Rabu, 01 Februari 2017

Produksi Arang, Pemasaran dan Penggunaan


Kualitas arang yang bagus akan mampu mempertahankan struktur kayu. Pada arang bongkahan (charcoal lump) khususnya pada kayu lunak, lingkaran struktur akan terlihat jelas. Kualitas arang yang bagus harus padat, warna hitam dan memiliki sedikit retakan secara melingkar. Arang tersebut akan menghasilkan bunyi nyaring ketika dijatuhkan. Kelembaban yang tinggi dari kayu akan membuat kualitas arang menurun karena timbulnya banyak retakan (cracks). Demikian juga ketika kayu mengalami pengeringan berlebihan sehingga uap air merusak struktur kayu, maka kualitas arang juga akan menurun yakni rapuh dan banyak retakan. Selain itu juga dengan mudah terbakar tanpa bau maupun asap. Arang juga bersifat higroskopis, yakni dengan mudah mengikat air dari udara, khususnya pada musim penghujan. Itulah mengapa arang harus disimpan ditempat kering atau dengan pallet dalam ruangan beratap.
Parameter kualitas utama lainnya dari arang adalah kekuatan (strength) yang mengurangi kehilangan material sewaktu bongkar – muat maupun transportasi. Spesies atau jenis kayu memiliki pengaruh signifikan pada kekuatan (strength) arang tersebut. Sebagai contoh arang kayu asam adalah salah satu arang terkuat, dan arang pinus termasuk arang yang rapuh. Arang paling padat dibuat dari batang pohon. Kualitas arang bagus akan terbakar dengan bersih dan memiliki nilai kalor berkisar 13.000 BTU/pound atau berkisar 1½ kali dari berat kayu kering. Kandungan abu yang rendah yang berkisar 2-3% membuatnya dipilih untuk bidang metallurgi dan bahan bakar rumah tangga. Kandungan sulfur dan phospor juga sangat rendah pada arang. Hal tersebut semakin mendorong penggunaan arang dalam bidang metallurgi, tetapi dengan ditemukan sumber karbon yang murah telah menggeser penggunaan arang dalam metallurgi. Produksi arang yang baik akan menghasilkan konversi 1/3 dari berat kayu dan volumenya mengecil menjadi sekitar ½ volume kayu.       

Arang telah menjadi produk penting selama bertahun-tahun dan mendapat penerimaan pasar yang baik. Penggunaan terbesar untuk bahan bakar memasak rumah tangga dan BBQ pada acara piknik atau rekreasi. Arab Saudi dan negara-negara Timur Tengah menggunakan arang dalam jumlah banyak untuk memanggang daging domba sebagai makanan penting bagi mereka. Selain itu arang juga digunakan untuk pembuatan carbon disulfide, carbon tetrachloride, sodium cyanide, calcium carbide, silicon carbide, potassium cyanide, carbon monoxide, black powder, plastics, gas adsorbent, crayons, pharmaceutical, poultry – animal feeds dan bahan kimia industri lainnya. Penggunaan besar lainnya adalah untuk produksi arang aktif (activated carbon). Penggunaan untuk industri lainnya adalah untuk steel heating (steel, pig iron, foundry molds) , nonferrous smelting (copper, brass, nickel, alumunium, electro manganese, armor plate etc) dan metal casehardening. Saat ini juga penggunaan arang untuk pertaninan (soil conditioner) juga mulai banyak dilakukan dan terutama untuk peningkatan produksi di sektor pangan. Sebuah pabrik besar yang integratif untuk recovery limbah kayu-kayu keras (hardwood byproduct recovery plant)  pernah dibangun dan beroperasi meliputi karbonisasi dan fasilitas pemurnian untuk produksi asam asetat, methanol dan arang dalam bentuk bongkahan (lump), briquette dan arang aktif, seperti photo dibawah ini.

Hardwood Byproduct Recovery Plants 

Biaya untuk investasi produksi arang tergolong murah, sehingga bisa dilakukan oleh industri kecil dan menengah. Tetapi kesuksesan usaha arang tidak serta merta ditentukan oleh murah biaya alat tetapi lebih pada studi aspek komersialnya seperti sumber dan biaya bahan baku, ketersediaan dan biaya tenaga kerja, dan aspek pasar untuk arang yang diproduksi. Bahan baku dan biaya tenaga kerja, operasional yang efisien dan kemampuan pemasaran adalah sejumlah faktor utama kesuksesan produksi arang.    
Beehive Kiln, tipe karbonisasi batch yang populer di era awal 1900an
Missouri Kiln, alat karbonisasi batch yang populer di tahun 1950an

