Produksi wood pellet Vietnam dimulai pada tahun 2012 dengan kapasitas sangat kecil yakni sekitar 175 ton/tahun dan saat ini tahun 2021 atau sekitar 9 tahun kemudian produksinya telah mencapai sekitar 4,5 juta ton/tahun sehingga menempatkan Vietnam diurutan kedua sebagai produsen wood pellet dunia, setelah Amerika Serikat. Produksi total 4,5 juta ton/tahun tersebut disuplai dari 74 pabrik wood pellet di Vietnam. Pada tahun 2020 mengeksport wood pellet sebanyak 3,2 juta ton ke Jepang dan Korea untuk pembangkit listrik dengan nilai export mendekati USD 351 juta. Selain ke Korea dan Jepang, wood pellet produksi Vietnam juga di export ke Eropa.
Pada awalnya produksi wood pellet Vietnam menggunakan limbah dari industri mebel. Limbah mebel berupa serbuk kayu dari industri tersebut sudah kering dan ukuran partikelnya sudah sesuai untuk produksi wood pellet, sehingga alat berupa hammer mill dan pengering (dryer) tidak dibutuhkan. Banyak pabrik wood pellet Vietnam waktu itu tidak memiliki alat hammer mill ataupun dryer tersebut. Dengan bahan baku yang siap untuk dipellet tersebut maka biaya produksi wood pellet sangat murah ditambah lagi biaya tenaga kerja yang juga murah. Tetapi seiring permintaan limbah industri mebel untuk produksi wood pellet semakin tinggi maka ketersediaan bahan baku tersebut semakin langka, sehingga pabrik-pabrik wood pellet baru tidak bisa lagi menggunakan limbah-limbah tersebut. Limbah industri pengolahan kayu lainnya seperti penggergajian kayu dan pabrik veneer juga menjadi bahan baku. Selanjutnya dengan peningkatan produksi wood pellet semakin besar, limbah-limbah kayu hutan dan kayu bulat lainnya menjadi sumber bahan baku berikutnya. Hal tersebut juga membuat biaya produksi semakin meningkat karena perlu alat seperti hammer mill dan dryer sehingga bahan baku tersebut siap untuk dipellet.
Vietnam adalah pengeksport mebel kayu terbesar ke Amerika Serikat melampaui China. Pada tahun 2020 export mebel kayu Vietnam ke Amerika Serikat mencapai lebih dari USD 7,4 milyar atau naik 31% dibandingkan tahun 2019. Sedangkan China mengeksport mebel kayu senilai USD 7,33 milyar pada 2020. Walaupun perbedaan hanya kecil tetapi hal tersebut membuktikan tentang pertumbuhan industri mebel kayu yang terus tumbuh di Vietnam. Sedangkan export mebel dan kerajinan Indonesia menurut HIMKI (Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia) pada tahun ini diperkirakan bisa mencapai USD 2,75 sampai 3 milyar. Bahkan menurut Abdul Sobur president HIMKI, industri mebel dan kerajinan ini adalah sektor industri penting dan telah menjadi pilar dalam era pandemi saat ini. Dengan luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta km persegi atau lebih dari 5 kali Vietnam maka potensi Indonesia mengembangkan industri wood pellet sangat potensial bagi Indonesia. Selain memanfaatkan limbah biomasa dari industri mebel dan kerajinan tersebut,industri pengolahan kayu, dan limbah-limbah hutan, kebun energi juga sangat potensial dikembangkan di Indonesia. Salah satu kelebihan Vietnam dibanding Indonesia adalah posisinya yang lebih dekat dengan Korea dan Jepang sehingga biaya transport wood pellet ke pembeli atau pengguna lebih murah.
Dengan luas daratannya tersebut Indonesia sangat potensial mengembangkan kebun energi untuk produksi wood pellet yang masif. Bahkan kebun energi tersebut bisa dibuat dari lahan bekas tambang batubara yang luasnya mencapai sekitar 8 juta hektar, untuk lebih detail baca disini. Walaupun saat ini produksi wood pellet Indonesia masih berkisar 100-200 ribu ton/tahun atau seperti produksi wood pellet Vietnam tahun 2012 tetapi dengan potensi yang sangat besar tersebut maka potensi Indonesia untuk menjadi produsen utama wood pellet dunia juga besar, bahkan menjadi negara yang memimpin penggunaan energi biomasa. Program cofiring di sejumlah PLTU di Indonesia juga mendorong penggunaan energi biomasa, khususnya wood pellet. Terdapat 114 unit PLTU milik PLN yang berpotensi dapat dilakukan cofiring tersebut yang tersebar di 52 lokasi dengan kapasitas total 18.154 megawatt (MW) dengan target selesai tahun 2024. Kebun energi selain mendukung bisnis & ketahanan energi, juga seharusnya mendukung sektor peternakan khususnya ruminansia untuk lebih detail baca disini, sehingga ketahanan pangan untuk mencapai swasembada daging bisa dilakukan. Jadi apakah Indonesia bisa melampaui produksi wood pellet Vietnam? Tentu bisa, tetapi butuh upaya yang keras, dan butuh waktu yang lama. Tetapi setidaknya jika Indonesia menggalakkan produksi wood pelletnya, maka akan banyak manfaat yang didapat, antara lain ekonomi, sosial dan lingkungan.
Vietnam imports a lot of wood for furniture as well. Dryers are with every pellet installation and also with furniture industry. Not so much for the drying (from 20% MC to 14% MC doesn't need much energy) but for separation of heavy elements. Hammer mills are present as well but often used (wrongly) to reduce size of the bigger pieces instead of making the required homogene particle distribution.
BalasHapus