Tuntutan untuk menurunkan suhu bumi dengan mengurangi konsentrasi gas rumah kaca melalui berbagai kesepakatan global seperti kesepakatan Paris dan Net Zero Emission (NZE) 2050 dengan ditindaklanjuti secara teknis melalui dekarbonisasi untuk berbagai sektor dan industri terus berlangsung. Hal inilah menjadi daya dorong untuk peningkatan bahan bakar terbarukan khususnya yang berbasis biomasa atau produk bioenergy yang memang selama ini telah dilakukan tetapi terjadi dinamika berupa fluktuasi permintaan dan harga. Bioenergy dengan sejumlah kelebihan dan keunikannya sebagai energi terbarukan tidak bisa tergantikan di era dekarbonisasi global ini dan walaupun dalam beberapa waktu mendatang sejumlah subsidi untuk bahan bakar biomasa atau bioenergy akan dihapuskan.
Hal tersebut sangat terkait dengan prioritas suatu pemerintah dalam dekarbonisasi tersebut dari sejumlah opsi-opsi yang muncul. Produk-produk bioenergy bisa beranekaragam termasuk kualitasnya, tetapi semua memiliki segmen pasar tersendiri pada industri-industri tertentu. Selain itu aspek keberlanjutan (sustainibilty) dari sumber biomasa tersebut juga menjadi aspek penting dalam bisnis dan penggunaan bioenergy tersebut dan diberlakukan secara ketat seperti GGL, FSC, SBP, RED III, dan SURE. Kelompok-kelompok industri seperti semen, besi dan baja, kimia, bahkan sektor penerbangan, yang sebelumnya masih 100% menggunakan bahan bakar atau sumber energi berbasis fossil secara bertahap mulai beralih ke sumber energi terbarukan.
Produk bioenergy seperti industrial wood pellet dan industrial wood briquette memiliki segmen terutama di industri pembangkit listrik dan pemakaian untuk bahan bakar boiler industri. Industrial wood pellet sangat populer dan diproduksi dalam kapasitas besar dibandingkan dengan industrial wood briquette. Terkait penghapusan subsidi dan pemberlakuan sertifikat keberlanjutan maka produsen bahan bakar biomasa dituntut untuk menghasilkan kualitas produk yang lebih baik dengan bahan baku yang tidak merusak lingkungan atau bisa dipertanggungjawabkan. Hal ini juga berlaku untuk bioenergy yang berasal dari limbah-limbah pertanian, yang umumnya belum ada sertifikat keberlanjutan pada kapasitas besar.
Pembangkit-pembangkit listrik biomasa yang beroperasi mendekati carbon neutral, selanjutnya bisa ditingkatkan lagi sehingga beroperasi carbon negative atau atmosphere carbondioxide removal (CDR) yakni menambah perangkat penangkap dan penyimpan karbondioksida (CCS / carbon capture and storage). Pembangkit listrik biomasa yang dilengkapi perangkat CCS tersebut populer disebut BECCS (Bio-Energy Carbon Capture and Storage). Diprediksi era BECCS tidak lama lagi dan negara-negara yang memiliki unit pembangkit listrik biomasa bisa dengan mudah meng-upgrade-nya menjadi BECCS. Perangkat CCS yang mahal dan pendapatan carbon credit yang rendah dari CDR masih menjadi kendala saat ini. Jepang yang memiliki sekitar 300 unit pembangkit listrik biomasa sangat berpotensi untuk meng-upgrade-nya menjadi BECCS. Dan sebagai pembangkit listrik biomasa maka kebutuhan bahan bakar akan selalu dibutuhkan seperti wood pellet dan PKS / cangkang sawit, dan untuk lebih detail baca disini.
Salah satu contoh sukses BECCS adalah proyek Stockholm Exergi BECCS menggambarkan bagaimana infrastruktur pembangkit listrik biomassa yang ada dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan penyerapan karbon dioksida yang berkelanjutan. Proyek Stockholm ini berbasis bahan bakar biomassa dari sumber yang berkelanjutan, berhasil mendapatkan salah satu kesepakatan penyerapan karbon terbesar di dunia dengan Microsoft, serta kontrak signifikan senilai 500 juta SEK (~89 milyar rupiah).Model mereka mengintegrasikan penangkapan karbon dengan sistem pemanas distrik (District Heating), memaksimalkan efisiensi energi sekaligus mencapai penyerapan karbon dioksida yang permanen.
Demikian juga sejumlah industri besar lain seperti semen, alumunium dan kimia yang juga secara bertahap melakukan dekarbonisasi. Bahan bakar biomasa seperti wood pellet, dan limbah-limbah pertanian / perkebunan seperti PKS / cangkang sawit menjadi preferensi di sektor ini. Selain kandungan energi cukup tinggi, harga bahan bakar biomasa tersebut lebih terjangkau dibanding turunannya seperti torrefied biomass dan charcoal / biochar. Dengan adanya transisi atau dekarbonisasi bertahap pada industri-industri tersebut maka kebutuhan bahan bakar biomasa juga terus meningkat.
Sedangkan pada produk biocarbon seperti torrified biomass (biocoal) dan carbonized biomass (biochar / charcoal) mulai menjadi perhatian dan diperkirakan akan mencapai level produksi lebih massal dalam waktu tidak lama lagi. Pembangkit listrik biasanya menyukai biocoal karena kandungan energi lebih tinggi, hidrophobic sehingga bisa ditaruh ditempat terbuka seperti batubara dan lebih mudah dihancurkan (grindability index tinggi). Sedangkan biochar / charcoal terutama pada industri besi dan baja akan sangat cocok untuk menghasilkan low carbon steel bahkan green steel. Reduktor untuk blast furnace yang sebelumnya kokas dari batubara bisa digantikan oleh charcoal atau biochar tersebut. Charcoal atau biochar dengan kemurnian tinggi (fixed carbon >85%) dan impurities rendah dibutuhkan untuk reduktor blast furnace tersebut, dan untuk lebih detail tentang ini bisa baca disini dan disini.
Sedangkan penggunaan biomasa untuk bahan bakar penerbangan berkelanjutan atau SAF (Sustainable Aviation Fuel) juga sangat dimungkinkan. Hal ini karena saat ini ada 3 proses produksi terkemuka untuk produksi SAF yakni HEFA (Hydro-processed Esters and Fatty Acids), FT (Fischer-Tropsch) dan ATJ (Alcohol to Jet Fuel). Biomasa melalui proses termokimia yakni pada FT (Fischer-Tropsch) dan biokimia yakni pada ATJ (Alcohol to Jet Fuel) bisa digunakan sebagai bahan baku atau feedstock. Sedangkan bahan baku atau feedstock untuk proses HEFA bukan solid biomass tetapi vegetable oil, used cooking oil/minyak jelantah, lemak binatang dan sebagainya. Jadi aplikasi yang luas dari biomasa menjadi berbagai sumber energi penting di era dekarboniasi global maka hal itu menjadi daya dorong untuk produksi biomasa tersebut baik melalui sektor kehutanan maupun pertanian / perkebunan yang berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar