Minggu, 03 Juni 2018

Teknologi Hydrothermal Carbonisation, Cocok Untuk Meng-upgrade EFB

Berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan kualitas bahan bakar biomasa sehingga bisa digunakan khususnya pada pembangkit-pembangkit listrik yang ada. Pembangkit-pembangkit listrik adalah pengguna bahan bakar biomasa terbesar saat ini disamping juga sebagai salah satu target utama untuk pengurangan emisi dengan bahan bakar terbarukan atau carbon neutral fuel. Karakteristik bahan baku dan teknologi pembangkit listrik menjadi pertimbangan penting penentuan teknologi proses produksi bahan bakar tersebut. Industri kelapa sawit dengan jumlah produsen CPO berjumlah ribuan (Indonesia dan Malaysia) dan luas perkebunan sawit 12 juta hektar di Indonesia serta 5 juta hektar di Malaysia menjadikannya sebagai target sumber bahan baku biomasa. Pada industri kelapa sawit jumlah biomasa yang dihasilkan jauh lebih banyak daripada minyak atau CPO sebagai produk utamanya, yakni 10% minyak dan 90% biomasa seperti ilustrasi dibawah ini. 
 
 Setelah sebelumnya cangkang sawit atau palm kernel shell (PKS) menjadi bahan bakar andalan dan dicari untuk pembangkit listrik karena propertiesnya sangat sesuai khususnya yang menggunakan fluidized bed combustion (FBC) , nah selanjutnya tandan kosong sawit atau EFB yang jumlahnya sangat berlimpah dan belum banyak dimanfaatkan menjadi target berikutnya untuk sumber bahan bakar biomasa. Kalau PKS sudah bisa langsung digunakan (hanya sedikit pembersihan) oleh pembangkit listrik, maka untuk EFB perlu pengolahan dulu karena kadar air, ukuran, bentuk dan kadang kala sifat-sifat kimianya. EFB memiliki kandungan chlorin dan potassium yang tinggi sehingga tidak semua pembangkit listrik cocok dengan bahan bakar tersebut. Apabila EFB dibuat menjadi EFB pellet maka pembangkit FBC seperti yang digunakan PKS bisa menggunakannya tetapi untuk jenis pulverized tidak cocok, karena kandungan chlorin dan potassium yang tinggi tersebut. 
Kondisi seperti itu memunculkan inovasi sehingga EFB bisa dijadikan bahan bakar yang cocok untuk pembangkit listrik berteknologi pulverized yang banyak digunakan saat ini. Inovasi tersebut berupa teknologi yang bisa mengurangi kandungan chlorin dan potassium khususnya, serta meningkatkan kandungan energinya. Teknologi tersebut adalah hydrothermalcarbonization atau wet carbonisation sehingga kimia abu berupa chlorin dan potassium bisa dihilangkan dengan dilarutkan pada air seperti leaching dan juga kandungan energinya bisa ditingkatkan dengan karbonisasi atau pengarangan tersebut. Selain itu kondisi EFB dari pabrik sawit dengan kadar air diatas 60% juga mempermudah aplikasi teknologi hydrothermal carbonization ini. 

Jumlah EFB ini sangat besar, diperkirakan untuk Indonesia saja mencapai lebih dari 35 juta ton dan di Malaysia juga sangat banyak yakni lebih dari 15 juta ton, atau dari dua negara terbesar produsen CPO saat ini potensi EFB yang bisa diolah mencapai lebih dari 50 juta ton/tahun. Selain akan mengatasi masalah lingkungan, pengolahan EFB tersebut juga akan menggerakkan sektor ekonomi yang cukup besar. Dengan teknologi hydrothermal carbonisation maka properties EFB bisa diupgrade sehingga sesuai untuk bahan bakar pembangkit listrik pada umumnya saat ini. Ketakutan pembangkit listrik karena kandungan klorin, dan potassium yang tinggi bisa diatasi dengan teknologi tersebut. Untuk menghemat biaya transportasi sekaligus mempermudah handling, penyimpanan dan penggunaan maka produk EFB yang telah diproses dengan hydrothermal carbonisation atau HTC EFB (EFB hydrochar) selanjutnya di densifikasi menjadi pellet maupun briket. Tampaknya teknologi ini telah memberi jawaban sekaligus membuka peluang baru untuk pengolahan EFB menjadi bahan bakar biomasa favorit seperti wood pellet dan PKS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Transisi Energi Berkeadilan

Seorang muslim dari Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan aktivis lingkungan, Ibrahim Abdul Matin (2012), dalam bukunya Green Deen : What...