Tampilkan postingan dengan label tandan kosong kelapa sawit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tandan kosong kelapa sawit. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Agustus 2024

Urgensi IOT dan Aplikasi Biochar Pada Perkebunan Sawit

Trend sustainibility pada perkebunan sawit semakin penting dan urgen, yang itu tentu saja bagian dari solusi global masalah lingkungan dan iklim. Luasnya perkebunan sawit dan besarnya produksi minyak sawit menjadi sorotan pada industri tersebut. Pengelolaan limbah dan pencemaran lingkungan menjadi concern penting. Besarnya volume limbah biomasa berpotensi menjadi sumber pencemaran lingkungan dan demikian juga penggunaan pupuk kimia yang berlebihan pada perkebunan sawit yang akan menyebabkan pencemaran lingkungan juga. Peruntukan lahan yang tidak semestinya misalnya deforestasi alih fungsi lahan juga menjadi concern lainnya. 

Dua isu penting pada industri sawit adalah peningkatan produktivitas TBS (yield improvement) dan ketahanan perubahan iklim (climate change resilience). Dan alhamdulillah, kedua hal tersebut bisa sekaligus ditangani yakni dengan aplikasi biochar. Limbah biomasa pabrik sawit (khususnya tankos sawit) akan dikonversi menjadi biochar lalu diaplikasikan untuk tanah perkebunan (sustainable soil amendment) dengan pupuk sehingga menjadi slow release fertilizer yang akan meningkatkan NUE (nutrient use efficiency) dan meminimalisir pencemaran lingkungan. Dengan naiknya NUE maka akan terjadi yield improvement atau peningkatan produduktivitas TBS tersebut. Dan aplikasi biochar tersebut yang akan bertahan di tanah atau tidak terdekomposisi selama ribuan tahun akan menjadi carbon sequestration / carbon sink yang sejalan dengan ketahanan perubahan iklim. Sebuah solusi jitu dengan sekali aksi, tentu ini semestinya sangat menarik dan dinanti-nantikan oleh perusahaan-perusahaan sawit tersebut.

Untuk memastikan bahwa biochar tersebut bisa bekerja semestinya dibutuhkan suatu instrument untuk mengukur perfoma dan memantaunya. Untuk itulah IoT (Internet of things) pada sektor ini dibutuhkan. Seberapa lambat nutrisi pupuk lepas  (how slow can you go) bisa diukur dan dipantau secara akurat, cepat dan tepat. Dengan cara ini pula produktivitas sawit bisa diprediksi. Luasan lahan pada perkebunan sawit yang mencapai ribuan atau puluhan ribu hektar juga bukan menjadi halangan. Luas lahan perkebunan sawit Indonesia yang saat ini diperkirakan mencapai 17 juta hektar dan di Malaysia yang mencapai 5 juta hektar, tentu perusahan-perusahaan sawit tersebut juga berupaya mencapai level sustainibility terbaiknya sesuai tuntutan zamannya. Hal ini sehingga aplikasi biochar pada perkebunan sawit ini akan menjadi trend bahkkan standar operasionalnya. Entry point dengan memastikan performance biochar dengan IoT menjadi pertimbangan penting.

Aplikasi biochar ini juga mengikuti aturan 4Rs yakni right source (bahan baku biochar yang sesuai), right place (area aplikasi yan tepat), right rate (takaran atau dosis yang tepat) dan right timing (waktu yang tepat). Sifat-sifat fisika dan kimia biochar berbeda tergantung pada bahan baku dan proses produksinya. Dengan mengikuti aturan 4R tersebut maka performa biochar bisa dimaksimalkan. Di sisi lain modernisasi pada industri sawit juga terus ditingkatkan. Persepsi masyarakat pekerjaan di perkebunan sawit yang disingkat 3D (dangerous, difficult, dirty) akan bertahap diubah dengan mekanisasi, otomatisasi dan digitalisasi. Rasio pekerja terhadap lahan kebun saat ini yang berkisar 1 : 8 ha akan ditingkatkan menjadi dua kali lipat lebih menjadi 1 : 17,5 ha dengan modernisasi di atas sehingga upah pekerja juga bisa ditingkatkan. Modernisasi tersebut diharapkan akan bisa membantu mengatasi kedua isu penting di atas dengan aplikasi biochar tersebut.  

Minggu, 03 Juni 2018

Teknologi Hydrothermal Carbonisation, Cocok Untuk Meng-upgrade EFB

Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kualitas bahan bakar biomasa sehingga bisa digunakan khususnya pada pembangkit-pembangkit listrik yang ada. Pembangkit-pembangkit listrik adalah pengguna bahan bakar biomasa terbesar saat ini disamping juga sebagai salah satu target utama untuk pengurangan emisi dengan bahan bakar terbarukan atau carbon neutral fuel. Karakteristik bahan baku dan teknologi pembangkit listrik menjadi pertimbangan penting penentuan teknologi proses produksi bahan bakar tersebut. Industri kelapa sawit dengan jumlah produsen CPO berjumlah ribuan (Indonesia dan Malaysia) dan luas perkebunan sawit 12 juta hektar di Indonesia serta 5 juta hektar di Malaysia menjadikannya sebagai target sumber bahan baku biomasa. Pada industri kelapa sawit jumlah biomasa yang dihasilkan jauh lebih banyak daripada minyak atau CPO sebagai produk utamanya, yakni 10% minyak dan 90% biomasa seperti ilustrasi dibawah ini. 
 
 Setelah sebelumnya cangkang sawit atau palm kernel shell (PKS) menjadi bahan bakar andalan dan dicari untuk pembangkit listrik karena propertiesnya sangat sesuai khususnya yang menggunakan fluidized bed combustion (FBC) , nah selanjutnya tandan kosong sawit atau EFB yang jumlahnya sangat berlimpah dan belum banyak dimanfaatkan menjadi target berikutnya untuk sumber bahan bakar biomasa. Kalau PKS sudah bisa langsung digunakan (hanya sedikit pembersihan) oleh pembangkit listrik, maka untuk EFB perlu pengolahan dulu karena kadar air, ukuran, bentuk dan kadang kala sifat-sifat kimianya. EFB memiliki kandungan chlorin dan potassium yang tinggi sehingga tidak semua pembangkit listrik cocok dengan bahan bakar tersebut. Apabila EFB dibuat menjadi EFB pellet maka pembangkit FBC seperti yang digunakan PKS bisa menggunakannya tetapi untuk jenis pulverized tidak cocok, karena kandungan chlorin dan potassium yang tinggi tersebut. 
Kondisi seperti itu memunculkan inovasi sehingga EFB bisa dijadikan bahan bakar yang cocok untuk pembangkit listrik berteknologi pulverized yang banyak digunakan saat ini. Inovasi tersebut berupa teknologi yang bisa mengurangi kandungan chlorin dan potassium khususnya, serta meningkatkan kandungan energinya. Teknologi tersebut adalah hydrothermalcarbonization atau wet carbonisation sehingga kimia abu berupa chlorin dan potassium bisa dihilangkan dengan dilarutkan pada air seperti leaching dan juga kandungan energinya bisa ditingkatkan dengan karbonisasi atau pengarangan tersebut. Selain itu kondisi EFB dari pabrik sawit dengan kadar air diatas 60% juga mempermudah aplikasi teknologi hydrothermal carbonization ini. 

Jumlah EFB ini sangat besar, diperkirakan untuk Indonesia saja mencapai lebih dari 35 juta ton dan di Malaysia juga sangat banyak yakni lebih dari 15 juta ton, atau dari dua negara terbesar produsen CPO saat ini potensi EFB yang bisa diolah mencapai lebih dari 50 juta ton/tahun. Selain akan mengatasi masalah lingkungan, pengolahan EFB tersebut juga akan menggerakkan sektor ekonomi yang cukup besar. Dengan teknologi hydrothermal carbonisation maka properties EFB bisa diupgrade sehingga sesuai untuk bahan bakar pembangkit listrik pada umumnya saat ini. Ketakutan pembangkit listrik karena kandungan klorin, dan potassium yang tinggi bisa diatasi dengan teknologi tersebut. Untuk menghemat biaya transportasi sekaligus mempermudah handling, penyimpanan dan penggunaan maka produk EFB yang telah diproses dengan hydrothermal carbonisation atau HTC EFB (EFB hydrochar) selanjutnya di densifikasi menjadi pellet maupun briket. Tampaknya teknologi ini telah memberi jawaban sekaligus membuka peluang baru untuk pengolahan EFB menjadi bahan bakar biomasa favorit seperti wood pellet dan PKS

AI untuk Pabrik Sawit atau Pengembangan Produk Baru dengan Desain Proses Baru ?

Aplikasi AI telah merambah ke berbagai sektor termasuk juga pada pabrik kelapa sawit atau pabrik CPO. Aplikasi AI untuk pabrik kelapa sawit ...