Jumat, 14 Desember 2018

Kalium dan Klorin, 2 Unsur Perlu Perhatian Lebih Pada Wood Pellet

Sebagian besar pembangkit listrik saat ini menggunakan teknologi pulverized combustion yang beroperasi pada temperatur lebih dari 1400 C. Tingginya suhu operasi tersebut membuat persyaratan untuk bahan bakar yang digunakan cukup ketat, artinya tidak semua bahan bakar langsung bisa diterima. Bahan bakar pembangkit listrik tersebut standarnya dirancang dengan menggunakan batubara, sehingga apabila menggunakan bahan bakar biomasa bisa jadi akan membutuhkan modifikasi. Pada rasio cofiring kecil misalnya 5% pembangkit listrik tersebut besar kemungkinan bisa beroperasi secara standard tanpa modifikasi. Pertanyaan besarnya : mengapa pembangkit listrik teknologi pulverized combustion yang kapasitasnya bisa ratusan bahkan ribuan MW tersebut tidak langsung bisa menggunakan biomasa hingga 100% tanpa kendala? Hal itulah yang akan coba kita ulas pada tulisan dibawah ini. 

Perbedaan utama bahan bakar biomasa dengan batubara ditinjau dari pembangkit listrik tersebut adalah kimia abunya. Kimia abu batubara tersusun bahan anorganik yang memiliki titik leleh sangat tinggi dan cenderung tidak korosif terhadap logam-logam pada suhu tinggi. Hal ini membuat secara teknis bahan bakar batubara lebih friendly terhadap pembangkit listrik berteknologi pulverized combustion. Walaupun ditinjau secara lingkungan bahan bakar batubara kurang bersahabat karena fly ash banyak, limbah abunya tergolong B3 dan emisi SOx menyebabkan terjadinya hujan asam. Sedangkan tinjauan dari perubahan iklim dan pemanasan global, jelas batubara merupakan bahan bakar fossil dan merupakan carbon positive sehingga meningkatkan konsentrasi CO2 yang merupakan gas rumah kaca di atmosfer. Banyak negara saat ini yang dalam kebijakannya mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan batubara.
Sedangkan bahan bakar biomasa memiliki kandungan kimia abu yang terdiri bahan anorganik yang memiliki titik leleh rendah dan cenderung korosif sehingga menjadi hambatan bagi teknologi pulverized combustion tersebut. Kalium adalah salah satu unsur kimia abu dalam biomasa yang menjadi sorotan utama, hal ini karena kalium memiliki titik leleh rendah dan dalam sejumlah biomasa jumlahnya cukup banyak. Abu kalium yang meleleh tersebut akan menutupi dan terdeposit pada pipa-pipa penukar panas pada boiler pembangkit tersebut. Deposit tersebut membuat efisiensi transfer panas menurun sehingga konsumsi bahan bakar akan meningkat. Hal tersebut diindikasikan dari temperatur cerobong meningkat yang berarti terjadi kehilangan panas yang besar. 
Mekanisme reaksi kimia korosi klorin
Unsur lain yang menjadi sorotan utama selain kalium yakni klorin. Klorin ini korosif dan ibarat hantu bagi pembangkit listrik pulverized combustion tersebut. Sifat korosif tersebut akan memperpendek umur pakai atau umur operasi pembangkit listrik tersebut, misalnya dengan kandungan klorin tinggi pada bahan bakarnya maka membuat umur operasi pembangkit listrik menjadi setengah atau seperempat dari yang seharusnya. Tentu saja hal tersebut sangat merugikan, untuk lebih detail bisa dibaca disini. Di samping kedua hal diatas yang dianggap tidak menguntungkan dari penggunaan bahan bakar biomasa, tetapi seiring masalah kerusakan lingkungan berupa perubahan iklim dan pemanasan global, maka bahan bakar biomasa menjadi solusi masalah tersebut. Hal tersebut karena bahan bakar biomasa merupakan energi terbarukan , berkesinambungan (sustainable), carbon neutral dan berbagai manfaat lingkungan lainnya.
Bahan bakar biomasa yang sangat populer hari ini adalah wood pellet. Ketika ternyata wood pellet yang merupakan bahan bakar biomasa mengandung kalium (potassium) dan klorin tinggi maka menjadi kurang diminati bahkan ditolak oleh pembangkit listrik pulverized combustion tersebut. Para produsen wood pellet harus memperhatikan masalah ini jika segmen pasarnya pembangkit listrik. Memastikan produk wood pellet dengan kandungan klorin dan potassium sesuai persyaratan teknisnya menjadi keharusan para produsen tersebut. Ketika wood pellet terlanjur telah diproduksi tetapi spesifikasinya tidak bisa memenuhi persyaratan, maka perlu mengubah pasarnya atau memperbaiki kualitas wood pelletnya.
Pada dasarnya untuk mengatasi kandungan klorin dan potassium (kalium) tersebut bisa dengan dua cara yakni dari sisi produksi wood pelletnya maupun dari sisi penggunanya. Produsen wood pellet bisa memilih bahan baku yang bisa memenuhi spesifikasi yang diminta atau bahkan melakukan sejumlah treatment sehingga spesifikasinya bisa tercapai. Sedangkan dari sisi penggunanya yakni dengan menggunakan teknologi pembangkit listrik dengan suhu operasi lebih rendah sehingga masalah kalium dan klorin bisa direduksi bahkan dieliminasi. Teknologi pembangkit listrik dengan fluidized bed dan gasifikasi bisa sebagai solusi hal tersebut. 

5 komentar:

  1. Wood pellet menjadi tinggi chlorie disebabkan utamanya apa mks

    BalasHapus
  2. Penyebabnya antara lain bahan baku kayu wood pellet terendam air laut dan lokasi sumber kayu bahan baku tersebut dari area kadar garam tinggi

    BalasHapus
  3. wood pellet dengan bahan baku hardwood , sisa pembakarannya menimbulkan kerak padat seperti karang, penyebabnya apa? thanks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Abu kalium yang meleleh tersebut akan menutupi dan terdeposit pada pipa-pipa penukar panas pada boiler pembangkit tersebut. Saya cuman copas dari tulisan diatas

      Hapus
  4. untuk kadar kalium yang tinggi dari kayu apakah itu dapat diminimalisir dan penyebabnya kira2 apa ya ?

    BalasHapus

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...