Ketika target dekarbonisasi harus bisa diraih sesuai deadline yang ditentukan tentunya juga berbagai upaya akan dilakukan termasuk melalui fase transisi. Fase transisi pada industri besi dan baja tersebut adalah dari low carbon production menuju neutral carbon production. Ada sejumlah faktor yang mempengaruhi hingga menuju tujuan tersebut terutama kesiapan pasar untuk membeli produk besi dan baja yang dihasilkan dari proses produksi tersebut dan juga kesiapan bahan bakar dan reduktor untuk blast furnace di industri besi dan baja tersebut. Arang adalah bahan bakar dan reduktor yang berasal dari biomasa yang sangat potensial digunakan pada fase transisi tersebut. Arang sebagai produk karbonisasi atau pirolisis biomasa memiliki nilai kalori tinggi, fixed carbon tinggi dan stabil.
Sedangkan kondisi neutral carbon production akan dicapai ketika produksi besi dan baja pada industri tersebut 100% menggunakan energi terbarukan. Penggunaan tungku listrik (EAF/Electric Arc Furnace) bisa dilakukan sepanjang listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan. Begitu juga penggunaan bahan bakar hidrogen pada blast furnace (dengan energi listrik untuk operasional pabrik juga dari energi terbarukan) juga mampu mencapai kondisi neutral carbon production tersebut, dan bahkan penggunaan bahan bakar hidrogen pada blast furnace ini dianggap akan menjadi tujuan puncak (ultimate goal) pada dekarbonisasi pada industri besi dan baja ini. Dengan target tercapai net zero emission pada 2050 dan rata-rata umur pakai blast furnace 20 tahun maka upaya industri besi dan baja untuk mencapai target harus dirumuskan dan diprogramkan dengan baik. Bahkan apabila upaya penggantian blast furnace tidak mengikuti target waktu tersebut maka akan menjadikan pencapaian net zero emission 2050 dalam bahaya.
Faktanya memang saat ini untuk mencapai tujuan tersebut masih jauh karena pembangunan blast furnace – basic oxygen furnace (BF -BOF) masih banyak dilakukan, yang seharusnya adalah EAF (Electric Arc Furnace) atau saat ini hanya sekitar 30% secara global industri besi dan baja menggunakan EAF ini. Bahkan organisasi Asosiasi Energi Internasional (IEA / International Energy Association) menyoroti tentang masalah kritis ini untuk mencapai target Paris Agreement’s net-zero pada tahun 2050. Intensitas CO2 pada industri ini hanya sedikit mengalami penurunan sehingga penggunaan energi terbarukan menjadi semakin penting dan dipercepat.
Sebagai contoh kasus adalah industri besi dan baja Jepang. Sebagai produsen baja lebih dari 85 juta ton per tahun dengan penggunaan utama pada proyek konstruksi domestik dan pembuatan otomotif dan dengan lebih 25% (lebih dari 21 juta ton) diexport menjadikan industri baja Jepang memiliki pengaruh signifikan di pasar global. Ketergantungan terhadap batubara yang sangat dominan menjadi problem utama dekarbonisasi dan apalagi Jepang adalah juga pengimport batubara terbesar ketiga di dunia. Lebih jauh dekarbonisasi di Jepang dinilai tidak memadai karena ketertinggalannya industri baja Jepang terhadap produsen-produsen baja utama dunia lainnya. Jepang adalah negara G7 yang tidak mengimplementasikan waktu penghapusan penggunaan batubara (coal phaseout).
Nippon Steel bahkan dilabeli climate laggard atau lambat merespon krisis iklim di kawasan Asia. Hal ini karena strategi dekarbonisasi tidak memadai atau tidak sesuai dengan IPCC’s 1.5°C warming pathway atau the IEA’s net-zero pathways. Kondisi ini mengancam target dekarbonisasi nasional maupun global dan membuat industri baja Jepang beresiko. Sementara permintaan untuk low-carbon steel meningkat dengan pesat karena industri-industri baja dan pemerintah seluruh dunia berkomitmen mengurangi emisi karbon dari bahan bakar fossil. Industri baja Jepang butuh segera melakukan dekarbonisasi untuk tetap bisa kompetitif di pasar global. Melakukan dekarbonisasi dengan menginvestasikan pada low-carbon steel production akan mengatasi resiko-resiko tersebut dan bisa membuat posisi industri baja Jepang sebagai pemimpin pada transisi hijau industri baja global.
Terkait masalah bahan bakar atau sumber energi terbarukan maka biomasa memiliki posisi dan peran strategis yakni pada operasional blast furnace arang yang merupakan produk dari karbonisasi biomasa digunakan sebagai bahan bakar dan reduktor, sedangkan pada produksi listrik untuk operasional pabrik besi dan baja tersebut maka biomasa bisa digunakan sebagai sumber energi terbarukan atau pembangkit listrik biomasa. Hal itulah maka ketersediaan biomasa menjadi sangat penting sehingga pembuatan kebun energi sebagai sumber biomasa tersebut menjadi sangat dibutuhkan. Tidak hanya sumber energi, kebun tersebut juga bisa berperan untuk produksi pangan dan pakan, yang keduanya sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dan tentu saja optimalisasi pemanfaatan kebun tersebut dengan memanfaatkan seluruh bagian pohon (whole tree utilization) juga memberi keuntungan maksimal secara finansial / ekonomi serta dengan pengelolaan yang baik juga akan memberikan keuntungan atau perbaikan lingkungan. Dan idealnya pada tahun 2050 industri-industri baja tersebut menggunakan electric arc furnaces / EAF, 100% hidrogen pada blast furnace dan bahkan kombinasi carbon capture, untuk mencapai net zero emission 2050 atau bahkan negative emission sehingga sangat baik bagi iklim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar