Jumat, 03 Februari 2017

Memasyarakatkan Wood Briquette Sebagai Bahan Bakar Terbarukan dan Ramah Lingkungan

Judul tentang pemanfaatan energi terbarukan dan ramah lingkungan, telah ramai menghiasi berbagai media cetak maupun elektronik pada saat ini. Ketersediaan energi fossil yang semakin menipis dan tidak berkelanjutan (sustainable) menjadi daya dorong utama untuk memberikan perhatian terhadap energi terbarukan. Seiring waktu dengan meningkatkan kebutuhan energi, maka tidak bisa dielakkan lagi energi terbarukan akan menjadi kebutuhan wajib pada waktunya. Biomasa ligno-celullose seperti kayu-kayuan adalah sumber berlimpah yang mudah didapat sekaligus juga mudah dibudidayakan untuk keberlanjutan pasokannya. Fakta tentang rendahnya penggunaan energi terbarukan seperti biomasa bisa ditinjau dari sejumlah faktor, antara lain kesadaran lingkungan yang masih rendah termasuk membiarkan tanah-tanah produktif tanpa hasil bahkan cenderung terjadi penggurunan (desertifikasi), rendahnya kesadaran untuk mandiri atau berdaulat di sektor energi sebagai salah satu kebutuhan vital, kurangnya atau lemahnya penguasaan teknologi untuk produksi energi terbarukan maupun pemanfaatannya sehingga berakibat tidak mampunya melihat potensi biomasa yang sangat besar di wilayah tropis seperti negeri kita.

Wood briquette adalah produk pemadatan (densifikasi) biomasa. Dibanding wood pellet, wood briquette kalah populer dan produksinya juga tidak sebanyak wood pellet. Secara teknis kualitas wood briquette tidak kalah dengan wood pellet, karena pada umumnya kepadatan (densitas) wood briquette lebih tinggi daripada wood pellet. Selain itu pada kulit wood briquette juga terjadi pengarangan sebagian yang membuatnya mudah dinyalakan. Ukuran wood briquette yang besar membuatnya tidak mudah mengalir atau dicurahkan seperti halnya wood pellet, yang bisa jadi faktor inilah yang membuat wood briquette kurang diminati. Pada dasarnya wood briquette mirip dengan kayu batangan seperti kayu bakar yang digunakan untuk memasak, dengan kepadatan kurang lebih 2 kali kayu keras sehingga untuk membakarnya juga bukan hal yang sulit. Sejumlah tungku yang biasa menggunakan kayu bakar akan mudah mnyesuaikan dengan wood briquette.
 
Wood briquette juga kurang publikasi dibandingkan wood pellet, sehingga wajar wood pellet lebih populer. Penggunaan wood pellet untuk berbagai industri juga sudah mulai marak seperti di industri  teh untuk proses pelayuan dan pengeringan daun teh itu sendiri. Kandungan antrakuinon juga akan sangat rendah apabila menggunakan wood pellet sebagai bahan bakar proses tersebut sehingga bisa diterima dengan baik produk teh tersebut untuk pasar Eropa khususnya. Karakteristik wood pellet yang bisa curah inilah inilah yang membuatnya banyak dipilih.
Kompor untuk memasak dan penghangat ruangan yang umum digunakan di Eropa seperti dua photo diatas yang bahan bakarnya berupa kayu bakar juga bisa diganti menggunakan wood briquette sehingga lebih efisien

Pada dasarnya wood briquette juga memiliki kegunaan yang sama, hanya sedikit modifikasi tungku mungkin dibutuhkan karena ukuran yang besar tersebut. Resume pemakaian biobriquette atau wood briquette bisa dibaca disini. Penggunaan wood briquette berikut penguasaan teknologi produksinya seharusnya lebih mudah dilakukan. Wood briquette telah lebih lama diproduksi di berbagai daerah di Indonesia, lebih dari 20 tahun lalu sebagai produk antara pada produksi sawdust charcoal briquette. Fabrikasi atau pembuatan peralatan produksinya untuk wood briquette juga telah 100% telah mampu diproduksi di dalam negeri, berbeda dengan wood pellet yang sebagian peralatan produksinya masih import.
 


Selain limbah kayu-kayuan tersebut, limbah perkebunan seperti tandan kosong sawit juga potensial didensifikasi atau dipadatkan baik menjadi pellet ataupun briket. Pada pabrik sawit kebutuhan energi baik panas dan listrik pada umumnya sudah bisa dicukupi oleh limbah sabut (mesocarp fiber) dang cangkangnya (palm kernel shell). Cangkang bahkan banyak sisa dan bisa langsung dijual karena bisa langsung digunakan untuk bahan bakar dan bisa curah seperti halnya wood pellet. Pabrik atau industri sawit besar yang tidak hanya memproduksi minyak mentah sawit atau CPO (crude palm oil) tetapi dengan berbagai produk turunan atau pemurnian/refinery untuk meningkatkan nilai tambah CPO tersebut akan membutuhkan banyak energi untuk proses produksinya. Gambar dibawah ini tentang skema pemurnian (refinery) CPO sehingga dihasilkan berbagai produk turunannya. 

Briket tankos bisa sebagai sumber energi refinery atau pemurnian CPO tersebut. Sebuah operasi pabrik sawit yang efisien dan zero waste dengan pemanfaatan optimal limbah-limbahnya untuk sumber energi bisa dilakukan dengan baik dengan mekanisme tersebut diatas. Abu dari pembakaran briket tersebut yang kaya akan kalium (K) juga bisa dipungut yang nantinya digunakan untuk pupuk organik pada perkebunan sawitnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...