Spent Bleaching Earth (SBE) yang merupakan limbah padat yang dihasilkan dari proses bleaching pada industri pengolahan CPO menjadi minyak goreng dan oleokimia semakin meningkat seiring produksi produk turunan sawit atau industri hilir sawit seperti minyak goreng dan oleokimia. Jumlah bleaching earth yang digunakan pada umumnya berkisar 0,5-2,0% dari total CPO yang dimurnikan, tergantung pada kualitas CPO yang akan diolah pada proses pemurnian. SBE termasuk dalam limbah bahan beracun berbahaya (B3) kategori 2 dari sumber spesifik khusus dengan kode limbah B413. SBE dikategorikan sebagai limbah B3 karena mengandung minyak yang tinggi serta memiliki karakteristik yang mudah menyala dan bersifat korosif. SBE bisa dikategorikan sebagai limbah non-B3 apabila kandungan minyaknya di bawah 3%.
Penggolongan status SBE sebagai limbah B3 di Indonesia berbeda dengan status SBE di Malaysia yang juga merupakan produsen minyak sawit terbesar ke dua di dunia. Limbah SBE yang dihasilkan oleh industri refinery Malaysia tidak digolongkan sebagai limbah B3 namun tetap dikategorisasikan sebagai limbah padat hasil pabrik refinery yang pengolahannya diatur dalam Solid Waste Regulation (SWR) agar limbah tersebut dapat dimanfaatkan kembali menjadi produk bernilai ekonomi tinggi.
Menurut Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI, 2021) menyebutkan dengan kapasitas refineri / pemurnian minyak sawit / CPO antara 600 ton sampai 2.500 ton per hari, dan dengan asumsi penggunaan bleaching earth (BE) sebesar 1%-2%, rerata akan menghasilkan SBE berjumlah 6-50 ton per hari. Dan menurut Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan SBE yang dihasilkan dari proses pemurnian minyak nabati di Indonesia pada tahun 2019 mencapai 779 ribu ton. Dari jumlah tersebut, sebanyak 51,47% (401 ribu ton) SBE diolah, sedangkan sisanya sekitar 48,39% (378 ribu ton) disimpan atau ditimbun. Jumlah yang sangat besar dan berpotensi mencemari lingkungan.
SBE memiliki kandungan minyak sekitar 20-40%, sehingga mempunyai potensi untuk dimanfaatkan. Selain itu SBE juga mengandung warna, gum/getah, logam yakni Silika, Alumunium oksida, Ferioksida, Magnesia, logam lain dan air. Pada dasarnya pengolahan SBE dilakukan memisahkan minyak dari padatannya. Minyak yang bisa dipisahkan tersebut selanjutnya bisa digunakan sebagai bahan baku biodiesel bahkan bahan bakar pesawat terbang (bio-jet fuel) seperti halnya POME / PAO dan UCO. Dengan jumlah SBE yang tidak terolah mencapai sekitar 378 ribu ton per tahun, potensi minyak yang bisa diambil mencapai sekitar 115 ribu ton per tahunnya.
Dengan pirolisis maka proses pemisahan fraksi padat dan cair dari SBE mudah dilakukan demikian juga recovery minyak bisa dimaksimalkan, demikian juga SBE tersebut menjadi limbah non-B3 karena kandungan minyaknya di bawah 3%. Lebih khusus lagi dengan pirolisis kontinyu maka volume limbah SBE yang mencapai 50 ton per hari pada unit refinery CPO tersebut bisa dengan mudah dilakukan. Besarnya potensi nilai ekonomi yang bisa didapatkan dari pemanfaatan SBE sayang sekali jika tidak dioptimalkan. Peluang pasar produk olahan dari limbah SBE juga diperkirakan akan cemerlang di masa depan, seiring dengan perkembangan preferensi pasar yang menuntut tersedianya produk yang eco-friendly dan sustainable.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar