Jumat, 30 April 2021

Urgensi Aplikasi Biochar pada Perkebunan Sawit di Indonesia

Banyaknya tanah-tanah masam di Indonesia yang dipergunakan untuk area perkebunan sawit membuat produktivitas buah sawit atau TBS yang dihasilkan tidak maksimal. Tanah-tanah masam dengan pH rendah tersebut membuat penyerapan unsur hara ke tanaman rendah dan begitu pula aktivitas mikroba tanah yang banyak berperan untuk kesuburan tanah. Kondisi ini seharusnya tidak boleh dibiarkan karena selain membuat budidaya perkebunan sawit tidak optimal juga pupuk yang digunakan juga akan banyak. Hal tersebut membuat biaya operasional budidaya perkebunan sawit menjadi tinggi. Biochar adalah produk pirolisis biomasa yang efektif dan efisien mengatasi masalah tersebut. Dengan jumlah limbah biomasa yang dihasilkan pabrik sawit atau pabrik CPO yang berlimpah sebagai bahan baku biochar seharusnya upaya perbaikan kualitas tanah perkebunan tersebut mudah dilakukan dan bahkan telah menjadi standar operasional perkebunan tersebut. Tetapi faktanya tidak demikian.

Mengapa biochar belum digunakan untuk perbaikan kualitas tanah sehingga meningkatkan produksi buah sawit atau TBS tersebut ? Masih kurangnya informasi dan edukasi tentang manfaat dan penggunaan biochar adalah faktor utamanya. Hal tersebut tentu saja membuat aplikasi biochar di perkebunan sawit belum dilakukan walaupun pabrik sawit mempunyai limbah biomasa berlimpah seperti tandan kosong sawit dan fiber yang umumnya belum dimanfaatkan dan menimbulkan masalah lingkungan. Prioritas untuk mengolah tandan kosong sawit dibanding produk lainnya seperti pellet tankos (EFB pellet) atau kompos juga perlu pertimbangan tersendiri. Pilihan terbaik tentu saja berdasarkan kajian yang komprehensif sesuai karakteristik bisnis atau usaha yang ingin dibangun. Mempertimbangkan tidak hanya manfaat ekonomi yang jangka pendek, tetapi juga manfaat lingkungan dan jangka panjangnya.  


Secara kuantitatif peningkatan produksi buah sawit atau TBS meningkat minimal 20% dengan aplikasi biochar adalah sesuatu yang wajar. Dan peningkatan produksi buah 20% juga akan menghasilkan keuntungan yang besar. Sejumlah komoditas pertanian lain bisa ditingkatkan produktivitasnya 30%, 40% bahkan lebih dari 100%. Masih rendahnya produktivitas buah sawit di Indonesia, bisa ditingkatkan dengan aplikasi biochar tersebut yang terutama sangat efektif perbaikan kualitas tanah perkebunan sawit tersebut. Apalagi sekitar 80% komponen biaya produksi minyak sawit (CPO) adalah berasal di perkebunannya, dan 20% di sektor pengolahannya (pabrik sawit). Biaya operasional perkebunan pabrik sawit terutama pupuk juga bisa dikurangi dengan penggunaan biochar tersebut. Prioritas pengembangan BBN (bahan bakar nabati) juga semakin baik jika volume bahan baku BBN meningkat seperti CPO. Hal ini semakin terlihat strategisnya peran biochar tersebut. Selain itu dari aspek perubahan iklim, biochar juga akan menyerap konsentrasi CO2 di atmosfer atau mengurangi konsentrasi gas rumah kaca, sebagai solusi masalah dunia saat ini.

