Walaupun sebagian besar pembangkit listrik saat ini menggunakan teknologi pulverized coal boiler yang mencapai sekitar 50% pembangkit listrik dunia, tetapi penggunaan teknologi grate combustor boiler dan fluidized bed boiler juga semakin meningkat. Pulverized coal boiler terutama digunakan untuk pembangkit kapasitas sangat besar (>100 MW) , sedangkan untuk kapasitas menengah biasa menggunakan teknologi fluidized bed (antara 20-100 MW) dan untuk kapasitas lebih kecil dengan grate combustor (<20 MW). Kelebihan untuk teknologi fluidized bed dan grate combustor boiler adalah flexibilitas bahan bakar termasuk toleransi terhadap ukuran partikelnya. Berbagai limbah pertanian, sampah kota, ban bekas dan sebagainya bisa digunakan sebagai bahan bakarnya. Ketika pada pulverized coal boiler mensyaratkan ukuran partikel kecil (1-2 cm) seperti serbuk gergaji (sawdust) sehingga bisa diatomisasi pada nozzle pulverizer, maka untuk grate combustor dan fluidized bed ukuran partikel sebesar kerikil (maks. 8 cm) bisa diterima. Berdasarkan kondisi tersebut limbah pertanian yakni PKS memiliki peluang besar sebagai bahan bakar boiler-boiler tersebut.
Pembangkit Listrik Dengan teknologi Fluidized di Jepang 49 MW dengan bahan bakar PKS dan beroperasi sejak 2015 |
Kandungan abu batubara umumnya lebih besar daripada biomasa, selain itu kimia abu batubara sangat berbeda dengan kimia abu biomasa. Biomasa memiliki kandungan anorganik lebih kecil daripada batubara, tetapi kandungan alkali dalam biomasa bisa mengubah sifat-sifat abu batubara khususnya abu aluminosilikatnya. Praktisnya yakni jika ingin mengubah pulverized system dari batubara ke biomasa khususnya PKS maka perlu modifikasi pembangkit listrik tersebut dan ini juga tidak murah, tetapi jika ingin tanpa modifikasi atau hanya sedikit saja modifikasi pembangkit listrik diperlukan yakni dengan cara cofiring tersebut. Cofiring biomasa dengan batubara dengan porsi kecil misalnya 3-5% tidak perlu memodifikasi pembangkit listrik pulverized tersebut. Sebagai contoh Shinci di Jepang dengan kapasitas 2 x 1.000 MW supercritical pulverized fuel dengan cofiring 3% membutuhkan 16.000 ton/tahun biomasa dan tidak ada modifikasi, demikian pula dengan Korea Shoutheast Power (KOSEP) 5.000 MW dengan cofiring 5% membutuhkan biomasa 600.000 ton/tahun dan juga tanpa modifikasi. Mengapa cofiring pada pulverized system banyak dibahas? Selain pembangkit tipe ini jumlahnya paling banyak dengan kapasitas produksi listrik sangat besar sehingga menjadi sarana efektif untuk menurunkan kadar CO2 di atmosfer yang otomatis juga mengurangi penggunaan batubara, juga penggunaan biomasa dalam cofiring punya efek pada operasional pembangkit dan harga produk listrik yang dihasilkan.
Studstrup power station Denmark 700 MW melakukan cofiring hingga 20% dengan jerami (straw) |
Mengapa menggunakan PKS untuk bahan bakar pembangkit tersebut? Hal ini karena PKS memiliki karakteristik hampir sama dengan wood pellet, banyak tersedia dan harganya murah. Indonesia dan Malaysia adalah dua produsen utama PKS. PKS dihasilkan dari pengolahan kelapa sawit. Dengan luas perkebunan kelapa sawit Indonesia mencapai 12 juta hektar di Indonesia dan 5 juta hektar di Malaysia, maka jumlah PKS yang dihasilkan dari kedua negara mencapai 15 juta ton/tahun. Jumlah PKS tersebut kedua negara tersebut melebihi produksi wood pellet dari Amerika Serikat dan Kanada, atau 2 produsen penghasil wood pellet terbesar saat ini. Dan tentu saja Amerika Serikat dan Kanada tidak bisa menghasilkan PKS, karena tidak memiliki perkebunan kelapa sawit, tetapi Indonesia dan Malaysia bisa memproduksi wood pellet karena memiliki hutan yang luas. Produksi wood pellet Indonesia dan Malaysia masih kecil, yakni kurang dari 1 juta ton/tahunnya, tetapi produksi PKS-nya cukup besar yang bisa sebagai penggerak awal bioeconomy dan menyuplai biomasa ke Eropa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar