Minggu, 28 Februari 2021

Paradigma Peternakan Ruminansia Modern : Mengurangi Produksi Metana dan Meningkatkan Efisiensi Pakan

Gas-gas di atmosfer yang dapat menangkap panas matahari disebut gas rumah kaca (GRK). Yang termasuk gas rumah kaca yang ada di atmosfer antara lain adalah karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4), dan freon (SF6, HFC dan PFC). Gas Metana (CH4) adalah gas berbahaya untuk atmosfer bumi dan salah satu kelompok gas rumah kaca di atas karena daya rusak gas metana 21 kali gas karbondioksida (CO2). Hal tersebut menuntut upaya untuk mencegah terjadinya gas metana maupun mengurangi produksinya. Sebagai contoh adalah pemanfaatan limbah POME atau limbah cair pabrik sawit untuk produksi biogas. Dengan cara tersebut metana yang terjadi di udara terbuka (aerob) akan bisa dihindari (methane avoidance scenario) dan tidak lepas ke atmosfer dengan unit biogas tersebut. Sektor peternakan juga berpotensi menghasilkan yakni kelompok peternakan ruminansia atau hewan memamah biak. Metana tersebut dihasilkan pada rumen ruminansia tersebut sebagai bagian dari proses pencernakannya. Menurut estimasi bahwa kontribusi metana dari peternakan ruminansia dominan dan tentu saja hal itu perlu dikurangi. Produksi gas metana (CH4) tersebut selain menjadi masalah lingkungan juga menyebabkan banyak kehilangan energi pada ternak. Dan ternyata ada proses mengurangi produksi metana tersebut yang sekaligus meningkatkan kesehatan dan  meningkatan berat badan maupun produksi susu.

Peternakan-peternakan besar ruminansia seharusnya lebih menyadari kondisi ini dan memiliki daya dorong lebih tinggi untuk mengurangi produksi metana tersebut. Biochar adalah suplemen pakan yang bisa digunakan untuk maksud diatas. Penggunaan biochar 1-3% dari bahan kering pakannya terbukti meningkatkan pertambahan berat badan signifikan pada sapi potong, demikian juga produksi susu pada sapi perah. Eksperimen di Australia pada sapi potong selama 2 bulan telah memberikan kenaikan berat badan 10% dibandingkan yang tidak menggunakan biochar. Sedangkan untuk sapi perah telah memberikan keuntungan $ 70.000 per tahun untuk lebih detail baca disini. Sedangkan penurunan emisi gas metana diperkirakan mencapai 29% dari penggunaan biochar. Sekali dayung 2-3 pulau terlampaui, begitu pepatah mengatakan.

Efek lain dari penggunaan biochar sebagai feed additive tersebut adalah kotoran ternak menjadi lebih padat dan kurang berbau. Biochar juga bisa digunakan tersendiri untuk mengatasi bau dan kekentalan kotoran ternak tersebut, sehingga kandang menjadi lebih bersih dan tidak berbau menyengat. Selain itu apabila kotoran tersebut digunakan untuk produksi maka produksi biogasnya juga akan meningkat, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Digestate yang dikomposkan juga akan menghasilkan pupuk organik (kompos) yang lebih baik karena tambahan biochar tersebut. 

Kualitas biochar juga menjadi hal sangat penting khususnya untuk suplemen pakan ternak tersebut. Daging dan susu adalah produksi peternakan untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia, sehingga juga akan berimbas pada manusia pada akhirnya. Kualitas biochar ditentukan oleh bahan baku yang digunakan dan proses produksi yang dilakukan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak semua biochar memiliki kualitas yang sama, misalnya biochar dari limbah-limbah pertanian dengan kandungan abu tinggi dengan proses tradisional , dengan bahan baku biomasa kayu dengan kandungan abu kecil dan proses modern, tentu hasilnya berbeda, bahkan misalnya sama-sama menggunakan teknologi modern pun hasilnya akan berbeda. Perbedaan itu terutama terletak pada sifat kimia fisikanya. 