Tipikal water tube boiler
 

Sedangkan dari sisi pabrik sawit, keuntungan lain yang didapat dari produksi biochar tersebut adalah penggunaan excess energy dari proses pyrolysis atau produksi biochar bisa sebagai sumber energi bagi boiler. Boiler feed water (BFW) juga akan mengalami preheating dua kali ketika digunakan untuk pendingin pada kondenser pyrolysis dan selanjutnya economizer pada boiler.  Dengan cara tersebut energi yang dibutuhkan boiler semakin berkurang. Ketika sumber energi boiler menggunakan sumber energi dari pyrolysis tersebut, ini berarti cangkang sawit (PKS/palm kernel shell) bisa diambil dan digunakan untuk hal lain bahkan bisa langsung dijual untuk pasar lokal maupun export. Kendala utama pengembangan usaha pada industri sawit terutama ketersediaan sumber energi. Jika sumber energi tersedia pengembangan usaha berbasis kelapa sawit sangat terbuka dan bervariasi, seperti produksi turunan CPO, pengolahan lanjut cangkang sawit, produksi PKO, produksi turunan PKO, pembangkit listrik biomasa dan sebagainya.

Senin, 26 April 2021

Merencanakan Suplai Pakan Jangka Panjang

Pakan merupakan komponen biaya tertinggi dalam usaha peternakan dengan porsi mencapai sekitar 70%. Dengan demikian pakan memiliki peran penting bagi keberlangsungan usaha tersebut. Perencanaan dalam penyediaan pakan yang baik akan mengurangi resiko kegagalan termasuk penurunan produksi peternakan tersebut. Menjaga performa industri peternakan tetap tinggi bukan hal yang mudah tentunya, diantaranya menjaga kualitas dan kuantitas pakan tersebut. Perencanaan pakan untuk suplai jangka panjang perlu dilakukan secara seksama dan komprehensif sehingga usaha peternakan bisa optimal. Faktor musim adalah salah satu faktor penting ketersediaan pakan tersebut. Tingkat keberhasilan dan besarnya keuntungan yang didapat juga bisa diprediksi lebih baik.

Dalam usaha komersial, pakan ternak ruminansia khususnya domba, kambing dan sapi pada umumnya lebih mudah didapatkan daripada pakan unggas atau ayam. Import bungkil kedelai sudah dilakukan untuk pakan unggas atau ayam tersebut. Daging ayam memang masih menempati peringkat 1 sebagai sumber protein hewani di Indonesia dengan porsi sekitar 70%. Sedangkan untuk ruminansia di atas umumnya pakan bisa disediakan oleh sumber pakan lokal seperti rerumputan dan tanaman legum. Tetapi seiring menyempitnya lahan yang bisa digunakan untuk tanaman hijauan di atas maka semakin terbatas ketersediaan pakan untuk ternak tersebut, apalagi untuk padang penggembalaan. Kondisi inilah yang membuat peternakan ruminansia tersebut sulit dikembangkan dalam kapasitas besar atau berorientasi industri. Kebun energi dengan luasan bisa mencapai ribuan hektar diharapkan menjadi solusi untuk hal tersebut.  

Perkembangan kebun energi sendiri sangat terkait penggunaan energi terbarukan khususnya biomasa baik di lokal / dalam negeri maupun global. Seiring era bioeconomy sehingga penggunaan bahan bakar fossil demikian juga untuk pembuatan berbagai produk lainnya semakin dikurangi, maka biomasa akan semakin mendapat perhatian dan semakin banyak digunakan. Hal tersebut seharusnya seiring dengan pertumbuhan sektor peternakan ruminansia di atas dan industri halal pada umumnya. Terkait dengan pakan ternak tersebut ada 3 hal penting yang perlu diperhatikan yakni nutrisi, keamanan /safety dan keberlanjutannya / sustainibility. Selain faktor-faktor tersebut faktor teknologi, logistik dan manajemen yang baik juga turut berperan penting untuk keberlangsungan suplai pakan jangka panjang tersebut. Apabila seluruh unsur pakan (serat, protein, vitamin, mineral dsb) dapat dicukupi dari sumber lokal / dalam negeri sehingga harga lebih murah maka usaha peternakan akan semakin kompetitif. Sedangkan apabila tergantung pada import maka biaya pakan akan mahal dan usaha peternakan menjadi kurang kompetitif sehingga output produk daging dan susu sebagai sumber protein juga menjadi mahal. Dan jangan sampai produksi pakan ternak dalam negeri berkembang katakan saja 5 kali tetapi import bahan bakunya malah 15 kali lipat.    

