Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk mengevaluasi dan menghentikan industri kayu jika ternyata pendapatan negara dari sektor tersebut tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan korban jiwa warga. Begitu dahsyatnya banjir Sumatera yang menewaskan ribuan orang telah menyita dan menjadi sorotan nasional bahkan hingga internasional. Dan belum terhitung kerugian material lainnya sepertinya hancurnya infrastruktur, rumah dan sebagainya. Kondisi tragis dan memilukan tersebut semestinya tidak terjadi apabila hutan dijaga secara semestinya. Ketika hutan-hutan digunduli dan dibuka untuk perkebunan sawit tanpa pertimbangan dan perhitungan yang memadai atau hanya berorientasi profit / keuntungan finansial semata maka harganya adalah ribuan nyawa manusia seperti dikatakan Susie Pujiastuti tersebut. Kayu dari land clearing untuk perkebunan sawit tersebut jumlahnya sangat banyak sehingga menjadi sumber keuntungan besar.
Indonesia saat adalah raja sawit dunia dengan produksi lebih dari separuh (50%) minyak sawit dunia dan permintaan minyak sawit memang terus meningkat seiring meningkatnya penduduk dunia yang terus membutuhkan pasokan minyak nabati. Minyak sawit adalah minyak nabati dunia yang produksinya terbesar mengalahkan minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak canola. Minyak sawit dengan minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak rapeseed / canola adalah 4 minyak nabati utama dunia, dimana negara-negara produsennya saling bersaing (baca : perang dagang) memasarkan produk minyak nabatinya. Keunggulan minyak sawit adalah produktivitas minyak sawit terbesar diantara minyak nabati lainnya atau paling efisien di antara empat minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Sebagai perbandingan untuk menghasilkan 1 ton minyak sawit dibutuhkan 0,25 hektar, sementara untuk produksi 1 ton minyak kedelai membutuhkan 2 hektar, lalu 1 ton minyak sawit membutuhkan 1,43 hektar dan produksi 1 ton minyak rapeseed / canola membutuhkan 1,25 hektar.
Keunggulan lainnya adalah bahwa pohon sawit tidak bisa tumbuh negara sub-tropis seperti Eropa dan Amerika Utara sehingga semestinya ini jadi berkah bagi Indonesia, bukan malah bencana, dan walaupun juga bukan tumbuhan asli Indonesia tetapi dari Afrika Barat. Dengan luas hampir 17 juta hektar maka Indonesia adalah pemilik perkebunan sawit terbesar di dunia dan menjadi sumber devisa besar bagi negara. Tetapi upaya menggenjot produksi sawit yang dilakukan dengan ekstensifikasi tersebut, tentu tidak boleh mengabaikan aspek keamanan dan kelestarian lingkungan atau istilah lainnya aspek keberlanjutannya (sustaibility). Dan bahkan ekstensifikasi ini bisa diperlambat dengan sejumlah intensifikasi salah satunya dengan aplikasi biochar, untuk lebih detail baca disini.
Aspek keberlanjutannya (sustaibility) dan deforestasi adalah 2 poin penting khususnya bagi sejumlah negara Eropa untuk menilai produk-produk perkebunan khususnya minyak sawit dan bahkan peraturan EUDR (EU Deforestation Regulation, atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai Peraturan Deforestasi Uni Eropa) akan diberlakukan tahun ini. Tetapi sayangnya negara-negara di Eropa tersebut menerapkan standar ganda karena minyak sawit diperlakukan dengan sangat ketat bahkan dengan berbagai peraturan yang berlapis, tetapi tidak demikian dengan minyak nabati utama lainnya yakni minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak rapeseed / canola.
Banjir Sumatera menunjukkan kebijakan serampangan dan kemudian menjadi terbuka karena bencana yang melanda. Land clearing atau pembukaan lahan tersebut menghasilkan kayu gelondongan sangat banyak. Saking banyaknya bahkan terlihat seperti pulau kayu tetapi juga mencemari lingkungan dan mengganggu mobilitas. Dengan begitu besarnya kerugian akibat banjir tersebutseolah terbentuk pulau kayu karena tingginya tumpukannya. Dan salah satu penanganan pasca banjir adalah membersihkan kayu-kayu tersebut. Sebagian kayu-kayu tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga bisa dimanfaatkan. Tentu saja keuntungan dari penjualan kayu tersebut diberikan kepada rakyat sebagai korban bencana karena penebangan yang serampangan tersebut. Dengan diberikan kepada rakyat maka bisa membantu mempercepat pemulihan pasca bencana tersebut.
Secara teknis kayu-kayu tersebut perlu dipiih berdasarkan jenis kayu, ukuran dan potensi pasarnya. Sedangkan kayu-kayu yang kurang ekonomis atau dianggap limbah seperti karena ukuran terlalu kecil, patah menjadi potongan kecil, terbelah dan sebagainya bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar biomasa seperti produksi wood pellet. Kapasitas produksi pabrik wood pellet menyesuaikan dengan volume limbah, permintaan pasar dan investasi peralatan mesin produksi pabrik tersebut. Lokasi pabrik wood pellet juga semestinya mendekat bahan baku dan tidak jauh dengan pelabuhan export-nya. Sejumlah treatment seperti pencucian perlu dilakukan karena kayu-kayu tersebut kotor terkena lumpur. Demikian juga kayu-kayu yang terendam dilaut yang berpotensi menaikkan kandungan klorinnya. Selain wood pellet, produksi bahan bakar biomasa lain yang bisa dihasilkan adalah wood chip dan wood briquette. Faktor kesiapan pasar sangat penting untuk pemilihan produk bahan bakar biomasa yang akan diproduksi.
Produksi bahan bakar biomasa dari bahan baku limbah kayu banjir tentu tidak bisa terus berkeanjutan. Walapun volume limbah kayu tersebut menggunung dan baru akan habis beberapa tahun mendatang, tetapi perlu dipikirkan untuk bisa terus menghasilkan bahan baku berkelanjutan terutama setelah kayu limbah dari banjir habis. Lahan-lahan yang gundul perlu dihijaukan kembali demikian juga lahan-lahan kritis bahkan juga lahan-lahan tidur. Pemilihan tanaman yang tepat serta pemetaan lahan perlu dilakukan. Dan terkait upaya keberlanjutan produksi bahan bakar biomasa seperti wood pellet maka kebun-kebun energi perlu dibuat dilahan yang cocok. Tanaman kebun energi seperti kaliandra dan gamal / gliricidia memiliki akar tunggang sehingga juga bermanfaat untuk mengendalikan erosi dan tanah longsor. Bahkan dengan luasan tertentu kebun energi ini bisa menghasilkan pendapatan ratusan trilyun, untuk lebih detail baca disini. Begitu untuk hutan produksi tanaman lainnya sebagai penghasil kayu untuk berbagai industri dan keperluan juga harus dikelola dengan baik sehingga juga menjadi berkah, dan bukan bencana.




