Selasa, 14 November 2017

Wood Pellet Vs Palm Kernel Shell Di Pasar Lokal Dan Pasar Global

Berbeda dengan Kanada dan Amerika, yang menggenjot produksi wood pelletnya dengan orientasi utamanya saat ini untuk eksport, maka Indonesia dan juga Malaysia telah memiliki bahan bakar biomasa yang sifat-sifatnya mirip dengan wood pellet, yakni cangkang sawit atau palm kernel shell. Cangkang sawit ini juga menjadi penantang utama wood pellet di pasar global. Apa saja kemiripan sifat-sifat wood pellet dibandingkan dengan cangkang sawit? Hal-hal tersebut antara lain, pertama, ukuran relatif seragam ;kedua merupakan bahan curah; ketiga nilai kalor yang hampir sama; keempat mudah dalam handling dan kelima mudah dihancurkan (crushing). Indonesia dan Malaysia mungkin tidak sengaja menemukan cangkang sawit sebagai jenis bahan bakar biomasa yang memiliki kualitas superior dan diminati berbagai negara atau komoditas export, sedangkan Kanada dan Amerika, karena tidak punya perkebunan sawit maka mengolah limbah-limbah kayu maupun kayu-kayu hutan untuk dijadikan wood pellet, karena bahan baku tersebut banyak tersedia disana. Eropa juga banyak memproduksi wood pellet dan sebagian besar digunakan untuk mereka sendiri, bahkan karena kebutuhannya masih lebih besar daripada produksinya, maka harus mengimport dari Kanada dan Amerika. Bahkan Eropa inilah porsi pasar terbesar untuk wood pellet Amerika dan Kanada.

Dengan luas lahan sawit Indonesia saat ini sekitar 12 juta hektar dan Malaysia 5 juta hektar, dengan sekitar 35 juta ton CPO produksi Indonesia dan 19 juta ton CPO Malaysia (85% CPO dunia dari Indonesia dan Malaysia), maka setelah dikurangi untuk bahan bakar internal pada pabrik CPO mereka, masih tersisa cangkang sawit lebih dari 10 juta ton. Sedangkan produksi wood pellet Kanada yakni 3 juta ton dan Amerika yakni 3,5 juta ton. Rupanya cangkang sawit masih lebih banyak daripada produksi wood pellet dari kedua negara besar tersebut saat ini. Tetapi permintaan eksport yakni untuk cangkang sawit tersebut ternyata terus meningkat. Jepang, Korea Selatan dan China adalah ketiga negara dengan kebutuhan besar. Apabila katakan 10 juta ton cangkang sawit tersebut semua di import oleh ketiga tersebut maka itupun akan masih kurang, terutama pada tahun 2020 yang mana prosentase penggunaan bioenergi di ketiga negara tersebut cukup besar. Padahal ternyata peminatnya tidak hanya negara-negara Asia Timur tersebut, tetapi negara-negara di Eropa seperti Polandia dan Italia ternyata juga membutuhkan cangkang sawit tersebut.

Ada lagi pertanyaan, apakah di dalam negeri tidak membutuhkan cangkang sawit tersebut? Ternyata di dalam negeri baik di Malaysia maupun di Indonesia juga menggunakan cangkang sawit tersebut. Kita ambil contoh di Indonesia, sejumlah industri menggunakan cangkang sawit untuk bahan bakar boiler mereka, ada juga yang digunakan untuk proses produksi teh, ada juga digunakan produksi arang bahkan arang aktif, pembuatan briket, dan bahkan akhir-akhir ini sejumlah pembangkit listrik juga menggunakan cangkang sawit sebagai bahan bakarnya. Nah, di titik inilah masalah mulai muncul, cangkang sawit yang awalnya hanya limbah atau sampah pabrik sawit sekarang ramai dicari bahkan menjadi komoditas export. Walaupun saat ini penggunaan untuk konsumsi dalam negeri juga belum banyak. Posisi cangkang sawit yang jauh berada di pedalaman juga umumnya belum bisa termanfaatkan dan hanya menjadi limbah saja. Perihal kompetisi penggunaan cangkang sawit tersebut, mengapa hal tersebut bisa terjadi ? Tentu saja karena dorongan mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global sehingga menggunakan biomass fuel yang carbon neutral, cangkang sawit juga paling murah, tersedia dalam jumlah besar, berkesinambungan (sustainable) dan kualitasnya bagus yakni propertiesnya tidak berbeda jauh dengan wood pellet. Harga cangkang sawit hanya sekitar separuh dari wood pellet.

Lalu bagaimana solusinya? Seperti kita semua ketahui hukum pasar supply demand akan menentukan harga suatu komoditas, demikian juga cangkang sawit. Kalau melihat proyeksi peta kebutuhan biomass fuel di negara-negara Asia Utara (Jepang, Korea, China) dan Eropa dengan trend terus meningkat secara signifikan, sementara kebutuhan di dalam negeri relatif kecil peningkatannya, maka besar kemungkinan sebagian cangkang sawit tersebut akan terkuras habis untuk export apalagi dengan harga beli lebih tinggi dari pasar dalam negeri. Pengenaan pajak yang tinggi supaya cangkang sawit yang merupakan limbah sawit tersebut juga tidak tepat. Kalau pajak terlalu tinggi maka jelas cangkang sawit menjadi tidak kompetitif lagi, sedangkan apabila tersedia wood pellet yang harganya hampir sama, tentu saja pasar akan memilih produk tersebut. Ingat Kanada memiliki sekitar 150 juta hektar hutan industri dan Amerika sepertiganya atau sekitar 50 juta hektar, begitu juga Rusia yang tidak kalah luasnya. Para pengusaha cangkang sawit akan  gulung tikar dan ekonomi semakin lesu. Padahal nilai bisnis untuk 10 juta ton cangkang sawit setara 10 trilyun rupiah.



Seperti halnya Kanada yang mempromosikan wood pelletnya kemana-mana, seharusnya demikian juga dengan cangkang sawit, dan sambil memperbaiki harga jualnya sehingga memberi keuntungan yang menarik bagi pengusaha cangkang sawit tersebut dan menggerakkan ekonomi masyarakat. Atau pun jika cangkang sawit harus dalam bentuk olahan untuk bisa export sehingga menggerakkan industri atau produksi dan ekonomi misalnya dibuat arang atau torrified palm kernel shell sebagai produk bahan bakar, ataupun arang aktif, biooil, asap cair, bio-methanol dan sebagainya. Lalu bagaimana dengan dalam negeri ? Kebun energi adalah solusi untuk mencukupi kebutuhan bahan bakar biomasa di dalam negeri. Kondisi iklim tropis, curah hujan tinggi, tanah luas dan subur adalah anugrah yang harus disyukuri. Kebun energi dengan tanaman rotasi cepat dan trubusan (coppice) akan menghasilkan kayu dalam tempo sangat cepat yakni 1 tahun dan bisa dipanen setiap tahun tanpa harus replanting. Replanting baru dilakukan 15 tahun maupun 20 tahun sekali. Harga kayu dari kebun energi tersebut juga akan sangat murah.

Solusi lain yang bisa diterapkan adalah pembatasan export cangkang sawit pada sejumlah daerah atau zonasi karena masalah infrastruktur dan sebagainya, dengan maksud untuk digunakan untuk sumber energi daerah yang bersangkutan. Dengan pemetaan yang lengkap, maka titik-titik atau zone-zone tersebut bisa diidentikasi selanjutnya diimplementasikan. Pada akhirnya setelah peta zonasi dan potensi cangkang sawit tersebut telah diketahui, maka porsi cangkang sawit untuk eksport juga mudah dikelola dan diorganisir, sehingga bisa dihitung berapa persen untuk export dan berapa persen untuk dalam negeri. Pengelolaan dan pengorganisir pks seperti melalui berbagai asosiasi yang telah ada saat ini akan memberi banyak manfaat seperti meningkatkan promosi, posisi tawar dan sebagainya. Sangat dimungkinkan juga bagi pengusaha-pengusaha sawit untuk melakukan polikultur dengan pohon kebun energi, untuk uraian lebih rinci bisa dibaca disini.

Contoh Pembuatan Kebun Energi Untuk Produksi Listrik
Lokasi pembangkit listrik biomasa (IPP atau independent power producer) yang umumnya berada di daerah pedalaman yang notabene tanah tersedia luas, maka kebun energi baik yang diusahakan oleh perusahaan, atau diusahakan oleh masyarakat atau sebagian oleh perusahaan (inti) dan sebagian oleh masayakat (plasma), akan berdampak positif bagi lingkungan bahkan masyarakat setempat. Kebun energi dilengkapi dengan penggembalaan ternak yakni domba akan memberikan manfaat semakin besar bagi sejumlah pihak tersebut. Peternakan domba dan kebun energi akan memberikan hubungan yang mutualisme, begitu juga bagi manusia atau pengelolanya. Rincian tentang hal itu bisa dibaca di link  ini, link ini, dan link ini

Apakah setelah cangkang sawit habis terjual, maka tankos sawit /EFB pellet akan menjadi bahan bakar biomasa (biomass fuel) yang menjadi incaran selanjutnya? Mengingat kebutuhan biomass fuel dunia yang semakin meningkat dalam era bioeconomy, maka hal tersebut juga sangat mungkin terjadi. Baik EFB pellet maupun wood pellet akan menjadi biomass fuel selanjutnya pada tahap kedua setelah cangkang sawit tersebut. Ketika kebutuhan biomass fuel untuk IPP dan sejumlah industri dalam negeri, maka kayu-kayu yang diproduksi dari kebun energi juga bisa dijadikan wood pellet untuk pasar export.