Pada era awal tahun 1900an produksi arang dunia mengalami masa kejayaannya dengan produksi lebih dari 500 ribu ton. Daya dorong berupa tingginya kebutuhan asam untuk produksi tekstil dengan arang sebagai bahan baku produksi asam tersebut telah mendorong industri arang.  Sebagai akibatnya pabrik untuk produksi arang dan recovery produk samping menjadi mahal. Pada era ini crude liquor didapat dari kondensasi volatil. Crude liquor tersebut kemudian dimurnikan menjadi asam asetat murni dan metanol. Pada tahun antara 1910 dan 1940 produksi arang mengalami penurunan menjadi hampir ½ dari era awal 1900an yang diakibatkan material karbon lainnya menggantikan arang pada pembuatan logam-logam dan bahan kimia.
 



Biomasa khususnya kayu-kayuan memiliki kandungan terutama hemicellulose, celullose dan lignin. Hemicellulose berkontribusi pada non-condensable gas dan sedikit tar. Hemicellulose mulai terdekomposisi pada kisaran suhu 150 C dan terdekomposisi secara keseluruhan diatas 180 C. Celullose terutama berkontribusi pada condensable vapor dan mulai terdekomposisi pada 275 C. Hemicelullose dan celullose inilah sumber utama material volatil. Sedangkan lignin memiliki tingkat dekomposisi lebih sulit daripada hemicellulose dan celullose. Lignin mulai terdekomposisi pada 280 C , puncaknya dikisaran suhu 350 – 450 C dan memiliki kontribusi yang besar pada pembentukan arang dan senyawa aromatik.  Produksi arang membutuhkan heating rate yang rendah dengan durasi waktu lama dan suhu relatif rendah, yakni 450 C. Selama pirolisis atau karbonisasi produksi gas juga bervariasi seiring perubahan suhunya. Gas CO2 (karbondioksida) memiliki konsentrasi yang tinggi pada suhu rendah dan menurun seiring peningkatan suhu. Gas-gas hidrokarbon akan keluar maksimal pada suhu 450 C dan turun diatas 500 C,  setelah itu gas hidrogen mulai terbentuk. Hidrogen sendiri terutama terbentuk pada suhu 700 – 950 C.

Produksi Arang Secara Tradisional
Skema Proses Karbonisasi Semi-Kontinyu
Produksi Arang Secara Kontinyu Cocok Untuk Material Curah (bulk material)
Proses produksi arang secara tradisional membutuhkan waktu lama hingga berminggu-minggu. Proses semi-kontinyu hanya membutuhkan waktu relatif singkat yakni 20an jam saja, sedangkan proses kontinyu lebih cepat lagi. Produksi arang dari kayu-kayu gelondongan atau kayu-kayu bulat atau dari wood briquette akan cocok dengan semi-kontinyu, sedangkan bahan baku curah akan lebih cocok dengan proses kontinyu. Kiln tipe semi-kontinyu menggunakan supplai panas melalui dinding dan after-burning pirolisis produk, dapat digunakan untuk produksi arang tersebut. Dua buah ruangan yang digunakan secara bergantian yakni pada mode pengeringan (drying) dan mode pirolisis atau karbonisasi membuat proses berjalan secara efektif sehingga tidak lagi membutuhkan bahan bakar tambahan (eksternal) dalam proses karbonisasinya. Panas eksothermal proses pirolisis tersebut berkisar 1000 sampai 1150 KJ, membuatnya cukup (ketika tidak ada heat losses) membuat proses pirolisis tersebut berjalan tanpa tambahan bahan bakar eksternal. Kontrol kondisi operasi baik berupa heating rate, suhu dan waktu tinggal pada proses semi-kontinyu juga lebih akurat sehingga kualitas produk arang bisa dijaga dengan baik.         

1 komentar:

  1. Saya menyediakan karung jumbo bag, sling bag kapasitas 500kg-2000kg kekuatan dijamin tersedia kondisi bekas ataupun baru, dan karung 50kg bekas ataupun baru ready bersta dar SNI, sudah berpengalaman sejak tahun 1995, cocok buat isi hasil bumi atau pertambangan sperti, pasir, silika, kapur, arang, sawit, rempah2, biji2an, jenis plastik, dan grade food untuk makanan, susu bubuk, kopi, coklat bubuk, gula, garam dll, sudah berpengalaman kirim ke seluruh Indonesia dan terpercaya, perlu diketahui menggunakan packing jumbo bag menghemat biaya finishing dan pengemasan produksi
    Kontak hubungi :
    Wa: 081296230410
    Tlp: 081278692200
    Email : Fikriefridho99@gmail.com
    Lokasi- Serang-Banten dan jabodetabeka

    BalasHapus

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...