Selasa, 20 April 2021

Produksi EFB Pellet atau EFB Biochar ?

Salah satu kendala utama bagi pabrik sawit untuk mengembangkan usahanya adalah ketersediaan listrik. Dengan lokasi yang pada umumnya berada di daerah pelosok di tengah perkebunan sawit, pabrik sawit tidak mendapatkan suplai listrik dari PLN. Padahal listrik sangat penting pada suatu proses produksi, seperti pada produksi EFB pellet. Padahal tandan kosong atau EFB pada umumnya merupakan masalah lingkungan bagi pabrik sawit. Apabila setiap ton/jam produksi EFB pellet dibutuhkan 300 KW maka untuk produksi 10 ton/jam (5000 ton/bulan) dibutuhkan listrik sebesar 3 MW, export bahan bakar biomasa seperti wood pellet dan pks (palm kernel shell) atau cangkang sawit dengan bulk shipment biasanya membutuhkan 10 ribu ton/shipment. Sehingga apabila produksi EFB pellet direncanakan 10 ribu ton/bulan sehingga setiap bulan bisa melakukan export EFB pellet maka kapasitas pabrik atau produksi EFB pellet adalah 20 ton/jam (10000 ton/bulan) dibutuhkan listrik 6 MW. Bagi pabrik sawit memanfaatkan limbah cair atau POME untuk menjadi biogas adalah sumber energi potensial untuk produksi listrik tersebut. Tetapi dengan kapasitas pabrik sawit 30 ton TBS/jam hanya dihasilkan listrik sekitar 1 MW dari biogas POME, sehingga untuk menghasilkan 6 MW perlu pabrik sawit dengan kapasitas 6 x 30 ton TBS/jam sama dengan 180 ton TBS/jam. Padahal pabrik sawit rata-rata hanya berkapasitas 45 - 60 ton TBS/jam, sehingga menghasilkan listrik 6 MW dari biogas POME pabrik sawit tersebut adalah mustahil. 

Penggunaan EFB pellet adalah sama seperti wood pellet dan PKS terutama adalah untuk pembangkit listrik. Ketiganya adalah bahan bakar biomasa. Kandungan klorin dan kalium yang tinggi pada tandan kosong sawit atau EFB membuat penggunaannya terbatas pada pembangkit listrik karena penyebab korosi dan kerak. Tidak semua pembangkit listrik bisa menggunakan EFB pellet pada kapasitas atau jumlah besar. Pemakaian pada PLTU batubara dengan teknologi pulverized combustion hanya bisa digunakan dengan rasio kecil atau perkiraan kurang dari 5%, tetapi bisa digunakan lebih banyak atau bahkan 100% pada PLTU tipe fluidized bed dan stoker. Kapasitas PLTU tipe fluidized bed dan stoker pada umumnya jauh lebih kecil dibanding pulverized combustion.

Ketika sumber biomasa tersebut dikelola dengan benar maka penggunaan bahan bakar biomasa merupakan bahan bakar ramah lingkungan dan berkelanjutan (sustainable). Bahan bakar biomasa seperti ini merupakan bahan bakar carbon neutral, karena tidak menambah konsentrasi CO2 di atmosfer. Hal tersebut karena biomasa sebagai sumber bahan bakar tersebut berasal dari tumbuhan yang pertumbuhannya dari proses photosintesis dengan salah satunya menggunakan CO2 dari atmosfer, sehingga ketika biomasa tersebut dibakar maka praktis tidak ada penambahan CO2 ke atmosfer. Secara umum ada 2 cara mengatasi konsentrasi CO2 di atmosfer yang menyebabkan perubahan iklim dan pemanasan global yakni skenario carbon neutral dan skenario carbon negative. Pada skenario carbon negative, CO2 di atmosfer akan ditangkap dan diserap sehingga tidak lepas lagi dan konsentrasi CO2 di atmosfer bisa tereduksi, seperti aplikasi biochar di bawah ini.

Sedangkan pada produksi biochar dengan pyrolysis selain tidak dibutuhkan daya listrik yang besar untuk operasionalnya juga listrik bisa dihasilkan dari penggunaan excess energy dari pyrolysis itu sendiri. Dengan menggunakan excess energy dari pyrolysis tersebut maka bahan bakar boiler pabrik sawit tidak perlu menggunakan cangkang sawit dan fiber. Penggunaan bahan bakar gas maupun cair dari excess energy proses pyrolysis juga membuat emisi pembakaran lebih bersih. Untuk mencapai pembakaran lebih sempurna bahan bakar gas atau cair lebih baik dibandingkan bahan bakar padat. Cangkang sawit sehingga semuanya bisa dijual atau bahkan di eksport. Produk biochar yang diaplikasikan pada perkebunan sawit juga akan meningkatkan kualitas tanah sehingga pemakaian pupuk bisa dikurangi dan produktivitas buah sawit akan meningkat. Biochar juga menyerap CO2 dari atmosfer sehingga penggunaan biochar pada kebun sawit yang luas artinya dengan aplikasi masif juga bisa untuk carbon trading. Perkembangan-perkembangan terbaru bahwa penggunaan biochar semakin luas seperti biomaterial untuk konstruksi, transportasi, plastik, packaging, furniture dan sebagainya. Penggunaan biomaterial untuk produk-produk tersebut berarti mensubtitusi penggunaan bahan baku berasal dari fossil.  

Jadi berdasarkan tinjauan di atas, produksi biochar dengan pyrolysis lebih menguntungkan dan mudah diimplementasikan bagi pabrik sawit dibandingkan dengan produksi EFB pellet. Penambahan produksi listrik dengan kapasitas besar dan tersedianya cukup bahan baku bukan hal mudah dan murah bagi rata-rata pabrik sawit di Indonesia dengan kapasitas 45 - 60 ton TBS / jam. Sedangkan pada produksi biochar dengan pyrolysis, sejumlah energi dihasilkan yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan dan penggunaan biochar juga multi manfaat. Pabrik-pabrik sawit seharusnya mempertimbangkan hal ini khususnya dalam aspek pengelolaan limbah, produktivitas kebun, aspek lingkungan dan pengembangan usaha, untuk lebih bisa dibaca disini. Berdasarkan pengalaman struktur biaya bisnis produksi CPO atau minyak sawit terdiri dari sekitar 80% dari biaya produksi adalah biaya tanaman atau aspek kebun, sementara 20% lainnya merupakan biaya pengolahan atau aspek pabrik. Dan aspek biaya tertinggi kebun sawit adalah biaya pemupukan sehingga apabila kebutuhan pupuk bisa dikurangi dan produktivitas kelapa sawit bisa ditingkatkan tentu itu sangat menguntungkan, biochar efektif dan efisien digunakan untuk hal tersebut.   

Kamis, 15 April 2021

Peningkatan Efisiensi Energi Pada Operasional Pabrik Sawit Dengan Penggunaan Pirolisis

Pemanfaatan energi berupa produksi steam yang kemudian digunakan untuk produksi listrik melalui steam turbine dan generator, serta penggunaan steam untuk perebusan (sterilisasi) tandan buah segar (TBS) merupakan hal pokok pada operasional pabrik. Hal tersebut karena kebutuhan energi listrik untuk menggerakkan berbagai peralatan mekanik di pabrik seluruhnya berasal dari produksi listrik tersebut. Listrik dan steam bagi suatu industri pengolahan dikelompokkan dalam utilitas yang mendukung industri tersebut. Sedangkan pada proses sterilisasi atau perebusan TBS tersebut steam selain menghentikan perkembangan ALB (asam lemak bebas) atau FFA (free fatty acid) dan memudahkan pemipilan juga akan mempermudah proses ekstraksi CPO dan pengolahan kernel (inti sawit). Untuk menghasilkan steam dan listrik tersebut tentu saja dibutuhkan energi yakni panas. Steam dihasilkan oleh boiler berupa superheated steam untuk menggerakkan steam turbine dan generator sehingga menghasilkan listrik dan selanjutnya steam dari produksi listrik atau steam tekanan rendah digunakan untuk perebusan (sterilisasi) TBS. 

Air setelah di treatment sehingga menjadi BFW (boiler feed water) selanjutnya digunakan untuk produksi steam dan listrik tersebut. Energi panas untuk menghasilkan steam bisa direduksi sedemikian rupa dengan penggunaan alat pirolisis (yang berarti bukan pembakaran biasa), sehingga kebutuhan panas pada tungku boiler menjadi semakin kecil. Pada kondenser pyrolysis akan menghasilkan air panas sehingga menjadi preheating bagi boiler. Pada pyrolysis kondenser digunakan untuk memisahkan biooil dan syngas (uncondensable gas). Preheating dari proses kondensasi unit pyrolysis selanjutnya akan masuk ke preheating tahap 2 dalam economizer pada unit boiler. Dengan demikian suhu air yang masuk ke dalam upper drum pada boiler sudah cukup tinggi, dan kebutuhan panas untuk menjadi superheated steam akan tereduksi. Pabrik sawit menggunakan boiler tipe water tube seperti yang biasa digunakan pada industri besar dan bukan fire tube yang bentuknya heat exchanger tipe shell and tube dengan bagian pipa (tube) terendam air sehingga tidak overheating. Pada boiler tipe water tube terdiri dari upper dan lower drum (mud drum) yang dihubungkan dengan pipa. Pada lower drum dan water tube terisi penuh dengan air, sedangkan pada upper drum hanya terisi sebagian. Dengan susunan tersebut membuat steam akan melewati separator mekanik pada upper drum, mengalir ke bagian superheater dan keluar dari boiler. Efisiensi menjadi kata kunci dalam produksi termasuk penggunaan energi dalam proses produksi CPO atau pabrik sawit di atas.Rule of thumb-nya kenaikan 10 C pada BFW setara meningkatkan 1% efisiensi boiler. 

Water-tube boiler

 

Excess energy dari proses pyrolysis sebaiknya digunakan untuk bahan bakar atau sumber energi pada tungku boiler. Penggunaan excess energy dari pyrolysis juga akan menghasilkan emisi flue gas yang ramah lingkungan karena pembakaran bahan bakar cair dan gas akan lebih bersih dibanding bahan bakar padat. Dengan cara demikian maka cangkang atau PKS (palm kernel shell) yang selama ini digunakan untuk bahan bakar boiler bisa tidak digunakan lagi. Semua cangkang atau PKS tersebut bisa dijual langsung bahkan dieksport seperti ke Jepang dan Korea. Tentu menjadi sumber tambahan pendapatan tersendiri. Cangkang sawit atau PKS merupakan kompetitor wood pellet pada pasar global karena propertiesnya banyak kemiripan, tetapi karena cangkang sawit berasal dari limbah atau sideproduct pabrik sawit maka harganya bisa lebih murah, informasi lebih lanjut bisa dibaca disini. Penggunaan slow pyrolysis untuk produksi biochar ini adalah opsi terbaik dibanding teknologi sejenis seperti fast pyrolysis dan gasification, lebih detail bisa dibaca disini. Pabrik atau perusahaan Kelapa sawit akan mendapat banyak keuntungan dari produksi biochar, untuk lebih detail bisa dibaca disini

Jumat, 09 April 2021

Biochar Untuk Perkebunan Kurma

Biochar semakin banyak digunakan sebagai pembenah tanah (soil amendment) dengan maksud untuk memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah, serta menurunkan konsentrasi gas rumah kaca dari atmosfer, yakni biochar tersebut menjerap secara langsung karbon dioksida atau CO2 dari atmosfer. Pada perkebunan kurma yang sebagian besar ditanam di daerah kering dan berpasir, penggunaan biochar terutama akan meningkatkan kemampuan menahan air dan hara artinya penguapan air tanah juga bisa dikurangi dan kehilangan hara untuk pohon kurma juga akan bisa dikurangi. Hal tersebut tentu saja sangat menguntungkan bagi pohon kurma.  Limbah-limbah dari perkebunan kurma seperti pelepah, biji dan daun dapat digunakan sebagai bahan baku biochar tersebut. Dampak atau hasil positif dari penggunaan biochar telah banyak dilaporkan dari sejumlah riset dan eksperiment. Hasil-hasil tersebut adalah perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi tanah yang hasil akhirnya pada kualitas dan produktivitas buah yang dihasilkan.

Setiap tahun diperkirakan setiap pohon kurma menghasilkan limbah biomasa sebanyak 33 kg “green waste” atau 20 kg kering. Saat ini diperkirakan pohon kurma di seluruh dunia mencapai 120 juta pohon dengan potensi limbah biomasanya sebesar 4 milyar ton “green waste” atau 2,4 milyar kering dan bisa dikonversi biochar menjadi 800 juta ton biochar. 10 negara produsen kurma terbesar Mesir, Iran, Saudi Arabia, Algeria, Iraq, Pakistan, Sudan, Sudan Selatan, Oman dan Uni Emirat Arab. Penggunaan alat pyrolysis modern untuk pengolahan limbah biomasa tersebut menjadi biochar, juga menghasilkan excess energy untuk produksi panas atau listrik yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Lokasi perkebunan kurma yang berada di daerah pedalaman bisa memanfaatkan listrik tersebut ataupun menyimpan energi tersebut untuk keperluan lain seperti memasak. Penyimpanan energi tersebut bisa dengan tangki besar ataupun kecil-kecil untuk keperluan penduduk di lokasi tersebut. Dengan memanfaatkan excess energy dari proses pyrolysis tersebut maka kerusakan lingkungan seperti ilegal logging bisa diminimalisir. Daerah kering dan tandus adalah daerah dengan penguapan tinggi dan curah hujan rendah, dan area seperti ini mencapai 41% dari luas permukaan tanah di bumi. Saat ini hampir 900 juta manusia menghuni daerah ini. 

Perbaikan kualitas tanah akan menghasilkan produktivitas tanaman yang lebih tinggi. Semakin baik kualitas tanah bisa diusahakan maka akan semakin meningkat pula produktivitasnya. Biochar akan memperkaya karbon organik tanah yang memiliki peran penting antara lain mengurangi kehilangan hara tanaman, meningkatkan agregasi tanah, mengurangi erosi tanah, dan meningkatkan pengikatan air. Setiap tanaman punya karakteristik tersendiri terhadap media tanamnya dan kondisi lingkungan. Perbaikan kualitas tanah tersebut tentu juga akan meningkatkan produktivitas buah kurma bahkan juga peningkatan kualitas buah tersebut. 

