Pembangkit Listrik di Jepang 49 MW yang beroperasi sejak 2015 dengan PKS |
Dengan operasi suhu relatif rendah yakni 650-900 C maka masalah abu bisa diminimalisir. Bahan bakar biomasa tertentu kadang memiliki kadar abu yang tinggi dan kimia abu yang berpotensi merusak unit pembangkit tersebut. Selain itu faktor kebersihan bahan bakar juga sangat penting, hal ini karena secara teknis pengotor-pengotor tertentu seperti logam bisa menutup pori-pori udara pada angsang (perforated plate) unit FBC tersebut, padahal udara khususnya oksigen mutlak dibutuhkan pada proses pembakaran tersebut dan juga yang membuat kondisi fuel bed ter-fluidize. Prasyarat kebersihan bahan bakar tersebut harus dipenuhi oleh penyedia atau penjual bahan bakar biomasa tersebut, oleh sebab itu pihak pembeli mensyaratkan jumlah pengotor (impurities/kontaminan) yang bisa diterima sangat kecil, yakni berkisar kurang dari 1%. Pembersihan PKS dilakukan dengan mengayaknya baik manual maupun dengan mesin mekanis, untuk lebih detail masalah kebersihan bahan bakar biomasa bisa dibaca disini.
Selain PKS, pellet fuel dari limbah-limbah pertanian atau agro-waste pellet seperti EFB pellet yang memiliki kandungan abu besar dan titik leleh abunya rendah juga bisa digunakan dan tidak perlu khawatir sebagai bahan bakar dengan teknologi ini. Produksi agro-waste bisa digenjot apabila pembelinya ada, yakni pembangkit listrik biomasa dengan teknologi CFB. Walaupun limbah-limbah pertanian melimpah ruah di Indonesia tetapi umumnya hanya dibakar atau di timbun saja, karena dianggap sebagai masalah atau polutan. Mengapa limbah-limbah tersebut tidak diolah menjadi pellet? Salah satunya karena belum menemukan pasar atau pembelinya, walaupun pada dasarnya selalu ada pasar untuk setiap jenis pellet fuel. Sementara PKS yang bisa dihasilkan di Indonesia dengan luas perkebunan sawit saat ini 12 juta hektar diperkirakan mencapai 10 juta ton/tahun, bisa langsung digunakan untuk pembangkit listrik CFB tersebut. Hal inilah mengapa PKS lebih dicari oleh pembeli saat ini.
Kelemahan atau kekurangan pembangkit listrik CFB adalah konsentrasi yang tinggi pada flue gas (gas buang) sehingga penangkap debu (dust precipitator) dan boiler cleaning system harus mampu bekerja secara efisien. Selain itu bed material juga hilang bersama abu, sehingga secara periodik perlu ditambahkan kembali. Bed material yang biasa dipakai yakni pasir silika dan dolomit. Untuk mengurangi biaya biasanya bed material digunakan kembali setelah dipisahkan dengan abu. Tekniknya yakni campuran abu tersebut dipisahkan dari material ukuran besar dengan partikel lembut dan pasir silika dalam air classifier. Selanjutnya material yang lembut dikembalikan ke dalam tumpukan (bed). Lebih spesifik lagi CFB lebih tinggi efisien dan lebih sedikit gas buang (flue gas) dibandingkan dengan BFB sehingga boiler dan sistem pembersih gas buang dapat dirancang lebih kecil.
Bahan bakar biomasa mendapat porsi 4,3% di Jepang pada proyeksi energi 2030 mereka. Ini berarti biomasa terhitung sebesar 4,3% dari 245 juta MW pertahun dengan energi terbarukan atau sekitar 6.000 MW dari biomasa. Untuk mengurangi emisi CO2 dari batubara Jepang juga membuat peraturan tentang efisiensi pembangkit listriknya, yakni menjadi minimum 41% pada 2030 sedangkan sebagian besar efisiensi pembangkit listrik batubaranya saat ini berkisar 30-35%. Saat ini pembangkit listrik yang memiliki efisiensi lebih dari 41% hanya ultra supercritical pulverized coal. Modifikasi pembangkit listrik juga bisa dilakukan untuk meningkatkan efisiensi tersebut, tetapi tentu membutuhkan biaya lagi, sehingga kondisi tersebut semakin menjadi daya dorong pembuatan pembangkit listrik biomasa khususnya CFB powerplant dan efeknya peningkatan permintaan PKS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar