Senin, 08 Maret 2021

SNI Pellet Biomasa dan Kebun Energi

SNI (Standard Nasional Indonesia) untuk produk pellet biomasa Indonesia telah keluar dan resmi digunakan sejak akhir 2020 atau tahun lalu. Tujuan utama penerapan SNI pellet biomasa tersebut adalah untuk merespon program cofiring pada PLTU-PLTU milik PLN. Dengan program cofiring tersebut maka bahan bakar terbarukan khususnya pellet biomasa digunakan sebagai campuran bahan bakar utama yakni batubara. Rasio penggunaan bahan bakar terbarukan berupa biomasa tersebut juga masih kecil yakni berkisar 1-5% atau setara bahan bakar biomasa 9-12 juta ton/tahun. Total PLTU sebagai target cofiring adalah 114 unit yang tersebar di 52 lokasi dengan kapasitas total 18.154 MW dengan target diselesaikan pada tahun 2024. Pellet biomasa yang ada di Indonesia saat ini hampir semua adalah pellet kayu (wood pellet) yang produksinya semua juga menggunakan limbah-limbah penggergajian kayu ataupun industri pengolahan kayu. Dalam istilah lain jika merujuk pellet kayu (wood pellet) maka hal itu pasti merupakan pellet biomasa sedangkan jika merujuk istilah pellet biomasa maka hal tersebut belum tentu pellet kayu (wood pellet), tetapi bisa saja pellet dari limbah-limbah pertanian (agro-waste pellet), untuk lebih jelas baca disini.  Limbah-limbah pertanian yang jumlahnya melimpah di Indonesia juga potensial sebagai bahan baku pellet biomasa tersebut seperti sekam padi, tandan kosong kelapa sawit, sabut kelapa dan sebagainya. Dibawah ini tabel untuk SNI pellet biomasa tersebut :

 

Kebun energi bisa merupakan sumber biomasa kayu-kayuan yang dirancang khusus untuk produksi energi atau secara spesifik untuk bahan baku produksi pellet biomasa atau wood pellet tersebut. Dengan kebun energi kapasitas produksi besar dan jaminan pasokan yang baik lebih bisa dicapai. Produksi wood pellet dari kebun energi membutuhkan waktu lebih lama karena perlu menyiapkan dan membuat kebun energi tersebut serta menunggu beberapa tahun hingga kayunya siap panen dan diolah lanjut menjadi wood pellet tersebut. Kaliandra dan gamal / gliricidia adalah 2 spesies tanaman jenis rotasi cepat dan trubusan (coppice) yang banyak dipilih karena keunggulannya tersebut. Hal lain yang sangat penting diperhatikan adalah nilai kalor dan produktivitas kayu per hektarnya yang tinggi. Tetapi ada sedikit kekurangan jenis kayu tersebut adalah kandungan kalium (potassium)  yang cukup tinggi. Hal itu membuat penggunaannya lebih terbatas teruatama pembangkit listrik dengan teknologi pulverized combustion (PC). 


Berdasarkan ujicoba yang dilakukan dengan kayu kaliandra dari lereng Merapi, Jawa Tengah; Bangkalan, Madura dan Aceh ternyata kadar kalium rata-rata di atas 1000 ppm (0,1%). Memang karakteristik tanaman rotasi cepat cenderung menghasilkan kayu dengan kadar kalium (potassium) lebih tinggi. Sedangkan dari tanaman buah-buahan, pohon pisang juga memiliki kandungan kalium yang tinggi. Kalium ini memiliki titik leleh rendah dan menyebabkan pengotor (fouling) pada pipa-pipa penukar panas (heat exchanger) sehingga menurunkan efisiensi pembangkit listrik tersebut. Sedangkan senyawa klorin adalah senyawa lain yang juga perlu diperhatikan karena korosif pada suhu tinggi, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Dan memang secara umum ada perbedaan signifikan tentang kimia abu (ash chemistry) antara biomasa dan batubara. Tetapi dengan rasio cofiring 1-5% pembangkit listrik umumnya tidak melakukan modifikasi peralatannya atau lebih khusus pada PC yang paling sensitif dengan masalah kimia abu, karena prosentase cofiring yang masih rendah.  


Dengan kadar rata-rata di atas 1000 ppm (0,1%) dan masih jauh dari 50.000 ppm (5%) maka tidak ada masalah untuk kayu-kayu dari kebun energi diproduksi menjadi wood pellet tersebut dan menyuplai PLTU-PLTU di Indonesia sesuai SNI tersebut. Tetapi jika tersebut di export ke mancanegara khususnya Jepang dan Korea maka pembangkit listrik tipe circulating fluidized bed (CFB) dan stoker adalah pangsa pasar terbaik dan tipe PC yang lebih terbatas. Dengan luasnya lahan tersedia dan iklim tropis Indonesia harus semakin menggalakkan kebun energi baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun pasar export. Program kebun energi tersebut juga secara tidak langsung mendorong sektor peternakan ruminansia, untuk lebih detail baca disini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...