Senin, 05 April 2021

Pemanfaatan Excess Energy dari Produksi Biochar dengan Pyrolysis

Sebagian besar alat produksi biochar saat ini sudah ketinggalan zaman (obsolete), sehingga produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkan rendah, juga menimbulkan masalah lingkungan yakni polusi udara. Pada alat-alat dengan teknologi tersebut maka proses produksi juga tidak berjalan secara efisien diindikasikan dengan banyaknya kehilangan energi atau panas sehingga kurang menguntungkan. Teknologi slow pyrolysis adalah teknologi terbaik untuk produksi biochar karena memaksimalkan produksi fraksi padat (biochar). Sedangkan kelompok thermal technology lainnya kurang sesuai untuk produksi biochar misalnya fast pyrolysis tujuan utamanya memaksimalkan produk cairnya atau biooil, gasifikasi tujuan utamanya memaksimalkan produk gas atau syngas maupun hydrothermal carbonization (HTC) atau wet pyrolysis membutuhkan kondisi operasi bertekanan tinggi sehingga sulit diaplikasikan. Teknologi slow pyrolysis modern akan beroperasi secara autothermal / self sustain fuel, aman, kontrol proses dan energy management yang baik, sehingga dengan cara tersebut selain energi dimanfaatkan untuk proses pyrolysis itu sendiri, juga kelebihan energi bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan lain misalnya produksi listrik atau panas.

Ada tiga variabel utama untuk proses pyrolysis ini yakni heating rate, duration/residence time dan suhu. Kualitas dan kuantitas biochar ditentukan oleh variabel-variabel proses tersebut. Sebagai contoh produksi biochar dengan suhu kurang dari 400 C akan menghasilkan biochar yang asam (acidic biochar), sedangkan produksi biochar di atas suhu tersebut akan menghasilkan biochar basa (alkaline biochar). Saat ini PH biochar yang diproduksi berkisar dari 4 sampai 12. Ada juga yang membuat kategori tentang suhu pyrolysis untuk produksi biochar yakni, rendah  dengan kurang dari 250 C, menengah (250 - 500 C), tinggi dengan lebih dari 500 C. Selanjutnya dari penelitian fixed carbon juga meningkat dari 56% menjadi 93% pada suhu pyrolysis 300 dan 800 C. Luas permukaan (surface area) juga meningkat dari 120  m2/gram pada 400 C menjadi 460 m2/gram pada 900 C. 

Dan memang pada dasarnya kualitas dan kuantitas biochar ditentukan oleh bahan baku yang digunakan dan kondisi proses produksinya khususnya pyrolysis tersebut. Bahkan untuk menjamin kualitas biochar tersebut semua aspek perlu diperhatikan seperti bahan baku dan proses produksi seperti suhu operasi pyrolysis tidak boleh lebih dari 20%, interupsi ketika produksi diperbolehkan asalkan kondisi parameter produksi selanjutnya dijaga sama seperti sebelum restart tersebut. Komposisi bahan baku juga tidak boleh berfluktuasi lebih dari 15%. Dan untuk peralatan pyrolysis modern, excess energy tersebut harus dimanfaatkan dengan estimasi 35-60% energi dari bahan baku biomasanya terdapat pada pyrolysis gas. Sejumlah pengolahan limbah-limbah pertanian bisa memanfaatkan pyrolysis tersebut secara optimal, berikut di antaranya :   

1. Industri Kelapa Sawit 

Penggunaan teknologi pyrolysis untuk perusahaan sawit khususnya di Indonesia sangat ideal saat ini. Hal ini karena pada pabrik-pabrik kelapa sawit atau pabrik CPO dihasilkan limbah padat biomasa yang banyak yakni, tandan kosong, fiber/sabut dan cangkang sawit. Dan karena cangkang sawit atau PKS (palm kernel shell) sudah banyak permintaan baik dari dalam maupun luar negeri untuk bahan bakar industri dan pembangkit listrik, maka cangkang sawit ini sebaiknya tidak digunakan bahan baku pyrolysis atau produksi biochar tersebut, tetapi bisa langsung digunakan sebagai komoditas perdagangan. Tandan kosong dan fiber tersebut digunakan sebagai bahan baku biochar dan selanjutnya biochar tersebut digunakan untuk memperbaiki kualitas tanah perkebunan sawit sehingga produktivitas TBS meningkat. Excess energy dari pyrolysis selanjutnya digunakan bahan bakar boiler sehingga bisa mengurangi bahkan menggantikan semua cangkang sawit sebagai bahan bakar boiler tersebut. Dan karena  bahan bakar boiler digantikan dengan excess energy pyrolysis tersebut maka cangkang sawit yang bisa dijual akan lebih banyak atau bahkan semuanya. 