Produksi biochar juga seharusnya dirancang sesuai tujuannya, misalnya biochar suplemen pakan di atas harus menggunakan bahan baku biomasa pilihan dan proses modern sehingga kualitas kualitas stabil dan terjaga. Sedangkan acuan kualitas biochar bisa dengan OMRI, USDA atau IBI. Asosiasi atau organisasi peternakan dunia seperti FEFAC , IFIF dan AFIA saat ini sangat konsern pada safety dan sustainibility, sehingga hal tersebut bisa sejalan dengan biochar sebagai feed additive tersebut. Biochar sebagai feed additive khususnya sapi perah telah diterima oleh hampir semua negara Uni Eropa. Sedangkan untuk tujuan seperti mengurangi bau dan keenceran kotoran maka biochar yang diproduksi dari biomasa apa saja dan dengan menggunakan teknologi sederhana (low tech) sekalipun.

Selasa, 23 Februari 2021

Pembriketan Limbah Perkebunan Nanas

 

Buah nanas termasuk buah yang cukup digemari di seluruh dunia hal tersebut terlihat dari prosentase produksi buah nanas dalam produksi buah dunia yang mencapai 8%.  Tanaman nanas hampir sama seperti pohon pisang yakni setelah berbuah satu kali tanaman tersebut mati, dan selanjutnya produksinya diteruskan oleh anakkannya hingga beberapa generasi. Atau lebih detailnya bahwa tanaman nanas berproduksi setelah 1-2 tahun ditanam dan mati setelah berbuah serta menghasilkan sekitar 70 helai daun. Tanaman nanas tersebut akan dibongkar setelah dua atau tiga kali panen untuk diganti tanaman baru, yang mengakibatkan limbah daun nanas terus bertambah. Saat ini hampir belum ada pemanfaatan limbah tersebut dan daun nanas juga tidak bisa digunakan untuk pakan ternak sehingga hanya dibakar atau dibuang begitu saja yang juga menyebabkan pencemaran lingkungan. Dalam setiap hektar kebun nanas limbah yang dihasilkan bisa mencapai 3 ton. Perkebunan-perkebunan besar nanas biasanya dengan luasan ribuan bahkan puluhan ribu hektar sehingga produksi limbah tersebut juga sangat banyak. Penanganan limbah daun nanas dengan metode yang efektif dan efisien tentu akan memberikan nilai tambah tersendiri apabila dikaji dari sisi ekonomis., sehingga perlu diupayakan penanganan limbah tersebut dan pembriketan adalah solusi jitu untuk problem tersebut.


Walaupun sama-sama menggunakan teknologi pemadatan biomasa (biomass densification), pembriketan daun dan batang nanas lebih mudah dan murah dilakukan daripada dibuat pellet. Produksi briket daun nanas tersebut selanjutnya bisa digunakan untuk bahan bakar memasak, industri bahkan pembangkit listrik. Selain itu briket daun nanas tersebut juga bisa untuk meningkatkan produksi biogas. Sejumlah perusahaan perkebunan nanas besar ada yang memiliki usaha peternakan sapi. Peternakan sapi dipilih terutama karena bisa memanfaatkan kulit atau limbah buah nanas untuk pakan sapi tersebut. Dan karena volume nanas yang dihasilkan juga sangat besar maka limbah buah nanas juga besar dan peternakan sapi yang dibuat juga besar. Kotoran sapi tersebut biasanya diolah lanjut untuk produksi biogas dan digestate dari biogas lalu dibuat kompos. Kompos yang dihasilkan tersebut digunakan kembali dalam perkebunan nanas tersebut. Briket daun dan batang nanas yang ditambahkan pada substrate atau kotoran lalu dicampur (co-digestion) selanjutnya akan menambah produksi biogas secara signifikan, untuk lebih detail baca disini.  

  

Dengan skenario seperti di atas maka hampir semua limbah biomasa yang dihasilkan dari perkebunan dan industri nanas bisa termanfaatkan secara optimal. Demikian juga limbah dari usaha sampingan berupa peternakan sapi untuk produksi biogas. Selain perusahaan-perusahaan besar perkebunan nanas, sentra-sentra produksi nanas di Indonesia seperti Subang, Pemalang, Prabumulih, Kediri, Blitar, Kubu Raya, Mempawah, Muaro Jambi, Kampar, Lampung Tengah dan Karimun juga bisa mengembangkan konsep di atas.

Kamis, 18 Februari 2021

Belajar Sejarah Industri Pakan Ternak Dunia

Kemampuan untuk membuat suplai makanan yang stabil dari hewan ternak membuat populasi dunia berkembang, pusat-pusat masyarakat berkembang dan kota-kota bermunculan. Domestikasi tanaman-tanaman liar dan ternak, serta penggunaan irigasi dan alat-alat pengolah tanah membuat populasi semakin berkembang. Ketika populasi manusia semakin bertambah dan masyarakat banyak tinggal di perkotaan, peternakan dan pertanian semakin terorganisir, efisien dan produktif dengan penggunaan teknologi dan berbagai inovasi. Ilmu nutrisi pakan ternak menjadi disiplin ilmu dimulai sekitar 200 tahun yang lalu. Pada tahun 1810 ilmuwan Jerman bernama Albrecht Daniel Thaer mengembangkan standar pakan ternak pertama yakni dengan membandingkan nutrisi berbagai jenis hay. Hal tersebut selanjutnya diikuti sejumlah penemuan terkait nutrisi pakan ternak seperti sistem analisis proksimat, standard pakan berdasar nutrisi yang tercerna,  vitamin dan mineral yang dibutuhkan hewan ternak, hingga pada tahun 1944 L.A.Maynard mempublikasikan tabel kebutuhan nutrisi untuk ternak dan laboratorium peternakan. Tabel kebutuhan nutrisi tersebut selanjutnya menjadi standar dunia untuk formulasi pakan hingga saat ini termasuk diantaranya ternak ruminansia seperti domba, kambing dan sapi. 

Pakan ternak menjadi komoditas perdagangan atau produk komersial dimulai pada awal 1800an ketika alat transportasi dan menggerakkan alat-alat pertanian terutama menggunakan kuda dan keledai. Peternakan dan pemeliharaan kuda menjadi suatu hal yang penting. Tempat-tempat pemberhentian kuda sebagai tempat peristirahatan banyak dibuat di sepanjang jalur perjalanan antar kota sebagai fasilitas umum atau mirip dengan SPBU pada saat ini. Salah satu hal penting di tempat peristirahatan tersebut adalah penyediaan pakan berkualitas bagi kuda-kuda tersebut, seperti hay, biji-bijian dan sebagainya. Hal tersebut bermunculan sejumlah usaha penyedia pakan kuda dan keledai tersebut, dan sejumlah perusahaan pakan yang ada hari ini seperti Cargill, ADM, Purina, dan Ridley bermula dari sini, meskipun saat itu penggunaan formulasi pakan secara ilmiah sangat minim digunakan.

Pemberhentian kuda dan penyediaan pakan di era tahun 1800an
Pabrik-pabrik pakan di Amerika dibangun berdekatan dengan penggilingan biji-bijian, bahkan banyak industri telah bergerak di penggilingan biji-bijian itu juga ikut terlibat dalam industri pakan tersebut. Industri pakan ternak menggunakan produk samping atau limbah dari penggilingan biji-bijian tersebut. Pabrik pakan ternak pertama dibuat dengan menambahkan sejumlah nutrisi pada produk samping tepung terigu. Penggunaan teknologi dan mekanisasi juga semakin banyak untuk mencapai produk pakan dengan kualitas seragam dan proses produksi yang efisien. Pada menjelang tahun 1900 hammer mill pertama kali digunakan diikuti dengan horizontal batch mixer pada tahun 1909. Pada awal abad 20 terlihat banyak kemajuan dari penggunaan teknologi untuk pakan ternak tersebut tetapi kemajuan yang terlihat paling mencolok dan dramatis adalah ketika Purina memperkenalkan pellet pakan pada tahun 1920an. Dengan pelletisasi tersebut bahan brupa serbuk, kurang disukai ternak (unpalatable), kepadatan yang berbeda-beda menjadi lebih mudah digunakan dan meningkatkan keseragaman. Teknik pelletisasi ini kemudian dengan cepat banyak diminati oleh banyak produsen pakan sehingga pada tahun 1930 ada sejumlah pabrik pakan yang spesialis produksi pellet pakan (feed pellet) tersebut. 

Sekitar tahun 1940 dan 1950 formulasi pakan lebih kompleks dengan penambahan vitamin dan mineral. Pada akhir tahun 1950an kemajuan dan spesialisasi terus berlanjut dalam industri pakan tersebut. Selain itu kapasitas produksi juga semakin besar, bahkan pada tahun 1970an kisaran kapasitas pabrik pakan ternak antara 200 - 500 ribu ton per tahun. Sementara itu peternakan-peternakan besar memilih membuat pakan sendiri supaya semakin kompetitif. Penggunaan otomatisasi pada pabrik pakan dimulai tahun 1975 dan terus berevolusi untuk meminimalisir biaya pakan dan memaksimalkan efisiensi proses produksinya. Teknologi berikut perangkat lunak (software) untuk proses produksi terus berkembang antara lain logistik berbagai bahan pakan, karakteristik ukuran, proses pelletisasi, proses extrusi, dan banyak hal lain dalam produksi.

