Selasa, 14 Februari 2017

Densifikasi EFB Untuk Hilirisasi CPO

Energi pada umumnya adalah komponen biaya tertinggi pada proses produksi. Penghematan belanja untuk energi tentu akan memberi dampak yang signifikan pada biaya produksi dan harga jual produknya. Sehingga energi harus didapat dengan biaya yang murah untuk efisiensi produksi. Pemanfaatan limbah-limbah yang tersedia adalah cara jitu untuk mendapatkan efisiensi produksi tersebut,apalagi limbah-limbah tersebut tersedia atau dihasilkan setiap hari bahkan dengan jumlah atau kapasitas yang besar.
Tandan kosong (tankos) kelapa sawit atau TKKS atau EFB (empty fruit bunch) merupakan limbah yang setiap hari dihasilkan pada pabrik kelapa sawit atau pabrik CPO. Volume atau kapasitas tankos atau EFB tersebut cukup banyak setiap harinya, sebagai contoh : pada pabrik CPO dengan kapasitas  30 ton TBS/jam akan dihasilkan tankos 8,1 ton/jam (5,7 ton air; 2,4 ton berat kering) atau 162 ton setiap harinya (114 ton air, 48 ton berat kering). Pemanfaatan tankos  untuk sumber energi pada  pemurnian CPO atau hilirisasi produk CPO, merupakan solusi jitu untuk penanganan limbah sekaligus sumber energi.



Tankos limbah sawit yang basah dan berukuran besar dari pabrik CPO tersebut tidak bisa langsung digunakan tetapi harus diolah dahulu sehingga menjadi bahan bakar atau sumber energi siap pakai. Densifikasi atau pemadatan tankos menjadi pellet atau briket adalah solusi menjadi bahan bakar atau sumber energi yang siap pakai tersebut.

Sejak pemerintah menerapkan bea keluar (BK) CPO, industri hilir CPO di Indonesia kian berkembang. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 67/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan BK dan Tarif BK menyebutkan, ekspor CPO dikenakan BK dari 0-25% tergantung perkembangan harganya di Rotterdam, Belanda.  Tetapi akhirnya pemerintah menurunkan besaran BK menjadi 22,5% setelah pengusaha perkebunan sawit melakukan protes. Besaran BK itu diatur melalui PMK No 128/2011 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar pada 15 Agustus 2011. Analogi di bidang minyak bumi, menjual export minyak mentah (crude oil) harus dibatasi atau bahkan dilarang, tetapi produk-produk industri yang telah mengalami pengolahan sehingga memberi nilai tambah yang besar didukung dan didorong sebesar-besarnya. Ekspor produk sawit Indonesia 60-70% masih berupa CPO, sedangkan produk hilirnya hanya 30-40%. Refinery atau pemurnian CPO mulai dibangun dan beberapa telah berproduksi.  Secara umum produk sawit tersebut terbagi dalam crude palm oil (CPO) mentah, produk refine CPO, palm kernel oil (PKO) dan refine PKO, biodiesel dan oleo-chemical.

Pemurnian atau refinery CPO saat ini pada umumnya hanya dimiliki oleh pabrik-pabrik CPO besar saja, sedangkan pabrik-pabrik CPO berukuran kecil dan menengah pada umumnya tidak memiliki unit pemurnian CPO tersebut. Gabungan Pengusaha Kelapa Sait Indonesia (GAPKI) mencatat, saat ini terdapat 1.911 industri sawit di Indonesia yang menghasilkan 23,5 juta ton CPO dari area 8,2 juta hektare lahan. Pemanfaatan limbah-limbah secara optimal sehingga proses produksi CPO menjadi zero waste dan penghematan biaya energi (energy efficiency),  menjadi target semua proses produksi. Pembriketan dan pemelletan tankos sebagai sumber energi murah, ramah lingkungan (carbon neutral) dan berkelanjutan (sustainable) bagi industri-industri pemurnian CPO berarti akan mendorong hilirisasi produk CPO tersebut, dan bisa lebih terjangkau untuk pabrik-pabrik berukuran kecil dan menengah.

Sederhananya pabrik kelapa sawit kecil dan menengah akan mengolah atau memproduksi briket EFB sehingga menambah penghasilan,sehingga lebih menguntungkan daripada membuang atau dijual murah, sedangkan pabrik besar yang memiliki unit pemurnian CPO bisa membelinya sebagai bahan bakar untuk pemurnian CPO tersebut. Harga briket EFB bisa lebih murah dibanding energi lainnya tetapi tetap menguntungkan bagi produsen briket EFB tersebut.Selain mendapat energi dari pembakaran briket EFB, pembeli briket tersebut juga akan mendapat keuntungan tambahan dari pemanfaatan abunya.   
Photo diambil dari sini

Perbandingan K yang diambil atau dikeluarkan dari berbagai panen buah-buahan
Prosentase K dalam buah pisang

Efek pupuk K2O terhadap produktivitas pohon pisang
Setelah produk densifikasi atau pemadatan tankos berupa briket atau pellet dibakar maka akan menyisakan abu sebagi zat sisa pembakaran atau limbah. Abu tersebut memiliki banyak manfaat bagi kehidupan tumbuhan. Abu dari tandan kosong sawit juga kaya akan berbagai senyawa terutama kalium (K) atau potassium yang sangat dibutuhkan bagi tumbuhan dengan prosentase berkisar 30-40%. Kalium ini memiliki fungsi bagi tumbuhan antara lain mengangkut gula, mengontrol stomata pada daun dengan cara menjaga electro-neutrality di dalam sel tumbuhan, co-factor dari lebih dari 40 enzime dan mengurangi terjadinya berbagai penyakit. Abu dari tankos tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai pupuk organik di perkebunan sawit itu sendiri maupun perkebunan yang lain, seperti pisang. Tingginya kandungan kalium di buah pisang dan daun, mengindikasikan kalium adalah nutrisi terpenting pada produksi pisang. Sejumlah kalium dari tanah dan diambil atau dikeluarkan dari kebun itu dalam bentuk panen pisang  sangat banyak.

 Diperkirakan kehilangan unsur kalium dari tanah melalui buah pisangnya saja mencapai 400 kg (ekuivalen dengan 480 kg K2O) per hektar dengan produksi 70 ton buah. Berdasarkan alasan tersebut, pisang membutuhkan supplai kalium yang bagus, walaupun kandungan kalium dalam tanah tersebut sudah cukup tinggi. Sebuah penelitian pada pohon pisang dengan pemberian K2O sebanyak 1000 gram/pohon telah memberikan 1 tandan buah pisang seberat 29,4 kg. Sejumlah tanaman juga kurang sesuai dan sensitif terhadap unsur klorida (Cl), sehingga porsinya perlu dikurangi bahkan dihilangkan. Pada tanaman pisang misalnya tingginya klorida membuat pertumbuhan anakan pisang terganggu dan buah tidak berisi. K2O yakni senyawa dalam abu tankos sawit bisa digunakan sebagai pupuk organik ideal, menggantikan pupuk KCl. Pupuk kalium yang beredar dipasaran saat ini KCl dan K2SO4 (ZK). Pupuk KCl harganya murah karena mendapat subsidi, sedangkan pupuk K2SO4 (ZK) mahal, mengikuti kurs dollar karena tidak disubsidi sehingga hanya umumnya hanya digunakan oleh perkebunan besar.  Sedangkan apabila tanaman kita membutuhkan pupuk kalium yang tidak mengandung klorida, maka apabila harga pupuk ZK di pasaran jauh lebih mahal, maka pupuk dari abu tandan kosong sawit yang kaya K2O bisa menjadi solusi jitu.          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...