingga era 1980 masih belum ekonomis. Baru pada tahun 1988, Mitchell Energy menemukan teknologi slick-water fracturing yang ekonomis. Shale gas yang sebagian besar juga terdiri atas metana merupakan gas alam non konvensional. Jika pada lam konvensional yang biasanya ditemukan di cekungan lapisan bumi pada kedalaman kurang lebih 800 m atau lebih, maka shale gas terdapat di lapisan bebatuan (shale formation) di kedalaman lebih dari 1500 m. Lapisan bebatuan (shale formation) tersebut kaya akan material organik sehingga dapat menjadi sumber energi.
Energi terbarukan diantaranya dari biomasa seperti wood pellet dan wood briquette juga merasakan dampak juga terkait murahnya harga minyak mentah dunia tersebut. Energi terbarukan seperti wood pellet dan wood briquette yang juga telah lama sulit bersaing dengan batubara, dan dengan tersedianya shale gas yang murah, ini bisa memperburuk di sektor energi terbarukan tersebut. Bahkan sebagian dari energi terbarukan sebagian juga masih dalam penelitian dan pengembangan sehingga masih membutuhkan banyak insentif sebelum mencapai pada level komersialnya. Ketika sebagian besar sumberdaya digenjot untuk produksi energi migas, hal ini juga semakin berakibat berkurangnya perhatian atau perlambatan pada sektor energi terbarukan. Berbagai rencana strategis seperti bauran energi nasional (national energy mix policy) suatu negara bahkan level global ternyata juga bisa berubah akibat temuan teknologi untuk mengekstraksi (memproduksi) minyak serpih (shale gas) tersebut.

Tinjauan aspek lingkungan-lah yang akhirnya tetap mendukung pengembangan dan penggunaan energi terbarukan. Minyak serpih (shale gas) adalah bahan bakar karbon positif (walupun pembakaran gas menghasilkan emisi karbon lebih sedikit) sedangkan penggunaan energi terbarukan adalah sumber energi atau bahan bakar karbon netral. Tidak dipungkiri juga bahwa dalam pengeboran shale gas diperlukan air dalam jumlah besar dan menghasilkan limbah air (dan kimia) yang juga membutuhkan penanganan lebih lanjut. Selain itu potensi terjadinya kebocoran gas metana dari sumur shlae gas yang bisa menurunkan efek pengurangan karbon dioksida dan manfaat iklim dengan beralih dari batubara ke shale gas.

Walaupun kebijakan lingkungan dari berbagai konferensi tingkat dunia terkesan pasang surut dalam implementasi energi terbarukan sebagai solusi mitigasi bencana perubahan iklim dan pemanasan global, tampaknya sebagian besar negara-negara tersebut masih berkomitmen untuk melanjutkan berbagai kebijakan lingkungan yang dibuatnya. Pilihan sulit antara bahan bakar murah tetapi merusak lingkungan atau lebih mahal tetapi memperbaiki bumi dan berkesinambungan akan menjadi polemik yang terjadi erus menerus. Perusakan hutan tropis di berbagai wilayah Indonesia ternyata terus berlangsung tanpa dapat dikendalikan. Diduga setiap detiknya terjadi penebangan hutan tropis seluas lapangan bola, sehingga setiap tahunnya terjadi pembukaan hutan tropis sekitar 150.000 kilometer persegi (15 juta ha). Keserakahan manusia untuk ekspoitasi  sumber daya alamnya untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi akan dihadapkan berbagai bencana lingkungan apabila tidak terkendali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...