Sedangkan kayu dari kebun energi tersebut bisa hanya dibuat serpih kayu (wood chip), tanpa harus dibuat pellet untuk memenuhi IPP dan industri-industri dalam negeri. Dengan luas kebun sawit Indonesia yang saat ini telah mencapai sekitar 12 juta hektar atau hampir 2,5 kali Malaysia, bisa jadi kondisi tersebut juga hampir mencapai titik jenuh luasan yang bisa untuk perkebunan sawit tersebut. Bahkan ketika PLTU-PLTU saat ini yang sedang dibangun maupun yang beroperasi pada waktunya menggunakan biomass fuel, seperti yang terjadi di Kanada, Eropa, dan Inggris, hal tersebut juga sangat dimungkinkan, mengingat jutaan hektar tersedia untuk kebun energi. Dan tentu saja hal ini atau tata kelola lahan tersebut tidak boleh berbenturan dengan masalah pangan manusia.

Mendapatkan kayu dari kebun energi itu prosesnya lama perlu menanam dulu dan sebagainya, demikian beberapa keluhan yang sering muncul. Tapi kalau kita kaji lebih jauh, jelas pertanyaan tersebut juga tidak berdasar. Bukankah untuk mendapatkan cangkang sawit juga perlu menanam pohon sawit yang butuh rata-rata 5 tahun untuk bisa berbuah dan mendapat cangkang sawit tersebut ? Ataukah ingin mencari limbah perkebunan tertentu yang kualitasnya sekelas cangkang sawit? Misalnya cangkang mete (cashew nut shell), ya bisa saja. Tetapi ternyata ketersediaan cangkang mete tidak sebanyak cangkang sawit, bahkan banyak yang dieksport dalam bentuk biji mete, sehingga cangkannya terikut dieksport. Sedangkan kebun energi hanya membutuhkan 1 tahun setelah itu bisa dipanen setiap tahun hingga 20 tahun, dan baru diremajakan (replanting) kembali. Perawatan pohon sawit juga lebih ekstra dibandingkan kebun energi. Perawatan kebun energi salah satunya bisa dilakukan dengan penggembalaan domba untuk pemupukan kebun energi tersebut, juga sebagai produksi daging paling ekonomis. Dengan cara seperti itu kebun energi juga akan berproduksi secara maksimal. Secara teknis penyiapan kebun energi bisa dijalankan bersamaan (parallel) dengan pembangunan pembangkit listrik tersebut, sehingga pada waktunya kebun energi bisa dipanen kayunya maka pembangkit listrik biomasa juga sudah siap beroperasi.

Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi saat ini yang hanya dikisaran 5%, tentu hal tersebut tidak mencukupi untuk menampung tenaga kerja yang jumlahnya sangat banyak. Bagaimana solusinya? Tentu saja solusinya menciptakan lapangan pekerjaan untuk menggerakkan roda ekonomi semakin cepat. Tentu itu bukan hal mudah karena iklim bisnis yang baik juga membutuhkan persyaratan kondisi politik yang sehat dan stabil. Peluang kebun energi dan penggembalaan domba tersebut akan menciptakan banyak pekerjaan. Penggembalaan domba di kebun-kebun sawit juga sangat memungkinkan. Hampir tidak ada yang berpikir menyuburkan tanah perkebunan sawit dengan kotoran domba melalui penggembalaan tersebut. Padahal itu cara produksi dan distribusi pupuk paling ekonomis, seperti halnya produksi daging paling ekonomis. Ditinjau dari pangan, ketika minyak sawit digunakan sebagai minyak pangan maka unsur lemak didapat dari sana, sedangkan daging sebagai unsur protein yang sangat penting bagi pertumbuhan sel dan kecerdasan. Dua unsur penting pangan manusia bisa didapat dengan penggembalaan di perkebunan sawit tersebut. Sedangkan penggembalaan di kebun energi akan mendapatkan protein dan energi atau bahan bakar, dua hal yang penting juga bagi kehidupan manusia, konsep penggembalaan di kebun energi bisa dibaca lebih rinci di 5F projects for the world!

Al Qur'an memberi petunjuk bahwa energi tersebut berasal dari pepohonan, untuk lebih rinci bisa dibaca disini. Cangkang sawit dan wood pellet maupun wood chip merupakan bahan bakar atau sumber energi dari pepohonan. Seiring kemajuan teknologi maka pembangkit-pembangkit listrik pun menjadi semakin kecil ukurannya, bahkan hanya seukuran kulkas. Ketika pembangkit-pembangkit listrik kecil dan kebun energi telah tersebar dimana-mana, maka bumi kembali hijau dan kemakmuran terjadi dimana-mana, seperti diisyaratkan dalam hadist berikut :

"Tidak akan terjadi hari kiamat, sebelum harta kekayaan telah tertumpuk dan melimpah  ruah,  hingga  seorang  laki-laki  pergi  ke  mana-mana  sambil membawa  harta  zakatnya  tetapi  dia  tidak  mendapatkan  seorangpun  yang bersedia  menerima  zakatnya  itu.  Dan  sehingga  tanah Arab  menjadi  subur makmur  kembali  dengan  padang-padang  rumput  dan  sungai-sungai "  (HR.Muslim).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...