Jumat, 16 Agustus 2019

Momentum Kebun Energi Tidak Akan Lama Lagi

Seiring meningkatnya harga minyak dunia (pernah mencapai harga $30/barrel pada awal 2016) dan juga tekanan akibat kerusakan lingkungan dari pembakaran fossil maka penggunaan energi terbarukan khususnya biomasa semakin mendapat perhatian. Sejumlah biomasa sudah banyak digunakan untuk sumber energi seperti cangkang sawit (PKS / Palm Kernel Shell) dan wood pellet. Semakin baik karakteristik bahan bakar biomasa akan semakin banyak dicari dan digunakan. Semakin banyak digunakan berarti akan semakin terbatas ketersediaannya, sehingga perlu upaya penyediaannya. Sebagai sumber energi terbarukan tentu bukan hal sulit untuk menyediakan jenis energi tersebut. Urutan penyediaan bahan bakar biomasa akan tergantung pada permintaan, ketersediaan dan proses produksinya. Sebagai contoh cangkang sawit ditinjau dari permintaan besar, ketersediaan berlimpah dan proses produksi atau pengolahannya mudah sehingga bisa digunakan juga sangat mudah,  sehingga menjadi prioritas utama. Sedangkan wood pellet walaupun permintaan besar dan ketersediaan bahan baku juga melimpah tetapi membutuhkan proses produksi yang tidak sederhana sehingga menjadi prioritas kedua. Tentang pemanfaatan tandan kosong dan batang sawit bisa dibaca disini, disini dan disini. Selanjutnya sejumlah limbah biomasa perkebunan seperti tandan kosong sawit, pelepah dan batangnya yang jumlahnya juga berlimpah akan menjadi prioritas berikutnya.
Kebun energi walaupun membutuhkan rute lebih panjang, diyakini tidak akan lama lagi menemukan momentumnya.  Hal tersebut karena dengan kebun energi selain kapasitas supply lebih stabil dan terjamin juga kemampuan supply hingga puluhan tahun. Keamanan supply tersebut menjadi hal vital bagi suatu proses produksi misalnya produksi wood pellet, hingga pengguna akhir seperti pembangkit listrik. Indonesia dengan iklim tropis dan tanah luas banyak tersedia menjadikan potensi pengembangan kebun energi sangat potensial dan strategis. Hanya butuh waktu 1 tahun untuk menghasilkan kayu dari kebun energi di Indonesia sementara butuh waktu 4 tahun di negara sub-tropis. Walaupun kebun energi kemungkinan besar menjadi pilihan terakhir setelah pemanfaatan sejumlah limbah pertanian yang jumlahnya masih melimpah saat ini, tetapi diyakini tidak akan lama lagi akan banyak dikembangkan dan saat ini sudah ada sejumlah perusahaan yang mencanangkan kesana.
Pengembangan kebun energi juga memiliki kelebihan berupa manfaat lingkungan yakni meningkatkan kesuburan tanah, konservasi air dan penyerapan karbon. Manfaat lain lagi dari kebun energi adalah sektor pangan, khususnya melalui peternakan domba/sapi dan peternakan lebah madu. Supplai daging Indonesia yang masih rendah butuh pasokan dari dalam negeri dan juga peluang exportnya yang besar. Daun-daun dari kebun energi bisa sebagai sumber pakan ternak dan di lokasi yang sama dibuat padang penggembalaan, untuk memperjelas bisa dibaca disini. Optimalisasi kebun energi dengan integrasi peternakan sehingga terjadi semacam hubungan ketergantungan saling menguntungkan akan memberi manfaat yang optimal pula, baik secara ekonomi, sosial dan lingkungan. Pengembangan tersebut adalah pendekatan yang komprehensif, sebagai pendekatan terbaik untuk mencapai manfaat dan keseimbangan lingkungan terbaik serta bukan pengembangan parsial yang cenderung merusak lingkungan itu sendiri. Mari kita bersama-sama menciptakan peluang ini sekaligus menangkap dan menggarapnya. Secara lebih sistematis dan komprehensif berikut sejumlah indikator yang menjadi daya dorong percepatan implementasi kebun energi tersebut
:

1.      Permintaan bahan bakar biomasa dari pasar internasional semakin besar seiring kesadaran tentang lingkungan dan perubahan iklim. Dan khusus Asia saat ini Jepang dan Korea adalah konsumen / user terbesar bahan bakar biomasa khususnya wood pellet serta Eropa juga pengguna terbesar selanjutnya.  Tentang karakteristik pasar Korea dan Jepang dalam mengimport wood pellet ada sedikit perbedaan untuk lebih detail bisa dibaca disini.

2.      Melemahnya sektor ekonomi di Indonesia akibat tidak mandiri dan sangat tergantung pada utang luar negeri dalam membangun infrastruktur dan ekonomi dalam negeri. Hal tersebut terlihat dari rendahnya pertumbuhan ekonomi yakni sekitar 5%, bangkrut dan hancurnya perusahaan-perusahaan negara termasuk industri-industri strategis dan tingginya angka pengangguran.

3.      Investasi untuk kebun energi dan produksi wood pellet jauh lebih murah dibandingkan perkebunan sawit, selain itu hanya dibutuhkan waktu singkat yakni 1 tahun saja untuk bisa produksi untuk kebun energi tersebut. Produksi kayu dari pohon kayu-kayuan membutuhkan waktu hingga puluhan tahun untuk bisa dipanen, sehingga praktis tidak ada pemasukan selama puluhan tahun tersebut. Untuk itu peluang usaha baru pada sektor strategis khususnya energi, kehutanan dan pangan menjadi perhatian baru apalagi dengan investasi lebih kecil dan berorientasi jangka panjang.
4.      Dengan iklim tropisnnya Indonesia sangat potensial pengembangan kebun energi, bahkan lebih baik dibandingkan potensi solar photovoltaic atau energi matahari, untuk lebih detail bisa dibaca
disini. Secara teknis budidaya kebun energi juga lebih mudah dan cepat daripada perkebunan sawit dan semacamnya. Tetapi Sri Lanka bisa jadi akan mendahului Indonesia tentang ini, lebih detail baca disini.

5.      Kebun energi akan menyerap CO2 atau gas rumah kaca dari atmosfer, menahan erosi tanah,konservasi air dan menyuburkan tanah.Manfaat lingkungan yang tidak ternilai harganya.

6.      Integrasi dengan peternakan ruminansia (domba & sapi) serta peternakan lebah madu akan mengoptimalkan pemanfaatan lahan tersebut, terjadi keseimbangan lingkungan dengan pemanfaatan kotoran ternak tersebut untuk pupuk kebun energi serta mendorong swasembada daging (baca : pemerintah import daging kerbau 100.000 ton dan jika industri wood pellet 100% dikuasai asing) sehingga pemanfaatan kebun energi untuk produksi wood pellet & integrasi dengan peternakan tersebut sebagai salah satu upaya menghindari atau mencegah penguasaan asing dan aseng yang berlebihan terhadap tanah-tanah di Indonesia yang tidak berpihak pada mayoritas pendududuk Indonesia itu sendiri.

7.      Banyaknya lahan-lahan tidur, lahan-lahan marjinal dan lahan-lahan kritis yang perlu segera dimanfaatkan sebagai solusi energi, pangan, lingkungan, ketenagakerjaan dan sosial.

8.      Sebagai entry point menyambut era bioeconomy yang akan segera menggantikan era fossil economy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...