Minggu, 07 Oktober 2018

Hikmah Dari Pekerjaan Setiap Para Nabi & Rasul Yang Menggembala Kambing / Domba

~ Ibnu Hajar rahimahullah berkata, para ulama berkata, “Hikmah di balik penggembalaan kambing sebelum masa kenabian tiba adalah agar mereka terbiasa mengatur kambing yang nanti dengan sendirinya akan terbiasa menangani problematika manusia.”[Fathu Al Bari 1/144]

Para nabi berprofesi sebagai penggembala kambing semenjak kecil, agar mereka menjadi penggembala manusia pada waktu mereka besar. Sebagaimana Musa dan Muhammad serta para nabi lainnya shalawatullahi ‘Alaihim wa Salamuh, pada awal kehidupan mereka telah berhasil menjadi penggembala kambing yang baik, agar mengambil pelajaran setelah keberhasilan mengendalikan binatang ternak menuju keberhasilan mengurus anak cucu Adam dalam mengajak, memperbaiki dan mendakwahi mereka.[1] Agar sang da’i bisa sukses dalam berdakwah, maka perlu memiliki pengetahuan tentang pentingnya kesinambungan dan praktik secara langsung.

~ Dalam pekerjaan mengembala kambing terdapat pelajaran membiasakan diri untuk sifat menyantuni dan mengayomi. Tatkala mereka bersabar dalam mengembala dan mengumpulkannya setelah terpencar di padang gembalaan, mereka mendapat pelajaran bagaimana memahami perbedaan tabiat umat, perbedaan kemampuan akal. Dengan perbedaan tersebut maka yang membangkang mesti ditindak tegas dan yang lemah mesti disantuni.
Hal ini memudahkan bagi yang memiliki pengalaman seperti itu untuk menerima beban dakwah dibandingkan yang memulai dari langsung dari awal. Itulah awal pembelajaran bagi para Nabi dengan cara menghadapi tabiat yang berbeda, ada yang lemah, ada yang pincang dan bermaksud mendaki gunung, ada yang tidak mampu untuk melintasi lembah. Dari situ, dia mempelajari bagaimana meraih keinginan yang beragam sebagai pengantar untuk mengenal manusia dengan tujuan dan maksud yang juga beragam. [2]

~ Para Nabi mengembala kambing semenjak mereka kecil dan mereka menyandarkan kehidupan mereka melalui usaha mereka, memberikan pesan tentang pentingnya seorang da’i menggantungkan dirinya kepada Allah dan tidak menggantungkan hidupnya pada belas kasian orang lain.

Jika seorang menyandarkan dirinya kepada orang lain, maka akan terjadi basa basi, sementara dakwah tidak mengenal basa basi, dan seorang da’i mesti menjauhkan dirinya dari pemberian dan sedekah orang lain. Manusia tidak akan menerima dakwah orang yang pernah suatu hari menerima sedekah dan belas kasihannya, kemudian hari yang lain, dia menasehatinya dan memperingatinya agar tidak terlena dengan dunia. Oleh karena itu, rezeki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menjadi pembicaraan orang Quraisy, Rasulullah hidup di antara mereka dengan tidak meminta belas kasihan mereka, hal yang menyebabkan mereka setelah itu mengungkit jasa dan kebaikan mereka.

Foot Note:

[1] Assa’di, Al Mawahid Ar Rabbaniyah Minal Ayati Al Qur’aniyah, hal.149

[2] Ibnu Hajar, Fathu Al Bari 4/441

Sumber: Fikih Sirah, Prof.Dr.Zaid bin Abdul Karim az-Zaid, Penerbit Darussunnah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...