Sedangkan perkembangan industri pakan ternak di Eropa kurang lebih mencontoh pola perkembangan yang ada di Amerika. Pengolahan biji-bijian dan tekologi penggilingan maju secara pesat pada abad ke-19. Dalam upaya mengakselerasi perkembangan industri pakan ternak di Eropa, pada tahun 1959 Belgia, Prancis, Jerman, Italia dan Belanda membentuk European Feed Manufacturers' Federation (FEFAC) sebagai organisasi bagi industri pakan di Eropa. FEFAC ini memiliki misi untuk menyatukan industri pakan dan menjalin komunikasi dan kerjasama di kawasan Eropa. Walaupun cukup sukses dalam upaya tersebut FEFAC mengalami masalah yang cukup menghebohkan yakni pada tahun 1996 dengan krisis Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) karena terkait pemberian pakan berasal dari mammalian meat and bone meal (MBM) atau tepung tulang dan daging mamalia untuk pakan ruminansia. Daging yang terinfeksi BSE tersebut menyebabkan penyakit Creutzfeldt-Jakob pada manusia sehingga menimbulkan resiko tinggi pada rantai pangan manusia. Setelah wabah itu menyebar selanjutnya penggunaan MBM dalam pakan ternak dilarang. Peraturan tersebut menyebabkan ketergantungan yang tinggi pada bahan baku import seperti tepung kedelai (soybean meal) untuk keberlangsungan suplai daging, susu dan telur. Belajar dari hal tersebut FEFAC pada abad 21 ini memiliki fokus berupa inisiatif pada feed and food safety. Organisasi mengambil inisiatif untuk bisa diberlakukan secara global seperti pada 2001 melarang penggunaan MBM, pada 2006 melarang antibiotik pada pakan, perundang-undangan terkait nitrate pada kotoran ternak, dan penggunaan bahan baku transgenik (GMO).   

Brazil adalah negara di Amerika Selatan yang cukup maju pada industri pakan ternak dan saat ini merupakan suplier terbesar ketiga di dunia pakan ternak. Menariknya adalah produksi pakan komersial di Brazil baru banyak dilakukan pada tahun 1960an. Pola perkembangan industri pakan ternak di Brazil menggunakan model yang sama seperti di Amerika dan Eropa, yakni perusahaan-perusahaan yang terlibat pada penggilingan dan pengolahan biji-bijian seperti gandum, dan jagung juga yang pertama terlibat pada industri pakan ternak. Pabrik pakan pertama dari kulit gandum (wheat bran) dibangun pada 1940an. Saat ini di Brazil sebagian industri pakan terintegrasi dengan peternakannya atau sekitar 80% yang berarti industri pembuat pakan juga merupakan industri yang sama dengan peternakan tersebut. Hal yang menarik lainnya adalah Brazil juga menempati peringkat dua dunia untuk industri pakan hewan peliharaan, padahal industri ini hampir tidak ada sebelum tahun 1990an. Brazil memiliki produksi melimpah untuk jagung, kedelai dan komoditas lainnya yang sangat mendukung industri pakan ternak tersebut.

China adalah produsen pakan ternak terbesar di dunia atau mencapai hampir 20% dunia diikuti Amerika Serikat (17,4%) dan Brazil (6,8%). Sejarah industri pakan ternak di China dimulai pada tahun 1930 dengan penggilingan tepung modern pertama berdiri dan diikuti dengan pemanfaatan produk samping penggilingan tersebut untuk pakan ternak. Sedangkan pabrik pakan modern pertama baru berdiri pada tahun 1949. Selanjutnya karena suasana politik tidak menentu dan pertumbuhan ekonomi lambat serta pemerintahan terpusat membuat produksi biji-bijian menurun sehingga sebagian besar untuk konsumsi manusia. Pertumbuhan industri pakan maupun peternakan juga sangat terbatas. Perubahan kondisi politik tahun 1976 membuat industri pakan ternak mulai tumbuh lagi. Pada tahun 1977 diadakan studi banding tentang industri pakan di Prancis, Jepang dan Amerika. Dan pada tahun 1984 draft tentang rencana pengembangan industri pakan telah dipublikasikan dengan sejumlah garis besar tujuan dan strategi-strategi antara tahun 1984-2000.  