2. Industri Kelapa Terpadu
Produk-produk dari pengolahan kelapa seperti kopra, dessicated coconut atau kelapa parut kering, dan nata de coco membutuhkan panas dalam proses produksinya. Arang tempurung kelapa juga merupakan arang favorit yang permintaan pasarnya besar. Arang tersebut biasanya akan diolah lanjut menjadi briket untuk energi maupun arang aktif (activated carbon) untuk berbagai industri. Untuk produksi biochar limbah-limbah industri kelapa seperti sabut, janjang dan pelepah bisa digunakan. Excess energy pyrolysis bisa digunakan untuk produksi produk-produk di atas maupun produk lanjutan lainnya. Produktivitas kelapa Indonesia yang rendah perlu ditingkatkan salah satunya dengan perbaikan kualitas tanah dengan biochar. Selain itu sangat banyak perkebunan kelapa di Indonesia yang perlu diremajakan / replanting sehingga perbaikan kualitas tanah untuk mencapai produksi yang diinginkan semakin penting dilakukan. 

3. Perkebunan Jagung
Upaya meningkatkan produk pangan perlu dilakukan secara serius, hal ini bisa melalui dua cara, pertama memperluas lahan atau mencetak sawah baru untuk produksi dan cara kedua dengan meningkatkan kualitas lahan yang ada sehingga produktivitasnya akan meningkat. Biochar sangat efektif dan efisien untuk cara kedua di atas. Jagung selain digunakan sumber pangan manusia juga digunakan untuk pakan hewan ternak. Dengan proyeksi populasi manusia terus meningkat maka kebutuhan pangan baik secara langsung dengan mengkonsumsi jagung tersebut maupun tidak langsung dari hewan ternak seperti daging dan telur. Produksi pakan unggas atau ayam menempati ranking pertama dari produksi pakan ternak lainnya, atau di dunia hampir separuh pakan ternak yang diproduksi adalah pakan ayam ini. Tongkol dan kulit jagung adalah limbah pertanian yang bisa digunakan untuk produksi biochar. Excess energy dari proses pyrolysisnya bisa untuk pengeringan jagung maupun proses lanjutan lainnya.

4.Pertanian Padi
Padi atau beras adalah makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Luas sawah irigasi semakin berkurang sepanjang tahun. Hal tersebut mendorong penggunaan sawah non-irigasi atau lahan kering untuk produksi padi tersebut atau pertanian padi gogo. Biochar mampu meningkatkan kualitas tanah lahan kering, seperti halnya pada pertanian jagung. Sekam padi adalah limbah pertanian padi yang bisa digunakan untuk produksi biochar. Excess energy dari pyrolysis sekam padi bisa digunakan untuk pengeringan padi itu sendiri sehingga menjadi gabah kering giling, maupun untuk keperluan lainnya. Dengan perbaikan kualitas tanah tersebut produktivitas padi bisa ditingkatkan dan bukan tidak mungkin swasembada pangan khususnya beras bisa tercapai, seperti yang pernah dicapai Indonesia beberapa waktu lalu.

Memaksimalkan Kecepatan Penyerapan CO2 dari Atmosfer Berbasis Biomasa

Memaksimalkan kecepatan penyerapan CO2 dari atmosfer adalah hal sangat penting mengingat kecepatan penambahan konsentrasi CO2 ke atmosfer ya...