Pada tahun yang sama (1984) juga sejumlah kebijakan juga dikeluarkan untuk menunjang perkembangan industri pakan dalam negeri seperti pajak eksport tinggi untuk bahan pakan dan alat-alat penggilingan, bebas pajak hingga 3 tahun bagi pabrik pakan baru dan bahkan tidak ditarik pajak jika pabrik belum menghasilkan keuntungan yang memadai. Standar pakan pertama dikeluarkan pada tahun 1996, tetapi karena interpretasi terhadap standar tidak konsisten membuat hampir 10% dari uji pakan ternak dibawah standar pada 1998. Bahkan pada tahun 2007 terjadi penarikan pakan hewan peliharaan karena terkontaminasi melamin dan cyanuric acid (yang tinggi kadar nitrogen dan teridentifikasi sebagai kandungan protein kasar) pada unsur protein yang menyebabkan kegagalan ginjal.  Penggunaan nitrogen dari bahan kimia diatas juga dilakukan pada produk-produk pertanian juga membuat penarikan produk-produk pertanian dari China yang dilakukan di Afrika Selatan, Uni Eropa dan Amerika Serikat. Bahkan Amerika memerintahkan USDA untuk memeriksa semua produk-produk pertanian dari China. Tahun 2008 dan 2009 China fokus mengeliminasi masalah pemalsuan atau pencampuran tersebut dan efek krisis yang ditimbulkan. Pada tahun 2010 versi revisi tentang peraturan pakan dan aditif pakan dipublikasikan untuk lebih menjamin kualitas dan keamanan (safety). Walaupun China sebagai produsen pakan terbesar di dunia tetapi kebutuhan bahan baku pakan masih mengandalkan import khususnya tepung/bungkil kedelai untuk mendukung kebutuhan pangan berupa daging, susu dan telur untuk sekitar 1,3 milyar penduduknya.

Sumber dan ketersediaan pakan selalu menjadi orientasi utama bagi usaha peternakan. Dari sejarah di atas nampak jelas bahwa peternakan-peternakan besar selalu dibangun berdekatan dengan sumber pakan seperti penggilingan gandum. Peran pemerintah juga sangat penting untuk mendorong usaha tersebut. Mahalnya harga konsentrat produksi pabrik juga bisa menjadi daya dorong tumbuhnya peternakan besar yang berdekatan dengan kebun energi. Unsur protein dalam pakan selain penting dan esensial juga merupakan unsur biaya tertinggi, sedangkan pakan sendiri memegang komponen biaya tertinggi dalam usaha peternakan atau sekitar 70%. Ruminansia adalah herbivora sehingga pakannya adalah berasal dari tumbuh-tumbuhan, kasus MBM di Eropa bisa menjadi pelajaran mahal bahwa pemberian pakan dari mamalia ternyata malah menimbulkan masalah baru. Apalagi jika kategori makanan tersebut najis, maka binatang ternaknya menjadi binatang jalalah yang dilarang dikonsumsi. Sedangkan kasus pencampuran dengan bahan kimia berbahaya yang terjadi di China dengan  melamin dan cyanuric acid hanya untuk mengelabui kandungan protein sehingga terlihat tinggi juga membahayakan bagi kesehatan tubuh manusia. 

Momentum kebun energi atau kebun biomasa bisa menjadi momentum besar untuk tumbuhnya industri peternakan ruminansia asalkan memang dipersiapkan dengan baik. Sumber pakan lainnya bisa didapatkan dari lingkungan sekitar sehingga komposisi pakan komplit (complete feed) bisa terpenuhi. Dedak dan bekatul dari penggilingan padi juga tidak sulit didapatkan di Indonesia karena makanan pokok mayoritas penduduk Indonesia adalah nasi. Sawah-sawah pertanian padi hampir ada di setiap tempat demikian penggilingan padinya. Sumber lain dari jenis rerumputan seperti rumput gajah,odot, rumput benggala dan sebagainya sebagai sumber serat ataupun limbah-limbah pertanian seperti jerami, daun kacang tanah, daun dan batang jagung dan sebagainya bisa dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat sekitar. Dan ketika produksi pakan telah mencukupi untuk kebutuhan sendiri, kelebihan produksi pakan bisa dijual ke tempat lain. 

Selasa, 09 Februari 2021

Keuntungan-Keuntungan Yang Didapat Pabrik Sawit Jika Produksi Biochar 


Paling tidak ada empat hal yang menjadi motivasi untuk produksi biochar, yakni seperti grafik di atas. Ada sejumlah irisan yang membuat dampak aplikasi biochar tersebut multi manfaat, yang sangat sejalan dengan masalah dunia hari ini yakni perubahan iklim dan pemanasan gobal. Biochar juga sudah diterima sebagai instrument untuk mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer yang menyebabkan dua masalah besar di atas yakni pada tahun 2018 biochar masuk dalam Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai salah satu negative emmisions technologies (NETs). Aplikasi biochar adalah skenario carbon negative karena biochar bisa menyerap CO2 dari atmosfer. Hal ini sedikit berbeda dengan penggunaan bahan bakar biomasa seperti wood pellet, wood briquette dan cangkang sawit (PKS / Palm Kernel Shell) pada boiler di industri atau pembangkit listrik yang merupakan skenario carbon neutral. Memang pada dasarnya ada 3 skenario besar untuk mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer tersebut yakni peningkatan efisiensi pada peralatan yang menggunakan bahan bakar fossil, menggunakan bahan bakar carbon neutral dan skenario carbon negative seperti biochar.

Pohon sawit terkenal dengan banyak membutuhkan air dan pupuk untuk terus menjaga kelangsungan hidup dan produktivitas buahnya, sehingga upaya praktis berupa meningkatkan efisiensi nutrisi pupuk dan peningkatan produktivitas buah adalah hal penting. Disamping itu pabrik sawit menghasilkan limbah biomasa sangat banyak terutama tandan kosong (EFB / Empty Fruit Bunch) dan mesocarp fiber yang sangat potensial untuk bahan baku biochar tersebut. Biochar tersebut selanjutnya diaplikasikan di kebun sawit yang bisa digunakan dengan pupuk kimia atau dengan pupuk kompos/organik.


Teknologi pirolisis dan gasifikasi adalah yang biasa digunakan untuk produksi biochar tersebut. Selain menghasilkan biochar dengan pirolisis atau gasifikasi juga dihasilkan energi yang bisa digunakan untuk pengembangan industri sawit ataupun produksi listrik. Produksi PKO (Palm kernel oil) dari pengolahan kernel di KCP (kernel crushing plant) atau produksi torrefied PKS dari pengolahan PKS dengan torrefaction bisa dilakukan dengan memanfaatkan excess energy dari produksi biochar tersebut. Sebagian besar pabrik sawit atau pabrik CPO tidak memiliki pengolahan kernel atau KCP untuk menghasilkan PKO. Dan dengan dibuat torrefied PKS maka nilai kalori PKS akan meningkat, mudah dihancurkan (grindability meningkat) misalnya pada penggunaan cofiring dan tidak menyerap air (hydrophobic). Secara umum pabrik sawit akan memiliki banyak keuntungan baik secara ekonomi / financial maupun lingkungan dengan produksi biochar tersebut. 

Selain bisa digunakan untuk pengembangan usaha seperti diagram diatas, kelebihan energi dari pirolisis atau gasifikasi juga bisa digunakan sebagai bahan bakar boiler pada pabrik sawit tersebut. Dengan cara tersebut energi untuk memanaskan boiler yang biasanya dengan cangkang sawit (PKS/palm kernel shell) dan mesocarp fiber bisa digantikan dengan energi dari pirolisis atau gasifikasi tersebut. Cangkang sawit / PKS selanjutnya bisa semuanya dijual atau di eksport sehingga memberi tambahan keuntungan bagi perusahaan sawit tersebut. Kebutuhan bahan bakar biomasa khususnya cangkang sawit / PKS diprediksi akan meningkat, baik pasar dalam negeri maupun pasar export. Jepang adalah konsumen atau pengguna cangkang sawit terbesar saat ini dan diprediksi kebutuhannya juga akan meningkat. Jepang juga akan memberlakukan standar lebih ketat pada import cangkang sawit untuk menjamin keberlanjutan (sustainibility) dari sisi lingkungan dengan menerapkan sertifikasi GGL (Green Gold Label) yang akan efektif mulai April 2023. Hal tersebut seperti pada wood pellet dengan sertifikasi FSC. Jika ada yang tertarik dengan analisa ekonomi penggunaan biochar di perusahaan sawit silahkan kontak kami.

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...